Kamis, 01 Desember 2022

Bayar Misa, Mengenang Dua Martir di Aceh Tempo Doeloe

Kamis pagi ini aku nggowes ke Gereja Roh Kudus, Purimas, Rungkut, Surabaya. Misa harian dimulai pukul 06.00. Biasanya dulu, sebelum covid, 05.30. Kurang pagi menurutku. Tapi pihak paroki tentu punya pertimbangan sendiri.

Go pate misa!
Aku bayar misa.

Bayar misa karena aku tidak ikut misa hari Minggu Adventus 1. Misa online pun tidak ikut. Padahal tidak sampai 40 menit. Padahal nonton sepak bola Piala Dunia dua jam masih disempatkan sampai dini hari.

Karena itu, orang di kampungku dulu, generasi bapa mamaku, biasa bilang pate misa. Membayar misa dengan ikut misa harian, sembahyang rosario, atau ibadat devosi ke Gua Maria, bakti sosial dsb.

Misa pagi ini dipimpin Pater Yosef Jaga Dawan SVD. Pastor asal Larantuka, Flores Timur. Ia didampingi seorang diakon asal Timor. Pater pakai kasula warna merah. Pasti peringatan santo/santa atau martir.

Pater Yosef Dawan memberi pengantar tentang peringatan Beato Dionisius dan Redemptus. Keduanya jadi martir di wilayah Kerajaan Aceh pada tahun 1600-an.

Pater Dionisius dan Bruder Redemptus dibunuh di Aceh atas titah Raja Sultan Iskandar Thani. Majalah Hidup menulis:

"Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk menyebarkan agama Katolik diwilayah Aceh. Karena itu, semua anggota misi ini ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa agar menyangkal imannya.

 Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan imannya untuk membeli kebebasan mereka."

Aku sudah sering dengar nama Dionisius dan Redemptus. Tapi cerita tentang kemartiran kedua misionaris itu di tanah Aceh jarang terdengar. Pater Yosef yang menyegarkan kembali kisah martiria yang luar biasa itu.

Keduanya tidak gentar mewartakan sabda Allah hingga ke ujung dunia. Tidak takut mati demi Sang Kristus.

Renungan singkat yang disampaikan diakon asal Timor itu pun kembali menyinggung soal Beato Dionisius dan Redemptus. Ia kaitkan dengan bacaan Injil tentang dua macam dasar.

Matius 7 : 24
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu."

Misa harian di Rungkut ini tidak lama. Hanya 40 menit saja. Meski singkat, saya bisa salaman dengan Pater Yosef Larantuka dan Suster Imelda dari Kefamenanu, NTT. Bisa basa-basi beberapa kalimat khas Flobamora alias NTT. 

3 komentar:

  1. Era itu jaman perang antara Protestan dan Katolik. Kurang dari 100 tahun sejak Martin Luther memaku 95 thesisnya di pintu gereja di Wittenberg, Jerman; di Inggris, di Perancis, di seluruh Eropa Barat, elit kekuasaan saling berlomba, siapa yang lebih kejam terhadap satu sama lain.

    Di tahun 1572, massa Katolik di Perancis mengamuk, membunuhi pengikut Calvin yang Protestan pada Hari Santo Bartolomeus. Mereka dibakar oleh elit kekuasaan yang Katolik, yang ingin mengkonsolidasi kekuasaan dari ancaman kaum Huguenot yang Calvinist, yang mulai menginfiltrasi lingkaran istana.

    Di tahun 1587, di Tanah Britania, Mary Queen of Scots (yang Katolik) bersekongkol dengan Kerajaan Spanyol untuk mengkudeta saudarinya yang Protestan / Anglikan, Elizabeth I. Persekongkolan itu terendus, dan Mary ditangkap dan dipenggal oleh anakbuah Elizabeth.

    Agama apapun, jika dikawinkan dengan kekuasaan akan berakibat kepada penindasan, peperangan, dan penderitaan yang berdarah-darah. Karena itu, sekulerisme atau pemisahan antara agama dan kekuasaan itu penting sekali. Indonesia mengimplementasikan sekulerisme separuh-paruh saja, karena ingin "menghormati" umat Muslim yang mayoritas di Indonesia. Ini masih lebih baik daripada menjadi negara agama atau teokrasi seperti di Iran atau Arab Saudi.

    BalasHapus
  2. Iya betul sekali konflik hebat Katolik vs Protestan terbawa sampai ke negeri² jajahan. Belanda yg ngomporin penguasa² lokal untuk menghabisi misionaris Katolik. Gereja² Katolik yg dibangun Portugis juga dihancurkan Londo. Penduduk lokal yg sudah Katolik pun dikembalikan ke agama semula.

    Khusus di Pulau Flores dan sekitarnya ada perjanjian khusus antara Portugis dan Belanda sehingga gereja dan warga Katolik tidak dihabisin. Portugis aja yang diusir.

    Bangunan gereja katolik eks Portugis juga dihancurkan tapi dibangun ulang oleh misionaris Belanda dan Jerman yg SVD. Jadi, peninggalan Portugis berupa fisik bangunan boleh dikata tidak ada di Flores.

    BalasHapus