Senin, 18 Juli 2022

Waduh, harga pisang goreng naik 100%

Kopi, koran, pisang goreng.

Itu kebiasaan lama yang sulit hilang. Meski saat ini berita-berita, ulasan, artikel tersedia berjibun di internet, media sosial dsb. 

Baca koran tanpa ngopi bak sayur tanpa garam. Kurang terasa kenikmatan kopi rada pahit itu.

Pisang goreng pun nikmat sekali. Apalagi pisak kepok. Di Surabaya Raya pisang kepok mahal sehingga jarang digoreng untuk jajanan di warkop. Biasanya tersedia di hotel atau kafe kelas atas.

Pisang goreng di Jawa sebetulnya tidak seenak di Pulau Flores, Pulau Lembata, Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Alor dan pulau-pulau kecil lain di NTT. Sebab di Jawa ini minyak goreng buatan pabrik olahan sawit. Dus, lebih tepat disebut minyak sawit.

Di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, minyak goreng itu disebut HELAN TAPO alias minyak kelapa.  Helan = minyak, tapo = kelapa. Sawit bukan tapo (kelapa) sehingga tidak bisa disebut helan tapo.

Di Jawa Timur hampir tidak ada helan tapo alias minyak kelapa. Bahkan istilah "minyak kelapa" atau "lengo kelopo" pun tak pernah saya dengar. Yang ada cuma minyak goreng. Maksudnya ya minyak sawit.

Berita-berita di koran pagi ini biasa saja. Tidak ada yang menarik. Cuma kelanjutan atawa running news kasus polisi tembak polisi. Ada dua kapal terbakar di Kalimas Surabaya.

 Unair ternyata masih serius produksi vaksin Merah Putih untuk membasmi covid. "Beter telaat dan nooit toch," kata wong lawas yang seneng Hollands Spreiken. 

Pisang goreng telu + kopi piro? "Songo, Cak," kata pelayan warkop di kawasan Medokan Ayu dekat tambak-tambak dan hutan bakau.

Oh, ternyata harga pisang goreng naik 100%. Biasanya 2.000 karena bukan pisang kepok. Pisangnya juga tidak besar.

Bisa jadi harga gorengan naik gara-gara minyak goreng alias minyak sawit langka. Meski Presiden Jokowi pernah melarang ekspor sawit dan bahan mentah minyak sawit agar persediaan di dalam negeri melimpah. Asumsinya harga turun kalau stok banyaaaak.

Harga naik itu biasa. Tapi kenaikan yang sampai 100% mungkin cuma ada di Indonesia.

Itu juga karena sistem mata uang rupiah sudah lama bermasalah. Pisang goreng yang tadinya 1000 mestinya naik 1100, 1200, 1300. Harga baru 1500 pun kelewat mahal karena naik 50%. Yang normal itu kenaikan sekitar 10% lah.

Syukurlah, ongkos naik haji dan pigi wisata ziarah di Vatikan atawa Lourdes tidak ikut naik 100%. 

Jumat, 15 Juli 2022

Naik haji harus menunggu 100 tahun

Pagi ini lupa membawa HP saat nggowes di kawasan Juanda. Syukurlah, ada koran lawas di warkop. Judul berita utama: Antrean Haji Indonesia Hampir Seabad.

Wow.. hampir 100 tahun menunggu giliran naik haji. Artinya, daftar tahun 2022 baru dapat kesempatan naik haji tahun 2122. Kalau sekarang umur 50 tahun, ya baru bisa naik haji pada usia 150 tahun.

Semoga Tuhan kasih umur panjang. Yang pasti, tahun ini Arab Saudi membatasi usia jamaah paling tua 65 tahun. Maka anak atau cucu yang bakal menikmati ibadah haji 100 tahun lagi.

Berbahagialah saudara-saudari yang sudah naik haji. Khususnya beberapa temanku yang tahun ini naik haji. Mereka rata-rata mendaftar 10 tahun lalu. Dus, tidak perlu menunggu hingga 69 tahun untuk Jawa Timur.

Bagaimana solusi agar antrean haji tidak sampai 100 tahun? Tapi cukup 50 tahun? 

Kerajaan Arab Saudi tentu sudah punya hitung-hitungan kapasitas, akomodasi, dsb. Toh, ini bukan ilmu bikin roket atau kapal terbang. Pemerintah Indonesia juga tentu sudah lama punya antisipasi.

Di sisi lain, antusiasme orang Indonesia naik haji ini sangat positif. Artinya, kemakmuran rakyat sudah bagus sekali. Ongkos haji sekitar Rp 50 juta bukan lagi angka yang besar. Beda sekali dengan tahun 80-an atau 70-an. Waktu itu hanya orang-orang kaya saja yang mampu bayar ONH.

Dulu jamaah haji Indonesia tidak sampai 200 ribu orang. Bahkan belum tembus 100 ribu. Saat ini umat Islam sudah sangat maju, makmur, dan religius. Seandainya Saudi memberi kuota 10 juta orang untuk Indonesia bisa dipastikan langsung terisi dalam seminggu.

Selamat datang para haji dan hajah di tanah air!

Kamis, 14 Juli 2022

Ojek terlalu mahal, hidup sepeda motor!

Ketika motor atau mobil masuk bengkel baru terasa betapa mahalnya ongkos transportasi. Tarif pergi-pulang ke tempat kerja Rp 68 ribu. Pakai ojek motor. Ojek mobil sudah pasti lebih mahal.

Uang 68K ini sudah dapat bensin banyak. Bisa dipakai naik motor keliling kota, keluar kota, dsb. Betapa efisiennya sepeda motor. 

Terlepas dari sisi negatifnya, bikin macet, polusi, ugal-ugalan, sepeda motor adalah berkah bagi wong cilik. Kalau tidak ada motor ya karyawan di Surabaya bisa mati kelaparan. Sebab upah setara UMK 4 jutaan habis untuk bayar ojek online. Apalagi kalau penghasilan di bawah UMK.

Hidup sepeda motor πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ✅✅

Budaya minum tuak dan arak di NTT

Orang Jawa tidak punya budaya minum. Faktor agama sudah pasti. Tapi ada saja yang doyan minum arak, bir, dan minuman keras kelas berat. Ada saja lapak atau warung yang jual miras meski resminya dilarang.. dan diharamkan.

Saat Idul Adha lalu ada pesta miras di Bronggalan Sawah, Surabaya. Minum arak jawa alias cukrik. Arak dicampur suplemen dsb. Bukan arak asli hasil penyulingan tuak alias nira siwalan, kelapa.

Pesta miras dilakukan terang-terangan di lapangan kampung. Sambil menikmati daging kambing dan daging sapi yang lezat. 

Hasilnya, empat orang meninggal dunia. Satu orang masih kritis. Dua orang selamat. 

Peristiwa ini sepertinya dianggap biasa saja karena sudah sering terjadi. Tidak heboh di media sosial. Beda dengan kasus promosi minuman (keras)  di Holywings yang sangat heboh karena mengandung SARA.

Semua gerai Holywing sudah ditutup. Jadi pelajaran agar orang lebih sensitif terhadap suku, agama, ras, golongan (SARA). Khususnya agama Islam yang mayoritas. 

"Di NTT tidak ada unjuk rasa karena nama Maria," ujar sejumlah orang di beberapa grup khusus NTT. Bung Emanuel Dapa bahkan bikin kajian dengan artikel panjang soal itu.

Minum tuak memang sudah jadi budaya di NTT. Pagi iris tuak, nira semalam diturunkan. Petang panjat lagi pohon siwalan (bahasa Lamaholot: tuak), iris tangkai bunganya, tampung niranya. 

Tuak di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, ada yang manis sekali seperti legen di Jawa Timur. Ada juga yang agak pahit karena dicampur kulit pohon tertentu. Mirip jamu atawa obat tradisional. 

Minum tuak manis tak akan mabuk. Minum tuak yang dicampur RAHA agak keras tapi alkoholnya rendah. Wong fermentasinya hanya sekitar 10-12 jam. Kalau dibiarkan dua tiga hari jadi cuka.

Lain lagi dengan arak kampung. Tuak-tuak sisa itu ditampung lalu disuling. Proses destilasi cukup rumit. Perlu kayu bakar khusus yang keras. Jadilah arak. Kadar alkoholnya tinggi pasti.

Tuak boleh dikata tak ada harganya. Semua orang boleh minum gratis. Kecuali ada keluarga yang butuh banyak legen untuk masak dijadikan gula.

 Kalau arak harganya mahal karena prosesnya yang panjang dan ruwet. Maka tidak banyak orang kampung yang telaten masak arak. Satu desa tidak sampai lima orang pembuat arak. 

Petugas biasanya tutup mata karena budaya minum tuak dan arak ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Bahkan, jauh sebelum Majapahit. Ritual-ritual adat di Flores Timur + Lembata sejak dulu selalu pakai sesajen arak. Dewa-dewa yang tak lain nenek moyang kita ternyata senang arak.

Belakangan saja orang sering ganti arak dengan bir atau miras pabrikan. Tapi rupanya Dewa Lera Wulan (Matahari Bulan) kurang berkenan. Akibatnya, permintaan-permintaan orang kampung sering tidak dikabulkan.

Anak-anak muda ternyata masih senang arak bikinan orang kampung ketimbang bir atau miras pabrikan. Mereka sering urunan untuk beli arak. Minum bersama sambil ceramah panjang lebar tak karuan. Arak memang air kata-kata. Ia mampu membuat orang pendiam jadi tukang ceramah yang hebat.

Yang menarik, sejak dulu saya belum pernah dengar ada orang meninggal karena minum arak di wilayah kecamatanku. Bisa jadi karena tubuh  orang Lamaholot punya toleransi alkohol yang tinggi. Selain itu, arak asli kampoeng tidak dioplos kratingdaeng, suplemen, apalagi obat nyamuk.

Rabu, 13 Juli 2022

Jalan Teh, Kalimalang, Pecinan Kidul Agak Suram

Ada beberapa jalan di kawasan kota lama Surabaya yang kurang dikenal masyarakat. Padahal, jalan itu sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Selain jalan yang sangat pendek, hanya 100-an meter, jalan-jalan tua itu jarang dilalui masyarakat umum.

Saya pernah ngetes delapan orang yang bekerja di kawasan Kembang Jepun, Jalan Karet, Nyamplungan, Kalimas Timur, hingga Jalan Bibis. Di mana Jalan Kalimalang?

Hasilnya, cuma ada dua orang yang tahu. Taufik, anak Madura penjual kopi di pojokan Jalan Karet, sangat paham Kalimalang. "Ini kan Jalan Kalimalang. Di tempat saya berdiri ini," kata Taufik yang punya warkop giras plus juru parkir di samping kantor SPIL.

"Aku gak pernah dengar Jalan Kalalang," kata Anin yang kerja di Kembang Jepun.

Karyawati ini memang tidak pernah dengar dan baca plang Jalan Kalimalang. Sebab memang tidak ada plang seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Kalimati, Jalan Dukuh, Nyamplungan dsb.

Yang pasti, saban hari Anin masuk kantornya lewat Jalan Kalimalang. Banyak sekali orang Surabaya yang tidak akrab dengan Kalimalang. Hanya orang lawas di Surabaya Utara yang tak asing dengan pabrik es Kalimalang. Bangunan bekas pabrik es itu kini mangkrak.

Tidak jauh dari Jalan Kalimalang, ada Jalan Teh. Pada zaman Hindia Belanda disebut Theestraat. Letaknya persis pertigaan Jalan Gula di sisi utara dan Jalan Cokelat (Topekong) di sisi selatan. Panjangnya juga hampir sama dengan Kalimalang.

Jalan Karet (d/h Petjinan Kulon) sudah pasti sangat terkenal. Semua pengendara jelas lewat di situ kalau mau ke pecinan Kembang Jepun, Jembatan Merah, Kalimati, Pabean, Nyamplungan, Ampel, dan sebagainya.

Jalan Gula juga terkenal karena jadi spot foto anak-anak milenial yang senang uji nyali, bangunan tempo doeloe mangkrak, urban mistery, dan sejenisnya. Anehnya, tidak ada yang berbelok sejenak ke Jalan Teh.

Yang jelas, hampir tidak ada pengendara motor melintas di Jalan Teh. Apalagi pengguna mobil pribadi. Yang ada cuma truk-truk ekspedisi. Bongkar muat sangat ramai di Jalan Teh.

"Dulu lebih ramai lagi. Sekarang sudah sepi karena banyak gedung yang tutup," kata Fatma, orang Bangkalan yang buka warung di Jalan Teh.

Selain Fatma, ada lagi tiga warung kopi di Theestraat, nama lawas Jalan Teh. Semuanya orang Madas: Madura Asli. Ada yang tidur di bangunan semipermanen yang nempel di gedung tua. Sudah minta izin pemilik bangunan? Saya belum tanyakan.

Tidak ada informasi atau cerita di laman internet tentang Jalan Teh. Beda dengan Jalan Karet, Cokelat, Gula, Bongkaran, Bibis, Slompretan, Kembang Jepun, Pabean, atau Nyamplungan. 

Saya hanya menemukan sepotong informasi dari koran Soeara Publik edisi 11 Desember 1925. Berita pendek tentang kepindahan kantor Singer Sewing Engine Coy dari Theestraat ke Aloon-Aloon Tjontong. Direktur mesin jahit itu bahkan datang dari New York ke Surabaya untuk melihat kantor yang baru.

Sampai sekarang pun masih ada beberapa bangunan yang dipakai untuk usaha tekstil. Bangunan di pojok, besar sekali, milik tuan pengusaha berdarah India.

Kantor Yayasan Sosial Gotong Royong di Jalan Teh Nomor 5 sudah mangkrak 20-an tahun. Fatma bilang kantor itu sudah pindah ke kawasan lain. "Dulu ada ambulans dan kantornya selalu ramai, acara makan-makan tiap minggu," kata Fatma van Madoera.

Kalau bangunan tua di dalam warung Sampean itu kantor apa?

"Itu semacam kelentengnya orang Tionghoa. Sudah lama tutup juga. Cuma buka sekali-sekali saja kalau ada keluarga ahli waris yang datang," kata Fatma. 

Oh, ternyata Rumah Sembahyang Keluarga Tjoa di Jalan Karet itu sangat luas. Pagar belakang, sekalian jalan masuk dari pintu belakang, tembus ke Jalan Teh. Dan, rupanya Fatma van Madoera ikut jaga itu rumah sembahyang. 

Sabtu, 09 Juli 2022

Ibadah haji di era media sosial

Beberapa kawan naik haji tahun ini. Daftarnya sejak lama. Antre 10 tahun lebih. Sekarang antrean bisa puluhan tahun saking antusiasnya orang untuk menunaikan rukun kelima. Plus makin mampu membayar ongkos sekitar 50 ribu, eh juta rupiah.

Nah, teman-teman lama yang berhaji ini pun pamit keluar grup WA sebulan sebelum terbang ke Saudi. Alasannya biar lebih fokus ibadah. Media sosial, khususnya WAG, sering mengganggu konsentrasi untuk mendekatkan diri pada Gusti Allah.

Yah.. sebetulnya banyak orang yang ingin left grup WA tapi sungkan. Tidak enak dengan kanca-kanca lawas. Persiapan naik haji rupanya jadi alasan yang pas. Kanca-kanca di grup bisa memahami.

Sebaliknya, saya perhatikan, banyak juga yang tetap online meskipun sudah berada di tanah suci. Selalu bagi informasi, foto-foto selfie, dan sebagainya dari Makkah dan situs lain di kota suci itu.

Gubernur Jawa Timur Khofifah, saya perhatikan, cukup aktif di media sosial. Justru setelah berada di tanah suci. Ia bagi foto kucing lucu di dalam masjid. Kemudian beli topi khusus penahan radiasi matahari saat ziarah. 

Banyak sekali komentar yang positif. Mendoakan Bu Gub agar menjadi hajah mabrur. Sekaligus berdoa agar umat muslim yang lain pun diberi kemampuan dan peluang bisa naik haji suatu saat.

Selama menjalankan ibadah haji, Khofifah dapat izin cuti khusus dari pemerintah pusat. Wagub Emil ditunjuk sebagai pelaksana tugas atawa Plt. Dengan begitu, Bu Gubernur bisa fokus ibadah, ibadah, ibadah. Toh, sudah ada wagub yang untuk sementara dapat tugas sebagai gubernur.

Tapi, rupanya, era media sosial ini memberi peluang kepada siapa saja untuk bekerja di mana saja. Selama berada di tanah suci pun Bu Gub masih tetap bisa memantau perkembangan di Jawa Timur.

Tadinya saya membayangkan jamaah haji Indonesia yang jumlah 200 ribuan itu (kalau normal) bersikap macam saya punya kanca lawas. Puasa medsos, keluar grup WA, dan hidup offline seperti sebelum ada media sosial. Ternyata tidak mudah bagi manusia modern untuk melepaskan diri dari belitan smartphone dan media sosial.

Selamat Idul Adha!

Minggu, 03 Juli 2022

Kita orang perloe doekoen jang betoel

 << Maka djadi, sedeng Toehan doedoek makan dalem roemahnja, lihat, ada banjak orang pentjoke dan orang dosa dateng toeroet doedoek bersama-sama Jesoes dan moeridnja.

Maka kapan itoe dilihat orang parisi, dia orang berkata sama moeridnja: Kenapa goeroemoe makan bersama-sama orang pentjoke dan orang berdosa?

Maka kapan dengar itoe, Jesoes berkata sama dia: Orang jang baik badan tidak perloe doekoen, melainken orang jang sakit." >>


Orang jang baek badan tidak perloe pigi ke doekoen. Orang jang sakit jang perloe pigi doekoen agar ia poenja badan boleh sehat lagi.

Di djaman covid ini kita orang kebanjakan tidak baek badan. Ada jang sakit ringan, sakit sedengan, atawa sakit berat. 

Kita orang perloe doekoen atawa tabib biar kita dapat obat atawa ditoesoek kita poenja badan. Doekoen atawa tabib memang penting betoel. Orang modern bilang dokter.

Djadi doekoen modern tidak gampang. Otak perloe pinter betoel. Soedah itoe bapa mama haroes kaja betoel agar bisa bajar oewang koeliah jang mahaaaal - oentoek oekoeran rakjat djelata.

Terpoedjilah Toehan, saban taoen anak-anak moeda poenja minat tinggi betoel daftar djadi doekoen. Fakoeltas kedokteran misih djadi pilihan favorit, kata bapa rektor Unair Soerabaia.

Batjaan ini hari bikin kita melantoer ke mana-mana. Kita orang semoea ada sakit, tidak baek badan, maka kita orang soedah tentoe perloe doekoen.

Tentoe boekan doekoen palsoe.