Kamis, 27 Juli 2023

Genit Inggris-Inggrisan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan

Oleh L. Murbandono Hs
Mantan Wartawan Radio Nederland di Hilversum

Di Indonesia genit inggris-inggrisan untuk urusan berkata-kata dan menulis itu agaknya sudah diterima sebagian masyarakat dengan riang gembira. Mungkin karena bangsa Indonesia termasuk bangsa yang suka berkelakar. "I don't care with my popularity!" ujar bekas Presiden SBY.

Anak-anak muda kita sudah barang tentu lebih ahli dalam hal tersebut. Genit inggris-inggrisan mereka habis-habisan.

 Disebut genit, pertama, sebab perilaku dalam berbahasa yang merusak bahasa Indonesia itu diucapkan atau ditulis di Indonesia, dalam rangka Indonesia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia pula. 

Kedua, penggunaan kosakata-kosakata Inggris atau berbau Inggris itu mubazir, sebab selalu tersedia kosakata Indonesianya. Ketiga, tidak jarang penggunaan kosakata asing tersebut dengan pemaknaan yang keliru pula.

Di hampir semua koran dan majalah Indonesia selalu kita jumpai tulisan-tulisan yang genit inggris-inggrisan. Hampir di semua rubriknya. Apalagi di ruang opini (pendapat) nya. Rata-rata penulisnya – tidak semua tentunya, perlu penelitian sekolahan – menggunakan keprigelan menulis gaya kegemaran anak-anak ingusan tersebut. 

Hampir tiap hari selalu bisa ditemukan hal ihwal dan perkara tersebut. Contohnya terlalu banyak untuk disebutkan. Tak ada hari pers media Indonesia – cetak, elektronik dan sibernetika – yang terbit, berbunyi, dan tertayang tanpa dikotori tulisan atau bunyi yang genit inggris-inggrisan.

BERBAGAI KELAS

Segala sesuatu ada kelasnya. Begitu pula kegenitan inggris-inggrisan. Ada kelas ringan, kelas bulu, kelas berat, dan kelas mahaberat.

Termasuk kegenitan kelas ringan adalah penggunaan si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, dan sejenisnya. Mereka termasuk kelas "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". 

Semua kosakata jenis ini hampir selalu ada kosakata Indonesianya, dalam arti enak dan pas.

Sungguh menakjubkan! Sebab budidaya merusak bahasa Indonesia lewat tulisan dan bunyi tersebut pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar.

Mereka dimuat, dibunyikan dan dipertontonkan oleh pers media Indonesia dan disebarluaskan ke masyarakat sebagai bacaan, bahan dengar atau bahan tontonan orang-orang yang berbahasa Indonesia.

 Pers media di Indonesia sendiri merupakan perusahaan pers yang dimiliki dan diurus oleh orang-orang Indonesia. Para pengguna pers Indonesia bukan hanya orang-orang Indonesia. Pers di Indonesia juga dibaca oleh orang-orang asing yang sudah mahir atau masih belajar bahasa Indonesia.

Jadi, semua tulisan dan risalah yang dimuat di dan disebarluaskan oleh pers Indonesia tersebut mempunyai tanggung jawab keIndonesiaan yang serius. Tanggung jawab bagi peradaban Indonesia dan bahasa Indonesia. Dan terutama tanggung jawab di depan kesopansantunan berbahasa yang agung dan patut.

MERISAUKAN

Lepas dari isi dan pesan dari sekian banyak risalah di pers Indonesia yang perlu setulus hati dihargai sebab harus diakui rata-rata bermutu dan berguna bagi bangsa Indonesia, tetapi mereka menjadi merisaukan, sebab dengan kegenitan inggris-inggrisan itu langsung bisa dirasakan kerendahdirian Nusantara di hadapan Barat. Lewat bahasa!

Dari berjubelnya penggunaan kosakata Inggris yang jelas-jelas ada kosakata Indonesianya, kita mungkin menjadi sedih dan bertanya, apa sejatinya yang nista dalam kosakata Indonesia? 

Apakah bahasa Indonesia amat melarat sehingga tidak punya kosakata-kosakata sendiri yang mampu menyampaikan isi dan pesan suatu risalah, sehingga harus merelakan diri dikotori oleh kata-kata Inggris? Atau, apakah harga satu kata Indonesia satu rupiah dan harga satu kata Inggris satu dolar AS?

Itu semua memaksa kelahiran catatan-catatan kecil ini. Apakah akan ada gunanya. Sebab suasana "merusak bahasa Indonesia" itu sudah amat meluas dan berlarut-larut di Indonesia.

 Apa pun, catatan ini bermaksud menunjukkan dan membuktikan kepada semua orang dewasa bahwa seluruh kosakata Inggris yang digunakan dan membanjiri pers media Indonesia itu tidak ada nilai lebihnya bagi bahasa dan kebudayaan serta peradaban Indonesia.

 Dengan mudah sekali semua kosakata asing itu bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan.

KOSAKATA SENDIRI

Sebelum contoh-contoh nyata itu disajikan, perlu disampaikan, penelusuran genit Inggris-Inggrisan ini mungkin mengesankan "sok suci bersih murni mau bebas dari unsur asing secara mutlak", yang tidak terhindarkan. Tapi itu samasekali bukan maksudnya.

Itu soal terpisah lebih luas, yang tidak dikupas dalam kolom terbatas ini.

Jadi, penelusuran ini sekedar cara untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa bahasa Indonesia mempunyai kosakata sendiri yang sanggup mengalihkan kosakata asing secara tepat, benar, baik, dan indah. 

Dengan mudah banyak sekali kosakata asing bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan. Juga, akan ditunjukkan, dalam penggunaan kata asing atau berbau asing itupun, di samping hanya mempersulit hal yang sejatinya gampang, juga bisa ditemukan kekeliruan pula.

CONTOH NYATA

Dalam kerangka contoh nyata itu, kita tengok sebuah tulisan di ruang pendapat – biasa disebut opini – di sebuah surat kabar terkemuka di ibukota.

Di situ antara lain kita temukan bahasa tulisan dalam bahasa Indonesia yang berbunyi : "poverty targeting policy". Mengapa tidak ditulis, "kebijakan mengurus kemiskinan"? Apakah "kebijakan mengurus kemiskinan" lebih jelek katimbang "poverty targeting policy"?

Masih dalam tulisan tersebut, juga kita jumpai bukan kata asing asli, tetapi kata bentukan dari kata asing yang tidak terlalu berguna, sebab justru bisa menjadi alat pembenaran untuk kemalasan membuka kamus. Yaitu, asal ada kata Inggris berakhiran "tion" tinggal ganti saja dengan "si" atau "asi", maka lahirlah kata-kata blasteran yang "megah". 

Eksekusi! Dalam bahasa Indonesia, tersedia kosakatanya yang lebih bermartabat. Yaitu, pelaksanaan.

Juga kita temukan penyakit sekelas yang tadi. Yaitu, kata: limitasi. Mengapa tidak keterbatasan atau batas? Apalagi, penggunaan kata "limitasi" dalam bagian kalimat "Betapa pun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita…" adalah keliru. 

Limitasi bukanlah keterbatasan atau hal yang terbatas, melainkan pembatasan, yakni tindakan melakukan sesuatu agar pihak lain menjadi terbatas. Jadi, kalau tidak berkenan menggunakan "keterbatasan" atau "batas" ya kalau masih mau inggris-inggrisan juga, minimal "limit" – ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah contoh genit inggris-inggrisan, dan, keliru pula.

Kosa-kosakata "enggan Nusantara" lain yang kita temukan dalam tulisan tersebut adalah kompensasi (pengganti kerugian), anonim (tidak dikenal), targeting (mengarah, mengarahkan, menuju, menujukan, mengurus, mengelola, dll ), disagregasi (kerincian), indikator (penanda), debatable (bisa dipertengkarkan), dan dispute (pertengkaran, perselisihan, percekcokan, keributan, kehebohan, kegemparan, dll).

Mungkin Anda akan menanggapi. Semisal begini:  kata 'dapat diperdebatkan' akan lebih tepat sebagai terjemahan dari debatable. Kata 'debat' itu sudah meng-Indonesia kok, seperti misalnya dalam ungkapan 'debat kusir'. Terlebih lagi, kata 'bertengkar' tidak sama dengan 'berdebat', bukan?

Tanggapan itu benar dan baik. 

Ya, debat memang tidak sama dengan tengkar. Lalu, apa padanan Nusantaranya yang paling tepat untuk kata "debat"? Rembug? Adu-kata? Gumul-pendapat? Memang, tidak mudah.

 Justru kosakata sejenis "debat" dan semacam itulah yang akan menjadi PR jangka panjang bahasa Indonesia urusan kosakata Nusantara. 

Dalam rangka (istilah gagahnya adalah "konteks") ini, mungkin masih sulit untuk "menusantarakan" kosakata-kosakata semisal: diskusi, politik, demokrasi, pers, media, jurnalisme, radio, televisi, film, ekonomi, nasional, frustrasi, bank, teknik, mekanisme, stasiun, bus, taksi, faktor, dan kata-kata lain sejenis yang bisa banyak sekali.

Nah, kembali ke uraian awal. Maka kita akan menemukan sebuah kalimat yang sejatinya mengandung pesan yang amat bermutu. Kalimat tersebut berbunyi: "Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan." 

Kosakata yang kita persoalkan adalah "instant". Mengapa tidak "seketika"? Bahkan kalau mau lebih berani, kata "proses" itupun sejatinya masih bisa diganti dengan berbagai kosakata lain Indonesia semisal perjalanan, penggarapan, penanganan, pengolahan, dll.

ASLI DAN BENTUKAN

Selanjutnya kita temukan berbagai ungkapan Inggris asli maupun bentukan, yaitu (1) program-program targeting (rencana-rencana pengurusan), 

(2) necessary condition (persyaratan penting)

 (3) sufficient condition (persyaratan secukupnya), dan

 (4) indikator lokal (penanda setempat).

Dan tentu saja, juga kita temukan kosakata berbau Inggris dan gado-gado, ialah analisis (penguraian), mainstreaming (pengarus-utamaan), karakter (sifat, watak), mendistribusikan (membagi-bagikan, menyebarkan), "random" ("acak"), probabilitas (kemungkinan), dan masih banyak lagi.

ABJAD KOSAKATA

Menelusuri  genit Inggris-inggrisan ini, kita semua bisa menyusun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-inggrisan tersebut. Tentu saja hanya bagian kecil dari contoh-contoh yang bisa seabrek-abrek, sejauh yang nyata muncul dalam persuratkabaran dan penerangan di Indonesia sendiri.

Namun, sekali lagi, wacana perkara genit Inggris-Ingrisan ini tidak bermaksud berurusan dengan "pemurnian" bahasa. Sebab, apakah mungkin? 

Tidak ada bahasa di dunia ini yang seratus persen suci murni. Apalagi bahasa Indonesia kita yang tercinta. "Ketidakmurnian"-nya habis-habisan dalam hal menelan dan memamahbiak unsur-unsur asing.

SUDAH RUSAK

Jadi, soalnya lebih berurusan dengan ketidakwajaran dalam berbahasa Indonesia. Genit Inggris-Inggrisan di bidang perkabaran dan penerangan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan. Sudah bukan taraf perbuatan anak manja atau remaja ingusan lagi. 

Genit Inggris-Inggrisan dan kebanggaan berasing-asing ria secara berlebihan dalam berbahasa Indonesia yang tanpa guna itu, sudah amat mengerikan. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit peragawati nan cantik, maka kulit tersebut sudah penuh dengan panu dan kudis. Jadi, sungguh-sungguh menimbulkan rasa iba. Kasihan sekali.

Hal yang menimbulkan rasa iba nan kasihan sekali itu, contohnya bisa kita saksikan dalam tulisan seorang terpelajar di sebuah koran ibukota. Hampir di setiap paragrafnya bisa kita temukan panu dan kudis tersebut, misalnya: negosiasi, money politic, kondisi, sentralistik, direct democracy, kolusi, money politic, konsesi-konsesi, konsolidasi, momentum, strategis, eksistensi , agenda, kongres, fenomena, elitis, sentralistis, kolektif, intensif, konteks, relasi, personifikasi, krusial, eksekutif, legitimator, kontrol, aspirasi, kader, berpotensi, aktif, eksekutif, produktif, relasi, kategori, antagonis, posisi, kontrol, hegemonik, stempel, akomodasionis, kondisi, "karismanya", oligarki, demokrasi, politik, konkret, proses, demokrasi lokal, barometer, elitisme, sentralisme, proses, civil society, potensi, partisipasi, dimobilisasi, emosi, psikologis, prosesi, demokrasi, elektoral, sosial, strategis, desentralisasi, aspirasi, kaderisasi, simpatisan, sosialisasi, aksi-aksi, dan eksistensi.

APA ALASANNYA?

Mengapa kosakata-kosakata di atas ibarat panu dan kudis yang menimbulkan rasa iba? Sebab semua kata tersebut, bisa dengan mudah ditemukan kosakata Nusantaranya dengan cukup mudah, tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan.

Soalnya, mengapa? Buat apa mengembangbiakkan kegemaran memalukan yang menyebarkan panu-panu dan kudis-kudis itu? 

Mungkin bukan sekedar karena bahasa Inggris dianggap lebih hebat katimbang bahasa Indonesia, melainkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan dan irit. Maka, tidak tega membuang kosakata-kosakata asing. Ini kemungkinan pertama.

Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Karena itu, kita merdeka memperlakukan bahasa kita dan bahasa asing sesuka hati. Mengapa tidak boleh mencampuraduk mereka menjadi bahasa gado-gado?

Ketiga, dugaan bahwa dengan bahasa gado-gado itu bahasa Indonesia akan tampil lebih indah, lebih meyakinkan, dan lebih beradab.

Namun, untunglah, genit Inggris-Inggrisan itu – sudah sedikit disinggung di atas tetapi belum lengkap  – ternyata berkelas-kelas. Paling sedikit tiga kelas. Ada kelas ringan, kelas berat, dan kelas algojo alias kelas dasamuka. Tapi mohon jangan lupa, apapun kelasnya, semua kosakata Inggris dan berbau Inggris itu rata-rata ada kosakata Nusantaranya.

TIGA KELAS

Kelas ringan adalah gemar menggunakan kata berakhiran si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, tas-tas-tas, dan sejenisnya. Yang masuk kelas ini adalah kaum yang takluk kepada falsafah gombal yang berbunyi "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela".

 Rumitnya, ini sejatinya kebingungan kelas gajah. Politik bahasa! Bahkan "kitab suci" bahasa Indonesia – Kamus Besar Bahasa Indonesia – itupun, memasukkan kosakata-kosakata sejenis itu sebagai lema.

Tergolong kelas berat adalah kosakata berbau Inggris atau Barat yang dahulu tidak ada atau belum terkenal. Lalu sekarang tiba-tiba ada. Ini bisa berupa kata utuh semisal "bias" dan "dispute" atau akhiran baru semisal "bel-bel" itu.

Kelas algojo dasamuka adalah kosakata Inggris yang digelundungkan begitu saja ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Bukan cuma satu atau dua kosakata, bahkan satu kalimat atau satu paragraf sekalian. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi kosakata, kalimat, dan paragraf bahasa Indonesia. Genit macam inilah sejatinya yang membuat bahasa Indonesia kian lama kian amburadul, kian terbunuh, kian terbantai-bantai!

HARUS MENDERITA

Agaknya, bahasa Indonesia memang harus menderita sebab wajib belajar terus, atau binasa! Jalan salib penderitaan harus ia tempuh. Khususnya saat bergaul dengan aneka rupa kosakata asing. Agar sampai pada kebangkitan kebahasaan yang indah mulia.

Suatu masa ia pernah kikuk di hadapan kosakata Belanda, di kota-kota. Kosakata Arab sejak dahulu jaya di desa-desa dan kini makin meriah, percaya diri melewati jalan-jalan bebas hambatan dan memasuki gedung-gedung bertingkat. 

Kosakata India, saya kurang paham, di Bali mungkin bisa dirasakan. Kosakata Latin, ini suasana khusus di salah satu sudut di Ledalero, Kentungan, Pineleng, Abepura, Pematang Siantar dan sebangsanya – di seminari-seminari. Semuanya ini masih perlu uraian lebih luas, yang di luar kemampuan catatan kecil ini. Ia hanya mengupas kosakata Inggris atau berbau Inggris, dan terbatas mempersoalkan kegenitan Inggris-Inggrisan.

EMPAT KEINGINAN

Meski mungkin membuat uring-uringan kaum "genit Inggris-Inggrisan", catatan kecil ini sejatinya bernyali amat kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, pengikut kaum tersebut sudah telanjur amat kuat perkasa dan meluas di seluruh Indonesia. 

Kaum itu telah memenuhi desa-desa, kota-kota, toko-toko kelontong, kantor resmi, pemukiman kumuh dan apalagi pemukiman mewah, meja-meja persuratkabaran, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan tentu saja di semua gedung lembaga tinggi negara.

Karena itu, catatan kecil ini cuma mampu mengusung empat keinginan.

Pertama, ingin berterus terang.
Kedua, ingin melontarkan tanggapan yang membangun.

Ketiga, ingin mengimbau, agar tiap manusia Indonesia yang dewasa tanpa pandang bulu lebih bersikap wajar dalam berbahasa Indonesia dan menghormati bahasa Indonesia.

Keempat, ingin memperkenalkan "iman" yang mengakui bahwa gemar menggunakan kosakata-kosakata asing secara tidak perlu di dalam berbahasa Indonesia adalah perbuatan tercela yang merusak bahasa Indonesia.

Hilversum, Juli 2005
Tulis Ulang, Kopeng, Juli 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar