Hasil pemilu di Malaysia sudah diketahui hari itu juga. Akhir pekan lalu. Tak ada koalisi atau gabungan partai yang dapat kursi mayoritas. Pakatan Harapan pemenang pemilu hanya dapat 81 kursi. Padahal syarat minimal untuk membentuk pemerintahan 112 kursi.
Anwar Ibrahim, pimpinan Pakatan Harapan, pun tidak bisa dilantik sebagai perdana menteri. Muhyiddin Yasin, pimpinan Perikatan Nasional, malah klaim dapat 115 kursi. Namun ditolak Yang Dipertuan Agong karena angka sebenarnya tidak sampai 115.
Perikatan Nasional dalam pilihan raya umum itu dapat 73 kursi. Tapi pecahan Barisan Nasional ini dapat dukungan dari partai-partai di Sabah dan Serawak.
Kunci pemecah kebuntuan politik di Malaysia sebenarnya di Barisan Nasional. Koalisi yang pernah berkuasa sejak merdeka sampai 2018 itu punya 30 kursi.
Mau diberikan ke mana dukungan Barisan Nasional? Ke Pakatan Harapan atau Barisan Nasional? Ini yang tidak jelas. Zaid Hamidi pimpinan BN condong ke Anwar Ibrahim sebagai perdana menteri. Sementara sebagian elite BN lebih suka Muhyiddin karena dianggap lebih Melayu, lebih muslim, tidak dekat DAP yang dominan Tionghoa.
Anwar Ibrahim memang sekutu utama Partai DAP yang didominasi Tionghoa modern kosmopolitan. Tanpa DAP yang solid, Pakatan Harapan tak akan menang dalam dua pemilu beruntun.
Nah, kedekatan Anwar dengan DAP dengan Tionghoa, India, dan bukan muslim itulah yang membuat sebagian politisi dan masyarakat Malaysia jadi antipati. Termasuk Muhyiddin Yasin, mantan PM yang sangat ngebet ingin kembali jadi PM.
Muhyiddin bahkan menolak usulan Raja Malaysia agar Pakatan Harapan bekerja sama dengan Perikatan Nasional untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan stabil. "No way!" kata Muhyiddin. "PN tidak akan pernah bekerja sama dengan PH."
Partai Islam Malaysia (PAS) anggota Perikatan Nasional sangat anti DAP dan Tionghoa. DAP dituduh sebagai partai komunis yang berbahaya. DAP punya agenda melakukan kristenisasi bersama elemen Yahudi, tuduh Muhyiddin saat kampanye.
Situasi politik di Malaysia ini mirip perpolitikan di Indonesia era demokrasi parlementer tahun 50-an. Sangat keras konflik ideologi, aliran, suku, ras, dan sebagainya. Kabinet jatuh bangun karena anggota parlemen tidak bisa bekerja sama dan membangun koalisi untuk pemerintahan yang berdedikasi pada rakyat.
Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Presiden Soekarno saat itu membubarkan parlemen yang kacau mirip pasar sapi itu. Bung Karno kemudian bikin dekrit kembali ke UUD 45. Demokrasi parlementer ala Malaysia ternyata bisa sangat berbahaya dan bikin konflik politik tak kunjung sudah.
Malaysia punya Raja atau Yang Dipertuan Agung. Sri Baginda tentu tidak tinggal diam melihat kerajaannya goyang gara-gara kisruh politik pasca pemilihan umum itu.
keren
BalasHapusMalaysia meniru sistem parlementer dari Inggris, bekas penjajahnya. Sedangkan Indonesia meniru sistem presidensial Amerika Serikat; bahkan ada dewan perutusan daerah (DPD) yg mirip Senat di Amerika, utk memberikan suara kpd daerah2 yg penduduknya kurang.
BalasHapusBetul bangeet Malaysia sangat British dalam segala hal. Mulai dari kuasa raja2 Melayu, parlementer, hingga adat bahasa hingga gelar2 bangsawan yg diberikan raja.
HapusMalaysia itu memang United Kingdom atawa gabungan 9 kerajaan + Sabah dan Serawak.
Belamdaa berjasa menghapus 200 atau 500 kerajaan di Nusantara sehingga Indonesia jadi republik. Padahal di Belanda sendiri ada raja dan ratu.
Indonesia malah jadi republik persis USA dengan gubernur2 di provinsi macam state di USA. Di Malaysia namanya Menteri Besar dengan kepala negara bagian adalah Raja alias Sultan.
Tak heran Malaysia sangat feodal. Orang bumiputra Melayu jadi warga kelas 1, sementara Tionghoa dan India kayak warga negara kelas 2 secara politik.
DAP meskipun menang pemilu tidak akan bisa jadi PM. Dafuk Sri Anwar yang boleh jadi PM meski kursinya PKR lebih sedikit karena Melayu dan Islam.
Lambertus, sedikit bertanya. Bukankah Belanda tidak menghapuskan kesultanan2, malah memelihara mereka utk dijadikan institusi boneka yang melegitimasi kekuasaan pemerintah kolonial? Bukankah yang benar2 menghapuskan kekuatan kesultanan2 tsb ialah Republik Indonesia? Hanya Yogyakarta yang diberi tempat di sistem politik Indonesia. Yang lain hanya tinggal sebagai institusi budaya.
HapusDan sejarah baru telah tertulis ... Anwar Ibrahim berjaya menajdi perdana menteri setelah 24 tahun perjuangan ... dan menghasilkan kabinet persatuan yang berhasil mempersatukan kubu pemerintah dan oposisi ... salut! Sebuah kedewasaan politik dari para pembesar negaranya yang sangat maju pola pikirnya dan rasanya susah ditandingi oleh Indonesia ... maju terus Malaysia.
HapusMalaysia lebih ruwet karena politik SARA. Indonesia jelek2 begini jauh lebih bagus ketimbang negara sebelah itu.
HapusKebetulan saya ikuti politik Malaysia agak intens selama 10 tahun lebih. DAP memang pun tak akan bisa jadi PM karena ada ketuanan Melayu + Islam.
Kuasa sultan2 dan raja2 Nusantara sudah tak ada sejak zaman Belanda. Cuma simbolis aja. British yg masih kasih kuasa (power) kepada raja2 Melayu sehingga kolonialisme di Malaysia sangat mulus + damai.
BalasHapusBelanda memang brengsek tapi jasanya besar untuk membubarkan kerajaan2 kecil yg amat banyak itu. Lalu jadi satu Hindia Belanda yg terpusat. NKRI hanya lanjutan eks Hindia Belanda aja.
Tinggal Sultan Jogja yg ada kuasa sebagai gubernur. Itu pun tidak seberkuasa raja2 di Malaysia.
Jawa nanny ttg Belanda mengingatkanku pada adegan di filem satire “The Life of Brian” oleh grup komedi Britania “Monty Python”. Sangat dianjurkan utk menonton filem ini.
BalasHapusDi adegan ini, para pejuang Israel bawah tanah sedang rapat utk melawan Kekaisaran Romawi, dan mereka bertanya sambil mengejek: “Apa sih yang sudah dilakukan oleh kekaisaran Romawi utk kita?”. Jawabannya ternyata, banyak, di luar perkiraan mereka, wkwkwkwk.
https://youtu.be/2ozEZxOsanY
^^ "Jawabanmu", bukan "Jawa nanny".
BalasHapus