Rabu, 21 Desember 2022

Republika dan Disway tidak cetak lagi

Sudah lama Ayas tak menemukan Disway di beberapa lapak koran di Surabaya. Padahal agen media cetak itu punya koleksi paling lengkap.

Ayas lalu kontak AN yang biasa edarkan koran-koran di Surabaya. Ayas pesan Disway edisi minggu lalu.

"Sudah gak cetak, Cak! Disway sekarang cuma online aja. Edisi cetaknya gak ada lagi sejak Desember 2022," kata orang Candi Sidoarjo itu.

Oh, begitu! 

Ayas ketinggalan informasi. Satu lagi media cetak pindah ke online. Digitalisasi. Edisi cetak rupanya tidak ramah pasar. Orang sekarang bisa mendapat informasi seketika di layar HP.

"Versi online juga bagus, Cak! Banyak yang langganan," kata AN.

Ayas lalu membuka laman Disway. Ada keterangan begini:

"Harian Disway adalah media yang didirikan oleh Dahlan Iskan untuk memperjuangkan jurnalisme di Indonesia. Bermulai dari kegelisahan Dahlan Iskan melihat kualitas media di Indonesia akhir-akhir ini. 

Mulai terbit pada 4 Juli 2020 tepat saat pandemi Covid-19. Sehingga, Harian Disway didesain untuk beradaptasi dengan situasi Covid-19.  Saat terbit perdana, Harian Disway versi cetak beroplah 25 ribu eksemplar di wilayah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Terdiri dari halaman utama, olahraga, dan lifetsyle."

Artinya, Disway tak berumur panjang. Hanya 2 tahun 4 bulan. Padahal harian yang bukan koran ini konon ingin menunjukkan diri sebagai media "kasta atas". Dengan gaya tulisan naratif, kalimat-kalimat pendek, enak dibaca, menggelitik.

Selain Disway, koran Republika di Jakarta juga menyatakan akan berhenti cetak pada 31 Desember 2022. Mulai 1 Januari 2023 Republika hijrah sepenuhnya ke platform digital.

Direktur Republika Arys Hilman menulis:

"Inilah saatnya bagi kami untuk mengambil langkah kanan berikutnya. Mulai 1 Januari 2023, kami akan sepenuhnya berjalan dalam wahana digital. Surat kabar cetak akan kami terbitkan hingga edisi Sabtu, 31 Desember 2022."

Berbeda dengan Disway koran baru di masa pandemi, Republika koran besar dan berpengaruh pada 1990-an. Punya kaitan erat dengan ICMI dan BJ Habibie selaku ketua ICMI saat itu. Republika tampil sebagai koran dengan pangsa pasar umat Islam terdidik di perkotaan.

Dalam waktu singkat Republika jadi koran besar dan berpengaruh. Desain, tata letak, sudut berita, kolom-kolom, liputan khusus sangat menarik. Republika pun jadi bacaan wajib para aktivis mahasiswa macam HMI dan PMII saat itu.

Hingga datangnya era disrupsi. Media-media cetak bertumbangan. Suara Pembaruan, surat kabar besar & berpengaruh, lebih dulu gulung tikar. Tabloid Bola yang pernah sangat besar oplahnya pun sudah lama pamit.

Alhamdulillah, masih banyak koran cetak yang terbit di berbagai kota. "Bukan sekadar bertahan tapi masih bagi-bagi bonus dan ada kenaikan gaji  karyawan," kata seorang pimpinan koran cetak. 

4 komentar:

  1. Tren di Amerika, koran2 lokal habis. Koran2 cetak lokal yg bertahan ialah mereka yg hanya mengandalkan iklan tetapi tanpa pelanggan. Koran2 disebar ke segala penjuru kota di kafe2.

    Koran2 nasional hanya yg besar yg bertahan dan mereka punya paywall: New York Times, Wall Street Journal, Washington Post. Kemudian NYT merambah ke area2 digital yg lain: Resep makanan, Rekomendasi produk rumah tangga, Analisa olahraga, Teka teki, semuanya rubrik yg tadinya gratis sbg bagian dari koran cetak, sekarang semuanya harus berbayar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia atas boeng punya keterangan tentang kondisi koran di US di era disrupsi. Memang begitulah yg namanya perubahan teknologi, pola bisnis, akses informasi dsb.

      Hapus
  2. Di sini koran² lokal itu yg justru bisa bertahan meski oplahnya tidak bisa dahshat macam koran² nasional tempo doeloe. Koran nasional malah surut, makin tipisss.

    Koran² lokal itu justru jadi mitra pemda untuk berbagai kegiatan. Kalau bikin acara di Tuban tentu lebih bagus gandeng Radar Tuban ketimbang Kompas atau Republika di Jakarta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Pak. Kalau di Amrik, yg lokal2 itu cukup dgn selebaran dan sosmed dan website saja Bung

      Hapus