Jumat, 01 Juli 2022

The Chung Sen, Java Post hingga Jawa Pos


73 tahun lalu The Chung Sen mendirikan koran Java Post. Di Kembang Jepun 166, bekas gedung Bank Taiwan. Kemudian geser ke seberangnya di Kembang Jepun 167-169 Surabaya. Dekat gapura Kya Kya yang terkenal itu.

The Chung Sen bukan wartawan tapi pesuruh gedung bioskop. Tugasnya mengantar materi iklan untuk koran-koran di Surabaya. Lama-lama The paham rahasia bikin surat kabar.

The berpikir, lebih baik bikin koran sendiri ketimbang terus-terusan jadi tukang antar materi iklan ke koran-koran. Mentaliteit khas orang Tionghoa umumnya yang lebih suka jadi juragan atau laopan ketimbang jadi karyawan atau buruh atau pegawai.

Lalu bikin koran sendiri. Java Post. Koran harian berbahasa Melajoe Tionghoa. Terbit perdana pada 1 Juli 1949. 

Java Post ganti nama jadi Djawa Post. Ganti lagi jadi Djawa Pos. Kemudian Jawa Pos. Sampai hari ini. 

Oom The punya anak sekolah di Inggris. Oom makin tua. Tak ada anak atau keluarga yang meneruskan. Akhirnya Jawa Pos diambil alih manajemen majalah Tempo, PT Grafity Press. Sejak 5 April 1982.

Koresponden Tempo di Jatim Dahlan Iskan ditugaskan sebagai pimpinan Jawa Pos. Kerja keras untuk menghidupkan koran lawas yang hampir mati. Oplahnya cuma sebecak alias di bawah 3.000.

Cerita selanjutnya, Anda sudah tahu. Jawa Pos jadi besar. Punya anak cucu di mana-mana. Dan masih hidup sampai sekarang. Di era digital. Ketika banyak media cetak mati.

"Koran tak boleh mati," kata Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra.

Selamat hari jadi ke-73, Jawa Pos!

3 komentar:

  1. Oom The pendiri koran Java Post. Gara2 pernah membaca cersil nya Kho Ping Hoo, maka saya jadi tahu marga tionghoa The adalah identis dengan marga Zheng, 郑. Kho Ping Hoo menyebut nama Admiral Zheng He dengan istilah Hokkien The Ho.
    Kalau ada nama Dahlan Iskan, otak saya melayang ke Tucuxi. Vision dan Mission untuk memulai mengembangkan kendaraan bertenaga listrik, memang sangat tepat. Mengapa Tucuxi, dan juga proyek Gatotkoco dari IPTN berakhir kegagalan ? Saya kira karena manusia yang membuat nya tidak mau belajar secara step by step.
    Lupa pepatah ilmu padi, makin berisi semakin menunduk.
    " Koran tidak boleh mati ". Oke lah, boleh dibaca, tapi jangan dipercaya mentah-mentah. Di desa-desa Eropa, di musim panas, di tempat2 yang teduh, selalu ada bangku kayu panjang, disana tempat ibu2 dan nenek2 ngerumpi, ngobrol ngalor ngidul, sambil ngerasani orang2 di sekitarnya dan mengkritisi pemerintah.
    Selalu terjadi pertanyaan : Woher weisst du das ? Kamu tahu itu darimana ? Jawab nya selalu: Von der Zeitung ! Dari Koran !
    Ya, ya, kalau tercantum di Koran, doeloe itoe, biasanya "benar adanya" ! Tetapi zaman sekarang, isi koran di Eropa, tergantung dari dikte Washington, walaupun diktatnya dari si tua pikun, atau perempuan2 eropa yang seumur hidup hanya pernah bekerja sebagai politisi.
    Profesi politisi artinya seumur hidup hanya belajar dan bekerja sebagai pembual.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita haturken diperbanyak terima kasih atas siansen punya komentar dan apresiasi untuk tuan The serta perkembangan koran zeitung berikut para politikus pembual.

      Hapus
    2. Kirim salam untuk ibu Angela di Jerman yg seumur hidup jadi politikus kanselir. Mungkin beliau tidak membual sepanjang hayat.

      Hapus