Kamis, 06 Juli 2023

Betapa Sulit Mendengarkan Musik Secara Aktif ala Slamet Abdul Sjukur

Sudah 8 tahun tidak ada lagi PMS: Pertemuan Musik Surabaya. Sejak Slamet Abdul Sjukur meninggal dunia pada 24 Maret 2015. Saya cukup aktif mengikuti PMS dan seminar-seminar musik yang diadakan Mas Slamet.

Mas Slamet bukan musisi kacangan. Dia bapaknya musik kontemporer Indonesia. Guru piano, guru komposisi, orkestrasi, kontrapung, dsb. Mas Slamet selalu bicara dengan nada rendah. Tapi sangat menarik. Selalu ada humor kering di balik kata-katanya yang terkesan selalu serius.

Pagi ini saya dapat pesan dari orang NTT. Biasa, kutipan ayat Alkitab:

"....sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti."

Melihat tapi tidak melihat.
Mendengar tapi tidak mendengar.

Saya langsung ingat Slamet Abdul Sjukur. Dia tidak pernah kutip ayat-ayat kitab suci. Agamanya di KTP Islam. Tapi kalau ditanya apa agamanya, dijawab ,,musik". Mungkin hanya SAS yang mengaku beragama musik di Indonesia.

Dalam sebuah acara PMS di Jalan Ngagel, Wisma Musik Melodia, Mas Slamet bicara tentang ,,mendengarkan musik secara aktif". Active listening! Itu memang salah satu prinsip yang sangat ditekankan Mas Slamet dalam berbagai kesempatan.

Musik harus didengarkan secara aktif, kata Slamet. Tidak boleh dengar musik sambil main catur (olahraga kesukaannya), ngobrol, makan minum, atau kegiatan lainnya. Bahkan membaca buku pun tidak boleh diiringi musik.

 Lebih celaka lagi, memutar musik tapi tidak ada yang mendengarkan. Mendengar musik di YouTube sambil sibuk scrolling baca komen-komen, menjawab komen dsb pun jelas bukan active listening. Berbahagialah orang buta!

Mas Slamet tidak bisa menerima musisi atau kumpulan seniman yang main musik untuk mengiringi orang makan di restoran, ballroom hotel, dan sebagainya. Sebab penonton tidak akan fokus ke musik. Musik hanya didengarkan sambil lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Musik itu semacam ,,agama" bagi Slamet Abdul Sjukur. Orkes memainkan musik ibarat liturgi atau ritual. Karena itu, para pemain dan pendengar harus sama-sama menaruh perhatian pada musik itu. 

,,Musik didengarkan dengan telinga. Jangan dengar musik pakai mulut," kata Mas Slamet saat mengkritik penonton sebuah konser musik di Surabaya.

Saat itu penonton di dekat Slamet sibuk omong sendiri, mengomentari musik yang sedang dimainkan di atas panggung. Mulut harus ditutup rapat saat konser berlangsung. Itu prinsip komponis asli Surabaya yang tinggal dan berkarya di Prancis selama 14 tahun itu.

Pagi ini saya baca artikel Slamet Abdul Sjukur di buku Sluman Slumun Slamet. Mas Slamet menulis:

,,Mendengarkan musik secara aktif. Kita tidak cukup hanya mendengar yang sedang terdengar. Kita perlu mempunyai daya ingat auditif untuk bisa menangkap hubungannya dengan yang sudah lewat.

Dan, selain itu, perlu punya inteligensi musikal untuk memperhitungkan arah yang sedang terdengar itu. Persis seperti di dalam permainan catur yang memerlukan ketajaman intuisi untuk melihat ke depan beberapa langkah."

Cukup berat ternyata tuntutan Mas Slamet untuk mendengarkan musik secara aktif. Apalagi kita di Indonesia. Boleh dikata 99 persen orang Indonesia mendengarkan musik secara sambil lalu alias tidak aktif. Orang lebih terpesona dengan penampilan biduan-biduan seksi, goyang ngebor, goyang gergaji, goyang kayang... buka titik josss!!

2 komentar:

  1. Ada dua teman dari SMA yg pernah jadi muridnya SAS. Yg satu sampeyan sudah tahu, namanya Soe Tjen. Itu adik kelas. Yg satu teman seangkatan, namanya Krisna Setiawan. Dia suka konser piano dan kibor. Bahkan pernah main di Carnegie Hall, NYC.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dui dui... Ayas kenal baik dua orang itu. Khususnya STM yg punya Sekolah Mandala di Putroagung. STM bahkan dapat kepercayaan untuk menyimpan partitur2 asli SAS.

      STM itu yg paling dipercaya oleh SAS. Ayas pun kenal STM dan keluarganya karena SAS itu.

      Hapus