Orkes-orkes koplo dengan biduanita kampung manggung lagi. Ngamen di pinggir jalan. Mulai Krian, Balongbendo, Mojosari, Trawas dan sekitarnya.
Empat pemusik - kibod, bas, gitar, kendang - sudah lebih dari cukup. Ditemani dua biduanita kampung. Ada yang rada nom, STW (setengah tuwek), semok, gendut.
Makin bening kulit penyanyi sekarang. Tak kalah dengan di televisi atau YouTube. Teknologi dan obat-obatan untuk perawatan kulit sudah lama masuk ke kampung-kampung. "Suara nomor dua. Sing penting ayu, bodinya bagus," kata Cak T juragan orkes di Wonoayu dekat Krian.
Akhir pekan ini saya nikmati live music kelas kampung di kawasan Mojosari. Orkes asal Krian. Dua penyanyi wanita juga dari Krian. Wajah standar. Agak seksi khas artis koplo.
Lagu Bojo Loro (bukan Lara) rupanya digemari penonton paman-paman dan mbah-mbah. Lagu ini aslinya Mandarin. Kalau tak salah dari film Pendekar Ulat Sutra. Tian Can Bian alias Thien Chan Pien.
<< Abang biru lampune disko
Awak kuru dek, mikir bojo loro
Bojo sing enom njaluk disayang
Sing tuwo njur wegah ditinggal
Telung dino mulih rono
Telung dino bali neng kene
Sing sedino kanggo sopo
Sing sedino kanggo wong liyo >>
Entah kenapa setelah diadaptasi ke Indonesia, khususnya Jawa, jadi Bojo Loro. Syair agak slengekan. Jenaka. Pusing karena harus membagi kasih untuk dua istri. Apalagi bojo papat atawa bojo telu. Bojo paling banyak papat kata ahli syariat.
Cukup meriah ngamen musik kelas kampung ini. Meski belum seramai sebelum pandemi 2020. Penonton terhibur menikmati goyangan biduanita nan aduhai. Mbak-mbak biduanita juga senang dapat saweran dari om-om.
Di sini senang, di sana senang
Di mana-mana hatiku senang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar