Jumat, 09 Desember 2022

Sampean satpam di mana?

"Sampean satpam di mana?"

Begitu pertanyaan seorang wanita setengah tua, pembantu di kawasan Rungkut, Surabaya. Ayas yang bukan satpam kaget sekali.

 Ayas kok disangka satpam? Bisa jadi Ayas punya potongan sekuriti. Punya badan kekar, kuat, macam satpam beneran.

 "Yah.. kerja di daerah Surabaya Utara," Ayas jawab sekenanya lalu ngalih. Agar tidak dikejar lagi pertanyaan susulan.

Pembantu yang rada kentir itu sudah lama minggat. Dibawa kabur seorang duda penjual jamu di awal covid. Ayas lega karena tak lagi ditanya tentang dunia persatpaman di Surabaya. 

Jumat pagi ini Ayas nggowes di kawasan Gunung Anyar. Mampir ngopi di warung kecil. Sekalian beli nasi pecel. Pelayannya wanita di bawah 30. Kecantikan di atas rata-rata. Nilainya sekitar 85.

Basa-basi sejenak tentang Piala Dunia, ekonomi yang ruwet, hingga kuli bangunan. "Sampean gak kerja? Kok masih nggowes jam begini?" tanya wanita satu anak itu.

"Aku biasa masuk sore. Kerja sampai tengah malam?" Ayas jawab ringkas saja.

"Sampean jaga di mana?" kejar penjual pecel itu.

Waduh.. rupanya Ayas dikira satpam yang jaga kantor. Ayas jadi ingat pembantu rada stres dulu di Rungkut. Pertanyaannya mirip atau sama persis. Sampean satpam di mana?

Apa boleh buat. Itulah persepsi. Sudah tiga orang yang bertanya seperti itu. Satu lagi ibu warung di dekat Juanda. Dia tidak percaya ketika Ayas bilang kerja dalam bidang komunikasi, berteman komputer setiap hari, dan blablabla.

"Kerja satpam itu juga halal," kata wanita asal Lamongan.

Tidak mudah memang meyakinkan 3 wanita ini bahwa Ayas bukan satpam. Sebab persepsi mereka sudah sangat kuat. Mereka juga tidak terbiasa dengan pertanyaan terbuka, open question, khas wartawan. Mereka lebih suka closed question. Bertanya untuk justifikasi dugaan mereka.

Pertanyaan tertutup memang bisa berbahaya. Ya, kalau orang yang ditanya itu benar satpam. Seharusnya pertanyaan terbuka yang dikedepankan. "Sampean kerja di mana? Sampean kerja apa? Sampean masuk kerja jam berapa?"

Ayas pun kehilangan selera makan pecel di warung pecel itu. Ayas alihkan perhatian dengan menengok video yang dibagi di grup Flobamora NTT. Anies Baswedan bicara panjang lebar, ngalor ngidul, saat menjawab pertanyaan Karni Ilyas. Padahal yang ditanya itu tentang sumur resapan untuk mencegah banjir di Jakarta.


Hidup satpam!
Haleluya!!! 

7 komentar:

  1. Sudah merdeka tetapi mentalkolonial-nya tidak bisa hilang, malah per omnia saecula saeculorum, pokoke lek ireng yo anake Zwarte Piet, ora ngenah bin haram.
    Tidaklah heran, jika ibu-ibu petani di pelosok Bojonegoro pun tahu caranya membuat kulit wajah jadi putih and glowing.
    Yang sangat memalukan adalah jika anak2 perempuan Indonesia bilang, bahwa mereka ingin kawin sama cowok bule atau arab, demi memperbaiki keturunan. Kata-kata itu beberapa kali saya dengar sendiri, dari mulut gadis Indonesia.
    Berbanggalah menjadi Inlander, yang arti sebenarnya pemilik negara. Wong londo, arab dan cino adalah Auslander di Indonesia, mereka adalah keturunan dayo sing teko sakarepe dhewe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dui dui.. inlander biasa disebut "anak tanah" di NTT sana. Jadi anak tanah ada gunanya juga meski tidak sekinclong anak Londo atau orang manca πŸ˜€πŸ™πŸΌ

      Hapus
  2. Orang Jawa banyak yang rasis, merasa superior drpd suku2 bangsa lain di Endonesa.

    BalasHapus
  3. Sebaliknya kalau dia lihat orang Tionghoa pasti dianggap juragan kaya raya. Image wong tenglang memang bagus tapi juga jadi cemburu sosial. Ya kalau juragan sugih, kalau Tionghoa biasa aja, apalagi rada miskin ya jadi bahan tertawaan.

    Berbahagialah orang yang direndahkan karena nanti akan ditinggikan! Di surga πŸ‘†πŸΌπŸ™πŸΌ

    BalasHapus
  4. Hahaha. Ini ada benarnya. Walaupun saya tinggal di Amerika dengan gaji lumayan, saya adalah seorang pegawai perusahaan. Tidak seperti teman2 saya yang bos2 perusahaan sendiri, atau manajer tinggi (C-level) di perusahaan2 publik di Indonesia. Jadi kalau saya pulang ke Surabaya terkadang ada perasaan minder.

    BalasHapus
  5. Minggu lalu ada Tionghoa miskin meninggal sebagai gelandangan di Surabaya. Sempat hilang. Warganet heran banget kok ada orang Tionghoa bisa semiskin itu. Keleleran sampai meninggal.

    BalasHapus
  6. Wong pekok bicara panjang lebar, ngalor-ngidul. Ditanyai tentang sumur resapan, kok jawaban nya tentang rakyat miskin makan nasi aking dan tidak punya jamban jongkok.
    Ditanyai tentang Formula-E, kok jawabnya panjang lebar tentang petani bambu bikin bubu dan tukang batu bikin tugu-sepeda dan -tugu-sepatu. Nama Krankenhaus diganti jadi Gesundenhaus.
    Kok jadi teringat waktu isun harus ikut ujian. Dulu kami diuji di Auditorium, dipenuhi oleh pendengar, penonton sebagai auditor. Kalau si professor-penguji memperlakukan seorang kandidat secara tidak fair, tidak adil, maka para auditor bisa protes dengan membuat gaduh mengetuk-ngetuk meja didepannya, sampai si penguji nyerah.
    Sebaliknya kalau si kandidat tidak bisa menjawab pertanyaan yang kita anggap sepele, maka auditor diam, berpikir dalam hati, kok soal sedemikian gampang saja si-kandidat tidak bisa jawab. Wah kalau begitu, gua minggu depan daftar untuk ikut ujian.
    Biasalah, nanti kalau diri-sendiri sudah duduk didepan, berhadapan langsung dengan professor-penguji, barulah kita sendiri kelihatan bodohnya. Seperti penonton sepak-bola selalu merasa lebih lihay, nyerocos keminter, daripada Maradona.
    Kalau seorang Student Tionghoa-Indonesia ujian, ditanyai Soal-A, maka dia akan langsung menjawab tentang A, sampai si-Prof. harus bilang cukup, cukup. Pertanyaan berikutnya:.
    Kalau si-Indonesier tidak bisa jawab, maka dia akan diam membisu, sampai diusir oleh si-Prof. atau dia akan bilang ke Prof., maaf Tuan, usirlah saya ! Karena kadang kala si-Prof. merasa kasihan kepada
    si Indonesier dan bilang; Saya tahu anda sudah belajar banyak, mungkin karena nervus, anda jadi lupa. Pikir pelan2, kami masih punya banyak waktu ! Situasi begini bagi kami orang Indonesia adalah siksaan batin. Tidak bisa,ya tidak bisa, Titik ! Usirlah saya !
    Kalau kandidatnya Student-Arab, ditanya Soal A, dia jawabnya ngalor-ngidul tentang persoalan-S. Setelah bersabar mendengar selama dua menit, si-Prof. memotong ocehan itu : Salah !
    Reaksi orang gurun; Tunggu Professor, saya barusan mau bicara tentang Soal-A, kok Tuan potong !
    Si-Prof. : Sudah terlambat Kollega, pasien mu sudah terlanjur mathek !
    Begitu diluar Auditorium, Student-Arab ngomel2: Professor jancuk, dasar NAZI, tidak suka Arab, Antisemit, Islamophobia !
    Dasar Kadrun, tidak pernah bisa atau mau introspeksi kesalahan sendiri, selalu Jokowi yang salah !
    Kelihatan bedanya karakter wong cino karo wong seberang sono.

    BalasHapus