Bangunan tua di pojok Jalan Karet Nomor 85 itu tampak kusam. Begitu juga Nomor 83. Bangunan kolonial itu dekat Sungai Kalimas, tepat di stren kali sebelah barat. Nyaris dempet Jembatan Merah.
Tempo doeloe zaman Hindia Belanda gedung apa?
Saya sering bertanya ke orang-orang lawas yang kerja di Kembang Jepun. Termasuk beberapa wartawan Jawa Pos era 80-an yang ngantor di Kembang Jepun 167-169. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Tapi tak ada yang tahu persis.
"Jelas bangunan penting lah," kata Cak Sur, karyawan Jawa Pos sejak 1982 sampai pensiun di musim pandemi covid.
"Kita gak punya catatan atau dokumen. Anda cari sendirilah."
Umi Bangkalan yang kerja di pojokan Jalan Karet pun tak oneng (tahu). Padahal umi ini kerja di kawasan Karet dan Kembang Jepun sejak awal 80-an hingga berpulang di musim covid. Anaknya, Taufik, lebih tak oneng lagi.
Saya beberapa kali mampir dan ngobrol dengan karyawan di Jalan Karet 85. Tak oneng juga. Mas Jowo ini hanya tahu bangunan itu punya sejarah penting. Kantor dagang atau notaris atau advokat tempo doeloe.
Sudah lama gedung di pojok Jalan Karet 85 ditempati Daiki & Co, kantor ekspedisi. Daiki pernah jaya tempo doeloe tahun 1950-an dengan laopan Liem Joe Tjie. Luar biasa dulu pengiriman barang-barang atau dokumen ke kota-kota di Nusantara.
Sekarang Daiki hanya melayani ekspedisi jarak pendek macam Surabaya-Malang. Sudah turun kelas jadi skala UKM dari perusahaan besar. Karena itu, gedungnya kurang terawat. Banyak debu di dalam kantor itu.
Apa ada rencana dijual?
"Waduh, bosnya gak mau karena semacam warisan sejak dulu kala," kata Mas Jowo. Meskipun bisnis ekspedisi lesu betul di era pandemi, Daiki tetap mencoba bertahan di gedung tua itu.
Sebelum menempati Karet 85, kantor Daiki & Co menempati gedung di Jalan Petjinan Kulon 102. Hanya beberapa langkah dari kantor sekarang. Gedung lama itu kemudian diambil alih perusahaan ekspedisi dan perkapalan terkenal Salam Pacific Indonesia Lines alias SPIL.
"Malah dulu Daiki ini satu kantor dengan SPIL," kata karyawan Daiki.
Bagaimana dengan gedung di sebelahnya, Karet 83?
Sekarang jadi semacam sekretariat perkumpulan lansia suku Hakka. Sesekali mereka adakan pertemuan atau kongkow-kongkow di situ.
Tak heran, gedung tua di Karet 83 Surabaya itu seperti rumah tinggal biasa. Ada jemuran terlihat di lantai 2. Penghuninya baba Tionghoa dan istrinya yang sudah tua.
Sayang, baba ini juga tidak banyak tahu riwayat gedung itu pada zaman Belanda. "Yang penting, kita orang tetep sehat," kata baba itu suatu ketika.
Syukurlah, Bintoro Hoepoedio sempat bagi informasi di grup bangunan tempo doeloe. Ia tampilkan foto lama dengan keterangan:
"Dulu, Bankgebouw Nuts Spaarbank Soerabaja, ca 1925. Kini, bangunan di Jl Karet - Jl Kembang Jepun, Surabaya, bagian kanan tinggal separuh, jadi jalan inspeksi."
Ouw.. ternyata itu bangunan jadi kantor bank di era Hindia Belanda.
Tahun 1950-an bangunan di Petjinan Kulon 83 (sekarang Jalan Karet 83) ditulis di buku telepon sebagai kantor Advocaat & Procurreur a.n. Tjoa Soe Tjen.
Taufik tak oneng. Abang becak juga tak oneng, ketika saya minta tolong diantarkan ke Toko Teng Giok Tjiang, Jalan Ondomohen, Surabaya. Sekalang banjak olang tak oneng.
BalasHapusCucu sendiri juga tak oneng, sebab engkong suka gonta ganti nama.
Waktu lahir diberi nama Djie Ban Hok, sesuai Akta Kelahiran dari Kantor Tjatatan Sipil Untuk Golongan Tionghoa.
Umur 6 tahun masuk sekolah diberi nama Xu Wan Fu, 徐万福.
Umur 9 tahun masuk sekolah baru, pakai nama Djie Ban Hok lagi.
Umur 17 tahun dianjurkan ganti nama lagi. Bingung tanya kepada orang pinter, Oom Baba yang ngerti bahasa hokkien, mandarin, jawa kasar dan krama inggil, bahasa melayu, bahasa londo, sebab si Oom lulusan sekolah HCS, Hollandsche Chineesche School.
Oleh si Baba diberi nama Djimerto Waras Hoesodo.
Bulan Maret 1968, mahasiswa Indonesia mengadakan pesta dansa, yang dikasih nama pesta semester baru. Anak2 Indonesia punya Band sendiri yang diberi nama The Coconuts. Walaupun mereka tidak bisa baca note balok, tetapi jagoan main gitarnya, cuma kadang2 teriak C, F, dll.
Seperti biasa, setiap ada pesta dansa, selalu kebanyakan cowok dan kekurangan cewek. Cewek2 bule (mahasiswi) yang cakep dan atraktif pada jadi rebutan anak2 Indonesia. Aku yang cukup lama sekolah bahasa melayu, selalu ingat pepatah melayu, Tak ada rotan akar pun jadi. Selalu nunggu, ngapain susah2 rebutan cewek.
Ketika The Coconuts menyanyikan lagu Unchained Melody, melihat mereka yang berdansa asyik rangkulan, maka aku tak tahan lagi nunggu, lalu menghampiri cewek yang tak cantik, tak laku, duduk termenung sendirian, mohon dengan sopan, for a dance.
Biasalah, sambil berlenso mesra, ngobrol, saling bertanya; Siapa nama mu ?
Nama-ku Djimerto Waras Hoesodo. Ceweknya geleng-geleng, bilang, nama mu aneh dan panjang sekali. Tak ada nama lain ?
Ada, Djie Ban-hok. Doi geleng-geleng lagi, dan bilang, bahwa dia kenal banyak anak2 Indonesia, namanya Eddy, Jimmy, Roy, Fredy, dll. Kamu tidak punya nama eropa, seperti mereka ?
Dasar wong lanang, lek kesmaran, utek e melorot nyang celono, langsung jawab, ada nama-ku, Tommy !
Katanya si Doi, nah ini baru nama, aku panggil kamu Thomas !
Jancuk, sejak itu semua teman2 bule-ku memanggil ku Thomas.
Bojo-ku, wedhok suroboyo, selalu cekikikan, sambil plerak-plerok, kalau dengar orang2 memanggil ku dengan nama Thomas.
Dasar wong suroboyo, yang terkenal usil, suka guyonan, nggopi.
Tahun 1990 aku beli rumah di Jakarta, pergi ke Kantor Notaris untuk bikin surat jual beli. Nama Bapak, tanya Ibu Notaris ? Dr. Djimerto Waras Hoesodo, kata ku. Ibu Notaris tersenyum sambil berkata dengan sabar; Tolong dibelakang nama-anda ditulis nama tionghoa nya didalam tanda kurung.
Loh, Bu, buat apa saya dulu harus ganti nama ! Maaf Pak, ini bukan maunya saya, tetapi aturan pemerintah ! ( Djie Ban Hok ).
Tahun 2000 saya beli rumah di Tiongkok, lalu pergi ke kantor polisi lalu lintas, mengurus Rebewes C-1 Tiongkok, untuk ijin mengemudi mobil sedan sampai 8 penumpang.
Nama xiansheng ? Lihatlah di Pasport saya ! Dr. Djimerto Waras Hoesodo. Pak polisi hanya bisa geleng-geleng kepala.
Lihatlah di layar Computer, kita cuma diberi space sebanyak 5 centimeter, bagaimana saya harus mengisi nama Anda yang sedemikian panjang ? Apakah lu tidak punya nama cina ?
Tentu saja gua punya nama cina, bahkan mungkin lebih duluan daripada lu. Nama gua 徐万福.
Pak polisi tersenyum puas. Gua punya Rebewes Tiongkok C-1.
Siapa sebenarnya nama-ku ? Cucu sendiri tak oneng.
Kamsia, kamsia.. Siansen punya riwayat soal nama yg banyaaak itu sangat sangat menarik. Djimerto nama salah satu jalan terkenal di depannya Balai Kota Surabaya.
BalasHapusAda Waras Hoesodo cocok sangat untuk dokter atawa rumah sakit.
Yah.. wajar tak oneng karena agak ribet.
Matur nuwun Dr Djimero alias Djie Ban Hok.
Itoe lagoe Unchained Melody ada bagoes betoel dengen lirik dan melodi jang sedep di telinga. Apalagi penjanji Barat poenja swara bergetar dan koewat sekali.
BalasHapusItoe band kelapa pasti djadi kesenengannja nona² manies tempo doeloe.
Nona manis dan nona uelek apa sih beda nya ?
HapusNona jeli dan nona juling apa sih beda nya ?
Menurut pandangan orang Jerman, di dalam kamar yang gelap semua kucing jadi abu-abu warna bulunya. Tak ada lagi kucing belang-telon atau kucing putih. Dan katanya encek Teng di Tiongkok; tak perduli apa warna bulunya kucing, yang penting dia bisa nangkap tikus.
Mangkanya dadi wong wedhok ojo sombong lan mekitik.
Sebelum orang Jerman dan encek Teng sadar tentang hal itu, orang arab sudah tahu duluan, mangkanya wanitanya dipaksa pakai burka.
Tak ada rotan akar pun jadi lah.
HapusTetep ada beda itoe nona manies dengen jang pait lah. Kaloe atjara dansa dansi itoe si manies djadi intjeran akan diadjak djoget bareng, sedangken jang satoenja sepi peminat lah.
HapusItoe adjaran Toean Teng soall tikoes ada benernja. Koetjing item atawa poetih atawa koening sama sadja asalken bisa tangkep tikoes. Ini hari banjak koetjing di kota takoet sama tikoes.