Pemilihan umum atau pilihan raya umum (PRU) di Malaysia sangat menarik. Sabtu 19 November 2022, rakyat Malaysia yang berusia 18 tahun ke atas ramai-ramai turun mengundi anggota parlemen.
Pemilu di Malaysia sangat berbeda dengan di Indonesia. Malaysia sistem parlementer. Distrik murni. Caleg yang menanglah yang mewakili daerah pemilihan (dapil).
Sebanyak 945 calon bersaing untuk mengisi 222 kursi parlemen. Gabungan atau koalisi yang menguasai 112 kursi berhak memerintah. Jadi perdana menteri (PM). Kalau tak ada gabungan yang dapat 112 kursi, maka harus negosiasi dengan partai lain agar bisa "menubuhkan kerajaan" alias membentuk pemerintahan.
Saya lumayan hafal sistem politik di Malaysia sejak Tun Mahathir Mohammad, 97 tahun, terpilih sebagai perdana menteri tertua di dunia pada 2018. Saat itu Dr Mahathir jadi pimpinan koalisi Pakatan Harapan (PH).
Mahathir dan PH ambruk. Diganti Muhyiddin sebagai PM setelah keluar dari PH. Muhyiddin pun tak lama menjabat PM karena koalisinya tumbang setelah UMNO menarik dukungan. Otomatis tidak dapat angka 112 kursi parlemen.
Muhyidin digantikan Ismail Sabri dari UMNO sebagai perdana menteri. Itu pun tak lama juga. PM Ismail bubarkan parlemen pada 10 Oktober 2022 sehingga harus ada pemilu dipercepat. Kalau normal seharusnya PRU 15 baru diadakan tahun depan.
Inilah hebatnya Malaysia. Setelah parlemen bubar, maka harus ada pemilu paling lambat 60 hari. Tapi KPU di sana memutuskan pemilu atau pilihan raya umum diadakan sebulan lebih sedikit setelah parlemen vakum.
Bagaimana persiapan logistik, kertas suara, daftar pemilih tetap dsb?
Malaysia sangat canggih. KTP elektronik itu sudah sah sebagai kartu pemilih. Siapa pun yang sudah berusia 18 berhak mengundi (memilih) caleg di kawasan tempat tinggalnya. Tidak bisa di kawasan lain.
Orang Sabah yang tinggal di Kuala Lumpur harus pulang kampung untuk nyontreng. Karena itu, orang Malaysia yang tinggal di luar negeri ramai-ramai balik kampung untuk PRU 15. Khususnya warga Tionghoa yang hampir semuanya pendukung DAP, partai aliran progresif, modern, dan agak sekuler. Tionghoa sangat kuat di Malaysia karena populasinya banyak.
Saya tidak bisa bayangkan Indonesia mampu mengadakan pemilu secepat itu. Persiapan hanya satu bulan. Saat ini KPU di Indonesia sudah sibuk ngurus pemilu meski baru diadakan tahun 2024. Artinya, Indonesia butuh persiapan dua tahun. KTP di Indonesia pun tidak bisa digunakan sebagai syarat sebagai calon pemilih.
Lantas, siapa yang bakal jadi PM Malaysia?
Sulit ditebak. PH tidak sekuat tahun 2018. Barisan Nasional (BN) yang didominasi UMNO pun tak lagi solid. Apalagi pimpinannya, mantan PM Najib Razak, masuk penjara gara-gara korupsi. Koalisi Perikatan Nasional (PN) masih menyuarakan sentimen anti-Tionghoa, kontra DAP, cenderung menyudutkan bukan Islam dan bukan Melayu.
Tun Mahathir bikin koalisi Gerakan Tanah Air (GTA) yang dianggap pupuk bawang. Apalagi usia Tun M sudah 98 tahun. Tidak lagi garang seperti tahun 80-an dan 90-an.
"Nampaknya tiada gabungan yang akan menang cukup kerusi untuk bentuk Kerajaan," tulis Mahathir yang pernah jadi PM Malaysia selama 22 tahun.
Apakah Anwar Ibrahim bakal jadi PM Malaysia?
Tergantung hasil Pakatan Harapan besok. Kalau tidak mampu meraih 112 kursi, ya wassalam. Mahathir pun wassalam. Ismail Sabri dari Barisan Nasional pun belum tentu kembali ke Putrajaya.
Muhyiddin Yasin dari PN? Belum pasti juga. Dan.. kabinet di Malaysia bakal jatuh bangun lagi seperti era parlementer di Indonesia tahun 50-an.
Siapa pun yang akan jadi PM jebule sami mawon, de facto yang menentukan alurnya pemerintahan adalah Mbah-nya Nekolim yang dulu bercokol di London, dan sekarang di Washington, D.C.
BalasHapusBerani membantah kehendak Mbah, engkau akan di-soekarno-kan.
Contohnya sudah terlalu banyak; Soekarno, Shah Pahlevi, Saddam Hussein, Gaddafi, Allende, Bishop di Grenada, dll.
Sebab itu Tiongkok tiarap selama hampir 200 tahun, takut sama Mbah. Mujurnya Zhongguo sekarang punya engkoh Xi yang berani seperti Soekarno, Inggris dia linggis, Amerika dia seterika !
Nekolim bangsa liar, bo-ceng-li, apa benar atau apa salah, apa yang patut atau ora ilok, mereka yang menentukan sesuka udel-nya, dengan Jargon-jargon democracy, freedom, human rights, ala nekolim.
Tidak bisa berargumentasi pakai ceng-li dengan nekolim, mereka hanya mau bicara pakai Bibel, Auge um Auge, Zahn um Zahn, Exodus 22-25.
Engkoh Tsi sempat kunjungin Bali bersama engkoh² pimpinan negara² G20 yang hebat² itu. Kita orang ikut seneng Bung Jokowi dapat panggung istimewa bersama Biden, Xi, Justin, PM Inggris berdarah
HapusHindustan dsb.