Ita Nasyiah (kiri) mengunjungi eks kampus AWS di Jalan Kapasari 3-5 Surabaya. |
Akhir-akhir ini sejumlah komunitas melakukan blusukan ke kampung-kampung lawas di Surabaya. Salah satunya di Jalan Kapasari. Salah satu perkampungan Tionghoa tempo doeloe itu sekarang jadi sentra dagang barang-barang bekas.
Hermawan Kartajaya, suhu marketing, juga sempat blusukan di Kapasari. Nostalgia di rumahnya di Kapasari Gang V. Rumah masa kecilnya sudah lama pindah tangan.
Hermawan Kartajaya sudah lama hijrah dari Kapasari. Begitu juga orang-orang Tionghoa yang lain. Biasanya Wong Tenglang pindah ke perumahan menengah atas yang lebih nyaman. Sebab, mobil sulit masuk di gang-gang sempit Kapasari, Gembong, Kalianyar, Kaliondo, Kapasan, dan sebagainya.
Setiap melintas di Jalan Kapasari, sangat sering, Ayas selalu ingat THHK. Tiong Hoa Hwee Kwan. Sekolah Tionghoa yang pernah sangat terkenal sebelum Orde Baru berkuasa pada 1966. THHK di Kapasari ini ditutup bersama semua sekolah Tionghoa yang lain selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ada juga yang bilang Gestok: Gerakan 1 Oktober.
Orde Baru memang identik dengan politik kontra Tionghoa. Bahkan bahasa Tionghoa, Mandarin, aksara hanzi pun haram. Sudah jelas warga keturunan Tionghoa ketar-ketir. Bisa jadi sasaran persekusi dan kemarahan publik yang dikompori rezim saat itu.
Gedung Sekolah THHK di Jalan Kapasari Nomor 3-5 itu kemudian dijadikan kampus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) dan Sekolah Asisten Apoteker (SAA). Sekarang jadi SMK Farmasi.
Sangat banyak wartawan di Jawa Timur yang lahir dari kampus AWS di Kapasari itu. Kampus legendaris, kata mereka.
"Kampus AWS di Kapasari itu benar-benar kampus perjuangan. Banyak romantika dan lika-liku di situ," kata Ita Nasyiah, mantan wartawan andalan Jawa Pos, alumnus AWS Kapasari.
Ita yang produktif menulis buku itu beberapa kali nostalgia di bekas kampusnya. AWS, sekarang Stikosa AWS, sudah lama pindah ke kawasan Nginden. Gedung di Kapasari sepenuhnya dipakai untuk sekolah farmasi.
Gara-gara sering diskusi di grup tempo doeloe, Ayas akhirnya tahu kalau Sam Edi Soetedjo ternyata alumnus AWS di Kapasari juga. Kera Ngalam ini semasa aktif jadi wartawan Sinar Harapan, kemudian Suara Pembaruan, dikenal kritis dan tangguh. Hasil penggemblengan di dapur AWS masa lalu yang tidak berorientasi cari ijazah tapi jago di lapangan.
Karena itu, tidak heran banyak mahasiswa AWS (dulu) yang DO karena keasyikan bekerja di berbagai media. Mereka tidak peduli ijazah dan tetek bengek formalitas akademik.
Ada juga wartawan tua yang kembali ke kampus untuk menyelesaikan sisa SKS dan diwisuda setelah puluhan tahun jadi bos media. AWS di Kapasari dulu benar-benar kampus merdeka. Merdeka berpikir, merdeka belajar, merdeka bekerja, merdeka berijazah.
Sekolah THHK kali pertama didirikan di Surabaya pada 5 November 1903. Para perintisnya Liem Sioe Tien, Phoa Lian Tjing, Kwee Lian Phik serta Go Khing Lian. Sekolah tersebut berada di daerah Keputran dengan nama Ho Tjiong Hak Kwan.
Pengajaran di THHK Surabaya menggunakan bahasa Hokkian. Bahasa itu dipilih karena mayoritas orang Tionghoa yang berada di Surabaya berasal dari suku Hokkian. Sekolah THHK yang berada di Surabaya berbeda dengan THHK di Batavia yang menggunakan bahasa nasional atawa Kou-Yu.
Didit Hape, pensiunan wartawan TVRI Surabaya, punya kenangan manis dengan kampus pertama AWS di Jalan Kapasari. Berikut komentar mantan pengasuh acara Rona-Rona di TVRI Surabaya itu:
,,Saya juga mantan mahasiswa AWS Kapasari, yang nggak pernah lulus dan nggak pernah diwisuda. Saya kuliah sambil bekerja sebagai kuli tinta / koresponden koran Merdeka Jakarta.
Anehnya ketika sampai di kantor redaksi pusat, oleh para dosen AWS saya disarankan langsung ke kantor TVRI pusat Jakarta. Alasannya kala itu TVRI sedang membuka lowongan kerja , jadilah saya seorang cameraman film , sekaligus jurnalis di TVRI sampai Pangsiunan.
Kampus AWS - Kapasari , Surabaya,.. ✍🏻 bagi kami adalah kampus lawas yang banyak menyimpan kenangan, karena di gedung bangunan lama inilah Tuhan mempermukan jodohku , Budha Ersa , yang sekarang jadi Istriku yang juga alumni SAA , Sekolah Asisten Apoteker Surabaya."
THHK adalah organisasi Tionghoa yang legendaris. Yang berusaha melestarikan budaya Tionghoa di tengah gerusan modernisasi barat / Belanda. Yang berusaha mengingatkan generasi muda Tionghoa akan jati diri mereka dgn ajaran2 filosofi Konghucu, dan berbagai tradisi lainnya. Tidak ada hubungannya dengan PKI atau komunisme.
BalasHapusMengapa ditutup? Alasannya sama dengan alasan Sri Sultan melarang komunitas Cina di Yogya memiliki tanah. Krn dosa segelintir orang, seluruh komunitas dihukum. Karena yang berkuasa menganggap dirinya lah hukum.
Pada jaman Orba, Suharto dan bala2nya menganggap diri mereka hukum. Maka orang2 yang ikut golongan tertentu, dianggap kiri, dianggap Cina, dihukum tanpa proses pengadilan. Ada yang dipenjara, dibuang ke Pulau Buru, dan bahkan dibunuh.
Yang berontak itu tentara2 AD yg pro Sukarno. Katanya mereka dipengaruhi oleh anggota2 Politbiro PKI. Lantas apa dosanya THHK dan komunitas Cina? Hanya karena PKI dekat dengan PKT, maka seluruh komunitas Tionghoa dihukum.
Semoga pengorbanan THHK dan berbagai orang Tionghoa menjadi tumbal penebusan dosa2 rakyat Indonesia agar tidak terjadi lagi penangkapan, penculikan, pengasingan, dan pembunuhan tanpa proses hukum.
Siansen punya pendapet dan uneg2 bisa dimengerti. Itulah kita punya sejarah. Kerusakan sudah terjadi. Semoga angkatan2 muda bisa betulin itu semua kekeliruan di masa lalu. Kudu belajar dari sejarah agar RI bisa maju dan makmur.
HapusSaya berandai-andai. Seandainya kala itu Bung Karno bukan seorang diktator (BK bukan diktator mutlak, tetapi tetap harus dianggap diktator berdasarkan perilakunya). Mungkin tidak akan ada keinginan atau saling mencari celah untuk melakukan perebutan kekuasaan antara AD dan PKI. Krn pergantian kekuasaan di negara yang demokratis / tidak dipimpin diktator akan dilakukan lewat Pemilu.
BalasHapusLagi. Seandainya setelah terjadinya penculikan 6 jenderal + 1 kapten, dan setelah para pelaku penculikan dan pembunuhan itu ditangkap dan diadili, dan setelah Suharto mengambil alih kekuasaan lewat Supersemar dan menurunkan Sukarno dengan bantuan Nasution di MPRS, ia menahan diri. Ia tidak mengerahkan massa lewat propaganda yang dilakukan corong2 AD termasuk bapak mertuanya SBY shg terjadi pembunuhan dan perampokan massal terhadap mereka yang dianggap kiri. Investigasi terhadap anggota2 politbiro PKI yang dianggap menggerakkan tentara2 AD yang lewat pengadilan. Bisa saja PKI dibubarkan. Setelah itu, sudah ... rekonsiliasi. Hukum ditegakkan melalui proses. Bukan menurut sabda ratu.
Seandainya.
Itu pendapet yang menarik. Bukan sabda pandita ratu. Adri memang pemain kunci dalem itu pergolakan politik untuk dapet kuasa.
HapusBung Harto dapet kuasa selama 32 taun. Cukup lama. Adri juga dapet kuasa mutlak. Jadi lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampe ke puncak di Jakarta. Dulu ndak ada yang gugat kuasa mutlak orde baru, Bung Harto, Abri khususnya Adri dsb. Semuanya puja puji Orba dan Abri manunggal dengen rakyat.
Agak mirip dengen rakyat Malaysia yang dulu memuji-muji Umno dan PM Mahathir Mohamad sebagai pemimpin paling berjaya di rantau, negara paling maju jaya, Wawasan 2020 dsb.
Bedanya Bung Harto sudah pulang. Tun Mahathir masih punya suara serak di usia 98 tahun.
Barusan pulang Indonesia, ngobrol dengan teman2 yang pengusaha dan profesional. Jaman Orba, TNI AD yang berkuasa, pegang jabatan di mana2 sambil meminta "pajak" di bawah meja. Jaman sekarang Pak Polisi yang bisa meminta uang keamanan sewaktu-waktu, dengan ancaman apa2 bisa dibuat perkara pidana.
HapusBekas Sekolah Rakyat Tionghoa di Jalan Kapasari Surabaya, bagi kami kaum Tionghoa lazimnya menyebut dengan nama " Si-hua xiao-xue ", adalah Sekolah Rakyat yang sangat terkenal di Surabaya. Adik bungsu saya dulu sekolah disana sampai lulus SR. Istri-saya dan saudara2-nya juga pernah bersekolah disana. Sayang nya bojo-ku cuma sekolah sampai kelas 0, lalu sudah harus pindah ke Sekolah Gabriel di Kristus Raja.
BalasHapusPersis didepan sekolah itu ada gedung Perkumpulan Gie-Hoo. Mengenang Surabaya, hanya perasaan sedih yang terasa, sebab banyak teman2 dan famili2 yang sudah mati.
Masyarakat Tionghoa di jaman Belanda dan Orla itu tidak seragam. Majemuk dari berbagai dimensi.
BalasHapusContohnya THHK. Ini organisasi yang didirikan Tionghoa peranakan yang takut anak2 mereka kehilangan jati diri. Terlalu kebelanda2an atau terlalu njawani. Untuk itu dibikinkan sekolah2 Tionghoa, dan didirikan klenteng2 Sam Kauw / yang jaman Orba direbrand menjadi “Vihara” Tridarma.
Ketika gelombang2 Tionghoa totok datang di tahun 1920-30an, selepas revolusi nasional di Tiongkok yang membuat negara tsb kacau balau, mereka mendirikan sekolah2 di luar THHK. Ada yang berhaluan KMT seperti Lien Tjhung di Jln Ambengan, dan kemudian juga yang berhaluan RRT seperti Chiao Chung (qiao zhong), Sien Tjhung (xin zhong), dll. Krn jaman itu Orang Tionghoa berkewarganegaraan ganda dan Sukarno mengakui RRT bukan RNT/RoC.
THHK sendiri menjadi sepi murid ketika thn 1960 kaum peranakan yang kebanyakan bekerja dgn perusahaan2 Belanda / multinasional ikut Belanda dan Indo ke Belanda ketika Sukarno menasionalisasi berbagai perusahaan asing dalam rangka perebutan Irian Barat. Akibatnya mereka harus merekrut murid2 dari kalangan totok, yang tadinya mereka anggap bau bacin. Semua itu pun hanya berlangsung 5 tahun krn 1965 semua itu pun ditutup, dan murid2 Tionghoa tercerai berai masuk berbagai sekolah Katolik, Protestan, dan swasta sekuler seperti Sinlui, Santa Maria, Petra, Dapena, YPPI. Dan ketika mereka lulus, para cendekiawan Tionghoa (dgn dibantu gereja dan yayasan2 swasta lain) mendirikan universitas2 swasta seperti Ubaya, UK Petra, UK Widya Mandala, untuk menampung murid2 Tionghoa tsb, krn di jaman Orba diberlakukan kuota masuk universitas negeri. Sekolah2 dan universitas2 swasta tsb kemudian menjadi berkat bagi seluruh masyarat Surabaya dan Jawa Timur karena mereka menampung murid2 dan mahasiswa2 dari segala ras dan lapisan.