Oleh Basuki Soejatmiko
Wartawan Djawa Post dan Liberty
Secara awam Pers Melayu-Tionghoa dapat didefinisikan sebagai berikut :
Sebuah usaha penerbitan pers yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) yang mempergunakan bahasa Melayu "rendah" yang diwarnai lokal bercampur kata-kata Belanda, Tionghoa atau Inggris sepatah-dua-patah.
Dikatakan Melayu "rendah" karena dibandingkan dengan bahasa Melayu tinggi tatabahasa Melayu rendah terlalu sederhana dan sering dikatakan menyalahi tatabahasa Melayu tinggi. Namun, kelokalan dan kesederhanaan tatabahasa tidak membuat bahasa Melayu tersebut mempunyai derajat lebih rendah.
Sebagai bahasa perhubungan, dialek Melayu ini digunakan di seluruh Nusantara. Kedudukannya paralel dengan bahasa Indonesia (Takdir, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia: 59). Lagi pula pers Melayu-Tionghoa sudah muncul jauh sebelum konsep kesatuan bahasa Bahasa Indonesia diucapkan pada Sumpah Pemuda 1928.
Justru karena adanya pers Melayu-Tionghoa yang sangat berperan terhadap persebaran pemakaian bahasa Melayu rendah bahasa Indonesia lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan. Bukankah bahasa Indonesia yang bersumber pada bahasa Melayu tinggi juga memasukkan banyak elemen bahasa Melayu rendah?
Meskipun dikelola oleh orang Tionghoa yang pada saat itu sudah dikenal sebagai kaum Baba atau peranakan banyak juga penulis Indonesia yang terlibat di dalamnya. Wage Rudolf Soepratman adalah salah seorang redaksi mingguan Sin Po, Jakarta. Karena kedudukannya sebagai redaksi itulah maka lagu kebangsaan Indonesia Raya dimuat pertama kalinya di Sin Po seminggu setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Penulis lain yang berkecimpung di pers Melayu-Tionghoa adalah penyair terkemuka Indonesia, Armijn Pane. Dalam Sin Po (30 November 1935) ia menulis,
"Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan pers Melayu-Tionghoa sangat penting. Verslag-verslag voetbal dalam pers Melayu-Tionghoa enak dibaca sebab hidup bahasanya."
Komentar Armijn Pane sungguh mengena. Pers Melayu-Tionghoa pada umumnya memang menggunakan bahasa gado-gado. Bukannya tatabahasa yang digunakannya sama sekali tidak beraturan.
Penulis yang mempunyai dasar pendidikan Belanda akan menggunakan pola tatabahasa Belanda dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Sedangkan mereka yang mempunyai dasar pendidikan Inggris akan menggunakan pola kalimat Inggris untuk diterapkan pada bahasa Melayu-Tionghoanya.
Namun, lebih dari itu, bahasa yang digunakan para penulis pers Melayu-Tionghoa pada saat itu sangat polos sehingga apa yang hendak mereka utarakan dapat amat komunikatif. Tidak jarang di tengah-tengah kalimat bahasa Melayu secara tiba-tiba menyelip sepatah-dua-kata bahasa Belanda atau Inggris.
Komentar lain datang dari Kepala Volkslektuur dan guru besar bahasa Melayu di Fakultas Hukum di Batavia, Dr. G.W.J. Drewes, yang dengan tandas mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa sangat nyata dalam memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Dalam tulisannya berjudul The Influence of Western Civilization on the Languages of the East Indian Archipelago ia mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa antara lain adalah dalam membantu pengadopsian kosa kata Portugis ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut sarjana tersebut bangsa Tionghoa bukan hanya saudagar barang yang lihai tetapi juga merupakan "pedagang bahasa" yang hebat. (Sin Po, Jubileum Nummer).
Yang perlu dipelajari sekarang justru apa sebenarnya tujuan penerbitan pers Melayu Tionghoa tersebut. Mengapa orang Tionghoa yang hingga saat ini dikenal sebagai pedagang dapat mengalihkan minatnya ke dunia tulis-menulis yang asing itu.
Tentang hal tersebut penulis menyimpulkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, seperti pendapat hingga sekarang, adalah karena pers adalah bisnis yang menguntungkan. Kemungkinan kedua, pers Melayu-Tionghoa terbit untuk membela kepentingan mereka sendiri yang sekalipun mendapat perhatian besar namun juga diperlakukan secara tidak adil oleh pihak Hindia Belanda.
Kalau diperhatikan kata pengantar dari setiap penerbitan pers Melayu-Tionghoa, condong disimpulkan bahwa kemungkinan kedualah yang lebih tepat. Dalam Mingguan Sin Po edisi pertama yang terbit tanggal 1 Oktober 1910 tertulis :
"Kita harep, orang-orang boediman segala bangsa jang dengen ini lagi sekali ada dioendang dengen hormat nanti soeka berieken di ini soerat kabar minggoean segala pikirannja jang ada bergoena boeat gerakan di ini djeman soepaja bisa terdjadi perobahan-perobahan dari perkara-perkara jang sesat, jang sampe di ini masa masi ada banjak di dalem ingetannja sebagian besar dari pendoedoek di ini Hindia".
Mempersoalkan nasionalistis tidaknya pers Melayu-Tionghoa pada masa itu adalah tidak realistis. Pada tahun-tahun itu semangat nasionalisme baru mulai dibangkitkan yaitu dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908.
Kita catat pers Melayu-Tionghoa yang besar saja, yaitu Mingguan Sin Po. Sin Po terbit pertama kali di tahun 1910. Situasi dunia pada saat itu juga harus diperhatikan. Dr. Sun Yat Sen berhasil memproklamirkan Republik Tiongkok pada tahun 1911.
Perubahan besar ini sudah barang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir orang orang Tionghoa di perantauan, juga di Hindia Belanda. Meskipun belum pernah melihat negeri Tiongkok, sebagai masyarakat yang hidup dalam penjajahan dan dihitung sebagai masyarakat kelas dua kemerdekaan tersebut berarti mengangkat harkat mereka sebagai manusia. Karena nya, tidaklah mengherankan apabila kemudian pers Melayu-Tionghoa kemudian menjadi corong bagi masyarakat yang ingin memprotes meskipun dalam bentuk terselubung terhadap segala yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda termasuk pers: harian dan mingguannya.
Pers Melayu-Tionghoa pada saat itu dapat dikatakan sebagai cermin dari etnis Tionghoa yang ingin duduk sama tinggi dengan pihak Belanda.
Bahwa kemudian pers Melayu-Tionghoa dapat berkembang dengan persebaran yang: luar biasa tidaklah diperhitungkan Belanda. Sebenarnya luasnya persebaran ini juga disebabkan karena bahasa yang digunakannya dapat dimengerti oleh masyarakat. Tionghoa dan Pribumi yang tidak terlalu tinggi pendidikannya.
Bukankah pada masa itu etnis Jawa yang berpendidikan tinggi juga hanya mau menulis di pers Belanda agar dapat dibaca oleh kaum intelektual? Sedangkan bahasa Belanda bukanlah bahasa kebanyakan dan apabila mereka memerlukan informasi pers Melayu-Tionghoalah tempat mereka mencarinya.
Pers Melayu-Tionghoa juga berkembang karena memberikan informasi bagi para pedagang di seluruh Tanah Air dengan berita maupun iklan-iklannya. Sebaliknya iklan juga menopang hidupnya pers Melayu-Tionghoa. Tapi lebih dari semua itu, pers Melayu-Tionghoa dengan bahasa Melayunya berhasil menembus pembaca di kepulauan-kepulauan yang terpencil sekalipun.
Mingguan Sin Po, misalnya, pada waktu berusia 25 tahun sudah tersebar di 322 kota di Jawa, 77 kota di Sumatera, 25 kota di Sulawesi, 17 kota di Kalimantan, 8 kota di Irian Jaya di samping langganan di Ambon, Aru, Bali, Banda, Bangka, Sumba, Sumbawa, Batu, Bili ton, Seram, Ewab, Kei, Flores, Halmahera, Lombok, Nias, Sangi, Riau, Talaud, Ternate, Timor. Dan semua ini karena mingguan tersebut menggunakan bahasa yang digunakan rakyat terbanyak sederhana dan komunikatif. (Langganan Sin Po bahkan tersebar di jajahan Inggris, beberapa kota di Tiongkok, Eropah, Jepang).
Bagaimana menejemen dan transportasi pengiriman langganan belum pernah diselidiki. Sesuatu yang sebetulnya sangat menarik untuk diriset.
Pers Melayu-Tionghoa mengalami kemundurannya di jaman pendudukan Jepang. Sebabnya mungkin karena Jepang hanya menghendaki pers sebagai corong mereka melulu. Sebagai bukti semua radio pada masa itu disegel.
Kemungkinan lainnya adalah kebencian Jepang pada pers Melayu-Tionghoa yang pada masa lampau diketahui mengumpulkan dana untuk membantu Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Alasan kedua ini diperkuat dengan banyaknya pimpinan atau orang pers Melayu-Tionghoa yang ditangkap Kenpetei dan dipenjarakan bertahun-tahun.
Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat data-data pada ceramah-ceramah Basuki Soejatmiko di Dewan Kesenian Surabaya dan PPIA [Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika] 1980-1981 mengenai masalah bahasa dan dialek Melayu - Tionghoa.
Sumber: Buku ,,Etnis Tionghoa" karangan Basuki Soejatmiko, 1982
Lambertus, saya tidak pernah mendengar yang namanya Basuki Soedjatmiko. Tetapi saya pernah komentar di blog anda ini yang intinya sama. Bangsa Indonesia harus berterima kasih kepada baba-baba Tionghoa jaman dulu yang menyebarkan bahasa Melayu ke pasar-pasar dan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Dan yang menerbitkan koran-koran pertama berbahasa Melayu pasar. Koran Sin Po sudah berbahasa "Indonesia" di tahun 1910! Sedangkan Budi Utama baru berdiri di tahun 1908 berdiri dengan menggunakan Bahasa Jawa tinggi sebagai bahasa pengantar. Tak ada Tionghoa, tak ada penyebaran Bahasa Melayu Pasar. Tanpa penerimaan dan kemudian transformasi Bahasa Melayu Pasar sebagi bahasa pemersatu, tak akan ada Bahasa Indonesia. Tanpa adanya Bahasa Indonesia, tak ada Bangsa Indonesia.
BalasHapusMendiang Basuki Soedjatmiko alias Liem Hok Liong wartawan Djawa Post era lawas. Ia juga wartawan kawakan majalah Liberty yang sangat produktif mengangkat topik² tentang Tionghoa.
BalasHapusBeliau meninggal tahun 1990. Buku merahnya tentang Etnis Tionghoa sangat menarik.
Artikel lama ini saya angkat lagi setelah membaca pernyataan mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad pagi ini. Tun M seperti biasa menyerang warga Tionghoa di Malaysia sekarang yg eksklusif, tidak berbahasa Melayu tapi berbahasa Tionghoa sesuai dialek sukunya masing-masing.
BalasHapusMahathir cerita dulu waktu muda zaman British, orang Tionghoa di Malaysia dikenal sebagai Baba dan Nyonya. Mereka tidak bisa bahasa Tionghoa. Saban hari orang Tionghoa bercakap dalam bahasa Melayu yang kita kenal dengan Melayu Baba itu.
Tun Mahathir juga bandingkan orang Tionghoa di Indonesia yang melebur sebagai bangsa Indonesia. Aha... orang Tionghoa di Indonesia tempo doeloe malah jadi penyebar luas bahasa Melayu Rendah atau Melayu Pasar ke seluruh Nusantara. Negitu banyak surat kabar, majalah, buku-buku roman atau cerita silat yang diterbitkan oleh orang Tionghoa dan dibaca oleh siapa saja di Nusantara.
Dari sini kita bisa melihat ada perbedaan Tionghoa di Malaysia dan Indonesia. Mahathir sedih karena baba-baba dan nyonya-nyonya itu kemudian ,,dicinakan" kembaki oleh tokoh-tokoh Chinese yang berkiblat ke Tiongkok. Sejak itulah orang Tionghoa di Malaysia tidak lagi berbahasa Melayu macam para baba dan nyonya di masa lalu.
Halo bung Hurek,
HapusMenurut saya Dr. M hanya bersilat lidah sahaja ... beliau sudah satu kaki di liang kubur (kata kebanyakan orang Malaysia), apalagi sih yang dia cari dengan statemen-statemen ngalor ngidul di usia 98 tahun? Ketika Dr. M kembali di 2018, rakyat masiih respek, tapi ketika Sheraton Move, dan semua political crisis 2020-2022, rakyat Malaysia had enough.
Dia layak kehilangan kerusi depositnya di pemilu 2022. Harusnya sudah final disitu. Tapi tidak. This "sly old fox" masih terus ... .saja berkicau. Termasuk postingan rasisnya diatas.
Tidak ada lagi publik Malaysia yang menganggap serius kata-kata Mahathir sekarang pak. Terutama setelah dia kehilangan kerusinya di GE 2022 kemarin. Masalah bahasa orang Chinese di Malaysia, itu terlihat sepeti taktik kotor dia memainkan race dan religion card seperti biasanya, sesuatu yang sudah dia lakukan dari awal karirnya dari buku yang dia tulis "Malay Dillema".
Satu lagi bung Hurek, saya perlu koreksi, orang Chinese di Malaysia boleh cakap bahasa Melayu (BM). Ini saya perlu tekankan berkali-kali, jika tidak bagaimana orang Chinese mengurus dokumen kenegaraan dan tax? bagaimana orang Chinese janji temu dokter dan menelepon emergency ambulance? Hampir semua boleh, bahkan termasuk yang studi di Dong Zong (yang saya sebutkan di komentar saya sebelumnya) karena masih menjadi pelajaran wajib di sekolah, walaupun itu bukan lingua franca ataupun bahasa "mother tongue" yang dimiliki mereka. Sebagai contoh, keluarga calon mertua saya keturunan Cantonese dan Teociu, maka mother tongue calon istri saya adalah Cantonese (Konghu). Tapi sehari-hari mereka memakai bahasa Mandarin, Melayu, dan Inggris (umum orang di Malaysia untuk bisa 4 bahasa, atau bahkan lebih).
Menurut saya sendiri, saya sih ngerasa gak ada yang salah dengan fakta bahwa orang Chinese di Malaysia tetap berbahasa Mandarin dan rata-rata memiliki dialek/bahasa ibu (mother tongue) sesuai sub-sukunya. Di Indonesia sendiri, banyak sub-etnis Chinese yang masih menggunakan bahasa ibu, paling banyak di Medan dengan bahasa Hokkien yang menjadi lingua franca disana (juga di Riau, Bagan, dan sekitarnya). Lalu di Pontianak juga masih fasih berbahasa Teociu, begitupula Singkawang yang masih menggunakan bahasa Hakka (Khek) sebagai lingua franca-nya. Sama saja disana dan di Indonesia.
Sdr Tian. Saya juga merasa tidak ada yang salah dengan Cina Malaysia fasih berbahasa Mandarin dan bahasa (bukan dialek ya) Hokkian atau Tiociu atau Hakka atau Hokciu. Bahkan saya berharap Tionghoa di Pulau Jawa pun mampu kembali berbahasa leluhur mereka seperti Tionghoa di Riau, Singkawang, Medan, Pontianak dll.
HapusYang menurut saya (dan mungkin Lambertus juga) aneh itu ialah bahwa mereka tidak fasih berbahasa Melayu yang merupakan bahasa kebangsaan. Mereka mungkin boleh cakap Melayu sikit. Tetapi tidak fasih. Bahkan Orang Melayu sendiri pun tidak fasih berbahasa Melayu yang formal ... banyak tercampur Bahasa Inggris.
Dalam hal ini kita berbeza pendapat. Anda memandangnya dari segi seorang Tionghoa Indonesia yang besar di masa Orde Baru (yang juga saya rasakan): alangkah nyamannya memiliki kebebasan mempraktekkan bahasa dan mengejawantahkan identitas. Sebaliknya saya memandang dari segi, alangkah bahayanya suatu negara yang tuan rumahnya selalu menempatkan kaum2 lain sebagai pendatang, yang disetujui dan bahkan diminta oleh kaum2 tsb. Hanya sejarah nanti yang bisa menjawab mana yang benar.
Iya ada benarnya keluh kesah Tun Mahathir.
BalasHapusCuman negara dia usah salah desain. Bhs persatuannya Bhs Inggris. Jangan salahkan kaum Cinanya.
Salahnya Tun M juga. Dia jadi PM selama 22 tahun. Pasti sangat paham persoalannya.
HapusLah, setelah tidak menjabat baru mengeluh dan menyerang orang Tionghoa. Seakan dia bukan penguasa yg punya kuasa untuk bikin semua kebijakan di negaranya.
Sangat wajar Tionghoa di Malaysia jadi begitu. Sebab UMNO dan partai² Melayu kan tidak mungkin dimasuki orang bukan Melayum sudah tentu orang Tionggoa dan India bikin partai sendiri lah.
Sekarang UMNO pecah jadi 5 atau 6 partai Melayu. Sebaliknya orang Tionghoa dan India hampir semuanya pilih DAP. Otomatis DAP jadi partai terbesar dan partai² Melayu jadi kecil. Mahathir malah ngamuk.
Semua itu ada sebab akibat, kata pelajaran kita di sekolah zaman Orba dulu. Pernyataan benar, alasan benar, ada hubungan sebab akibat.
Ilmu sebab akibat atau kausalitas ini rupanya dilupakan politisi Melayu di sana. Makanya Tionghoa selalu jadi kambing hitam.
Menurutku sih gak lah, tidak salah desain. Sistem di Malaysia masih yang terbaik buat negaranya, yang menentukan ya rakyatnya sendiri yang merasakan ...
HapusBahasa persatuan di Malaysia tetap BM. Betul memang orang disini rata-rata suka menggunakan Manglish (kalau bapak/ibu suka baca pidato DSAI memang dia suka bercakap English) tetapi bahasa rasmi tetaplah BM kok.
Sekarang di Malaysia rakyatnya enak, pada bisa minimal 2 bahasa (Melayu, English) buat warga Melayu, lalu orang Tamil bisa minimal malah 3 (Tamil, Melayu, English), kalau orang Chinese-nya bisa sampai 4 sampai 5 (Melayu, English, Mandarin, dialek lokal, dialek keluarga). Dialek lokal soalnya beda-beda semisal di Penang itu Hokkien, di Klang area Cantonese, dsb. Dialek keluarga tergantung dari sub-suku apa. Hokkien? Teociu? Cantonese? Kalau ayah-ibu dari subsuku yang berbeda bisa faham sampai 6 bahasa hehehe
Jadi sudah hampir polyglot sebenarnya para kaum Chinese di Malaysia.. Oiya belum lagi kalau ada orang dari ras lain yang bisa faham bahasa ras lain karena sering dengar (biasa di daerah). Calon ibu mertua saya contohnya bisa sedikit Tamil karena kalau dagang di pasar, dia sering banget dengar bahasa Tamil. Saya pernah ketemu taxi driver di KL, orang Melayu, yang bisa Cantonese karena sehari-harinya punya langganan orang Chinese (Cantonese).
So ada plus-minusnya sih. Orang Malaysia biasanya pragmatis, ambil sisi praktisnya saja, yang penting jalan, urusan kelar ... gak musingin masalah perbezaan.
Mereka terbiasa tumbuh di masayarakat yang majemuk dan selalu merasa perbezaan (heterogenitas) di Malaysia itu berkah.
Salah desain itu kalau dilihat dr kacamata Indonesia yang lebih beragam etnis / sukubangsa dan agama.
HapusMungkin untuk orang Malaysia yang bermacam bangsa tidak salah. Bisa juga mereka mau meniru Switzerland yang punya 4 bangsa dan bahasa resmi (Itali, Perancis, Jerman, dan Roma). Atau Belgium yang punya 2 bahasa dan etnis (Belanda / Vlaam dan Perancis / Walloon) - yang skrg bentrok juga karena yang satu (Vlaam) merasa dirugikan oleh si Walloon yang lebih miskin tapi memakan uang pajak lebih banyak.
Masih banyak rakyat Malaysia yang dengar kata2 Tun. Khususnya jutaan orang pendukung PN koalisi pembang. Kartu Melayu dan Islam itu masih laku di Malaysia. Itu sebabnya PAS, Bersatu dan beberapa partai lain dapat suara signifikan dalam PRU 15 tahun lalu.
BalasHapusPakatan Harapan pun tidak menang tapinharus gabung dengan UMNO agar boleh bentuk kerajaan untuk Anwar Ibrahim.
PRN bulan Ogos nanti jadi ujian untuk PH dan BN. Kita bisa bikin kajian setelah melihat hasil PRN di 6 negeri itu.
Sangat menarik tapi juga berbahaya sentimen perkauman yang selalu dimainkan di Malaysia. Oposisi di Malaysia bukannya memberi kritik dan masukan kepada pemerintah tapi saban hari berusaha menggulingkan pemerintah. Sebab itu, satu pilihan raya bisa dapat 3 atau 4 perdana menteri.
Terima kasih Bung Tian sudah komen dan menjelaskan situasi sosial politik di Malaysia. Sebuah negara berbilang kaum yang sebetulnya sangat menarik.
Belum lama ini Prof Teo bicara di Pertiwi TV Malaysia. Pakar bahasa dari UKM itu membahas panjang lebar soal ,,salah desain" yang membuat bahasa Melayu kurang kokoh di Malaysia. Teo juga membandingkan Tionghoa di Indonesianyang fasih berbahasa Indonesia.
BalasHapushttps://m.youtube.com/watch?v=RQ5QPitvYr8&pp=ygUacHJvZiB0ZW8ga29rIHNlb25nIHBlcnRpd2k%3D
Di salah satu wawancaranya, Prof Teo mengutip asimilasi vs integrasi, debat yang lama berkecamuk di antara Tionghoa Indonesia. Debat tsb dimenangkan oleh golongan asimilasi karena didukung oleh Suharto dan Orba untuk "memecahkan masalah Tionghoa". Golongan yang mendukung integrasi seperti Baperki dengan arek Suroboyo Siauw Giok Tjan sebagai pemimpinnya dibabat Orba, krn pendukung Sukarno. Diasingkan, dibui, diambil hak2nya. Ada saudara saya yang lulusan Universitas ResPublika milik Baperki, jurusan Farmasi, terpaksa pindah ke Belanda karena ijazahnya tidak diakui. Sekeluarga mereka pindah, dengan mama dan adik2nya untuk mulai dari nol. Sementara itu, mereka yang mendukung asimilasi seperti Wanandi bersaudara diam2 saja atas ketidakadilan itu. Bahkan keluarga mereka ikut menikmati bancakan kesempatan ekonomi yang dibagi2kan Orba kepada bala2nya dan mereka menjadi konglomerat.
HapusProf Teo mendukung asimiliasi. Saya sama sekali tidak setuju dengan asimilasi yang dipaksakan. Melanggar HAM itu. Sakit hati saya, krn kehilangan identitas bahasa dan nama famili. Tetapi saya pun tidak setuju dengan segregasi (spt yang terjadi di Malaysia sekarang, bukan integrasi -- tetapi segregasi). Saya setuju dengan sila ke-3 Persatuan Indonesia. Sumpah Pemuda. Pancasila. Bhinneka Tunggal Ika. Dalam prakteknya di masa Orba jauh sekali dari kenyataan. Sekarang di masa Reformasi hak2 budaya Orang Tionghoa lebih dihargai, dan kesadaran kaum bumiputera lebih baik. Tetapi masih banyak orang2 yang tetap menyimpan benih2 kecurigaan dan kebencian ... itu semua merupakan PR pemerintah dan rakyat Indonesia.
Omongan Prof Teo di hampir semua wawancara sangat memarik. Pakar bahasa Melayu yang Tionghoa Malaysia itu selalu menjadikan Indonesia sebagai rujukan. Betapa orang Tionghoa di Indonesianlancar berbahasa Indonesia macam warga dari suku bangsa yang lain. Di Malaysia katanya sebagian besar orang Tionghoa tidak bisa berbahasa Melayu meskinhidup di Malaysia secara turun temurun.
BalasHapusIntegrasi vs asimilasi memang debat lama di Indonesia. Baperki yg dekat Presiden Soekarno kokoh dengan program utamanya integrasi. Tapi G30S menjadi momentum untuk menghabiskan Baperki dengan integrasinya karena gerakan itu dinarasikan ada kaitan dengan Tiongkok dsb.
BalasHapusDi Malaysia juga ada peristiwa berdarah Mei 1969. Prof Teo ingin momentum itu dijadioan awal gerakan asimilasi di Malaysia. Tapi itu tidak dilakukan pemerintah. Hasilnya ya seperti sekarang lah. Anak2 Tionghoa hanya belajaar bahasa Melayu sebagai syarat kelulusan aja kata Prof Teo.
Prof Teo tokoh Malaysianyg langka. Dia Tionghoa tapi sangat pakar dalam kajian bahasa Melayu Malaysia.