Jumat, 28 Juli 2023

Sinead Pulang sebagai Shuhada! Kyrie Eleison

Anak muda 90-an pasti kenal Sinead O'Connor. Paling tidak pernah dengar Nothing Compares 2 U. Lagu ini dulu diputar saban hari di radio-radio yang sebagian besar masih AM. 

Kita orang kurang paham kata-kata bahasa Inggris. Tapi kawan-kawan mahasiswa dulu senang betul dengar lagu Nothing Compares 2 U itu. Gaya nyanyi Sinead unik. Rada nyeleneh.

Apa lagu-lagu lain Sinead? Tak banyak yang tahu. Kecuali penggemar berat yang punya koleksi kaset dan CD-nya. Di era digital baru semua orang bisa menikmati lagu-lagu penyanyi asal Irlandia tersebut.

Ayas sendiri cuma samar-samar dengar Kyrie Eleison. Salah satu lagu Sinead yang merujuk lagu liturgi Katolik, Tuhan Kasihanilah Kami. Melodinya Gregorian 8 yang sangat dikenal umat Katolik di Indonesia. Lagu Gregorian itu hampir selalu dinyanyikan saat misa di gereja saban Ahad.

Ayas pikir Sinead ini artis yang ,,sangat Katolik". Kok bisa ya seorang artis mempopkan lagu Kyrie Eleison? Kalau bukan orang Katolik yang dekat dengan tradisi liturgi Latin tidak mungkin paham dan fasih menyanyikan Kyrie Eleison, Agnus Dei, Sanctus dsb.

Belakangan baru Ayas tahu bahwa Sinead seorang aktivis yang sangat kritis. Khususnya terhadap Katolik. Khususnya lagi terhadap Paus di Vatikan. Sinead secara demonstratif menyobek foto Paus Yohanes Paulus II. Sebagai protes kekerasan seksual terhadap anak-anak di lingkungan Gereja Katolik.

Keras sekali pernyataan-pernyataan Sinead yang terekam di YouTube. Khususnya terhadap Katolik, Paus, kekristenan. Orang Katolik yang rajin pigi misa, sering mendaraskan Gregorian, akhirnya menjauh dari Sinead. 

Lama tak ada kabar, Sinead muncul lagi di pemberitaan. Sinead berubah jadi Shuhada Sadaqat. Jadi mualaf. Pakai hijab. Warganet di Indonesia, Malaysia, Pakistan dsb menyambut hangat kedatangan Sinead, eh Shuhada. 

Shuhada makin sering muncul di media. Wawancara-wawancara lama sering dimuat ulang. Dari sini kita bisa melihat perkembangan kejiwaan dan karir seniman besar itu. Mulai era 80an sampai sekarang.

Sinead telah mencapai garis akhir hayatnya. Bertemu Allah sebagai Shuhada. Nothing compares to you!

Kyrie eleison! 
Lord have mercy!
Tuhan kasihanilah kami!

Kamis, 27 Juli 2023

Genit Inggris-Inggrisan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan

Oleh L. Murbandono Hs
Mantan Wartawan Radio Nederland di Hilversum

Di Indonesia genit inggris-inggrisan untuk urusan berkata-kata dan menulis itu agaknya sudah diterima sebagian masyarakat dengan riang gembira. Mungkin karena bangsa Indonesia termasuk bangsa yang suka berkelakar. "I don't care with my popularity!" ujar bekas Presiden SBY.

Anak-anak muda kita sudah barang tentu lebih ahli dalam hal tersebut. Genit inggris-inggrisan mereka habis-habisan.

 Disebut genit, pertama, sebab perilaku dalam berbahasa yang merusak bahasa Indonesia itu diucapkan atau ditulis di Indonesia, dalam rangka Indonesia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia pula. 

Kedua, penggunaan kosakata-kosakata Inggris atau berbau Inggris itu mubazir, sebab selalu tersedia kosakata Indonesianya. Ketiga, tidak jarang penggunaan kosakata asing tersebut dengan pemaknaan yang keliru pula.

Di hampir semua koran dan majalah Indonesia selalu kita jumpai tulisan-tulisan yang genit inggris-inggrisan. Hampir di semua rubriknya. Apalagi di ruang opini (pendapat) nya. Rata-rata penulisnya – tidak semua tentunya, perlu penelitian sekolahan – menggunakan keprigelan menulis gaya kegemaran anak-anak ingusan tersebut. 

Hampir tiap hari selalu bisa ditemukan hal ihwal dan perkara tersebut. Contohnya terlalu banyak untuk disebutkan. Tak ada hari pers media Indonesia – cetak, elektronik dan sibernetika – yang terbit, berbunyi, dan tertayang tanpa dikotori tulisan atau bunyi yang genit inggris-inggrisan.

BERBAGAI KELAS

Segala sesuatu ada kelasnya. Begitu pula kegenitan inggris-inggrisan. Ada kelas ringan, kelas bulu, kelas berat, dan kelas mahaberat.

Termasuk kegenitan kelas ringan adalah penggunaan si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, dan sejenisnya. Mereka termasuk kelas "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". 

Semua kosakata jenis ini hampir selalu ada kosakata Indonesianya, dalam arti enak dan pas.

Sungguh menakjubkan! Sebab budidaya merusak bahasa Indonesia lewat tulisan dan bunyi tersebut pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar.

Mereka dimuat, dibunyikan dan dipertontonkan oleh pers media Indonesia dan disebarluaskan ke masyarakat sebagai bacaan, bahan dengar atau bahan tontonan orang-orang yang berbahasa Indonesia.

 Pers media di Indonesia sendiri merupakan perusahaan pers yang dimiliki dan diurus oleh orang-orang Indonesia. Para pengguna pers Indonesia bukan hanya orang-orang Indonesia. Pers di Indonesia juga dibaca oleh orang-orang asing yang sudah mahir atau masih belajar bahasa Indonesia.

Jadi, semua tulisan dan risalah yang dimuat di dan disebarluaskan oleh pers Indonesia tersebut mempunyai tanggung jawab keIndonesiaan yang serius. Tanggung jawab bagi peradaban Indonesia dan bahasa Indonesia. Dan terutama tanggung jawab di depan kesopansantunan berbahasa yang agung dan patut.

MERISAUKAN

Lepas dari isi dan pesan dari sekian banyak risalah di pers Indonesia yang perlu setulus hati dihargai sebab harus diakui rata-rata bermutu dan berguna bagi bangsa Indonesia, tetapi mereka menjadi merisaukan, sebab dengan kegenitan inggris-inggrisan itu langsung bisa dirasakan kerendahdirian Nusantara di hadapan Barat. Lewat bahasa!

Dari berjubelnya penggunaan kosakata Inggris yang jelas-jelas ada kosakata Indonesianya, kita mungkin menjadi sedih dan bertanya, apa sejatinya yang nista dalam kosakata Indonesia? 

Apakah bahasa Indonesia amat melarat sehingga tidak punya kosakata-kosakata sendiri yang mampu menyampaikan isi dan pesan suatu risalah, sehingga harus merelakan diri dikotori oleh kata-kata Inggris? Atau, apakah harga satu kata Indonesia satu rupiah dan harga satu kata Inggris satu dolar AS?

Itu semua memaksa kelahiran catatan-catatan kecil ini. Apakah akan ada gunanya. Sebab suasana "merusak bahasa Indonesia" itu sudah amat meluas dan berlarut-larut di Indonesia.

 Apa pun, catatan ini bermaksud menunjukkan dan membuktikan kepada semua orang dewasa bahwa seluruh kosakata Inggris yang digunakan dan membanjiri pers media Indonesia itu tidak ada nilai lebihnya bagi bahasa dan kebudayaan serta peradaban Indonesia.

 Dengan mudah sekali semua kosakata asing itu bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan.

KOSAKATA SENDIRI

Sebelum contoh-contoh nyata itu disajikan, perlu disampaikan, penelusuran genit Inggris-Inggrisan ini mungkin mengesankan "sok suci bersih murni mau bebas dari unsur asing secara mutlak", yang tidak terhindarkan. Tapi itu samasekali bukan maksudnya.

Itu soal terpisah lebih luas, yang tidak dikupas dalam kolom terbatas ini.

Jadi, penelusuran ini sekedar cara untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa bahasa Indonesia mempunyai kosakata sendiri yang sanggup mengalihkan kosakata asing secara tepat, benar, baik, dan indah. 

Dengan mudah banyak sekali kosakata asing bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan. Juga, akan ditunjukkan, dalam penggunaan kata asing atau berbau asing itupun, di samping hanya mempersulit hal yang sejatinya gampang, juga bisa ditemukan kekeliruan pula.

CONTOH NYATA

Dalam kerangka contoh nyata itu, kita tengok sebuah tulisan di ruang pendapat – biasa disebut opini – di sebuah surat kabar terkemuka di ibukota.

Di situ antara lain kita temukan bahasa tulisan dalam bahasa Indonesia yang berbunyi : "poverty targeting policy". Mengapa tidak ditulis, "kebijakan mengurus kemiskinan"? Apakah "kebijakan mengurus kemiskinan" lebih jelek katimbang "poverty targeting policy"?

Masih dalam tulisan tersebut, juga kita jumpai bukan kata asing asli, tetapi kata bentukan dari kata asing yang tidak terlalu berguna, sebab justru bisa menjadi alat pembenaran untuk kemalasan membuka kamus. Yaitu, asal ada kata Inggris berakhiran "tion" tinggal ganti saja dengan "si" atau "asi", maka lahirlah kata-kata blasteran yang "megah". 

Eksekusi! Dalam bahasa Indonesia, tersedia kosakatanya yang lebih bermartabat. Yaitu, pelaksanaan.

Juga kita temukan penyakit sekelas yang tadi. Yaitu, kata: limitasi. Mengapa tidak keterbatasan atau batas? Apalagi, penggunaan kata "limitasi" dalam bagian kalimat "Betapa pun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita…" adalah keliru. 

Limitasi bukanlah keterbatasan atau hal yang terbatas, melainkan pembatasan, yakni tindakan melakukan sesuatu agar pihak lain menjadi terbatas. Jadi, kalau tidak berkenan menggunakan "keterbatasan" atau "batas" ya kalau masih mau inggris-inggrisan juga, minimal "limit" – ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah contoh genit inggris-inggrisan, dan, keliru pula.

Kosa-kosakata "enggan Nusantara" lain yang kita temukan dalam tulisan tersebut adalah kompensasi (pengganti kerugian), anonim (tidak dikenal), targeting (mengarah, mengarahkan, menuju, menujukan, mengurus, mengelola, dll ), disagregasi (kerincian), indikator (penanda), debatable (bisa dipertengkarkan), dan dispute (pertengkaran, perselisihan, percekcokan, keributan, kehebohan, kegemparan, dll).

Mungkin Anda akan menanggapi. Semisal begini:  kata 'dapat diperdebatkan' akan lebih tepat sebagai terjemahan dari debatable. Kata 'debat' itu sudah meng-Indonesia kok, seperti misalnya dalam ungkapan 'debat kusir'. Terlebih lagi, kata 'bertengkar' tidak sama dengan 'berdebat', bukan?

Tanggapan itu benar dan baik. 

Ya, debat memang tidak sama dengan tengkar. Lalu, apa padanan Nusantaranya yang paling tepat untuk kata "debat"? Rembug? Adu-kata? Gumul-pendapat? Memang, tidak mudah.

 Justru kosakata sejenis "debat" dan semacam itulah yang akan menjadi PR jangka panjang bahasa Indonesia urusan kosakata Nusantara. 

Dalam rangka (istilah gagahnya adalah "konteks") ini, mungkin masih sulit untuk "menusantarakan" kosakata-kosakata semisal: diskusi, politik, demokrasi, pers, media, jurnalisme, radio, televisi, film, ekonomi, nasional, frustrasi, bank, teknik, mekanisme, stasiun, bus, taksi, faktor, dan kata-kata lain sejenis yang bisa banyak sekali.

Nah, kembali ke uraian awal. Maka kita akan menemukan sebuah kalimat yang sejatinya mengandung pesan yang amat bermutu. Kalimat tersebut berbunyi: "Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan." 

Kosakata yang kita persoalkan adalah "instant". Mengapa tidak "seketika"? Bahkan kalau mau lebih berani, kata "proses" itupun sejatinya masih bisa diganti dengan berbagai kosakata lain Indonesia semisal perjalanan, penggarapan, penanganan, pengolahan, dll.

ASLI DAN BENTUKAN

Selanjutnya kita temukan berbagai ungkapan Inggris asli maupun bentukan, yaitu (1) program-program targeting (rencana-rencana pengurusan), 

(2) necessary condition (persyaratan penting)

 (3) sufficient condition (persyaratan secukupnya), dan

 (4) indikator lokal (penanda setempat).

Dan tentu saja, juga kita temukan kosakata berbau Inggris dan gado-gado, ialah analisis (penguraian), mainstreaming (pengarus-utamaan), karakter (sifat, watak), mendistribusikan (membagi-bagikan, menyebarkan), "random" ("acak"), probabilitas (kemungkinan), dan masih banyak lagi.

ABJAD KOSAKATA

Menelusuri  genit Inggris-inggrisan ini, kita semua bisa menyusun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-inggrisan tersebut. Tentu saja hanya bagian kecil dari contoh-contoh yang bisa seabrek-abrek, sejauh yang nyata muncul dalam persuratkabaran dan penerangan di Indonesia sendiri.

Namun, sekali lagi, wacana perkara genit Inggris-Ingrisan ini tidak bermaksud berurusan dengan "pemurnian" bahasa. Sebab, apakah mungkin? 

Tidak ada bahasa di dunia ini yang seratus persen suci murni. Apalagi bahasa Indonesia kita yang tercinta. "Ketidakmurnian"-nya habis-habisan dalam hal menelan dan memamahbiak unsur-unsur asing.

SUDAH RUSAK

Jadi, soalnya lebih berurusan dengan ketidakwajaran dalam berbahasa Indonesia. Genit Inggris-Inggrisan di bidang perkabaran dan penerangan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan. Sudah bukan taraf perbuatan anak manja atau remaja ingusan lagi. 

Genit Inggris-Inggrisan dan kebanggaan berasing-asing ria secara berlebihan dalam berbahasa Indonesia yang tanpa guna itu, sudah amat mengerikan. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit peragawati nan cantik, maka kulit tersebut sudah penuh dengan panu dan kudis. Jadi, sungguh-sungguh menimbulkan rasa iba. Kasihan sekali.

Hal yang menimbulkan rasa iba nan kasihan sekali itu, contohnya bisa kita saksikan dalam tulisan seorang terpelajar di sebuah koran ibukota. Hampir di setiap paragrafnya bisa kita temukan panu dan kudis tersebut, misalnya: negosiasi, money politic, kondisi, sentralistik, direct democracy, kolusi, money politic, konsesi-konsesi, konsolidasi, momentum, strategis, eksistensi , agenda, kongres, fenomena, elitis, sentralistis, kolektif, intensif, konteks, relasi, personifikasi, krusial, eksekutif, legitimator, kontrol, aspirasi, kader, berpotensi, aktif, eksekutif, produktif, relasi, kategori, antagonis, posisi, kontrol, hegemonik, stempel, akomodasionis, kondisi, "karismanya", oligarki, demokrasi, politik, konkret, proses, demokrasi lokal, barometer, elitisme, sentralisme, proses, civil society, potensi, partisipasi, dimobilisasi, emosi, psikologis, prosesi, demokrasi, elektoral, sosial, strategis, desentralisasi, aspirasi, kaderisasi, simpatisan, sosialisasi, aksi-aksi, dan eksistensi.

APA ALASANNYA?

Mengapa kosakata-kosakata di atas ibarat panu dan kudis yang menimbulkan rasa iba? Sebab semua kata tersebut, bisa dengan mudah ditemukan kosakata Nusantaranya dengan cukup mudah, tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan.

Soalnya, mengapa? Buat apa mengembangbiakkan kegemaran memalukan yang menyebarkan panu-panu dan kudis-kudis itu? 

Mungkin bukan sekedar karena bahasa Inggris dianggap lebih hebat katimbang bahasa Indonesia, melainkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan dan irit. Maka, tidak tega membuang kosakata-kosakata asing. Ini kemungkinan pertama.

Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Karena itu, kita merdeka memperlakukan bahasa kita dan bahasa asing sesuka hati. Mengapa tidak boleh mencampuraduk mereka menjadi bahasa gado-gado?

Ketiga, dugaan bahwa dengan bahasa gado-gado itu bahasa Indonesia akan tampil lebih indah, lebih meyakinkan, dan lebih beradab.

Namun, untunglah, genit Inggris-Inggrisan itu – sudah sedikit disinggung di atas tetapi belum lengkap  – ternyata berkelas-kelas. Paling sedikit tiga kelas. Ada kelas ringan, kelas berat, dan kelas algojo alias kelas dasamuka. Tapi mohon jangan lupa, apapun kelasnya, semua kosakata Inggris dan berbau Inggris itu rata-rata ada kosakata Nusantaranya.

TIGA KELAS

Kelas ringan adalah gemar menggunakan kata berakhiran si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, tas-tas-tas, dan sejenisnya. Yang masuk kelas ini adalah kaum yang takluk kepada falsafah gombal yang berbunyi "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela".

 Rumitnya, ini sejatinya kebingungan kelas gajah. Politik bahasa! Bahkan "kitab suci" bahasa Indonesia – Kamus Besar Bahasa Indonesia – itupun, memasukkan kosakata-kosakata sejenis itu sebagai lema.

Tergolong kelas berat adalah kosakata berbau Inggris atau Barat yang dahulu tidak ada atau belum terkenal. Lalu sekarang tiba-tiba ada. Ini bisa berupa kata utuh semisal "bias" dan "dispute" atau akhiran baru semisal "bel-bel" itu.

Kelas algojo dasamuka adalah kosakata Inggris yang digelundungkan begitu saja ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Bukan cuma satu atau dua kosakata, bahkan satu kalimat atau satu paragraf sekalian. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi kosakata, kalimat, dan paragraf bahasa Indonesia. Genit macam inilah sejatinya yang membuat bahasa Indonesia kian lama kian amburadul, kian terbunuh, kian terbantai-bantai!

HARUS MENDERITA

Agaknya, bahasa Indonesia memang harus menderita sebab wajib belajar terus, atau binasa! Jalan salib penderitaan harus ia tempuh. Khususnya saat bergaul dengan aneka rupa kosakata asing. Agar sampai pada kebangkitan kebahasaan yang indah mulia.

Suatu masa ia pernah kikuk di hadapan kosakata Belanda, di kota-kota. Kosakata Arab sejak dahulu jaya di desa-desa dan kini makin meriah, percaya diri melewati jalan-jalan bebas hambatan dan memasuki gedung-gedung bertingkat. 

Kosakata India, saya kurang paham, di Bali mungkin bisa dirasakan. Kosakata Latin, ini suasana khusus di salah satu sudut di Ledalero, Kentungan, Pineleng, Abepura, Pematang Siantar dan sebangsanya – di seminari-seminari. Semuanya ini masih perlu uraian lebih luas, yang di luar kemampuan catatan kecil ini. Ia hanya mengupas kosakata Inggris atau berbau Inggris, dan terbatas mempersoalkan kegenitan Inggris-Inggrisan.

EMPAT KEINGINAN

Meski mungkin membuat uring-uringan kaum "genit Inggris-Inggrisan", catatan kecil ini sejatinya bernyali amat kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, pengikut kaum tersebut sudah telanjur amat kuat perkasa dan meluas di seluruh Indonesia. 

Kaum itu telah memenuhi desa-desa, kota-kota, toko-toko kelontong, kantor resmi, pemukiman kumuh dan apalagi pemukiman mewah, meja-meja persuratkabaran, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan tentu saja di semua gedung lembaga tinggi negara.

Karena itu, catatan kecil ini cuma mampu mengusung empat keinginan.

Pertama, ingin berterus terang.
Kedua, ingin melontarkan tanggapan yang membangun.

Ketiga, ingin mengimbau, agar tiap manusia Indonesia yang dewasa tanpa pandang bulu lebih bersikap wajar dalam berbahasa Indonesia dan menghormati bahasa Indonesia.

Keempat, ingin memperkenalkan "iman" yang mengakui bahwa gemar menggunakan kosakata-kosakata asing secara tidak perlu di dalam berbahasa Indonesia adalah perbuatan tercela yang merusak bahasa Indonesia.

Hilversum, Juli 2005
Tulis Ulang, Kopeng, Juli 2023

Selasa, 25 Juli 2023

Menemani turis Singapura yang faham bahasa Melayu sikit-sikit lah


Dulu aku pikir semua orang Singapura yang Tionghoa bisa berbicara dalam bahasa Melayu dan Inggris. Ternyata aku keliru. Ternyata banyak juga warga negara Singapura yang Tionghoa hanya bisa ,,sikit-sikit cakap Melayu".

,,Melayu sikit-sikit lah," kata pasangan suami istri saat jelajah kota lama di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya kemarin.

,,Boleh cakap bahasa Indonesia?"

Pasutri 60-an tahun itu geleng kepala. Lalu dia beralih ke Singlish. Bahasa Inggris ala Singapura yang khas itu. Tapi itu pun tidak jelas juga omongannya. Sulit ditangkap kata-katanya.

Kita orang omong dalam bahasa Inggris yang jelas dan pelan pun pasutri itu agak sulit mengerti. Tapi lebih nyambung ketimbang kita bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu ala Ipin dan Upin di Malaysia.

Aku sebagai pemandu wisata dadakan pun tak kehilangan akal. Pelancong Singapura itu aku ajak lihat-lihat beberapa objek di bangunan tua kawasan pecinan. Melihat lukisan, foto bareng dsb. Bahasa Tarzan kadang masih perlu di era digital ini.

Tidak hanya turis Singapura, menghadapi wisatawan dari non English speaking countries memang tidak mudah. Misalnya turis asal Taiwan, Tiongkok, Thailand. Ucapan kata-kata bahasa Inggris mereka tidak jelas. Logatnya pun sesuai dengan logat bahasa daerah atau bahasa nasionalnya.

Bicara dengan orang Amerika atau British jauh lebih enak. Meskipun kemampuan berbahasa Inggris kita orang masih jauh di bawah standar TOEFL, orang USA dengan mudah menebak maksud kalimat-kalimat atau pertanyaan orang Indonesia dalam broken English.

 Itu yang sering aku lihat dalam konferensi pers di Indonesia. Wartawan-wartawan Indonesia umumnya sangat mampu dalam written English tapi lemah dalam spoken English. Itu juga hasil pelajaran bahasa Inggris kita (dulu) yang sangat menekankan tata bahasa atau grammar rules. 

Syukurlah, di era digital sudah banyak aplikasi untuk menerjemahkan bahasa apa saja lewat telepon genggam. Hanya dalam hitungan detik kalimat-kalimat dalam aksara Tionghoa atau Arab atau Thai atau India bisa dibaca dalam bahasa yang kita kuasai. 

Kembali ke turis Singapura tadi. Kalau dipikir-pikir wajar sekali kalau suami istri itu tidak bisa berbahasa Melayu karena jarang bergaul atau bertemu dengan orang Melayu di negaranya. Apalagi etnis Melayu di Singapura pun minoritas. Karena itu, lagu kebangsaan Singapura yang berbahasa Melayu itu mungkin hanya dimengerti dan dihayati orang Singapura yang Melayu. 

Warga Singapura yang Tionghoa dan India mungkin ,,cuma faham sikit-sikit lah." 

Jumat, 21 Juli 2023

MA tutup satu celah nikah beda agama


"Saya masuk Islam supaya bisa kawin dengan Leila," kata Soe Hok Djin, akademisi, aktivis, profesor terkenal era 90-an.

Ahok dan Puput beda agama. Menjalin asmara saat Ahok dibui. Istri lama diputus. Ahok ngebet kawin lagi setelah bebas.

Warganet harap-harap cemas. Siapa yang ngalah? Ahok jadi mualaf atau Puput yang ikut Haleluya? Anda sudah tahu.

"Saya pindah agama supaya bisa nikah dengan ibunya Jarot," kata pelukis senior Bambang yang lahirnya Katolik.

Setelah dimualafkan, seniman itu kelihatan jarang sembahyang. Lebih sibuk ikut acara-acara Kejawen macam Anggoro Kasih, Suroan di Gunung Kawi, nyekar ke petilasan dsb.

Sekali-sekali Bambang datang ke gereja di Sidoarjo. Bukan untuk sembahyang atau misa. "Saya senang ngobrol dengan Romo Didik dan romo-romo lain. Apresiasi seninya bagus. Enak diajak diskusi," kata seniman yang sudah Rahayu Ing Paleraman (RIP) itu.

Begitulah salah satu penyelesaian masalah nikah beda agama di Indonesia. Salah satunya harus ngalah. Siapa yang ngalah ya silakan rembug deso. Kalau tidak ada yang mau ngalah ya... angeeeel dan almost impossible.

Tapi selalu ada pasangan beda agama yang menyiasati UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu. Mereka yang punya duit pigi ke Singapura. Menikah di catatan sipil sana. Lalu pulang catatkan pernikahan di Catatan Sipil atau Dispendukcapil.

Faktanya, cukup banyak pasangan beda agama yang diberkati di gereja. Banyak sekali di Katolik. Ada yang disparitas cultus. Ada mixta religio. Syarat perkawinan campur tidak ringan. Tapi pasangan yang bukan Katolik tidak perlu murtad atau meninggalkan agamanya.

Sejumlah pasangan kawin campur ini kemudian mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil. Pasti masalah kalau beda agama. BS (nama lama catatan sipil sejak era Belanda) minta penetapan pengadilan dulu. Kalau ada penetapan PN baru dicatat.

Maka cukup banyak pasangan suami-istri beda agama lolos di Catatan Sipil. Mulai ada keresahan dan gugatan. Dianggap melanggar UU 1/1974 yang mengharamkan pernikahan beda agama.

Lama tak ada kabar, kini muncul surat edaran Mahkamah Agung bertanggal 17 Juli 2023. Isinya, "Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama atau keyakinan."

Putusan MA ini menutup salah satu celah yang nikah beda agama di Indonesia. Tapi biasanya manusia selalu menemukan jalan keluar dari situasi yang sulit.
Jalan termudah ya ngalah seperti Soe Hok Djin, Puput, Bambang. Kalau gak ada yang mau ngalah ya wis. 

Rabu, 19 Juli 2023

Tumpengan Tahun Baru Jawa 1 Suro di Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya


Tahun Baru Jawa, 1 Suro, selalu dirayakan di Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Jemaat memesan atau mengirim tumpeng ke kelenteng. Tumpengnya pun khas tradisi Jawa.

Selama dua tahun acara Suroan di TITD Hong San Ko Tee sempat ditiadakan karena pandemi Covid-19. Pemerintah menerapkan PPKM untuk mencegah penularan virus corona.

 "Tahun lalu kita adakan Suroan tapi terbatas," kata Erdina Tedjaseputra pengurus Kelenteng Hong San Ko Tee.

Tahun 2023 ini status pandemi covid sudah dicabut. Kegiatan sembahyang mulai normal lagi di TITD yang populer dengan sebutan Kelenteng Cokro itu. Kiriman tumpeng kembali ramai. Suroan tahun ini ada 41 tumpeng. Tidak sebanyak jumlah tumpeng sebelum ada pandemi.

"Tumpeng-tumpeng itu dibawa pulang setelah sembahyang bersama. Ada modin yang mendoakan tumpeng-tumpeng itu. Seluruh umat dan keluarganya juga didoakan agar dapat perlindungan dan rezeki selama satu tahun ke depan," kata Erdina, putrinya mendiang Ibu Juliani Pudjiastuti, ketua kelenteng yang lama.

Kelenteng Hong San Ko Tee berdiri sejak tahun 1919. Awalnya kelenteng kecil di kompleks makam tak jauh dari Jalan Raya Darmo. Tuan rumah atau dewa utamanya Kong Tik Tjoeng On. Saat ini Kelenteng Cokro dikelola generasi kelimapendirinya, yakni Jap Liang Sing.

Berbeda dengan kelenteng-kelenteng lain, TITD Hong San Ko Tee punya altar khusus untuk Dewi Sri. Sang dewi padi ini ditempatkan di dekat pintu masuk. Nuansa Jawa memang sangat kental.

 "Kita hormati Ibu Dewi Sri karena kita orang lahir, tinggal, cari rezeki di Jawa. Meninggal pun di tanah Jawa," kata Juliani suatu ketika.

Karena ada altar dan rupang (patung) Dewi Sri itulah, pengurus Kelenteng Cokro selalu mengadakan ritual-ritual Kejawen. Setiap bulan ada sembahyang dan tumpengan pada malam Jumat Legi. Acara tumpengan paling meriah ya tanggal 1 Suro alias Tahun Baru Jawa. Bersamaan dengan Tahun Baru Islam.

Selamat Tahun Baru Jawa!

Rahayu! Berkah Dalem! 

Selasa, 18 Juli 2023

Barbershop Tertua di Kembang Jepun 58 - Selesai di Generasi Kedua

Tempat pangkas rambut di Jalan Kembang Jepun 58 Surabaya lagi ramai di media sosial. Video tentang ,,barbershop tertua di Indonesia" itu dapat tanggapan luar biasa. Begitu banyak orang kagum dengan usaha pangkas rambut di kawasan bisnis utama di Pecinan Surabaya itu.

Owe hampir saban hari lewat di depan barbershop Shin Hua itu. Gedung tua di pojokan Jalan Husin. Di depannya ada gedung bekas restoran terkenal yang sudah lama mangkrak. Tidak ada plang atau tulisan bahwa itu gedung adalah barbershop tertua di Surabaya. Belakangan disebut-sebut tertua di Indonesia.

Owe dulu sempat kaget karena ada stiker dari Pemkot Surabaya di pintu masuk Shin Hua. Stiker keluarga miskin. Tandanya penghuni rumah itu berhak dapat ,,permakanan" dari pemkot. Saban hari petugas pemkot kirim bingkisan makanan untuk penghuni rumah yang namanya tertulis di stiker itu.


Gedung megah di Kembang Jepun kok masuk keluarga miskin? Orang Tionghoa pula? Bukankah selama ini ada citra bahwa orang Tionghoa itu sukses dagang, pinter bisnis, jago cari cuan dsb?

"Yang kaya itu bapaku. Aku gak kaya. Aku  cuma melanjutken saja Shin Hua ini," kata Tan Ting Kok, 74 tahun. 

"Tapi saya sudah tua. Gak kuat lagi. Kalau motong rambut, saya punya tangan gemetar. Saya kena diabet. Makanya saya berhenti. Langganan juga sudah banyak yang mati," kata Tan.

 Shin Hua berdiri sejak 1911. Tan Shin Tjo dateng dari Hokkian, Tiongkok, untuk mengadu nasib di Soerabaia pada masa Hindia Belanda. Awalnya jadi kuli, tukang bersih-bersih. Lalu mencoba jadi tukang potong rambut serabutan di dekat Pasar Pabean.

Tuan Tan ternyata punya hoki bagus. Usaha potong rambutnya terus berkembang, berkembang... jadi besar. Sampai dia bisa membeli gedung besar di Kembang Jepun atawa Handelstraat. Kalau tidak kaya betul mustahil punya properti di pinggir Jalan Kembang Jepun.

Tempo doeloe Tuan Tan Shin Tjo punya banyak pelanggan. Sehari bisa 200 sampai 300 kepala yang ditangani. Ting Kok, anak kedelapan dari 17 bersaudara, juga belajar ilmu potong rambut dari papanya yang totok Hokkian itu.

"Saya sempat buka barbershop di Kapasan, Gembong Tebasan. Dulu ramai sekali," kenangnya.

Ting Kok sempat menikah tiga kali. Bisa beli rumah besar dan mewah. Tapi dibawa lari istri pertama. Kawin lagi dengan wanita Arab. Juga tidak langgeng. Tapi mualafnya masih langgeng. Kawin kali ketiga dengan wanita Belanda. Ditinggal lagi.

Usaha Ting Kok alias Pak Eddy gulung tikar. Ayahnya di Kembang Jepun akhirnya pulang ke alam baka. Maka Eddy juga pulang ke rumah masa kecilnya di Kembang Jepun. Meneruskan Shin Hua sejak 1965. 

 "Langganan dulu wuakeeeh (banyaaak)," kenang Pak Eddy Tan, tamatan Sekolah Tionghoa di Jalan Kapasan dan Ngaglik.

Dunia terus berputar. Bisnis potong rambut di Kembang Jepun terus melesu. Sebulan cuma dapat 50-an pelanggan. Menjelang pandemi covid tinggal 20 pelanggan. Semuanya lao ren alias para lansia. "Langganan habis karena mati. Waktu covid tambah banyak lagi yang mati," kata Eddy.

Karena itu, sejak awal pandemi itulah Shin Hua resmi ditutup. Eddy tak punya karyawan. Anak-anak Eddy yang 9 orang (dari tiga istri) punya usaha sendiri-sendiri. Tak ada satu pun yang tertarik dengan bisnis potong rambut.

Sambil omong-omong dengan Eddy Tan, datang satu rombongan anak muda. Mereka penasaran setelah melihat video Shin Hua viral di media sosial. Eddy alias Ting Kok sempat mengutip peribahasa Tionghoa yang selalu diingatnya.

"Harta kekayaan itu tidak akan bertahan sampai tiga generasi," begitu kira-kira arti peribahasa Tionghoa tersebut.

Shin Hua Barbershop di Kembang Jepun malah selesai di generasi kedua. Gedung yang megah eks Shin Hua malah ditempeli stiker ,,keluarga miskin" oleh Pemkot Surabaya.

Apakah ada rencana menjual tanah dan bangunan Shin Hua ini?

"Tidak akan dijual. Ini untuk cucu-cucu kelak. Kalau ada cucu yang kurang beruntung, tidak mampu beli rumah sendiri, ya, bisa dateng menempati rumah warisan ini," kata Eddy Tan.

Dulu katanya ada salah satu bank yang hendak membeli gedung Shin Hua Barbershop. Nilainya sekian miliar rupiah. Tapi Eddy bergeming. "Saya tidak akan jual," katanya tegas.

Senin, 17 Juli 2023

Uklam Tahes Ikamisa - Reuni Kecil di SMAN 1 Malang


Sejak ada media sosial reuni makin marak. Khususnya reuni SMA/SMK. Reuni universitas juga sering tapi tidak sehebat reuni SMA. Mungkin ikatan emosional semasa di SMA lebih kuat ketimbang di perguruan tinggi.

Padahal, masa sekolah di SMA hanya 3 tahun. Anak-anak pindahan cuma 2 tahun. Jarang ada murid pindah saat kelas 3 di zaman Ebtanas. Pasti sulit adaptasi. Apalagi jelang lomba mengejar NEM: nilai Ebtanas murni.

Ayas kurang tertarik dengan reuni-reunian. Baik reuni tipis maupun reuni tebal. Reuni tipis itu misalnya reuni satu angkatan. Lebih tipis lagi satu kelas. Karena itu, Ayas tidak pernah ikut reuni mulai tingkat SD dan seterusnya.

Diam-diam, di tengah pandemi covid, ada nawak (kawan) lama yang memasukkan Ayas di grup alumni satu kelas. Grup itu rupanya dibuat awal 2015. Ayas baru dimasukkan tahun 2021. Grup Grafity Smansa Malang. 

Rupanya selama enam tahun nawak-nawak bikin reuni tipis. Khususnya saat hari raya Lebaran. Teman-teman yang rumahnya di Malang dan sekitarnya selalu reuni tipis satu kelas. 

Pesertanya tidak sampai 50 persen dari total 42 siswa kelas Grafity. Oh ya, tiga kawan sekelas sudah berpulang ke hadirat-Nya. Astuti, Yoyok, Rahima. Grup alumni sekelas inilah yang akhirnya mengetuk Ayas punya hati ikut reuni tipis. Toh, selama ini Ayas masih sering berakhir pekan di Ngalam.


Tiga pekan lalu, giliran nawak-nawak (kawan-kawan) jadi panitia Uklam Tahes! Sebutan reuni tipis Ikatan Alumni Mitreka Satata - SMAN 1 Malang alias Ikamisa. Dua kawan dekat jadi ketua panitia. Rizki pernah jadi teman kerja di Surabaya. Ipong kawan lama di Jember.

Kadit Kolem Kadit Mbois! Begitu wanti-wanti panitia. 

Akhirnya Ayas pun datang ke sekolah. Back to Mitreka Satata! Kolem (melok) Uklam Tahes Ke-106 Ikamisa.

Uklam-uklam tidak jauh. Cuma di depan Alun-Alun Bunder, depan Balai Kota Malang, muter di belakang sekolah Jln Sultan Agung, Jalan Suropati, kembali lagi ke lapangan basket di tengah-tengah sekolah.

Total ada 322 peserta Uklam Tahes edisi 106. Alumni tertua angkatan 54 dan termuda 2023. Lulusan paling senior itu tak lain Ibu Roosmani, pensiunan guru bahasa Inggris. Sudah sepuh tapi kelihatan masih kuat dan enak diajak ngobrol.

Gak nyangka nawak-nawak yang kian menua ternyata pinter joget dan nyanyi. Ada juga kawan yang dulu pendiam sekarang jadi cerewet. Ayas pangling melihat mantan teman-teman sekelas yang tidak lagi langsing seperti saat SMA dulu. Nawak-nawak yang dulu gondrong pun banyak yang rambutnya makin tipis dan memutih ditelan sang kala.


Sabtu, 15 Juli 2023

Pers Melayu Tionghoa dan Penyebaran Bahasa Melayu Rendah di Seluruh Nusantara


Oleh Basuki Soejatmiko
Wartawan Djawa Post dan Liberty

Secara awam Pers Melayu-Tionghoa dapat didefinisikan sebagai berikut :

Sebuah usaha penerbitan pers yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) yang mempergunakan bahasa Melayu "rendah" yang diwarnai lokal bercampur kata-kata Belanda, Tionghoa atau Inggris sepatah-dua-patah.

Dikatakan Melayu "rendah" karena dibandingkan dengan bahasa Melayu tinggi tatabahasa Melayu rendah terlalu sederhana dan sering dikatakan menyalahi tatabahasa Melayu tinggi. Namun, kelokalan dan kesederhanaan tatabahasa tidak membuat bahasa Melayu tersebut mempunyai derajat lebih rendah. 

Sebagai bahasa perhubungan, dialek Melayu ini digunakan di seluruh Nusantara. Kedudukannya paralel dengan bahasa Indonesia (Takdir, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia: 59). Lagi pula pers Melayu-Tionghoa sudah muncul jauh sebelum konsep kesatuan bahasa Bahasa Indonesia diucapkan pada Sumpah Pemuda 1928. 

Justru karena adanya pers Melayu-Tionghoa yang sangat berperan terhadap persebaran pemakaian bahasa Melayu rendah bahasa Indonesia lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan. Bukankah bahasa Indonesia yang bersumber pada bahasa Melayu tinggi juga memasukkan banyak elemen bahasa Melayu rendah?

Meskipun dikelola oleh orang Tionghoa yang pada saat itu sudah dikenal sebagai kaum Baba atau peranakan banyak juga penulis Indonesia yang terlibat di dalamnya. Wage Rudolf Soepratman adalah salah seorang redaksi mingguan Sin Po, Jakarta. Karena kedudukannya sebagai redaksi itulah maka lagu kebangsaan Indonesia Raya dimuat pertama kalinya di Sin Po seminggu setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Penulis lain yang berkecimpung di pers Melayu-Tionghoa adalah penyair terkemuka Indonesia, Armijn Pane. Dalam Sin Po (30 November 1935) ia menulis, 

"Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan pers Melayu-Tionghoa sangat penting. Verslag-verslag voetbal dalam pers Melayu-Tionghoa enak dibaca sebab hidup bahasanya."

Komentar Armijn Pane sungguh mengena. Pers Melayu-Tionghoa pada umumnya memang menggunakan bahasa gado-gado. Bukannya tatabahasa yang digunakannya sama sekali tidak beraturan.

 Penulis yang mempunyai dasar pendidikan Belanda akan menggunakan pola tatabahasa Belanda dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Sedangkan mereka yang mempunyai dasar pendidikan Inggris akan menggunakan pola kalimat Inggris untuk diterapkan pada bahasa Melayu-Tionghoanya.

 Namun, lebih dari itu, bahasa yang digunakan para penulis pers Melayu-Tionghoa pada saat itu sangat polos sehingga apa yang hendak mereka utarakan dapat amat komunikatif. Tidak jarang di tengah-tengah kalimat bahasa Melayu secara tiba-tiba menyelip sepatah-dua-kata bahasa Belanda atau Inggris.

Komentar lain datang dari Kepala Volkslektuur dan guru besar bahasa Melayu di Fakultas Hukum di Batavia, Dr. G.W.J. Drewes, yang dengan tandas mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa sangat nyata dalam memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia.

 Dalam tulisannya berjudul The Influence of Western Civilization on the Languages of the East Indian Archipelago ia mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa antara lain adalah dalam membantu pengadopsian kosa kata Portugis ke dalam bahasa Indonesia.

 Menurut sarjana tersebut bangsa Tionghoa bukan hanya saudagar barang yang lihai tetapi juga merupakan "pedagang bahasa" yang hebat. (Sin Po, Jubileum Nummer).

Yang perlu dipelajari sekarang justru apa sebenarnya tujuan penerbitan pers Melayu Tionghoa tersebut. Mengapa orang Tionghoa yang hingga saat ini dikenal sebagai pedagang dapat mengalihkan minatnya ke dunia tulis-menulis yang asing itu.

 Tentang hal tersebut penulis menyimpulkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, seperti pendapat hingga sekarang, adalah karena pers adalah bisnis yang menguntungkan. Kemungkinan kedua, pers Melayu-Tionghoa terbit untuk membela kepentingan mereka sendiri yang sekalipun mendapat perhatian besar namun juga diperlakukan secara tidak adil oleh pihak Hindia Belanda.

Kalau diperhatikan kata pengantar dari setiap penerbitan pers Melayu-Tionghoa, condong disimpulkan bahwa kemungkinan kedualah yang lebih tepat. Dalam Mingguan Sin Po edisi pertama yang terbit tanggal 1 Oktober 1910 tertulis :

"Kita harep, orang-orang boediman segala bangsa jang dengen ini lagi sekali ada dioendang dengen hormat nanti soeka berieken di ini soerat kabar minggoean segala pikirannja jang ada bergoena boeat gerakan di ini djeman soepaja bisa terdjadi perobahan-perobahan dari perkara-perkara jang sesat, jang sampe di ini masa masi ada banjak di dalem ingetannja sebagian besar dari pendoedoek di ini Hindia". 

Mempersoalkan nasionalistis tidaknya pers Melayu-Tionghoa pada masa itu adalah tidak realistis. Pada tahun-tahun itu semangat nasionalisme baru mulai dibangkitkan yaitu dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908. 

Kita catat pers Melayu-Tionghoa yang besar saja, yaitu Mingguan Sin Po. Sin Po terbit pertama kali di tahun 1910. Situasi dunia pada saat itu juga harus diperhatikan. Dr. Sun Yat Sen berhasil memproklamirkan Republik Tiongkok pada tahun 1911.

 Perubahan besar ini sudah barang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir orang orang Tionghoa di perantauan, juga di Hindia Belanda. Meskipun belum pernah melihat negeri Tiongkok, sebagai masyarakat yang hidup dalam penjajahan dan dihitung sebagai masyarakat kelas dua kemerdekaan tersebut berarti mengangkat harkat mereka sebagai manusia. Karena nya, tidaklah mengherankan apabila kemudian pers Melayu-Tionghoa kemudian menjadi corong bagi masyarakat yang ingin memprotes meskipun dalam bentuk terselubung terhadap segala yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda termasuk pers: harian dan mingguannya. 

Pers Melayu-Tionghoa pada saat itu dapat dikatakan sebagai cermin dari etnis Tionghoa yang ingin duduk sama tinggi dengan pihak Belanda.

Bahwa kemudian pers Melayu-Tionghoa dapat berkembang dengan persebaran yang: luar biasa tidaklah diperhitungkan Belanda. Sebenarnya luasnya persebaran ini juga disebabkan karena bahasa yang digunakannya dapat dimengerti oleh masyarakat. Tionghoa dan Pribumi yang tidak terlalu tinggi pendidikannya.

 Bukankah pada masa itu etnis Jawa yang berpendidikan tinggi juga hanya mau menulis di pers Belanda agar dapat dibaca oleh kaum intelektual? Sedangkan bahasa Belanda bukanlah bahasa kebanyakan dan apabila mereka memerlukan informasi pers Melayu-Tionghoalah tempat mereka mencarinya.

Pers Melayu-Tionghoa juga berkembang karena memberikan informasi bagi para pedagang di seluruh Tanah Air dengan berita maupun iklan-iklannya. Sebaliknya iklan juga menopang hidupnya pers Melayu-Tionghoa. Tapi lebih dari semua itu, pers Melayu-Tionghoa dengan bahasa Melayunya berhasil menembus pembaca di kepulauan-kepulauan yang terpencil sekalipun. 

Mingguan Sin Po, misalnya, pada waktu berusia 25 tahun sudah tersebar di 322 kota di Jawa, 77 kota di Sumatera, 25 kota di Sulawesi, 17 kota di Kalimantan, 8 kota di Irian Jaya di samping langganan di Ambon, Aru, Bali, Banda, Bangka, Sumba, Sumbawa, Batu, Bili ton, Seram, Ewab, Kei, Flores, Halmahera, Lombok, Nias, Sangi, Riau, Talaud, Ternate, Timor. Dan semua ini karena mingguan tersebut menggunakan bahasa yang digunakan rakyat terbanyak sederhana dan komunikatif. (Langganan Sin Po bahkan tersebar di jajahan Inggris, beberapa kota di Tiongkok, Eropah, Jepang). 

Bagaimana menejemen dan transportasi pengiriman langganan belum pernah diselidiki. Sesuatu yang sebetulnya sangat menarik untuk diriset.

Pers Melayu-Tionghoa mengalami kemundurannya di jaman pendudukan Jepang. Sebabnya mungkin karena Jepang hanya menghendaki pers sebagai corong mereka melulu. Sebagai bukti semua radio pada masa itu disegel. 

Kemungkinan lainnya adalah kebencian Jepang pada pers Melayu-Tionghoa yang pada masa lampau diketahui mengumpulkan dana untuk membantu Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Alasan kedua ini diperkuat dengan banyaknya pimpinan atau orang pers Melayu-Tionghoa yang ditangkap Kenpetei dan dipenjarakan bertahun-tahun.

Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat data-data pada ceramah-ceramah Basuki Soejatmiko di Dewan Kesenian Surabaya dan PPIA [Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika] 1980-1981 mengenai masalah bahasa dan dialek Melayu - Tionghoa.

Sumber: Buku ,,Etnis Tionghoa" karangan Basuki Soejatmiko, 1982

Kamis, 13 Juli 2023

Gedung THHK di Jalan Kapasari 3-5 sempat jadi kampus AWS, sekarang SMK Farmasi

Ita Nasyiah (kiri) mengunjungi eks kampus  AWS di Jalan Kapasari 3-5 Surabaya.

Akhir-akhir ini sejumlah komunitas melakukan blusukan ke kampung-kampung lawas di Surabaya. Salah satunya di Jalan  Kapasari. Salah satu perkampungan Tionghoa tempo doeloe itu sekarang jadi sentra dagang barang-barang bekas.

 Hermawan Kartajaya, suhu marketing, juga sempat  blusukan di Kapasari. Nostalgia di rumahnya di Kapasari Gang V. Rumah masa kecilnya sudah lama pindah tangan. 

Hermawan Kartajaya sudah lama hijrah dari Kapasari. Begitu juga orang-orang Tionghoa yang lain. Biasanya Wong Tenglang pindah ke perumahan menengah atas yang lebih nyaman. Sebab, mobil sulit masuk di gang-gang sempit Kapasari, Gembong, Kalianyar, Kaliondo, Kapasan, dan sebagainya.

Setiap melintas di Jalan Kapasari, sangat sering, Ayas selalu ingat THHK. Tiong Hoa Hwee Kwan. Sekolah Tionghoa yang pernah sangat terkenal sebelum Orde Baru berkuasa pada 1966. THHK di Kapasari ini ditutup bersama semua sekolah Tionghoa yang lain selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ada juga yang bilang Gestok: Gerakan 1 Oktober.

Orde Baru memang identik dengan politik kontra Tionghoa. Bahkan bahasa Tionghoa, Mandarin, aksara hanzi pun haram. Sudah jelas warga keturunan Tionghoa ketar-ketir. Bisa jadi sasaran persekusi dan kemarahan publik yang dikompori rezim saat itu. 

Gedung Sekolah THHK di Jalan Kapasari Nomor 3-5  itu kemudian dijadikan kampus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) dan Sekolah Asisten Apoteker (SAA). Sekarang jadi SMK Farmasi.

 Sangat banyak wartawan di Jawa Timur yang lahir dari kampus AWS di Kapasari itu. Kampus legendaris, kata mereka. 

"Kampus AWS di Kapasari itu benar-benar kampus perjuangan. Banyak romantika dan lika-liku di situ," kata Ita Nasyiah, mantan wartawan andalan Jawa Pos, alumnus AWS Kapasari.

Ita yang produktif menulis buku itu beberapa kali nostalgia di bekas kampusnya. AWS, sekarang Stikosa AWS, sudah lama pindah ke kawasan Nginden. Gedung di Kapasari sepenuhnya dipakai untuk sekolah farmasi.

Gara-gara sering diskusi di grup tempo doeloe, Ayas akhirnya tahu kalau Sam Edi Soetedjo  ternyata alumnus AWS di Kapasari juga. Kera Ngalam ini semasa aktif jadi wartawan Sinar Harapan, kemudian Suara Pembaruan, dikenal kritis dan tangguh. Hasil penggemblengan di dapur AWS masa lalu yang tidak berorientasi cari ijazah tapi jago di lapangan.

Karena itu, tidak heran banyak mahasiswa AWS (dulu) yang DO karena keasyikan bekerja di berbagai media. Mereka tidak peduli ijazah dan tetek bengek formalitas akademik.

Ada juga wartawan tua yang kembali ke kampus untuk menyelesaikan sisa SKS dan diwisuda setelah puluhan tahun jadi bos media. AWS di Kapasari dulu benar-benar kampus merdeka. Merdeka berpikir, merdeka belajar, merdeka bekerja, merdeka berijazah.

Sekolah THHK kali pertama didirikan di Surabaya pada 5 November 1903. Para perintisnya Liem Sioe Tien, Phoa Lian Tjing, Kwee Lian Phik serta Go Khing Lian. Sekolah tersebut berada di daerah Keputran dengan nama Ho Tjiong Hak Kwan.

Pengajaran di THHK Surabaya menggunakan bahasa Hokkian. Bahasa itu dipilih karena mayoritas orang Tionghoa yang berada di Surabaya berasal dari suku Hokkian. Sekolah THHK yang berada di Surabaya berbeda dengan THHK di Batavia yang menggunakan bahasa nasional atawa Kou-Yu. 

Didit Hape, pensiunan wartawan TVRI Surabaya, punya kenangan manis dengan kampus pertama AWS di Jalan Kapasari. Berikut komentar mantan pengasuh acara Rona-Rona di TVRI Surabaya itu:

,,Saya juga mantan mahasiswa AWS Kapasari,  yang nggak pernah lulus dan nggak pernah diwisuda. Saya kuliah sambil bekerja sebagai kuli tinta / koresponden koran Merdeka Jakarta.

Anehnya ketika sampai di kantor redaksi pusat, oleh para dosen AWS  saya disarankan langsung  ke kantor TVRI pusat Jakarta. Alasannya kala itu TVRI sedang membuka lowongan kerja , jadilah saya seorang cameraman film , sekaligus jurnalis di TVRI sampai Pangsiunan.

Kampus AWS - Kapasari , Surabaya,.. ✍🏻 bagi kami adalah kampus lawas yang banyak menyimpan kenangan, karena di gedung bangunan lama inilah Tuhan mempermukan jodohku , Budha Ersa , yang sekarang jadi Istriku  yang juga alumni SAA , Sekolah Asisten Apoteker Surabaya."

Ratu renang Nancy Suryaatmadja ikut lomba renang di laut Bali bersama mamanya Naniek Soewadji

Nancy Suryaatmadja bersama Omar dan Naniek Soewadji seusai mengikuti lomba renang internasional di Bali.


Tiga generasi ikut lomba renang di laut. Jumat, Sabtu, dan Minggu 7 - 9 Juli di Pantai Hotel Intercontinental Bali.

Tiga generasi itu Naniek Soewadji mantan ratu renang Asia Tenggara. Naniek memborong 11 medali emas dan satu perak PON 1977. Juga memecahkan 10 rekor nasional dan 12 rekor PON.

Naniek juga memborong 5 medali emas SEA Games 1977. Alumnus sekolah Tionghoa di Kapasari Surabaya itu juga memecahkan 6 rekor SEA Games dan 3 rekor nasional.

Nah, dalam lomba renang di perairan Bali ini Naniek Soewadji ditemani dua anaknya, Nancy Suryaatmadja dan Omar beserta tiga cucunya. Di usia 67 tahun, Naniek masih kuat berenang jarak jauh. "Buat cari keringat aja," katanya.

Saya hubungi Nancy Suryaatmadja. Perenang ini sangat kondang di Surabaya pada era 2000-an. Nancy Suryaatmadja (lahir 5 Februari 1984) juga jago seperti mamanya. Nancy memborong 7 emas dalam PON 2008 di Kalimantan Timur. Sumbangan emas Nancy membuat Jatim ,,jaya luar biasa" begitu slogan kontingen Jatim dulu.

Sayang, Nancy keburu mundur setelah dapat banyak emas + bonus selepas PON 2008. Tidak sempat jadi ratu renang Asia Tenggara. Padahal Indonesia sangat perlu atlet-atlet cabang olahraga akuatik. Cabor itulah yang paling banyak persediaan medali emas.

"Dari mana dapat nomorku?" Nancy bertanya.

"Biasalah... dari Mr Satwa."

"Hehehe... Itu omku."

Menurut Nancy, berenang di perairan Bali ini bukan untuk meraih prestasi. Tak ada target. Di usia 39 tahun dia hanya menjaga kondisi. Sudah lama pensiun jadi atlet. Sekarang fokusnya adalah mencetak atlet-atlet renang baru di Surabaya dan Jawa Timur... dan Indonesia.

Kontingen Jawa Timur sudah lama punya masalah. Yakni belum punya atlet unggulan penyumbang medali emas sehebat Nancy. Karena itu, Jatim selalu ketinggalan dari Jawa Barat dan DKI Jakarta.

"Kita butuh Nancy-Nancy yang baru."

"Jangan khawatir. Tidak lama lagi bakal muncul."

"Sudah ada calonnya?"

"Hehehe... Ada deh."

Nancy ini enak diajak ngobrol. Meski terkenal, berprestasi, dia cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan olahraga renang. 

"Acara renang di Bali sudah selesai. Asyik juga," katanya.

Rabu, 12 Juli 2023

Tun Mahathir Mohamad genap 98 tahun masih galau dengan nasib orang Melayu

Dr Mahathir Mohamad baru saja genap 98 tahun. Selamat hari jadi. Panjang umur dan terus berpolitik untuk Malaysia. Khususnya memperjuangkan nasib orang Melayu.

Tun Mahathir bukan orang sembarangan. Politikus kawakan ini sangat lama jadi perdana menteri Malaysia. 22 tahun. Tak kenal pensiun. Bahkan, di usia jelang satu abad pun Mahathir terus melakukan manuver politik.

Mahathir bersama koalisi Pakatan Harapan berhasil menumbangkan PM Najib Razak dari UMNO. Mahathir pun jadi PM selama 22 bulan. Itu juga berkat jasa partai berbasis Tionghoa dan India bernama DAP: Democratic Action Party.

PM Mahathir dijatuhkan rekan-rekannya sendiri. Orang Melayu semua. Tapi kini Mahathir terlihat sangat anti DAP. Dia melihat DAP dan orang Tionghoa di Malaysia sebagai ancaman untuk orang Melayu. Padahal, katanya, Malaysia itu negara Melayu. Orang Tionghoa, Tamil, India sejatinya cuma pendatang.

Karena itu, hak-hak para imigran ini tidak bisa disamakan dengan orang Melayu. Dan itu disebut jelas di "pelembagaan" atau konstitusi. Mahathir khawatir orang Melayu yang sudah lemah di bidang politik bakal terpuruk pula di kuasa politik. Mengingat DAP dengan 40 kursi merupakan partai terbesar di pemerintahan PM Anwar Ibrahim.

Masih dalam suasana hari jadinya ke-98, Tun Mahathir jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di Kuala Lumpur. Ia terkesan dengan kehebatan orang Tionghoa Malaysia mampu membangun shopping center yang modern. Tidak kalah dengan di London, Tokyo, Seoul. 

Namun, di balik keindahan dan kemewahan pusat belanja itu, Mahathir yang leluhurnya orang India jadi ingat nasib orang Melayu. Lalu Tun M menulis artikel atau pernyataan politik. Masih sama nadanya. Memperjuangkan hak-hak orang Melayu. Menganggap orang Chinese di Malaysia sebagai ancaman.

A SHOPPING COMPLEX

By Dr Mahathir bin Mohamad

1. I visited one of the newest shopping complexes in Kuala Lumpur.
2. I was impressed.
3. It is not a shopping complex. 
4. It is a town, a fully air-conditioned town protected from the sun and rain.
5. There are streets lined with brand named shops, with products displayed beautifully.

6. There are restaurants and supermarkets.
7. Outside more streets, paved, lined by beautifully designed shops.
8. Then there are high rise condos.
9. It is a fantastic development and must have cost billions.
10. I toured the shopping area on a buggy. Too long to walk.

11. I am sure the project belong to Malaysian Chinese. 
12. It is more grand than the shopping complexes in London, Tokyo or Seoul, Korea.
13. I feel proud.
14. Really the Malaysian Chinese have good ideas and the money to realise these ideas.
15. Much of development in this country are by the Malaysian Chinese.

16. The Malays cannot do it.
17. They don't have the money or the ideas.
18. Their shops are the stalls on the roadside, ramshackle affairs, with blue plastic roofs.
19. Yes, there are Malays who have made good, but there are so few of them.
20. The Malays accepted that the Chinese dominate the economy.

21. They are very good in business.
22. The Malays cannot compete against them.
23. But in the past the Malays dominate the political arena and the administration.
24. So there was a balance.
25. But not now. Now the Chinese are also politically powerful.

26. And they intend to be even more powerful.
27. If they dominate the political arena also, what is there left for the Malays.
28. Is it wrong for the Malays to try to regain a little of their former political dominance.
29. Yes, they are striving for Malay unity.
30. It is not against the Chinese.

31. For over 60 years the Malays dominated the Government.
32. But it was during that time that the Chinese of Malaysia greatly prospered.
33. If the Malays regains the political power, the Chinese would still be needed to prosper the nation.
34. The country would still be a Malay country. It had always been a Malay country.
35. The population may be multiracial.

36. But it does not mean that this country has ceased to be a Malay country.
37. In other countries where migrants settle, they become assimilated.
38. The Malays made a concession to accommodate Chinese and Indians migrants.
39. They need not be assimilated upon gaining citizenship.

40. But that does not mean that the identity of this country must change.
41. By all means make money in Malaysia.
42. Build your super shopping towns.
43. But do not deprive the Malays of their country and their history.
44. Allow the Malays to have their share.

Selasa, 11 Juli 2023

Kalimat-kalimat Dahlan Iskan yang sudah pendek makin pendek di era media sosial

Dahlan Iskan sudah 71 tahun. Hari jadinya saban 17 Agustus. Cukup tua. Tapi masih rajin menulis. Saban hari. Menulis kolom untuk Disway. Kemudian dimuat juga di portal-portal dan media-media lain.

Gaya Pak Bos, sapaan akrab Dahlan Iskan di Grup Jawa Pos, belum berubah. Kalimatnya pendek-pendek. Tak ada kalimat majemuk. Macam ini. 

 "Coba kalimat Anda dipotong. Dijadikan 3 kalimat pendek," kata Pak Bos kepada wartawan muda.

Pak Bos sering sidak ke ruang reporter, redaktur, penata letak, desain grafis, dsb. Tapi paling sering muncul tiba-tiba di meja wartawan. Diam-diam Bos membaca tulisan wartawan. Khususnya lead. Alinea pertama jadi kunci.

"Lead Anda jelek. Ganti! Sekarang!" perintah Bos dengan suara khasnya.

Saya selalu ingat "rukun iman" soal kalimat pendek itu. Bos juga masih sering mengulang ajaran lama itu dalam berbagai wawancaranya di YouTube. Kalimat-kalimat panjang membuat pembaca kelelahan. Sulit mengerti. Pusing. 

Dahlan Iskan menulis:

"Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. 

Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.

Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita."

Itu kutipan tulisan Dahlan Iskan di koran Jawa Pos sekian tahun lalu selepas ganti hati di Tiongkok. Kemudian dijadikan buku Ganti Hati.

Sekian tahun kemudian media sosial (medsos) merajalela. Internet jadi kebutuhan. Semua orang baca berita, cari informasi apa saja di internet. Tinggal buka ponsel.

Gaya penulisan Pak Bos pun kelihatannya berubah. Menyesuaikan dengan gaya medsos. Kalimat-kalimat Pak Bos yang sudah pendek jadi makin pendek. Sering cuma satu kata. Tak ada lagi pola SPO atau SPOK seperti pelajaran bahasa Indonesia di SD dan SMP tempo doeloe.

Berikut contoh tulisan Dahlan Iskan. Judulnya Banjir Tuhan. 

Juli belum lagi tanggal 10. Hujan sudah datang lagi. Lebat. Panjang. Di mana-mana. Sampai heboh di medsos. Lumajang banjir besar. Bali banjir besar. 

Hujan apakah ini?

Harusnya musim hujan 2022/2023 sudah lewat. Berakhir dua bulan lalu. Harusnya, musim hujan yang akan datang belum tiba. Masih jauh. Oktober depan.

Jumat-Sabtu lalu di Lumajang, Jatim, hujan tidak berhenti. Dua hari. Siang-malam. Hanya reda sebentar menjelang tengah hari.

"Habis Jumatan hujan lebat lagi. Sampai Sabtu. Tidak ada redanya. Listrik padam," ujar Imam, sahabat Disway di lereng gunung Semeru.

Minggu, 09 Juli 2023

Ade Armando pertanyakan mengapa orang Tionghoa dilarang memiliki tanah di Jogjakarta

Sentimen ras + agama lagi marak di Malaysia. Itu biasa dikobarkan politisi jelang pilihan raya umum (PRU) dan pilihan raya negeri (PRN). Partai-partai berbasis Melayu sengaja mengangkat sentimen anti Tionghoa untuk meraih dukungan rakyat.

Masalah SARA di Malaysia kian gawat ketika Tun Mahathir Mohamad angkat bicara. Saban hari mantan perdana menteri itu bicara soal terancamnya Melayu, Islam, bumiputra.

Arahnya jelas. Tun M tengah menggoyang pemerintahan PM Anwar Ibrahim. Sebab salah satu partai koalisi Anwar adalah DAP (Democratic Action Party), partai berbasis Tionghoa. DAP ini punya kursi terbanyak di Unity Government pimpinan PM Anwar Ibrahim. Isu ras + agama bisa bikin pecah Malaysia yang memang sudah rentan dari sananya.

Indonesia pun kerap diembuskan isu SARA jelang pemilu. Isu ras + agama paling kencang digoreng saat pilkada Jakarta. Ahok tumbang karena politisasi agama dan ras. Ahok juga masuk penjara selama dua tahun.

Indonesia mulai memasuki tahun politik. Pemilu dilaksanakan bertepatan dengan Hari Valentine 14 Februari 2023. Berbagai pihak sudah ingatkan partai-partai, politisi, caleg-caleg, tim sukses agar tidak goreng isu SARA. Bahaya!

Kasus SARA di DKI Jakarta masih berefek sampai sekarang. Kemudian Cebong vs Kadrun pun tidak habis-habis di media sosial. Padahal Prabowo sudah lama digandeng Jokowi. Jadi salah satu ,,menteri kanan" alias menteri penting di Kabinet Jokowi.

Minggu pagi, 9 Juli 2023. 

Dr Ade Armando, sosiolog, dosen UI, dan sekarang politisi PSI menulis narasi di media sosial. Isu lama bahwa orang Tionghoa tidak boleh punya hak milik tanah di Yogyakarta. Peraturan Sultan Jogjakarta itu diberlakukan sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. 

Dr Ade Armando menulis:

"Apa yang terjadi di DI Yogyakarta tak boleh terus didiamkan. Di Daerah Istimewa itu, warga Tionghoa DILARANG MEMILIKI TANAH. Jadi cuma boleh punya Sertifikat Hak Guna Bangunan, tapi tidak boleh punya Sertifikat Hak Milik tanah.

Ini diskriminasi terang-terangan.
Ini sepenuhnya bertentangan konstitusi kita.

Apa beda warga Tionghoa dengan warga Jawa, atau Sunda, atau Minang, atau Arab?
Semua adalah warga Indonesia.
Saya heran bahwa ini bisa terjadi dan dibiarkan di Indonesia.

Semoga warga Yogya mau mendesak pemerintah di sana untuk mengubahnya."

Mengapa Sultan Jogja membuat aturan macam itu? Melarang orang Tionghoa memiliki tanah di Jogja. Sudah terlalu banyak artikel di internet. Intinya, Raja Jogja kecewa karena orang Tionghoa di Jogja dianggap tidak pro kemerdekaan tapi justru ikut bantu pasukan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. 

"Agresi Militer II Belanda, ulan Desember 1948. Saat itu komunitas China yang ada di Yogyakarta justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sejak itulah Sultan HB IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis China di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas China akan eksodus dari Yogyakarta.

Namun Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan mereka meskipun nyata-nyata telahberkhianat. "Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak Anda, yaituhak untuk memiliki tanah."

Demikian antara lain petikan artikel di Suara Merdeka, koran lama terbitan Semarang. Apakah Ade Armando dkk mampu mengubah aturan Sri Sultan soal kepemilikan tanah di Jogja?

Yang jelas, topik ini sudah sering dibahas di grup-grup media sosial. Bahkan sudah beberapa kali ada gugatan class action. Tapi gagal semua. Sebab Jogja itu daerah istimewa. Jogja punya UU sendiri tentang keistimewaan kuasa sultan, hak atas tanah, bangunan dsb.

Kelihatannya bertentangan dengan konstitusi UUD 45. Tapi titah dan sabda raja sering di atas semua undang-undang. 

Sabtu, 08 Juli 2023

Tebak skor Persebaya vs Barito tidak ada yang menang

Dulu ada kebiasaan main tebak skor bola. Biasanya saat ada kejuaraan besar. Misalnya, Euro atau Piala Dunia. Ayas juga sering diajak ikutan. Kadang kalah, peluang menang 60% saja.

Kebiasaan tebak skor ini ada hubungan dengan nobar (nonton bareng) siaran langsung sepak bola di televisi. Nah, setelah semua orang bisa nonton sendiri-sendiri di ponsel, nobar bola pun tak ada lagi. Itu mulai terasa sejak Piala Dunia di Rusia kalau tidak salah. Acara nobar tidak laku.

Eh, tadi ada kawan lama ajak tebak skor. Ayas pegang Persebaya. Dia pegang Barito. Ayas yakin menang IDR 100 karena Persebaya main di rumahnya GBT. Kualitas Barito lebih bagus, katanya.

Ayas pun nonton Persebaya vs Barito di ponsel. Aplikasi Vidio. Lumayan seru. Sayang, Persebaya ketinggal dulu. Kemudian dibalas. Skor akhir 1-1. Tidak ada yang menang. Harapan dapat uang mudah 100 ribu pun hilang. Sebaliknya, Ayas tidak perlu keluar duit 100.

Apakah tebak skor ini sejenis judi? Bisa ya, bisa tidak. 

Tapi, yang pasti, Persebaya Surabaya harus lebih tajam lagi kalau ingin jadi juara Liga 1 musim ini. Hasil seri atas Barito tidak terlalu buruk. Tapi, ya, kalau bisa sih menang terus saat bermain di GBT.

Perjalanan masih sangat panjang. Baru 2 laga yang dijalani. Total ada 34 laga. Jutaan Bonek tentu sangat berharap Persebaya bisa angkat trofi di akhir musim. Sebab sudah terlalu lama Green Force puasa gelar. 

Kerudung misa marak lagi di Jawa Timur

Tidur awal membuat bangun cepat. Subuh sudah terjaga. Azan Subuh berkumandang dari berbagai penjuru. Manusia diajak sembahyang. 

Ayas cuci muka. Lalu buka telepon genggam. Lihat misa streaming. Meski pandemi sudah dinyatakan selesai, misa online masih banyak diadakan. Khususnya misa harian. 

Gereja Katedral Malang sudah lama melarang misa streaming hari Minggu. Gereja-gereja di Surabaya juga sudah jarang bikin streaming Sunday Mass. Kalau misa bahasa Inggris dari US, Kanada, atau Australia sih gak ada matinya.

Iseng-iseng Ayas buka Facebook. Oh, ada misa streaming dari Gereja Redemptor Mundi, Surabaya. Sudah masuk Tuhan Kasihanilah Kami. Ayas ikut misa di paroki yang digembala imam-imam Ordo Dominikan (OP) itu.

Yang menarik, lektor wanita pakai kerudung. Pakai masker juga. Kerudung misa atau biasa disebut mantila dulu biasa dipakai wanita Katolik yang pigi sembahyang di gereja. Karena itu, dulu di NTT ada Sekolah Kepandaian Putri yang melatih anak-anak wanita untuk merajut kerudung, taplak meja, dsb. Kerudung juga biasa disebut tudung.

Namun, sejak ada reformasi internal dalam Gereja Katolik, Konsili Vatikan II, kerudung misa tak lagi dipakai. Meskipun tidak ada larangan pakai kerudung alias mantila (bukan Mantili pendekar pedang setan). Tahun 80-an masih ada beberapa ibu yang pakai kerudung ke gereja. Tapi lama-lama menghilang.

Setelah hampir tiga dasawarsa, kerudung lawas itu muncul kembali di Gereja Katolik. Bersamaan dengan tumbuhnya komunitas misa bahasa Latin atawa Misa Tridentina di sejumlah kota besar. Model ekaristi lama itu memang mewajibkan para wanita pakai mantila alias kerudung. 

Nah, para praktisi Latin Mass ini kerap memakai kerudung dalam misa-misa biasa bersama umat lainnya. Awalnya terasa aneh tapi lama-lama biasa. Apalagi ada banyak artikel tentang mantila di internet. 

Biasanya wanita yang sudah terbiasa pakai mantila tidak enak kalau tidak pakai tudung kepala itu. Seperti wanita muslim yang bertahun-tahun pakai jilbab atau hijab diminta melepas penutup rambutnya itu. 

"Saya lebih mantap ikut misa kalau pakai kerudung," kata seorang perempuan yang pernah jadi aktivis Misa Tridentina.

Meski Misa Tridentina ini sudah (hampir) tidak ada lagi, sejak Paus Fransiskus berkuasa, wanita setengah tua itu tetap pakai kerudung saat misa. Gaya busananya pun berubah. Kalau dulu biasanya pakai celana jins, celana panjang, baju kasual, bahkan kaos oblong, kini selalu pakai busana wanita saat ke gereja. Misalnya, gaun, rok, kain batik, dan sebagainya.

Ada dalil atau ayatnya di kitab suci. Kalau tidak salah di 1 Korintus soal tutup kepala wanita itu. 

Kamis, 06 Juli 2023

Betapa Sulit Mendengarkan Musik Secara Aktif ala Slamet Abdul Sjukur

Sudah 8 tahun tidak ada lagi PMS: Pertemuan Musik Surabaya. Sejak Slamet Abdul Sjukur meninggal dunia pada 24 Maret 2015. Saya cukup aktif mengikuti PMS dan seminar-seminar musik yang diadakan Mas Slamet.

Mas Slamet bukan musisi kacangan. Dia bapaknya musik kontemporer Indonesia. Guru piano, guru komposisi, orkestrasi, kontrapung, dsb. Mas Slamet selalu bicara dengan nada rendah. Tapi sangat menarik. Selalu ada humor kering di balik kata-katanya yang terkesan selalu serius.

Pagi ini saya dapat pesan dari orang NTT. Biasa, kutipan ayat Alkitab:

"....sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti."

Melihat tapi tidak melihat.
Mendengar tapi tidak mendengar.

Saya langsung ingat Slamet Abdul Sjukur. Dia tidak pernah kutip ayat-ayat kitab suci. Agamanya di KTP Islam. Tapi kalau ditanya apa agamanya, dijawab ,,musik". Mungkin hanya SAS yang mengaku beragama musik di Indonesia.

Dalam sebuah acara PMS di Jalan Ngagel, Wisma Musik Melodia, Mas Slamet bicara tentang ,,mendengarkan musik secara aktif". Active listening! Itu memang salah satu prinsip yang sangat ditekankan Mas Slamet dalam berbagai kesempatan.

Musik harus didengarkan secara aktif, kata Slamet. Tidak boleh dengar musik sambil main catur (olahraga kesukaannya), ngobrol, makan minum, atau kegiatan lainnya. Bahkan membaca buku pun tidak boleh diiringi musik.

 Lebih celaka lagi, memutar musik tapi tidak ada yang mendengarkan. Mendengar musik di YouTube sambil sibuk scrolling baca komen-komen, menjawab komen dsb pun jelas bukan active listening. Berbahagialah orang buta!

Mas Slamet tidak bisa menerima musisi atau kumpulan seniman yang main musik untuk mengiringi orang makan di restoran, ballroom hotel, dan sebagainya. Sebab penonton tidak akan fokus ke musik. Musik hanya didengarkan sambil lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Musik itu semacam ,,agama" bagi Slamet Abdul Sjukur. Orkes memainkan musik ibarat liturgi atau ritual. Karena itu, para pemain dan pendengar harus sama-sama menaruh perhatian pada musik itu. 

,,Musik didengarkan dengan telinga. Jangan dengar musik pakai mulut," kata Mas Slamet saat mengkritik penonton sebuah konser musik di Surabaya.

Saat itu penonton di dekat Slamet sibuk omong sendiri, mengomentari musik yang sedang dimainkan di atas panggung. Mulut harus ditutup rapat saat konser berlangsung. Itu prinsip komponis asli Surabaya yang tinggal dan berkarya di Prancis selama 14 tahun itu.

Pagi ini saya baca artikel Slamet Abdul Sjukur di buku Sluman Slumun Slamet. Mas Slamet menulis:

,,Mendengarkan musik secara aktif. Kita tidak cukup hanya mendengar yang sedang terdengar. Kita perlu mempunyai daya ingat auditif untuk bisa menangkap hubungannya dengan yang sudah lewat.

Dan, selain itu, perlu punya inteligensi musikal untuk memperhitungkan arah yang sedang terdengar itu. Persis seperti di dalam permainan catur yang memerlukan ketajaman intuisi untuk melihat ke depan beberapa langkah."

Cukup berat ternyata tuntutan Mas Slamet untuk mendengarkan musik secara aktif. Apalagi kita di Indonesia. Boleh dikata 99 persen orang Indonesia mendengarkan musik secara sambil lalu alias tidak aktif. Orang lebih terpesona dengan penampilan biduan-biduan seksi, goyang ngebor, goyang gergaji, goyang kayang... buka titik josss!!

Mahathir Mohamad Khawatir Melayu Bakal Hilang Kuasa dan Segalanya di Malaysia

Usia Tun Mahathir Mohamad sebentar lagi 98 tahun. Usia harapan hidup orang Indonesia masih di bawah 70 tahun. Artinya, Mahathir ini cukup tua. Dia pernah jadi perdana menteri tertua di Indonesia selepas koalisi Pakatan Harapan menang Pemilu 2018.

Kakek-kakek di atas 80 tahun biasanya rehat, ngemong cucu, nonton ketoprak, wayang kulit, angon manuk, senam taichi, dsb. Mahathir tidak begitu. Dia aktif terus. Saban hari Tun M bikin pernyataan atau gerakan politik.

Manuver terbarunya adalah Proklamasi Melayu. Mahathir mengingatkan orang Melayu di Malaysia untuk bersatu padu. Agar Melayu tidak hilang. Alasannya, pemerintahan PM Anwar Ibrahim saat ini bukan Kerajaan Melayu, melainkan dominan Tionghoa. Partai Aksi Demokrasi (DAP) memang punya kursi terbanyak dalam Unity Government yang dipimpin PM Anwar Ibrahim.

PM Anwar Ibrahim ketua Partai Keadilan Rakyat. Kursinya tidak sebanyak DAP. Karena itu, Mahathir menuduh DAP mendikte PM Anwar Ibrahim. Termasuk bakal menjadikan Malaysia sebagai negara berbilang kaum. 

Tun Mahathir memang pakar dan praktisi politik paling berpengaruh di Malaysia. Selama 22 tahun ia jadi perdana menteri. Dia tahu betul kartu-kartu apa saja yang bisa dimainkan untuk menjatuhkan seorang PM Malaysia. Terakhir ia sukses menjatuhkan PM Najib Razak dengan isu korupsi 1MDB.

Kemarin, Mahathir bertemu Muhyiddin Yasin. Pimpinan koalisi Perikatan Nasional ini musuh besar PM Anwar Ibrahim. Muhyiddin ngebet banget jadi perdana menteri. Berbagai manuver dilakukan agar PM Anwar segera tumbang. Seru banget!

Saya aktif membaca tulisan-tulisan Dr Mahathir. Bahkan, dulu saya membeli buku karyanya berjudul Dilema Melayu yang diterbitkan PT Sinar Harapan, Jakarta. Isu-isu kaum Melayu, ketakutan dominasi Tionghoa, Islam sebagai agama persekutuan dsb dibahas panjang lebar. Isu-isu lama itu masih diulang Mahathir di era media sosial.

Tulisan-tulisan Dr Mahathir di laman media sosialnya selalu ringkas, padat, langsung ke sasaran. Tidak banyak basa-basi. Kita orang yang bukan Malaysia pun bisa mengikuti jalan pikirannya dengan mudah. Termasuk agenda di balik kata-katanya yang tersurat.


APA DIANYA MULTIRACIALISM, NEGARA BERBAGAI KAUM

Oleh Dr MAHATHIR BIN MOHAMAD

1. Tidak pernah terjadi pendatang asing atau keturunan mereka yang diberi suaka di sesuatu negara menuntut supaya negara yang memberi kerakyatan kepada mereka ditukar supaya dijadikan negara kaum pendatang, iaitu negara berbilang kaum.

2. Itulah maksud Malaysian Malaysia. Negara Melayu hendaklah ditukar menjadi negara berbilang kaum Malaysian Malaysia. Tanah Melayu dihapuskan dan diganti dengan negara berbilang kaum Malaysian Malaysia.

3. Percubaan ini diperkenal kali pertama oleh Malayan Union British. Ia ditolak. Tetapi parti PAP pimpinan Lee Kuan Yew mencadang Malaysian Malaysia juga dengan tujuan yang sama. Ia ditolak dalam PRU 1964.

4. Sekarang DAP dengan disokong oleh Parti Keadilan dan Amanah sekali lagi memperkenal matlamat yang sama iaitu Malaysia bukan negara yang asalnya tanah Melayu tetapi Malaysia adalah negara berbilang bangsa.

5. Dalam negara berbilang kaum tidak ada taraf yang berlainan antara orang Melayu sebagai indigenous (pemastautin asal) dengan pendatang asing dan keturunan mereka. Dengan ini semua kaum mempunyai taraf sama.

6. Sejak sebelum merdeka jentera pentadbiran, polis dan tentera dipimpin dan dipenuhi dengan orang Melayu.

7. Sebagai negara berbilang bangsa pentadbiran kerajaan, polis dan tentera tentulah dipimpin dan dipenuhi dengan berbagai kaum.

8. Di masa yang sama bidang ekonomi (perniagaan dan perusahaan) akan kekal sebagai bidang yang orang Melayu tidak mendapat tempat.

9. Terpulanglah kepada orang Melayu memikir samada keadaan dalam negara berbilang kaum ini menguntung orang Melayu atau tidak.

10. Pihak Proklamasi Orang Melayu bukanlah berhajat untuk rampas hak dan milik orang lain. Pihak Proklamasi hanya ingin mendapat keadilan – iaitu pengiktirafan Semenanjung ini sebagai Tanah Melayu, menerima pendatang dan keturunan mereka sebagai bangsa yang diserap seperti orang keturunan Arab, India, Pakistan, Indonesia dan lain-lain diserap menjadi bangsa Melayu. Menerima bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan.

11. Bagi pendatang dan keturunan mereka yang ingin kekal identiti mereka dengan negara asal mereka, layanan terhadap mereka tentulah berbeza dengan layanan terhadap penduduk asal serta mereka yang menerima penuh bahasa dan budaya kebangsaan.

12. Perlembagaan Malaysia menyetujui bahawa agama rasmi Malaysia ialah agama Islam. Agama-agama lain boleh dianuti oleh pengikut agama asal mereka.

13. Tetapi desakan dibuat supaya Malaysia tidak lagi dikenali sebagai negara Islam. Malaysia hendaklah dijadikan negara sekular iaitu negara yang tidak ada agama rasmi iaitu tidak Islam.

14. Semua ini akan berlaku semasa tanah orang Melayu terjual kepada kaum lain. Rata-rata orang Melayu miskin. Mereka menjual tanah milik mereka kepada orang yang kaya yang hampir semua terdiri dari keturunan kaum pendatang.

15. Di masa yang sama semua estet besar milik penjajah sudah dibeli oleh orang yang kaya. Estet yang dimiliki oleh Kerajaan dari lain-lain tanah Kerajaan juga dijual kepada pihak yang kaya yang hampir kesemuanya bukan Melayu.    

16. Akhirnya pemerintah Malaysia juga tidak dapat dipengaruhi oleh orang Melayu. Kita sedang lihat di dalam wilayah yang sudah tidak lagi dikuasai oleh orang Melayu nasib orang Melayu amatlah buruk. Biasiswa untuk pelajaran tinggi hampir tidak ada bagi orang Melayu. Bahasa Melayu, walaupun diiktiraf sebagai bahasa rasmi tidak diguna sama sekali. Sebahagian anak Melayu pun tidak lagi faham Bahasa Melayu.

17. Ramai dari orang Melayu yang melihat negara berbilang kaum sebagai agihan sama rata antara semua kaum dalam bidang politik sahaja. Mereka tidak terfikir berkenaan perubahan-perubahan lain.

18. Rencana ini bukan bertujuan menakutkan orang Melayu terhadap desakan supaya Malaysia menjadi negara berbilang bangsa.

19. Kita sudah lihat dan boleh teliti apa yang sudah jadi kepada wilayah tanah Melayu yang sekarang dimiliki oleh bukan Melayu.

20. Lihat dan ambil iktibar.

21. Mereka yang tidak hendak lihat akan jadi mangsa yang sudah pupus.

22. Kata Hang Tuah Melayu tak akan hilang di dunia.

23. Tetapi Melayu sudah hilang banyak wilayah. Aliran sekarang menunjuk Melayu tidak akan kekal sebagai satu bangsa.

24. Melayu akan hilang negara mereka dan akan hilang di dunia.