Rabu, 10 Februari 2021

Abot enteng bareng dilakoni


Tahun baru Imlek sudah di depan mata. Tahun Kerbau. Mestinya suasana meriah, bahagia, makan-makan enak, diiringi musik oriental, barongsai, parade dewa rezeki dsb. Tapi suasana pandemi mengubah segalanya.

Kemarin saya mampir ke TITD Hong San Ko Tee alias Kelenteng Cokro di Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Kelenteng langganan saya sejak berkenalan dengan Ibu Juliani, ketua pengurus, 20-an tahun lalu. Mendiang Bu Juli selalu undang saya untuk menghadiri perayaan Sincia, Ciswak, hingga ulang tahun dewa yang jadi tuan rumah kelenteng.

Suasana jelang Sincia ini biasa-biasa saja. Malah lebih sederhana ketimbang hari biasa sebelum pandemi korona. Kelenteng tertutup untuk orang yang tak punya kepentingan.

 "Sampean silakan masuk," kata seorang karyawan. Rupanya saya dapat keistimewaan untuk masuk dan melihat persiapan Sincia yang tidak biasa itu.

Ternyata di dalam cukup ramai. Ada 10 pekerja sibuk memasang lilin-lilin berukuran besar. Tata letaknya tidak bisa sembarangan. Sudah ada ketentuan dari pengurus yayasan.

Saya membaca pengumuman bahwa tahun ini tidak ada perayaan tahun baru Tionghoa seperti biasanya. Tapi saya pura-pura bertanya kepada Sudirman via pesan WA. Dia yang sehari-hari mengurus Kelenteng Cokro setelah Bu Juliani, mertuanya, meninggal dunia.

"Selamat pagi. Acara tahun baru Imlek di Kelenteng Cokro mulai jam berapa? Apa ada acara makan-makan?
Salam sehat dan selamat tahun kerbau!"

Tak lama kemudian Sudirman membalas.

"Salam pak 🙏🏻 terima kasih ya pak hurek. Krn pandemi kita tiadakan acara sembahyang bersama dan makan2. Klenteng tutup pk 19.00 pak."

Begitulah.

Kelenteng Cokro tutup sore. Tidak ada sembahyangan khusus atau perayaan seperti biasanya. Sebab saat ini ada pembatasan kegiatan masyarakat. Protokol kesehatan 5M, tak boleh berkerumun, jaga jarak dsb.

Saya kemudian ngopi sejenak di warkop di lingkungan kelenteng. Saya jadi ingat Bingky Irawan, pimpinan Boen Bio Surabaya dan rohaniwan Khonghucu. Saya kirim pesan mengucapkan selamat tahun baru. Sekaligus minta refleksinya tentang tahun baru Imlek di tengah pandemi.

Tak lama kemudian Pak Bingky membalas dalam bahasa Jawa. Petuah bijak seorang pendeta yang sudah banyak makan garam dan pahit getirnya kehidupan.

Begini wejangan Pak Bingky Irawan:

AYO DULUR PODO ELINGO
OKE KADANG KANG ISE SENGSORO.
AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI.
ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.
ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.
KABEH WES DADI PINESTEN GUSTI.
BEDO RUPO' SIJI GEGAYUHAN'E.
BHINEKA TUNGGAL IKA IKU ARAN'E.
1: PANCASILA KANG DADI JIWO KITO.
2: TASAH GUYUP RUKUN SAK LAWASE.


Selamat tahun baru Imlek!
Gongxi facai!
Abot enteng bareng dilakoni!

Kamis, 28 Januari 2021

Debat lama soal seragam sekolah

Tahun 2021 ini ternyata kita masih berpolemik panjang lebar soal seragam sekolah. Ketika jutaan rakyat Indonesia sedang megap-megap dihantam badai pandemi Covid-19. Dan debat di Indonesia biasanya tidak pernah jauh dari formalisasi dan purifikasi agama.

Orang Indonesia makin saleh dan saleha. Makin religius. Karena itu, kesalehan harus diperlihatkan di sekolah-sekolah. Anak TK, SD hingga mahasiswa harus pakai busana muslimah. Pakai jilbab, hijab, kerudung dan sejenisnya.

Kode pakaian seragam ini bukan masalah kalau diterapkan di sekolah-sekolah yayasan muslim. Tapi bagaimana jika diterapkan di sekolah negeri? Yang murid-muridnya tidak semuanya beragama Islam?

Itulah yang terjadi di salah satu SMK Negeri di Padang, Sumatera Barat. Ada orang tua tidak terima karena anaknya yang Kristen dipaksa pakai hijab alias jilbab "sesuai aturan sekolah itu". Jadi viral di media sosial.

Ternyata praktik itu sudah lama berlaku di sekolah itu. Juga di banyak kota lain di Indonesia. Tapi siswi-siswi nonmuslim manut saja. Tidak protes meski diwajibkan sekolahnya pakai jilbab. Orang tuanya pun diam saja. Toh, pakai jilbab bukan berarti pindah agama, pikir para orang tua.

Kalau tidak ikut ketentuan sekolah negeri itu berarti harus keluar. Cari sekolah swasta. Pasti mahal dan kualitasnya tidak sebagus negeri. Toh, pakai jilbab hanya di lingkungan sekolah. Di luar lingkungan sekolah kan bisa dilepas lagi.

Baru jadi masalah jika kewajiban jilbab untuk semua perempuan juga diterapkan di RT, RW, desa atau kelurahan. Misalnya, wanita yang tidak pakai busana muslimah tidak boleh tinggal di Aceh atau Padang. Kalau melanggar akan ditangkap polisi syariah atau polisi pamong praja.

Polemik pro kontra kewajiban berseragam sekolah negeri ala madrasah di Padang itu mengingatkan saya pada polemik seragam sekolah tahun 1980-an di Indonesia. Bahkan tahun 1970-an sudah ramai. 

Pater Drost SJ yang paling lantang menolak seragam sekolah. Bukan cuma wacana atau omong doang, Pater Drost SJ menerapkan di SMA Katolik yang dipimpinnya. Peserta didik di sekolahnya tidak diwajibkan pakai pakaian seragam. Boleh pakai pakaian apa saja asal sopan, bersih, tidak norak.

"Untuk apa murid pakai seragam sekolah? Di Indonesia semua di seragamkan, maka hasilnya seperti ini. Saya antiseragam", ungkap Pater Drost dengan nada tinggi.

"Manusia telah dijadikan anggota kawanan" begitu pendapat mantan Kepala Sekolah SMAK Kanisius periode 1977-1987 ini tentang seragam. 

Keunikan atau otentiknya setiap manusia yang sudah terberikan telah teringkari melalui praktek seragam. Penyeragaman kostum murid di Indonesia merupakan bentuk represi negara serta meluluhlantakkan karakter pribadi warganya. Seragam hanya melahirkan mental penurut, pengikut, bukan kemerdekaan untuk menjadi pribadi yang kuat. 

"Saya dulu pernah didatangi pegawai Depdikbud. Mereka suruh semua guru memakai seragam. Saya bilang, tidak! Murid akan stres bila melihat semuanya harus berseragam", ungkapnya.

Bagaimana dengan pendapat bahwa pakaian seragam untuk menghilangkan sekat-sekat anak yang kaya dan miskin di sekolah?

 "Omong kosong, ini penipuan!" tegas Pater Drost. "Bagaimana bisa menghilangkan perbedaan si kaya dan si miskin? Toh, mereka di luar juga akan tahu kalau pulang sekolah ada yang naik sedan dan ada yang naik bajaj," ujar pastor kelahiran Jakarta tahun 1925 itu.

Pater Drost SJ sudah lama berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Saya tidak bisa membayangkan seandainya beliau masih hidup di Indonesia. Kata-katanya pasti akan meledak-ledak ketika mengetahui ada aturan kewajiban seragam sekolah berbusana muslimah untuk semua siswi (apa pun agamanya) justru di sekolah negeri.

Membaca artikel-artikel lama Pater Drost SJ rasanya kita mundur jauuuh ke belakang. Mundur 50 tahun lebih. 

Rabu, 27 Januari 2021

Sembahyang Pagi Tempo Dulu

Sudah lama saya lupa kata-kata doa pagi katolik tempo dulu. Doa yang biasanya diajarkan kepada anak-anak SD kelas 3 atau 4 sebelum sambut baru alias komuni pertama. Kalau tidak hafal sambut barunya ditunda tahun depan.

Dulu ada buku katekismus kecil untuk anak-anak SD. Model tanya jawab. Kayak wartawan bertanya dan pater menjawab. Di belakangnya ada doa-doa harian.

Umat Katolik generasi bapak saya di Pulau Lembata, Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Flores dan sekitarnya lebih sering bilang SEMBAHYANG. Hampir tidak pernah saya dengar DOA. Sebab di buku-buku rohani terbitan tahun 1950-an dan 1960-an pakai kata sembahyang.

Sembahyang pagi. Sembahyang malam. Sembahyang kontas (rosario). Sembahyang malaikat (tiga kali sehari). Sembahyang gabungan (semacam doa lingkungan di Jawa).

Kita pergi ke gereja pun disebut PIGI SEMBAHYANG. Bahasa daerahnya: tite tai sembahyang. Bukan tai doa.

Nah, setelah cukup lama kehilangan memori tentang sembahyang pagi, sembahyang malam... akhirnya saya ketemu buku lawas. Salah satunya rumusan SEMBAHJANG PAGI. Masih pakai ejaan lama.

Sekali membaca kalimat-kalimat sembahyang pagi ini memori masa kecil saya pulih kembali. Lalu mulai lagi mengucapkan kata-kata seperti anak SD saat persiapan komuni pertama dulu.

Semakin tua semakin senang nostalgia ke masa lalu. Setelah sangat lama melupakan sembahyang pagi.

Senin, 25 Januari 2021

Lady Gaga memang istimewa

Donald Trump ternyata tidak jadi dilantik. Yang dilantik justru Joe Biden. Padahal Pak Donald dan jutaan pendukungnya sangat yakin bahwa Trump yang menang pilpres. Kalau Trump sampai kalah berarti pemilu curang.

"Mr Trump pasti kalah," tulis saya menanggapi cuitan AJ, guru bahasa Inggris online yang (dulu) saya kagumi.

"Anda keliru. Dia akan menang besar," balas AJ yang ternyata penganut ormas Qanon dan percaya teori konspirasi.

Trump akhirnya kalah meski tetap merasa menang. Yang dilantik justru Mr Biden, politikus senior yang sangat ia benci. Trump benar-benar merusak tatanan demokrasi di Amerika Serikat. Baru kali ini, kayaknya, ada capres yang tidak merasa kalah. Bahkan hingga 20 Januari 2021 saat presiden baru dilantik.

Saya menyaksikan siaran langsung pelantikan Presiden Joe Biden via Metro TV. Sederhana saja. Sepi, undangan pakai masker, protokol ketat. Ribuan tentara berjaga di sekitar lokasi pelantikan. Tak ada pesta hura-hura ala Amerika yang doyan party itu.

Saya justru tertarik dengan Lady Gaga. Suaranya bagus banget saat menyanyikan lagu kebangsaan USA yang sulit itu. Gak nyangka Lady Gaga ternyata vokalis hebat. Selama ini dia dianggap artis penyembah setan, musiknya mekanis digital ala machine dsb dsb.

Bulan Mei 2012 Lady Gaga membatalkan konser di Jakarta gegara unjuk rasa ribuan aktivis ormas FPI dan sejenisnya. BBC menulis: "The hardline Islamic Defenders Front (FPI) had threatened to try to stop Lady Gaga getting off the plane. More than 50,000 tickets had been sold for the 3 June event. Promoters said they would offer refunds."

Luar biasa si Lady Gaga ini. Dia benar-benar seniman ulung pemain watak ala teaterwan kelas dunia. Kadang dia jadi monster, pemuja setan, kadang jadi vokalis jazz standar, kadang jadi patriot seperti saat pelantikan Presiden Biden.

Kamis, 21 Januari 2021

Remehkan korona bisa kualat

Teman lamaku ini cukup terkenal di Surabaya, bahkan Indonesia. Pengacara, aktivis, pembicara dengan retorika yang bagus. Sering tampil di televisi. Sering gugat pasal-pasal tertentu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan sering menang.

Tapi saya sering tidak cocok dengan pendapatnya soal pandemi Covid-19. Mas MS ini agak mirip Donald Trump di Amerika yang meremehkan virus korona. Apalagi protokol kesehatan 3M, tes rapid calon penumpang, dsb. MS sangat sering menulis kata-kata yang intinya menganggap Covid-19 tidak perlu dibesar-besarkan.

MS: "Saya lebih takut tidak punya uang, dari pada takut hantu corona."

Masih di awal Januari 2020, MS lagi-lagi menunjukkan dirinya sangat perkasa. Tidak takut korona. Sependapat dengan Donald Trump.

MS menulis: "Kalo sy takut, sy sdh tdk berani ke luar rmh. Tdk berani ke luar kota, tdk berani ke masjid, tdk berani salaman dgn semua org. Alhamd yg ptg jaga kesehatan. Sy stj dgn donald trump bahwa corona itu sesuatu yang biasa. Ketakutan menyebabkan imun kita drop. Sy sdh merasa pernah kena, dan isolasi alhamd sembuh dgn sendirinya. Beraktifitas lg."

Biasanya saya tanggapi singkat dan halus. Mengingatkan MS agar tidak meremehkan Covid-19. Virus itu bisa menyerang siapa saja. Atlet-atlet yang fisiknya sangat kuat macam Ronaldo, Neymar, Mbappe, Ibrahimovic pun kena covid. Apalagi orang biasa yang doyan makan enak dan tidak berolahraga.

Tapi, namanya juga keyakinan, MS tetap saja menganggap wabah korona tidak segawat yang disampaikan pemerintah. Ya wis... MS memang aktivis yang pernah dipenjara di Kalisosok gara-gara melawan rezim Soeharto. Mungkin dia pikir virus korona mirip virus orba.

Pagi ini saya baca tulisannya di media sosial. Kaget, geleng kepala, tapi senyum tipis. Lalu saya balas dengan sedikit doa semoga ia lekas sembuh.

MS: "Saya kena DB dgn trombosit 1000 pdhl normalnya 150 ribu, ditambah lg kena covid. Ayo Pemkot Sby waspadai Demam Berdarah. Ayo dilakukan penyemprotan Fooging besar besaran. Jgn sampe korban terutama anak anak berjatuhan."

Begitulah manusia. Setelah sakit baru sadar bahwa virus korona memang ada di antara kita. Dan siap menyerang siapa saja yang lengah. "Ketakutan menyebabkan imun kita drop," kata MS.

Ternyata keberanian, ngeyel, saja tidak cukup untuk membendung virus korona. Semoga MS lekas sembuh agar bisa cuap-cuap lagi di televisi lokal.

Selasa, 19 Januari 2021

Tahun baru di tengah pandemi

Tahun 2020 sudah berjalan dua pekan. Pandemi virus korona masih terjadi entah sampai kapan. Ada kecelakaan pesawat Sriwijaya Air di perairan Pulau Seribu yang menewaskan 62 orang.

Belum lagi musibah tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, banjir di mana-mana. Tahun 2020 yang mengerikan, annus horribilis, rupanya berlanjut di tahun 2021. 

Semoga bencana dan penderitaan bertubi-tubi itu segera berakhir!

Awal tahun baru 2021 masyarakat dilarang kumpul-kumpil untuk hura-hura seperti biasanya. Bahkan ibadah bersama pun hanya dilakukan secara daring atau virtual. Sebab angka positif korona terus naik di Jawa Timur.

Karena itu, saya memilih bertahun baru di hutan. Kawasan Jolotundo, Trawas, yang sejuk dengan pohon-pohon nan rindang. Air sungai sangat jernah karena hanya terpaut beberapa meter dari sumbernya.

"Kita bikin syukuran sederhana saja," kata Mbah Gatot Hartoyo, sesepuh budayawan Sidoarjo, yang sudah lama tinggal di Dusun Biting, dekat Petirtaan Jolotundo.

Maka, kami pun urunan untuk belanja makanan seadanya di Pasar Ngoro. Mbak Nur yang gemuk jadi tukang masak. Menunya gule sapi. Kebetulan seorang pedagang sapi juga ikut dalam kenduri tahun baru itu.

Acara tahun baru ala wong kampung ini rasanya lebih mengena. Sederhana, gayeng, dengan makanan yang lezat. Beda dengan di kota yang cuma hura-hura, tiup trompet di alun-alun, tanpa makanan spesial.

"Pandemi Covid-19 ini mestinya membuat bangsa kita makin bersatu dan kompak," kata Mbah Gatot saat memberi kata sambutan.

Mengapa begitu?

"Virus korona ini menyerang siapa saja. Virus itu tidak membeda-bedakan agama, suku, ras, status sosial, kaya miskin... siapa saja bisa kena. Kita mestinya sadar bahwa manusia itu pada dasarnya sama saja. Kita tidak boleh diskriminasi orang lain atas dasar suku, agama, ras, golongan dsb," kata Mbah Gatot yang mengaku 'abangan' itu.

Abangan, putihan, ijoan, kuningan, irengan... sama-sama rentan. Manusia sejatinya adalah makhluk yang lemah. Virus korona yang sangat sangat kecil itu ternyata membuat umat manusia di planet bumi ini (nyaris) tak berdaya.

Selamat tahun baru!

Minggu, 17 Januari 2021

Potong rambut sendiri selama pandemi

Sudah 10 bulan saya tak lagi potong rambut di Cak Ali, wong Meduro. Gara-gara corona. Sejak awal pandemi, Maret 2020, orang Surabaya diminta menghindari tukang pangkas rambut, barbershop, dan sejenisnya.

 Tukang cukur harus pakai APD. Jaga jarak. Pakai sanitizer dst dst. Bagaimana mungkin tukang cukur jaga jarak? Ada-ada saja dampak Covid-19.

Syukurlah, pageblug corona ini terjadi di era digital. Ketika media komunikasi maju luar biasa. Orang tidak lagi kesepian atau putus komunikasi karena ada ponsel pintar, media sosial, WA, dsb.

YouTube ternyata menawarkan begitu banyak konten tutorial cara mencukur rambut sendiri. Mulai gundul plontos, nyaris plontos, atau potongan biasa. Orang Barat yang paling jago bikin konten sederhana tapi asyik.

Andaikan tidak ada pandemi corona, saya tidak akan pernah mencoba potong rambut sendiri. Awalnya nyaris plontos, kemudian gundul bersih. Awalnya kaku, takut, khawatir gores kepala, tapi lama-lama jadi biasa. Semudah mencukur kumis atau jenggot.

Mengapa tidak dari dulu potong rambut sendiri?

 Lumayan, bisa hemat Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Ada juga yang 10 ribuan kalau pangkas rambut jadul di bawah pohon pakai gunting manual - kayak di Pulau Lembata, NTT.

Namun, di sisi lain orang-orang yang mata pencariannya pangkas rambut kayak Cak Ali, Imron, Latif dkk (semuanya asli Madura, khususnya Bangkalan) gigit jari. Kehilangan sumber nafkah. Padahal Ali di daerah Rungkut Surabaya itu sebelum pandemi punya banyak banget langganan.

"Alhamdulillah, ada saja rezeki," kata Ali saat ditanya penghasilannya dalam sehari. 

Ia tidak pernah menyebut angka. Namun, yang pasti di atas UMK buruh di Surabaya dan Sidoarjo yang Rp 3,8 juta sebulan.

Gara-gara corona, saya perhatikan tempat pangkas Cak Ali lebih sering tutup. Pelanggan-pelanggan tidak lagi antre seperti dulu sambil mendengar lagu-lagu Rhoma Irama. Ali Meduro ini memang sangat gila Rhoma Irama.

 Saya tidak pernah dengar lagu artis-artis lain saat potong rambut di Cak Ali sebelum pandemi. Hampir tiap bulan. "Belum ada penyanyi Indonesia yang kehebatannya mendekati Rhoma Irama," kata Ali.

Biasanya saya mengamini saja klaim Cak Ali tentang si raja dangdut itu. Biasanya saya ikut ngompori, nambah-nambahi, seakan-akan saya juga penggemar berat Rhoma Irama. "Saya beberapa kali ngobrol dan makan bareng Bang Rhoma. Masya Allah, orangnya sangat ramah dan baik hati," kata saya membuat senang hati Cak Ali.

Beberapa jam lalu saya lewat di depan lapak Cak Ali saat nggowes. Tutup rapat. Eh, saya malah ketemu dia di dekat Stasiun Wonokromo. Pakai jaket hijau seragam ojek online. Rupanya Ali mengembangkan karir barunya sebagai tukang ojek.

"Corona ini bikin susah Bang. Saya ngojek karena Sampean tidak pernah potong rambut di tempat saya," katanya sambil tertawa kecil.

"Sekarang prei dulu, Cak. Nanti kalau pandemi selesai, saya datang lagi ke tempat Sampean."

Saya sebetulnya cuma basa-basi saja. "Cum bik sen," kata pelukis Herman Benk di Waru. 

Artinya, "cuma bikin senang" Cak Ali saja. Sebab, nanti setelah pandemi ini berlalu saya pun tetap potong rambut sendiri. Lebih efisien, hemat, bisa dilakukan kapan saja.