Tempat pangkas rambut di Jalan Kembang Jepun 58 Surabaya lagi ramai di media sosial. Video tentang ,,barbershop tertua di Indonesia" itu dapat tanggapan luar biasa. Begitu banyak orang kagum dengan usaha pangkas rambut di kawasan bisnis utama di Pecinan Surabaya itu.
Owe hampir saban hari lewat di depan barbershop Shin Hua itu. Gedung tua di pojokan Jalan Husin. Di depannya ada gedung bekas restoran terkenal yang sudah lama mangkrak. Tidak ada plang atau tulisan bahwa itu gedung adalah barbershop tertua di Surabaya. Belakangan disebut-sebut tertua di Indonesia.
Owe dulu sempat kaget karena ada stiker dari Pemkot Surabaya di pintu masuk Shin Hua. Stiker keluarga miskin. Tandanya penghuni rumah itu berhak dapat ,,permakanan" dari pemkot. Saban hari petugas pemkot kirim bingkisan makanan untuk penghuni rumah yang namanya tertulis di stiker itu.
Gedung megah di Kembang Jepun kok masuk keluarga miskin? Orang Tionghoa pula? Bukankah selama ini ada citra bahwa orang Tionghoa itu sukses dagang, pinter bisnis, jago cari cuan dsb?
"Yang kaya itu bapaku. Aku gak kaya. Aku cuma melanjutken saja Shin Hua ini," kata Tan Ting Kok, 74 tahun.
"Tapi saya sudah tua. Gak kuat lagi. Kalau motong rambut, saya punya tangan gemetar. Saya kena diabet. Makanya saya berhenti. Langganan juga sudah banyak yang mati," kata Tan.
Shin Hua berdiri sejak 1911. Tan Shin Tjo dateng dari Hokkian, Tiongkok, untuk mengadu nasib di Soerabaia pada masa Hindia Belanda. Awalnya jadi kuli, tukang bersih-bersih. Lalu mencoba jadi tukang potong rambut serabutan di dekat Pasar Pabean.
Tuan Tan ternyata punya hoki bagus. Usaha potong rambutnya terus berkembang, berkembang... jadi besar. Sampai dia bisa membeli gedung besar di Kembang Jepun atawa Handelstraat. Kalau tidak kaya betul mustahil punya properti di pinggir Jalan Kembang Jepun.
Tempo doeloe Tuan Tan Shin Tjo punya banyak pelanggan. Sehari bisa 200 sampai 300 kepala yang ditangani. Ting Kok, anak kedelapan dari 17 bersaudara, juga belajar ilmu potong rambut dari papanya yang totok Hokkian itu.
"Saya sempat buka barbershop di Kapasan, Gembong Tebasan. Dulu ramai sekali," kenangnya.
Ting Kok sempat menikah tiga kali. Bisa beli rumah besar dan mewah. Tapi dibawa lari istri pertama. Kawin lagi dengan wanita Arab. Juga tidak langgeng. Tapi mualafnya masih langgeng. Kawin kali ketiga dengan wanita Belanda. Ditinggal lagi.
Usaha Ting Kok alias Pak Eddy gulung tikar. Ayahnya di Kembang Jepun akhirnya pulang ke alam baka. Maka Eddy juga pulang ke rumah masa kecilnya di Kembang Jepun. Meneruskan Shin Hua sejak 1965.
"Langganan dulu wuakeeeh (banyaaak)," kenang Pak Eddy Tan, tamatan Sekolah Tionghoa di Jalan Kapasan dan Ngaglik.
Dunia terus berputar. Bisnis potong rambut di Kembang Jepun terus melesu. Sebulan cuma dapat 50-an pelanggan. Menjelang pandemi covid tinggal 20 pelanggan. Semuanya lao ren alias para lansia. "Langganan habis karena mati. Waktu covid tambah banyak lagi yang mati," kata Eddy.
Karena itu, sejak awal pandemi itulah Shin Hua resmi ditutup. Eddy tak punya karyawan. Anak-anak Eddy yang 9 orang (dari tiga istri) punya usaha sendiri-sendiri. Tak ada satu pun yang tertarik dengan bisnis potong rambut.
Sambil omong-omong dengan Eddy Tan, datang satu rombongan anak muda. Mereka penasaran setelah melihat video Shin Hua viral di media sosial. Eddy alias Ting Kok sempat mengutip peribahasa Tionghoa yang selalu diingatnya.
"Harta kekayaan itu tidak akan bertahan sampai tiga generasi," begitu kira-kira arti peribahasa Tionghoa tersebut.
Shin Hua Barbershop di Kembang Jepun malah selesai di generasi kedua. Gedung yang megah eks Shin Hua malah ditempeli stiker ,,keluarga miskin" oleh Pemkot Surabaya.
Apakah ada rencana menjual tanah dan bangunan Shin Hua ini?
"Tidak akan dijual. Ini untuk cucu-cucu kelak. Kalau ada cucu yang kurang beruntung, tidak mampu beli rumah sendiri, ya, bisa dateng menempati rumah warisan ini," kata Eddy Tan.
Dulu katanya ada salah satu bank yang hendak membeli gedung Shin Hua Barbershop. Nilainya sekian miliar rupiah. Tapi Eddy bergeming. "Saya tidak akan jual," katanya tegas.
Jaman saya kecil, pangkas rambut di bawah pohon, di luar Pasar Pabean. Yg memotong paman2 orang Jawa sedikit gendut. Paling berkesan ketika mau dikerok godeknya dengan pisau tajam yang diasah-asah dulu di kulit, lalu pipi diolesi krim. Serasa menjadi orang dewasa walaupun godeknya hanya sedikit wkwkwk.
BalasHapusLebih besar sedikit dibawa mamaku masuk pasar, ada layanan Pangkas Rambut “Damai”, yang memotong bbrp encek2, ada yang masih muda. Jika dipotong terlalu pendek mukaku masam. Maklum itu jaman gondrong di 1970an.
Setelah masuk SMA lagi aku ga mau pergi ke pangkas rambut alias barber shop. Gengsi rek. Harus ke salon. Mungkin aku kena karma krn menganggap remeh tukang pangkas rambut. Dalam usia muda sebelum 30 rambutku rontok banyak, akhirnya di usia 30 tak cukur gundul. Sejak itu aku tak pernah masuk salon atau pemangkas rambut. Cukur gundul sendiri tiap 2 minggu sekali.
Tukang cukur pinggir jalan di bawah pohon sudah hilang di Surabaya. Pertengahan 2000-an masih ada di dekat Stasiun Wonokromo. Cukup lincah. Hampir semuanya wong Meduro.
HapusAnda betul. Oreng Medhure bukan wong Jawa.
HapusLambertus, kita bisa tahu tempat pangkas rambut tsb jadul dari papan namanya. Aksara Cina yang terpampang dibaca dari kanan ke kiri: 新華 atau 新华 dalam jiantizi(pinyin: xinhua) - kebalikan nama yang menggunakan huruf Latinnya. Arti harafiahnya Bunga Baru. Tetapi hua juga digunakan untuk Zhonghua (tionghoa) -- bangsa Tionghoa.
BalasHapusMengingat Shinhua didirikan 1911, itu tepat di tahun Republik Tiongkok didirikan oleh Dr Sun Yat-sen, maka pastinya Tan Shin Tjo terpengaruh gegap gempita dan kebanggaan terbentuknya nation yang baru. Nama ini sama dengan nama biro pers resmi pemerintah RRT sekarang: Xinhua News Agency.
Kamsia. Shin Hua ternyata sama dengan kantor berita Xinhua. Siaran berita bahasa Mandarin di Metro TV namanya Metro Xinwen. Xinhua dan Xinwen merujuk ke konteks yang sama rupanya.
HapusTempat potong rambut namanya sama dengan kantor berita juga unik dan menarik.
Lambertus, xin-nya saja yg sama, berarti baru. Wen berarti mendengar. Xinwen = baru didengar = news.
Hapus