Orang Jawa tidak punya budaya minum. Faktor agama sudah pasti. Tapi ada saja yang doyan minum arak, bir, dan minuman keras kelas berat. Ada saja lapak atau warung yang jual miras meski resminya dilarang.. dan diharamkan.
Saat Idul Adha lalu ada pesta miras di Bronggalan Sawah, Surabaya. Minum arak jawa alias cukrik. Arak dicampur suplemen dsb. Bukan arak asli hasil penyulingan tuak alias nira siwalan, kelapa.
Pesta miras dilakukan terang-terangan di lapangan kampung. Sambil menikmati daging kambing dan daging sapi yang lezat.
Hasilnya, empat orang meninggal dunia. Satu orang masih kritis. Dua orang selamat.
Peristiwa ini sepertinya dianggap biasa saja karena sudah sering terjadi. Tidak heboh di media sosial. Beda dengan kasus promosi minuman (keras) di Holywings yang sangat heboh karena mengandung SARA.
Semua gerai Holywing sudah ditutup. Jadi pelajaran agar orang lebih sensitif terhadap suku, agama, ras, golongan (SARA). Khususnya agama Islam yang mayoritas.
"Di NTT tidak ada unjuk rasa karena nama Maria," ujar sejumlah orang di beberapa grup khusus NTT. Bung Emanuel Dapa bahkan bikin kajian dengan artikel panjang soal itu.
Minum tuak memang sudah jadi budaya di NTT. Pagi iris tuak, nira semalam diturunkan. Petang panjat lagi pohon siwalan (bahasa Lamaholot: tuak), iris tangkai bunganya, tampung niranya.
Tuak di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, ada yang manis sekali seperti legen di Jawa Timur. Ada juga yang agak pahit karena dicampur kulit pohon tertentu. Mirip jamu atawa obat tradisional.
Minum tuak manis tak akan mabuk. Minum tuak yang dicampur RAHA agak keras tapi alkoholnya rendah. Wong fermentasinya hanya sekitar 10-12 jam. Kalau dibiarkan dua tiga hari jadi cuka.
Lain lagi dengan arak kampung. Tuak-tuak sisa itu ditampung lalu disuling. Proses destilasi cukup rumit. Perlu kayu bakar khusus yang keras. Jadilah arak. Kadar alkoholnya tinggi pasti.
Tuak boleh dikata tak ada harganya. Semua orang boleh minum gratis. Kecuali ada keluarga yang butuh banyak legen untuk masak dijadikan gula.
Kalau arak harganya mahal karena prosesnya yang panjang dan ruwet. Maka tidak banyak orang kampung yang telaten masak arak. Satu desa tidak sampai lima orang pembuat arak.
Petugas biasanya tutup mata karena budaya minum tuak dan arak ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Bahkan, jauh sebelum Majapahit. Ritual-ritual adat di Flores Timur + Lembata sejak dulu selalu pakai sesajen arak. Dewa-dewa yang tak lain nenek moyang kita ternyata senang arak.
Belakangan saja orang sering ganti arak dengan bir atau miras pabrikan. Tapi rupanya Dewa Lera Wulan (Matahari Bulan) kurang berkenan. Akibatnya, permintaan-permintaan orang kampung sering tidak dikabulkan.
Anak-anak muda ternyata masih senang arak bikinan orang kampung ketimbang bir atau miras pabrikan. Mereka sering urunan untuk beli arak. Minum bersama sambil ceramah panjang lebar tak karuan. Arak memang air kata-kata. Ia mampu membuat orang pendiam jadi tukang ceramah yang hebat.
Yang menarik, sejak dulu saya belum pernah dengar ada orang meninggal karena minum arak di wilayah kecamatanku. Bisa jadi karena tubuh orang Lamaholot punya toleransi alkohol yang tinggi. Selain itu, arak asli kampoeng tidak dioplos kratingdaeng, suplemen, apalagi obat nyamuk.
Ahhh setelah sekian lama akhirnya bisa baca tulisan om hurek lagi,,salam dari Tolitoli om
BalasHapus