Senin, 03 Juli 2023

Mahathir Mohamad dan Politik Segregasi Ras dan Agama di Malaysia

Tun Mahathir Mohamad kini berusia 97 tahun. Tapi mantan perdana menteri Malaysia ini tak kenal pensiun. Dia hanya pensiun dari gelanggang politik kalau sudah dipanggil Sang Mahakuasa. Ada saja pernyataan dan manuver politik Tun M di Malaysia yang memicu polemik.

Tun M pernah menjabat PM Malaysia selama 22 tahun. Belum ada saingannya. Tapi rupanya Mahathir tidak puas. Dia tetap ikut pemilu tahun lalu. Akhirnya kalah di dapil Langkawi. Hilang deposit pula.

Mahathir kelihatannya menentang Anwar Ibrahim PM Malaysia sekarang. Karena itu, dia bikin gerakan Proklamasi Melayu. Isu rasial, sektarian alias SARA (istilah kita di Indonesia) dimainkan Tun M. 

Seakan-akan orang Melayu terancam. Seakan-akan Islam sebagai agama persekutuan terancam. DAP, partai berbasis Tionghoa yang dapat banyak kursi di parlemen, dianggap Tun M sebagai momok bagi Malaysia. PM Anwar dituduh mengikuti agenda DAP untuk menjadikan Malaysia sebagai negara sekuler.

Ngeri sekali membaca pernyataan-pernyataan Tun M yang usianya mendekati satu abad itu. 

Syukurlah, kita bukan Malaysia versi Tun M. Kita punya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945. Juga ada Sumpah Pemuda tahun 1928. Berbangsa satu bangsa Indonesia.

Di Malaysia sana tidak ada bangsa Malaysia. Yang ada bangsa Melayu, bangsa Tionghoa, bangsa India, bangsa pribumi di Sabah dan Serawak. 

Berikut pernyataan Tun Mahathir Mohamad yang menjadi bahan diskusi hangat di Malaysia:
 
1. Kata Ketua Penerangan UMNO Bukit Gelugor bekas Perdana Menteri Tun Mahathir (perlu) berhenti daripada memainkan sentimen melibatkan perkauman.
 
2. Kerajaan sekarang mendakwa Malaysia adalah negara demokratik. Kononnya ada kebebasan bersuara.
 
3. Saya hanya menyuarakan peruntukan dalam Perlembagaan Malaysia. Apakah mempertahankan Perlembagaan Malaysia menyalahi undang-undang.
 
4. Sebaliknya bertentangan perlembagaan ialah mempromosi negara berbilang bangsa. Apakah Kerajaan sekarang menolak the Rule of Law, termasuk Perlembagaan Malaysia yang tidak pernah sebut Malaysia sebagai negara berbilang kaum. Sebaliknya Perlembagaan menekankan Ke-Melayuan Malaysia.
 
5. Ya. DAP cuma ada empat Menteri. Tetapi dalam Kerajaan terdapat empat puluh (40) ahli DAP. Jika DAP tarik diri Kerajaan Anwar akan jatuh. Sebab itu Anwar terpaksa turut manifesto DAP, khusus menjadi Tanah Melayu negara berbagai kaum dan agama rasmi Islam diganti dengan negara sekular – negara yang tidak ada agama rasmi.
 
6. Maka tergugurlah keahlian Malaysia dalam OIC.

34 komentar:

  1. Menarik membaca tulisan Tun M. Menebak arti kosa kata Bhs Melayu. Perlembagaan = konstitusi / UUD. Berbilang kaum = beragam etnis / multi-etnis. Keahlian = keanggotaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ikut beberapa grup medsos Malaysia sehingga agak paham. Group atau grup disebut kumpulan. Member grup: ahli kumpulan.

      Member of parliament: ahli parlimen atau ahli dewan rakyat.

      Anggota UMNO: ahli UMNO.
      Ahli juga berarti pakar atau ekspert tapi jarang digunakan untuk pakar.

      Berbilang kaum: multietnis: multirasial. Sentimen perkauman: sentimen SARA kalau di Indonesia.

      Kerajaan Anwar: pemerintahan PM Anwar Ibrahim.

      Kerajaan Perpaduan: Unity Government.

      Hapus
    2. Bahasa Malaysia kadang terasa tidak jeli dalam pemilihan kosa kata. Masa kerajaan disamakan dengan pemerintahan. Bagaimana pemerintah Indonesia yang republik disebut kerajaan Jokowi, wkwkwk, emangnya Jokowi raja ketoprak?!

      Hapus
  2. Rakyat Indonesia perlu bersyukur dan berterima kasih. Kepada para pencetus Sumpah Pemuda yang menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bukan Bahasa Jawa yang feodal, atau Bahasa Belanda yang bahasanya penjajah. Itu solusi yang sangat jitu.

    Kepada para anggota BPUPKI/PPKI dari Indonesia Timur yang gigih memperjuangkan negara yang tidak berdasarkan atau bahkan mengistimewakan agama mayoritas. Kepada para pejuang dan ulama Islam di BPUPKI / PPKI, yang berjiwa besar dan mau berkompromi demi keutuhan NKRI, sehingga dasar negara menjadi Pancasila, bukan Piagam Jakarta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahasa Melayu di Malaysia malah tidak sekuat bahasa Indonesia. Orang Tionghoa dan India di Malaysia sebenarnya bisa berbahasa Melayu tapi kelijatannya lebih senang English untuk lingua franca. Sepertinya bahasa Melayu mereka anggap sebagai bahasa satu kaum yakni orang Melayu aja.

      Bahasa Indonesia kuat karena jadi lingua franca sejak masih bernama bahasa Melayu Rendah, Melayu Pasar, atau Melayu Tionghoa.

      Hapus
    2. Nah itu kita harus berterima kasih kepada baba2 Tionghoa yang berdagang dari Sabang sampai Merauke dan ikut memopulerkan Bahasa Melayu. Di kota sekecil apapun ada baba Tionghoa yg buka toko atau warung. Kepada baba2 Tionghoa yang mencetak koran2 berbahasa Melayu, buku2 roman picisan berbahasa Melayu. Salah satunya baba Tionghoa pemilik koran yang dengan berani mencetak syair dan not lagu Indonesia Raya sehari setelah Sumpah Pemuda digaungkan.

      Hapus
  3. Betul Bung. Melihat pergolakan politik di Malaysia, kita jadi terharu dengan para pahlawan bangsa yg melakukan Sumpah Pemuda, kemudian menyusun UUD 45 yg inklusif. Pasal 27 segala warga negara punya kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 29 kebebasan beragama dan pasal2 lain.

    Di Malaysia kesannya penduduk yg bukan Melayu dan bukan Islam seakan jadi warga negara kelas dua.

    BalasHapus
  4. DAP denied claims made by Tun Dr Mahathir Mohamad that the party will influence the unity government to change the status of Islam as the country's official religion to become a secular country.

    DAP secretary-general Anthony Loke Siew Fook said that the former Langkawi member of parliament made an irresponsible statement claiming that with the 40 parliamentary seats in the government, DAP will threaten Datuk Seri Anwar Ibrahim to do such a thing.

    "I firmly reiterate DAP's position that all DAP members of parliament will defend the Federal Constitution including respecting the position of Islam as the religion of the federation and at the same time other religions can be practiced peacefully as stated under Article 3 (1) of the Federal Constitution.

    "DAP never has and will never question the position of Islam as the Federal religion as enshrined in the Federal Constitution," Loke said in a statement on his social media pages earlier today.

    BalasHapus
  5. Posisi Islam sbg agama resmi Kerajaan Malaysia itu sama dgn posisi Kristen Anglikan sebagai agama resmi Kerajaan Inggris. Hampir tak ada artinya … krn itu hanya berarti agama yg dianut raja / ratu kepala negara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. di British tidak ada artinya karena demokrasi sekuler. Di Malaysia itu artinya luar biasa penting semacam akidah. Coba diskusi dengan orang Malaysia yg Tionghoa. Nanti dapst banyak pengetahuan dan wawasan tentang politik segregasi Malaysia.

      Orang yg bukan Melayu Islam itu kayak warga negara kelas dua aja di sana. Ibarat anak kos yg cuma nebeng di rumah orang Melayu. Itulah poin yg disampaikan Tun M.

      Hapus
    2. Saya mengerti krn sering diskusi dgn teman2 Tionghoa asal Malaysia.

      Yang saya sampaikan itu ialah “seharusnya sama dengan posisi agama Anglikan di Kerajaan Inggris Raya”. Kurang kata “seharusnya”.

      Hapus
    3. Sabah dan Sarawak di Malaysia Timur yg rileks dengan jumlah penduduk kristiani sangat signifikan. Banyak pater2 dari Flores yg tugas di sana. Ada juga romo dari daerah asalku yg tugas di gereja besar di Kuala Lumpur.

      Ideologi Islamisme di Malaysia Barat alias Semenanjung sangat rigid, Bung. Bajkan Alkitab berbahasa Indonesia pun disita karena ada kata Allah. Menurut politisi dan Kerajaan Malaysia, kata Allah hanya boleh digunakan umat Islam. Orang Kristian adalah kafir sehingga tidak dibenarkan menggunakan kata Allah.

      Karena itu, bisa dimengerti orang Tionghoa atau India di Malaysia yg Kristiani selalu berbahasa Inggris dan membaca English Bible ketimbang ditangkap polisi.

      Memang lain padang lain belalang.

      Hapus
  6. Selamat malam bung Hurek,

    Ijinkan saya yang sudah lumayan lama mengikuti blog ini memberikan opini saya. Sebagai background, saya Chinese (saya tidak mau disebut Tionghua), warga keturunan tinggal dan berasal dari Jakarta dari lahir yang kebetulan tahun depan akan menikahi calon istri saya yang merupakan Malaysian-Chinese (kami teman sekantor dulu saat saya bekerja untuk sebuah perusahaan Singapore). Jadi, menurut saya, saya qualified buat menyuarakan pikiran saya tentang opini bung Hurek.

    Pertama, memang betul Mahathir adalah sosok yang polarized bahkan bagi warga Malaysia sendiri. Calon mertua saya benci setengah mati dengan dia. Tapi mau tidak mau mendukung dia saat GE2018 dulu, yang merupakan titik balik kejatuhan UMNO. Sekarang warga Malaysia sudah sedikit muak dengan Anwar pak. Katanya dia tidak mau terima gaji, murni kerja buat rakyat. Tapi kan istrinya dulu terima gaji bertahun-tahun sebagai wakil Mahathir? Ekonomi jatuh pak, sulit. Tapi warga Chinese tetap solid mendukung DAP.
    Keluarga calon mertua saya sudah anggap angin lalu saja sekarang pernyataan Mahathir pak. Bagi mereka, statement-statement Mahathir layaknya kata-kata orang gila pikun yang sebentar lagi masuk liang kubur. Sudah gak perlu dipikirin. Makanya mereka santai-santai saja. Saya juga santai.

    Berikutnya, saya malah merasa kehidupan sebagai warga Chinese di Malaysia itu lebih baik daripada orang Chinese di Indonesia. Mengapa? Mereka punya sekolah, dari Playgroup sampai level Universitas, semua dalam bahasa Mandarin sebagai pengantar. Namanya Chinese Independent High School (ada puluhan), ini kualitasnya sangat bagus dan diakui internasional. Orang Malaysia sebutnya Dong Zong. Calon istri saya juga lulusan Dong Zong. Kualitasnya beda dengan sekolah Chinese yang dikelola negara (mirip-mirip negeri), sebutanya SJK-C, yang nantinya akan digabung menjadi satu sekolah semua ras saat SMA, kalau di Malaysia sebutanya SMK. Pendidikan di CIHS ini sangat strict. Bisa dibilang sebanding atau malah lebih bagus daripada sekolah Katolik di Jawa.

    Saya cinta Malaysia. Jujur, jika nanti saya ada anak, saya akan menyekolahkan anak saya di Chinese Independent High School (Dong Zong), sehingga ia kelak akan mendapatkan pendidikan sesuai dengan heritage-nya sebagai orang Chinese. Jujur, saya agak menyesal tinggal di Indonesia setelah mengetahui betapa flourish-nya kehidupan warga keturunan Chinese di Malaysia dan betapa menyenangkanya menjadi minoritas yang masih bisa mempraktikkan kulturnya dan tidak kehilangan identitas bahasanya. Jujur, saya sedikit iri dengan calon istri saya yang cas cis cus Mandarin bisa, Tiochiu bisa, Melayu pun faham, bahkan Tamil sedikit-sedikit dia tahu. Mungkin nanti saya wafat, saya akan minta dikuburkan di Malaysia saja, dengan nama Mandarin saya saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih bung Tian sudah bagi pengalaman nyata sebagai orang Malaysia. Kita jadi makin paham situasi politik di Malaysia. Khususnya kartu ras, agama, etnis, Melayu dan Islam di atas segalanya dsb.

      Sebagai orang Indonesia yang sangat antipolitik SARA, kita sangat ngeri dengan retorika2 yg disampaikan Mahathir, Muhyiddin, Azmin Ali, Hadi Awang, Sanusi, dan politisi2 PAS lainnya.

      Bgeitu banyak keluarga kami dari NTT sejak dulu bekerja di Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. Bahkan sebelum ada Malaysia tahun 1963. Karwna itu, pernyataan dan sepak terjang politisi di Semenanjung membuat orang2 di Malaysia Timur prihatin.

      Sejak ada YouTube saya nonton video2 Malaysia hampir setiap hari. Buat belajar cakap Melayu sikit lah. Semoga Kerajaan Perpaduan PMX Anwar Ibrahim boleh kekal satu penggal sehingga 5 tahun lah.

      Hapus
    2. Terima kasih atas reply-nya, pak Hurek

      Saya belum menjadi warganegara Malaysia. Tapi semoga bisa, kedepannya. Retorika politik dari partai Melayu itu bisa dilihat dari dua sisi pak. Dinamika politik Melayu saat ini sedang terpecah belah. Mahathir, Muhyiddin, BERSATU, PAS, UMNO, gak ada yang sampai 65%. Dan kayaknya sih emang gak ada yang bisa mempersatukan ideologi partai berbasis Bumiputera, tambah lagi ada PKR dan Anwar (dan ada lagi AMANAH, tapi suara AMANAH sekarang sudah sangat kecil). Ini sebenarnya menjadi blessing in disguise bagi kaum Chinese dan Indian. Kenapa? karena mereka sangat solid. Kalau para partai Melayu terpecah belah, maka Lim Kit Siang (sekarang Lim Guan Eng) dan DAP mampu membuat kaum minoritas berkumpul di belakangnya sampai 95%. Ini soliditas yang tidak dimiliki kaum sebelah. Hehe
      Trik yang pernah dipakai di pemilu 2008 sehingga mampu menggoyangkan BN (saat itu) dan kembali dipakai di pemilu terakhir yang membawa DAP menjadi partai terbesar kedua.

      Oiya; satu lagi enaknya menjadi minoritas Chinese di Malaysia : bebas berjudi, beralkohol, mabuk-mabukan tanpa kena tilang Syariah :) hanya kaum Muslim yang didendakan oleh aturan "rempong" seperti tidak boleh ada 1 wanita dan 2 pria dalam satu mobil (rekan Melayu saya dulu ada yang kena tilang ini di PJ), dan sebagainya ...

      Hapus
  7. (Lanjutan dari komentar saya sebelumnya)

    Terakhir, saya mau bilang perihal berbangsa di Malaysia, itu gak bisa sih dibandingin dengan berbangsa di Indonesia. Ya dasar kenegaraanya saja sudah beda. Malah dibandingkan dengan Sumpah Pemuda, ya tidak bisa. Tidak apple to apple. Di Malaysia, sudah tertuang di konstitusi bahwa mereka mengakui keberadaan orang Chinese dan Tamil dan mereka-mereka ini dilindungi hak dan legalitasnya untuk mempraktekkan budaya dan bahasa mereka. Dan hukum ini gak cuman omdo, tapi dipraktekkan secara menyeluruh. Dibangunkan sekolah, Chinese Independent High School. Surat kabar, Sinchew Daily. Universitas, sekarang sudah ada Xiamen University yang merupakan satu-satunya universitas berbahasa Mandarin di luar China. Partai? ada DAP, Gerakan, MCA. Makanan dan tradisi? Jangan ditanya, banyak tradisi Chinese yang bahkan sudah punah di Mainland tapi masih dipraktekkan di Malaysia. Belum lagi makanan khas Chinese Malaysia yang kaya dengan citarasa yang lezat. Kopi tarik. Char Kway Teow. Asam laksa. Fish Ball Noodle. Pan mee. Duh, saya gak sabar mengunjungi lagi keluarga calon mertua saya di Ipoh!

    Saya bandingkan dengan kehidupan saya sebagai keturunan Chinese di Indonesia, itu sedih sekali. Saya dari kecil tidak diajarkan bahasa Mandarin. Orangtua juga tidak bisa. Dulu toko kami harus bangkrut, teman-teman orangtua saya ada yang dijarah saat 98. Tragedi Ahok semakin meyakinkan bahwa sebenarnya kita Chinese itu tidak diterima-terima amat kok, di bumi Indonesia. Bisa jadi Chinese, tapi kamu harus downplay your identity. Melebur, membaur. Mungkin sampai identitas kami hilang. Kalau di Malaysia sih tidak.
    Saat saya mengunjungi rumah sakit di Penang untuk berobat orang tua saya, saya juga membawa beberapa oma-oma tetangga komplek kami yang mau ikut berobat dan medical check up. Mereka-mereka ini Chinese Jawa asli Malang dan Purwokerto. Duh, mereka hanya terkaget-kaget saat disapa para amah di Penang baik di pasar maupun restoran dalam Mandarin atau Hokkien. Sebuah culture shock bagi mereka yang berasal dari pulau Jawa.

    Saya tidak sabar menunggu kehidupan baru keluarga kami di tahun mendatang. Mungkin di Malaysia, negara yang sangat saya cintai (sekarang saya masih kerja remote sebagai konsultan IT untuk perusahaan Singapura).

    Salam,
    T.Z.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah bedanya antara menjadi minoritas yg jumlahnya banyak (di Malaysia) dgn kuasa tawar yang kuat, dan minoritas yang jumlahnya sedikit (di Indonesia) dengan kuasa tawar yang lemah.

      Hapus
    2. Namanya membandingkan satu negara dengan yang lain, ya boleh dong. Justru itu apple to apple. Kalau membandingkan negara dengan kecamatan, itulah yang bukan apple to apple.

      Konstitusinya seperti apa. Praktek di lapangan seperti apa.

      Seperti masukan koh Tian bhw di konstitusi Malaysia termaktub hak2 orang Cina dan Tamil untuk mempraktekkan budaya dan bahasa mereka. Itu di UUD Indonesia kan ga ada. Jadi membandingkan apple to apple. Dan ternyata applenya beda, yang satu lebih manis tapi ternyata yang lain lebih renyah.

      Hapus
    3. Kuasa tawar terlalu kuat sehingga DAP mampu jadi partai terbesar hasil PRU 15. Di sisi lain UMNO jadi sangat lemah. Partai2 Melayu terpecah belah jadi partai2 kecil.

      Kelihatannya orang Melayu trauma dengan kasus Singapura. Tun M dan politisi2 Melayu garis keras macam PAS selalu jadikan kasus Singapura sebahai contoh Melayu hilang kuasa, hilang kerajaan, hilang segalanya.

      Minoritas Tionghoa di Indonesia sedikit. Sudah pasti kuasa tawarnya lemah. Tapi justru baba2 Tionghoa yg menyebarluaskan bahasa Melayu jadi lingua franca ke seluruh Nusantara. Baha Melayi pasar itulah yg jadi bahasa Indonesia modern.

      Minoritas pribumi yg bukan Islam di Indonesia punya kuasa tawar sangat tinggi karna sama2 bumiputra, sama2 orang asli. Itulah sebabnya UUD 45 sebagai konstitusi Indonesia menghormati semua agama, ras, etnis dsb sama tinggi derajatnya.
      Di Malaysia konstitusinya jelas menulis bahwa Melayu dan Islam lebih tinggi ketimbangbl yg lain. Begitu Bung.

      Hapus
    4. Mr Tian kecewa sebab pd masa pemerintahan Suharto selama 32 tahun, ekspresi budaya Tionghoa dan sekolah2 Tionghoa dilarang. Begitu juga nama2 Tionghoa. Itu boleh disebut cultural genocide. Akibatnya gen X yang lahir dan besar di jaman Orba menjadi kehilangan jati dirinya sbg Orang Tionghoa. Kesemua itu terjadi walaupun di UUD 1945 disebut semua WN sama di depan hukum. Kenyataannya tidak sama. Bahkan sampai skrg jika Orang Tionghoa mau jadi Presiden atau Gubernur pasti tahu diri dan ga akan maju. Kecuali ada orangnya gila seperti Ahok.

      Hapus
    5. Di lain sisi, karena daya tawar yang lemah, orang Tionghoa di Jawa harus belajar membaur. Itu ada berkah nya juga. Orang2 sukubangsa lain yg tinggal di Surabaya atau Jakarta pun juga hrs belajar membaur. Sekarang ekspresi bahasa dan budaya Tionghoa tidak lagi dilarang tetapi tepa selira itu bagus.

      Hapus
    6. Terima kasih atas komentar-komentarnya semua. Betul konstitusi kedua negara memang berbeda, tapi menurut saya, yang paling berhak menilai adalah rakyat dari negara masing-masing itu sendiri. Mengapa? Karena merekalah yang merasakan tinggal di negara tersebut (dan jelas juga membayar pajaknya. Hahaha...). Seperti halnya sistem RRC yang komunis, kita dari luar menilai diktator dan sebagainya, tapi bagi mereka, inilah sistem yang terbaik buat negaranya. Dan mereka maju kok sekarang. Nah di kasus saya, kebetulan saya berkesempatan melihat dari dua sisi sistem kedua negara baik Indonesia dan Malaysia jadi saya bisa cukup menilai baik buruknya sistem di kedua negara ini. Walaupun sekarang, ya saya lebih condong suka di Malaysia sih :)

      Kalau dibilang kecewa, betul akutuh kecewa dengan cultural genocide selama 32 tahun, jujur saya merasa ada identitas di diri saya yang hilang, sebagai warga negara keturunan. Gak perlu jauh-jauh, saya dulu pernah dapat info bahwa nomor di kartu keluarga (KK) di Indonesia itu bisa ketahuan yang mana yang keturunan dan yang mana yang bukan. Itu rahasia umum yang kami warga keturunan Chinese di Jakarta rata-rata pada tahu (terutama warga Jakarta Barat). Bagi saya sih itu sendiri salah satu bentuk rasisme terselubung loh. Saudara saya ada dokter. Menurut dia, ada beberapa cabang spesialis yang gak bisa dimasuki oleh warga keturunan (lagi-lagi).

      Saya bandingkan, di Malaysia, profesi yang oleh warga keturunan Chinese di Indonesia "gak mungkin bisa deh" seperti polisi, PNS, itu sudah umum ada dari semua ras. Bisa dicek sendiri jawatan-jawatan yang ada.

      Tapi ya lagi, menurut saya wajar. Populasi warga keturunan di Indonesia gak sampai 3%, bisa apa. Sementara di Malaysia, sampai sekarang masih di atas >20%. Nilai tawarnya jauh lebih kuat dari segara sisi mau politik, ekonomi, sosial. Mertua saya bilang, kalau ada kaum yang paling nasionalis di Malaysia, pasti kaum etnik Cina. Kenapa? "Kaum kita membayar cukai paling besar! Kita buat job opportunities paling besar! Orang banyak yang kerja di usaha milik orang Cina! They should not talk about nationalism! Kami paling banyak jasa buat bangun negara! Kapan kaum kami nak ada waktu buat curi wang rakyat? "

      Hapus
    7. Mr Tian. Saya sebagai orang yang besar di Indonesia dan kemudian tinggal di Amerika juga kecewa dengan adanya cultural genocide yang terjadi sepanjang masa pemerintahan Orde Baru. Syukurlah sekarang ekspresi kebudayaan dan belajar bahasa Cina di sekolah2 sudah tidak dilarang lagi.

      Setelah lama menyimpan kekecewaan itu, sekarang saya cenderung merasakan itu sebagai berkah saja. Berterima kasih bahwa saya menjadi lancar berbahasa Indonesia, Inggris, dan masih bisa berbahasa Mandarin dgn level intermediate. Apalagi setelah mempelajari tentang genetika dan asal usul nenek moyang kita semua yang dari Afrika.

      Hapus
  8. Di Amerika, seorang keturunan Cina dalam waktu 2 generasi pasti luntur keCinaannya. Walaupun tidak ada larangan belajar atau berbahasa Cina. (Sekolah2 bahasa Cina marak di kota2 yg banyak orang keturunan Cinanya.)

    Krn apa luntur? Karena budaya Amerika yg sangat kuat dan jumlah imigran yg sangat kecil dibandingkan populasi. Krn itu mau tidak mau pasti luntur.

    Di Malaysia krn jumlah Cinanya banyak, mereka punya critical masa untuk terus mempertahankan budaya dan bahasa.

    Di Indonesia, lebih mirip Amerika kasusnya. Walaupun ada sekolah Cina, seperti jaman papa saya. Dia mahir berbahasa mandarin bahkan yang klasik (wenyan wen) tetapi dgn saudara2nya dia lebih sering menggunakan bhs Melayu pasar dan bhs Jawa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia. Tepat sekali kasus di US. Itulah yg dinamakan asimilasi. Orba menerapkan politik asimilasi Tionghoa secara paksa. Di sisi lain Baperki tetap memaksakan integrasi dengan model politik segregasi seperti zaman Belanda.

      Sekolah2 Tionghoa pada masa Hindia Belanda sangat wajar karena Tionghoa dulu berstatus hoakiao: tinggal di bumi Indonesia tapi warga negara Tiongkok. Zaman Bung Karno sekolah2 Tionghoa masih ada tapi perlahan-lahan dihapus karena makin banyak Tionghoa yg jadi WNI.

      Malaysia masih melanjutkan sistem persekolahan dsb yg segregasi meskipun mungkin semua murid itu sudah waega negara Malaysia. Jadi, suasananya macam masih era penjajahan British.

      Jangankan Tionghoa, orang Flores yg tinggal di Jawa aja generasi keduanya sudah asimilasi kayak wong Jowo. Tidak mungkin berbahasa Flores macam orang tuanya. Apalagi kalau istrinya atau suaminya wong Jowo ya selesai. Budaya atau bahasa kecil pasti tenggelam dalam budaya yg lebih besar.

      Hapus
    2. Policy apapun tidak boleh menggunakan paksaan. Dalam ilmu behavioral economics, perilaku manusia itu bisa berubah lebih drastis jika di-nudge (didorong) tanpa dipaksa. Manusianya harus punya autonomi.

      Menurut saya asimilasi itu baik, tapi tidak boleh dipaksakan. Apalagi disuruh ganti nama fam di bawah ancaman hukuman; hilanglah jati diri seseorang.

      Integrasi dgn mempertahankan identitas sukubangsa juga baik, tetapi tidak boleh eksklusif … kita tahu bahayanya. Mudah sekali massa dibakar untuk menghancurkan etnis yg terlalu mengelompok.

      Malaysia itu negara yg salah desain. Engkoh Tian bukan mencintai Malaysia, tetapi mencintai bagian Malaysia yang Cina. Malaysia apalagi bagian barat itu merupakan bom waktu… spt api dalam sekam, jika kebijakan segregasi tetapi diteruskan.

      Kebijakan yg bagus itu yg memperbolehkan kaum ttt utk mempertahankan bahasa adat istiadatnya. Tetapi suatu bangsa yg beragam etnis harus ada common experience berupa bahasa persatuan, upacara bendera, perlombaan 17 Agustus, dll; di common space yg tercampur berupa sekolah negeri, perkumpulan profesional, serikat dagang dll. yg tidak tersekat etnis atau ras.

      Hapus
    3. Kamsia kamsia... ,,Negara salah desain bahaya bom waktu".

      Apalagi kartu itu selalu dimainkan politikus2 untuk raih dukungan pemilih. Kalau pemimpin besar sekaliber Tun M dan mantan PM Muhyiddin senang mainkan politik perkauman ya.. bom waktu lah.

      Hapus
    4. Halo pak/bu Anonim dan bung Hurek yang terhormat,

      Sorry, I beg to differ here.
      "Malaysia masih melanjutkan sistem persekolahan dsb yg segregasi meskipun mungkin semua murid itu sudah waega negara Malaysia. Jadi, suasananya macam masih era penjajahan British." >> ini karena kemauan dari kaum Cina dan Tamil sendiri. Sesuatu yang saya sadari saat saya mulai kerja di perusahaan Singapura dan punya calon keluarga di Malaysia, identity is very important. Your name, the language you grow up at home, itu menentukan siapa kita dan dimana kita "belong". Di kaum Cina Malaysia, itu hal yang sederhana. Saya orang Malaysia, keturunan Cina, punya nama Mandarin. Di Malaysia (dan juga Singapore), mereka menerapkan sistem akulturasi. Ini baik buat masyarakat mereka yang majemuk, dan masing-masing ras punya presentase yang besar. Jadi semua budaya tetap ada, tetap berkelanjutan. Tidak luntur pak. Kalau di Indonesia, saya masih respek dengan kaum Cina di Sumatra terutama Medan, Riau, dan Batam, yang masih mendalami budaya Chinese-nya dan masih melanturkan dialek dalam kehidupan sehari-hari. Mother tongue. Ini penting sebagai penanda identitas. Saya pernah dipesankan oleh mendiang nenek saya, kamu jangan pernah lupa dengan se -("marga")mu. Itu yang masih membuat kamu Chinese, walaupun kamu gak bisa bahasa Mandarin sama sekali. Sense of kinship ini yang masih kuat sekali dipegang orang Cina di Malaysia.

      "Malaysia itu negara yg salah desain. Engkoh Tian bukan mencintai Malaysia, tetapi mencintai bagian Malaysia yang Cina. Malaysia apalagi bagian barat itu merupakan bom waktu… spt api dalam sekam, jika kebijakan segregasi tetapi diteruskan."

      "Kamsia kamsia... ,,Negara salah desain bahaya bom waktu".

      Apalagi kartu itu selalu dimainkan politikus2 untuk raih dukungan pemilih. Kalau pemimpin besar sekaliber Tun M dan mantan PM Muhyiddin senang mainkan politik perkauman ya.. bom waktu lah."
      >> nggak ... nggak bakal! Malaysia negara high income yang sebentar lagi akan menjadi negara maju, pak. Politisi boleh bodoh, tapi rakyatnya tidak bodoh. Pergantian kekuasaan seperti di tahun 2018, berlangsung damai, tenang, tidak ada kericuhan ... di kita, pilpres 2019 memakan setidaknya 6 korban tewas (tahu lah ya). Mentalitasnya beda.
      Dan lagi, jika terjadi the worst case, hal buruk seperti kerusuhan adalah sebuah keniscayaan. Kenapa? 1) Seperti yang saya sebut di atas, kaum Cina di Malaysia penyumbang pajak terbesar bagi negara, sebodoh-bodohnya politikus di Malaysia, masakan mereka sampai "kill the goose that lays the golden egg"? Tidak mungkin! 2) Dengan population lebih dari 6 juta dan presentase 20%, kaum Cina Malaysia akan melawan, beda dengan di Indonesia yang presentase orang Chinese-nya 1 dibanding 10. Belum lagi intervensi dari Singapura yang jelas akan me-mobilize militer mereka yang kuatir dengan influx refugee ke Singapura. Dan seperti kita tahu sendiri, Singapura memiliki militer tercanggih dan terkuat di ASEAN.
      So, menurut kesimpulan saya, hal ini tidak akan terjadi.

      Hapus
    5. GDP per capita di Malaysia masih $11k per tahun. Masih jauh lah kalau mau jadi high income. Perlu satu generasi lagi untuk bisa menyamai Taiwan. Tapi pastinya jauh lebih maju drpd Indonesia.

      Hapus
  9. Dr Onghokham pernah bikin kajian dan menulis buku soal asimilasi Tionghoa di Indonesia. Asimilasi total itu paling banyak di Madura khususnya Sumenep. Orang Tionghoa pada zaman Belamda kawin dengan wanita lokal, masuk Islam, ganti nama, ikut adat istiadat dsb persis seperti orang Madura. Maka sekian tahun kemudian tidak ada jejak yg tersisa dari anak cucu Tionghoa itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lambertus, yang anda sebut itu bukan hanya di Madura tetapi di berbagai kadipaten di Jawa Timur. Menurut catatan Claudine Salmon, banyak arsitek2 dan tukang kayu dari Tiongkok yang datang ke Jawa di abad ke-18 awalnya untuk membangun istana2 para adipati, dan kemudian dipek mantu oleh adipati2 tsb. dan kemudian mereka atau turunan mereka menjadi adipati juga. Kalau para priyayi Jawa ada darah Tionghoa 2-5% itu tidak heran. Kita tahu dari mana asalnya

      Hapus
  10. Tun sebagai rakyat malaysia ada hak untuk bersuara seperti mana rakyat biasa yang lainnya selagi tak menyalahi undang undang....Dalam dunia politik akan ada orang yang suka dan orang yang tak suka, namun ia suatu perkara biasa dalam dunia politik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagi rakyat Malaysia itu mungkin biasa, untuk bersilang pendapat masalah perkauman. Walaupun yang menyuarakan seorang mantan PM yang pernah berkuasa bertahun-tahun. Untuk rakyat Indonesia itu bukan perkara biasa. Indonesia itu negara dengan masyarakat beragam etnis, agama. Bukan seperti Malaysia yang hanya ada 3, dengan Melayu diberikan hak-hak ketuanan.

      Negara Indonesia didirikan dengan darah dan keringat para pejuang dari berbagai sukubangsa dan agama. Pidato dan pernyataan macam yang diujarkan oleh seseorang yang ditinggikan seperti Tun itu sangat berbahaya jika didengar dari konteks Indonesia.

      Hapus
  11. Tun rakyat are not stupid, stop using racism as your weapon tu divide the rakyat.

    Our first rukun negara is belief in God, God created human in the diversity of races and languages.

    We should embrace our diverse community as a strength to develop and unite our country.

    We respect the country foundation at the same we appreciate our diversity with humanity values.

    BalasHapus