Minggu, 20 November 2022

Tak ada lagi sate kelinci di Jolotundo Trawas

Sudah lama tak ada sate kelinci di kawasan Jolotundo, Trawas. Tepatnya sejak pandemi covid melanda tanah air. Virus corona juga bikin mati kelinci? Tidak juga.

"Tapi serangan penyakit kelinci datangnya bersamaan dengan covid," kata Surani kepada Ayas. 

Ayas dulu memang sering mampir di warung tengah hutan itu. Di Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas. Surani membuka warung dengan menu andalan kelinci. Sate kelinci, bakso kelinci, rica-rica kelinci.. serba kelinci lah.

Pak Rani kerja lama jadi koki di salah satu hotel terkenal di Tretes. Hotel Surya. Karena itu, ia paham betul cara mengolah daging kelinci jadi sate yang enak. Kuncinya di jenis kelinci, kemudian bumbu-bumbu.

"Silakan Anda bandingkan sate kelinci punyaku dengan di Tretes atau tempat lain," kata pria yang tidak tamat SMA itu.

Surani bilang kelinci yang bagus untuk sate atau kuliner itu jenis NZ: New Zealand. Besar badannya, dagingnya empuk, enaaak. Beda dengan kelinci-kelinci lokal yang makan rumput. "NZ itu makan pelet. Saya sudah paham banget bahan-bahan untuk pelet makanannya kelinci NZ."

Surani tak hanya jago masak kelinci tapi juga beternak kelinci. Awalnya sedikit, lama-lama jadi banyak. Jenis NZ. Dialah yang paling banyak memasok kelinci untuk disate di Tretes, Trawas, dan beberapa tempat lain.

Malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba datang serangan penyakit misterius itu. Kelinci-kelinci peliharaannya mati semua. Kecuali kelinci lokal yang tidak laku untuk sate atau rica-rica. "Kerugian jangan ditanya lagi. Wuakeeeh," katanya.

Itulah sebabnya tak ada lagi sate kelinci, bakso kelinci, rica kelinci di warung lesehan yang disebut Winnova. Banner di pinggir jalan itu pun sudah diturunkan. Sekarang hanya ada sate ayam.

Ayas duduk mendengar Surani bercerita tentang suka duka angon kelinci di Trawas. Labanya luar biasa karena permintaan sangat tinggi. Apalagi ada embel-embel daging kelinci bisa kurangi kolesterol jahat dsb. "Tapi begitu kena penyakit ya habis," kata lelaki yang senang nonton wayang kulit di YouTube itu.

Ada rencana beternak kelinci dan jualan sate kelinci lagi? Surani menggeleng. Sebab saat ini belum aman dari virus aneh itu. "Kalau kelinci lokalan sih tahan penyakit. Tapi dagingnya alot dan kurang enak," katanya.

Surani sepertinya kapok memelihara kelinci NZ dalam jumlah besar seperti dulu. Namun ia punya rencana beternak kelinci lokal dengan pakan khusus yang sudah dimodifikasi. Agar rasa satenya lebih enak dan empuk.

Mudah-mudahan sate kelinci khas Trawas ini bisa muncul lagi. Orang Surabaya kayaknya tidak peduli kelinci NZ, Australia, Jerman, Belanda, Rusia, Jawa, dsb. Pokoke sate kelinci aja, titik! 

2 komentar:

  1. Kang Surani, Kang Surani, Rika wis dikibuli karo wong barat.
    Kelinci diciptakan oleh Allah memang harus mangan suket atau tumbuh-tumbuhan, bukan makan pelet, sebab jamane Moses durung ono pelet, iku bikinane wong barat.
    Daging kelinci NZ yang anda bilang enak empuk itu, karena dipakani pelet, adalah dagingnya binatang yang sakit.
    Orang bule sendiri tidak suka makan daging yang pucat empuk itu, daging macam itu disebut " Daging-PSE ".
    PSE adalah akronim :
    P = pale, yang artinya pucat, S = soft, yang artinya empuk, E = exudative, yang artinya jemek mengandung banyak air.
    Kalau mau daging jadi empuk, coba direndam dengan sedikit air plus irisan pepaya muda atau godong kates.
    Kelinci NZ itu secara ilmiah disebut invasive alien species, sama seperti isun sendiri, haikal hassan, anies baswedan. Isun dan mereka harus dikembalikan ke habitat aslinya, ke Tiongkok dan ke Yaman, sebab katanya Nekolim : Invasive alien species threat to local biodiversity. Ergo hanya Nekolim yang boleh bercokol dimana mereka suka. Tamu jadi majikan, kadrun edan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia atas Siansen punya penjelasan soal NZ. Peternak² memang terlalu memuji kelinci bule NZ yang empuk dan enak.
      Spesies² invasif ternyata bahaya dan gampang terserang penyakit.

      Hapus