Selasa, 29 Oktober 2019

Bahasa Daerah di NTT Terancam Punah



Oktober bulan bahasa. Sejumlah media meramaikan bulan bahasa dengan liputan menarik tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Akhirnya saya jadi tahu jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 718 biji. Biasanya saya jawab ratusan kalau ditanya turis dari luar negeri. Kira-kira mendekati seribu bahasa daerah. Paling banyak di Papua.

Kalau bahasa daerah terbanyak di Papua memang benar. Badan Bahasa mencatat 428 bahasa daerah di Papua dan Papua Barat. Total 428 bahasa daerah. Artinya, lebih dari 50% bahasa daerah ada di Papua. Disusul Maluku 79 bahasa.

NTT juga menarik. Provinsi asal saya itu punya 72 bahasa. Paling banyak di Kabupaten Alor. Tetangga daerah saya di Lembata yang dibatasi selat kecil. Dulu saya pikir Flores dan Lembata yang paling banyak bahasanya.

Sayang, bahasa-bahasa kecil di tanah air terancam punah. Sebab anak-anak muda tidak lagi menggunakannya. Malu berbicara dalam bahasa ibu karena dianggap orang kampung yang terbelakang.

 "Pakai bahasa Indonesia saja. Jangan pakai bahasa daerah," kata salah satu guru di Larantuka ketika saya menjawab pertanyaan pakai bahasa Lamaholot karena belum fasih berbahasa Indonesia.

Rupanya ajaran guru-guru di NTT untuk memuliakan bahasa Indonesia 30an tahun lalu itu berhasil. Kompas pagi ini membeberkan data yang menarik. Dari 36 murid di SMAN 1 Kupang, hanya 2 orang yang bisa berbahasa daerah. Yang lainnya pakai bahasa Melayu Kupang (komunikasi sehari-hari) dan bahasa Indonesia (formal).

Dua anak yang bisa bahasa daerah itu: Dominikus Atasage Adonara yang bisa bahasa Lamaholot karena orang tuanya asli Adonara. Satunya lagi Febriani yang fasih berbahasa Jawa.

Yang menarik, ayah Febriani orang Rote dan mamanya asal Ambon. Karena lahir dan besar di Surabaya, maka Febriani lancar berbahasa Jawa ngoko Suroboyoan khas anak-anak muda Surabaya.

Liputan Kompas edisi Selasa 29 Oktober 2019 ini makin mengonfirmasi tulisan-tulisan saya sekitar 10 tahun lalu. Saat bertemu orang Lembata atau Flores Timur di Surabaya biasanya saya pancing dengan bahasa Lamaholot. Tapi dijawab pakai bahasa Indonesia. Bahkan seorang nona asal Ile Ape, satu kecamatan dengan saya di Lembata, nerocos pakai Melayu Larantuka (Nagi) saat kami mengikuti pemakaman seorang pater SVD si Kembang Kuning, Surabaya.

"Anak-anak muda di NTT malu berbahasa daerah karena tekanan sosial. Dicap sebagai orang kampung," kata Dr Ali Humaidi, peneliti LIPI.

Saya mungkin termasuk orang NTT yang lolos dari tekanan sosial itu. Alias minderwaarsigheids complex itu.  Sebagai penutur asli Lamaholot Timur, saya ditekan untuk bisa berbahasa Lamaholot Tengah ala Adonara Timur. Kemudian ditekan untuk bisa berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka. Kemudian bahasa Indonesia yang baik dan benar ala buku teks sekolahan.

Kemudian belajar lagi bahasa Jawa. Mulai dari tingkat ngoko, madya hingga krama inggil. Agat bisa nonton wayang kulit atau ketoprak. Kemudian belajar lagi bahasa Madura karena para tetangga di Tegalboto, Jember, tidak fasih berbahasa Indonesia.

Tekanan-tekanan sosial itu ibarat blessing in disguise. Saya bisa menguasai 5 atau 7 bahasa daerah meskipun tidak sefasih penutur asli. 

Tekanan sosial untuk berbahasa Inggris tidak ada. Makanya saya tidak fasih berpikir dan berbicara dalam bahasa Inggris meskipun belajar English secara formal di sekolah selama 8 tahun. Cuma hafal grammar rules dan kisi-kisi ujian. Makanya nilai bahasa Inggris saya sejak SMP selalu sangat tinggi, 90-100. Hehehe...

Anehnya, meskipun saya hidup jauh lebih lama di luar NTT, hampir tidak pernah bicara bahasa Lamaholot, orang-orang kampung (dewasa) selalu menelepon atau bicara dengan saya pakai bahasa Lamaholot. Bukan bahasa Indonesia atau bahasa Nagi.

Bahasa ibu memang luar biasa. Meskipun tidak pernah dipakai bertahun-tahun, ia akan muncul dan hidup kalau diaktivasi. "Ada semacam kode-kode bahasa di kepala kita," kata mendiang Pater Glinka SVD, antropolog Unair, yang menguasai sekitar 10 bahasa.

Kamis, 24 Oktober 2019

Orang Flores Doyan Sayur Kelor (Merungge)



Ada pohon kelor di pinggir jalan raya kawasan Rungkut, Surabaya. Sangat hijau dan rimbun. Padahal tanaman yang nama Latinnya Moringa oleifera ini tidak pernah disiram. Kelor bahkan dianggap tanaman liar di Jawa.

Ada orang yang mengaitkan kelor dengan orang mati. Daun kelor dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Lalu airnya dipakai untuk memandikan jenazah. "Untuk menghilangkan ilmu-ilmu atau susuk yang sekiranya dipakai jenazah itu," kata teman dari Sidoarjo.

Karena itu, daun kelor tidak pernah dijadikan sayur di Jawa. Aneh rasanya makan sayur yang dikaitkan dengan kematian. "Saya sih makan aja karena gak punya ilmu hitam," kata Mbah Thelo, almarhum, pelukis senior di Sidoarjo.

Lain padang lain belalang. Di NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata, kelor justru merupakan sayur yang paling populer. Di mana-mana orang makan nasi atau jagung atau singkong dengan sayur merungge alias kelor itu. Mirip sayur bening.

Orang Flores Timur memang menyebut kelor dengan merungge. Di Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada kata MERUNGGAI yang sinonimnya kelor (Moringa oleifera). Jadi, sangat wajar kalau orang Flores menyebut kelor dengan merungge. Bahasa Lamaholot: MOTONG. Orang-orang kampung biasa bilang MOTONG LOLON. 

Motong: kelor, merunggai. 
Lolon: daun.
Motong lolon: daun merunggai.

Merunggai alias merungge alias kelor ini tanaman yang sangat bandel. Tahan hidup di lahan kering. Saat kemarau panjang pun tetap hidup dari tetesan embun dini hari. Karena itulah, NTT yang kering sangat familiar dengan kelor.

Memasaknya pun sangat cepat. Tidak ruwet. Masukkan daun kelor ke dalam air mendidih. Lalu dicampur sedikit bumbu macam bawang, garam, dan sebagainya. Jangan lama-lama agar tidak hancur di dalam air panas.

Yang menarik, meskipun merungge alias kelor ini dimakan (hampir) setiap hari, tidak ada orang yang menanam sayur ini secara khusus. Beda dengan sawi atau kol, kelor tumbuh liar di mana-mana.

 Ada yang berusia hingga puluhan tahun. Batang dan cabangnya besar. Tapi yang umum sebaiknya kelor jangan dibiarkan terlalu tua. Memetik daunnya yang sulit.

Saya perhatikan 10 atau 15 tahun terakhir kelor mulai lumayan populer di Jawa Timur. Ini setelah muncul buku-buku dan tulisan-tulisan di internet tentang manfaat kelor. 

Ada yang bilang kelor punya 10 manfaat. Artikel lain bilang 15 manfaat. Yang lain lagi 18. Ada lagi yang menulis 25 manfaat kelor. Suka-sukalah orang menulis apa saja. Toh tinggal jiplak alias copy and paste saja.

Yang menarik, para penulis buku atau artikel tentang kelor itu sebetulnya bukan pemakan sayur kelor alias merungge. Tak ada satu pun dari NTT atau Flores.

 Orang Lembata seperti saya malah tidak tahu manfaat kelor. "Manfaat makan sayur merungge supaya tidak lapar," kata Reynold, bocah SD di Lewotolok, Lembata.

Rabu, 23 Oktober 2019

Kabinet tanpa Orang Papua


Tidak mudah bikin kabinet di Indonesia. Terlalu banyak kepentingan dan pertimbangan. Padahal kursi menteri kalau tidak salah cuma 34 biji.

Partai-partai pasti minta jatah. Tim sukses. Representasi Indonesia Barat, Tengah, Timur. Ada juga perwakilan agama. Jangan sampai 100 persen menteri beragama Islam. Jangan sampai yang nonmuslim terlalu banyak.

Yang Islam pun harus dilihat dari ormas Muhammadiyah, NU, dsb. Ormas-ormas Islam sangat banyak dan punya visi misi sendiri.

Bagaimana dengan representasi Tionghoa?

Ini juga sangat perlu. Dan sejak dulu dilakukan Presiden Soekarno. Rezim Orde Baru yang sangat anti-Tionghoa memang tidak kasih tempat untuk menteri yang dari Tionghoa.

Bagi saya, kabinet di Indonesia harus ada menteri asal Bali dan Papua. Wakil Bali juga representasi umat Hindu. Papua wakil kawasan Indonesia Timur. Bisa juga Maluku. Tapi Papua tetap lebih afdal. Jangan lupa, meskipun penduduknya sedikit, wilayah Papua sangat sangat luas.

Makanya, pagi ini saya agak kaget tidak ada orang Papua yang jadi menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada menteri dari kawasan timur macam Johny Plate (NTT) dan Yasin Limpo (Sulsel). Tapi sulit dikatakan kedua menteri ini bisa mewakili orang Papua dan Papua Barat.

Syukurlah, Jokowi masih kasih tempat untuk orang Bali. Ibu Gusti Ayu Bintang jadi menteri PPA. Paling tidak masih ada orang Hindu di kabinet.

Orang Flores Jadi Menteri - Johny Plate


Orang Flores kembali masuk kabinet. Johny Plate dari Manggarai, Flores Barat, NTT, dipercaya Presiden Jokowi jadi salah satu menterinya. Johny politisi kawakan dari Nasdem. Tangan kanan Surya Paloh ini menjabat sekjen Partai Nasdem.

Tentu saja Johny dipilih bukan karena latar belakang daerah Flores atau agama Katolik. Tapi bagaimanapun juga orang Flores atau NTT patut bersyukur. Orang kita setidaknya dianggap layak jadi menteri.

Dulu orang Lembata juga jadi menterinya Presiden Megawati. Dr Sonny Keraf, dosen Unika Atmaja, jadi menteri lingkungan hidup. Orang Rote, NTT, Saleh Husen juga jadi menterinya Presiden SBY.

Orang Flores jadi menteri bukan cerita baru. Meskipun sebagian besar rakyat Flores masih buta huruf pada 1960an dan 1970an, ada orang Flores yang dianggap hebat sehingga pantas jadi menteri pada masa lalu.

Dialah Frans Seda. Tokoh besar dari Maumere, Sikka, ini dipercaya sejak zaman Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, Presiden Soeharto juga mengangkat Frans Seda sebagai salah satu menteri kepercayaannya.

Yang menarik, orang Flores dan Lembata yang jadi menteri biasanya berlatar belakang seminari. Eksem: eks seminari alias protolan seminar. Waktu kecil ingin jadi pastor tapi gagal di tengah jalanan. Bukan panggilan, begitu alasan khas para eksem itu.

Sonny Keraf dulunya sekolah di Seminari Hokeng, dekat Larantuka, Flores Timur. Johny Plate eks Seminari Kisol, Manggarai.

 "Di mana pun kita berada, kita harus melayani negara dan gereja," kata Johny Plate yang dulu aktivis PMKRI saat mahasiswa di Atmajaya Jakarta.

Pro ecclesia et patria!
Untuk gereja dan negara!

Begitulah semboyan orang muda Katolik di Indonesia. Moto ini dilanjutkan dengan "100% Katolik + 100% Indonesia%".

Ada lagi semboyan anak-anak muda gereja:

Ora et Labora.
Mangan Ora Mangan....

Selamat bertugas Bung Johny!
Bae sonde bae
Flobamora lebe bae!

Senin, 21 Oktober 2019

Naik KA Ekonomi Serasa Pesawat

Cukup lama saya tidak naik kereta api. Khususnya kelas ekonomi. Karena itu, saya takjub bukan main dengan perubahan manajemen layanan di perusahaan plat merah itu. Benar-benar revolusioner.

Karcis KA Maharani dari Pasar Turi ke Semarang cuma Rp 49 ribu. Inilah kereta kelas terbawah yang dulu disebut Gaya Baru alias kelas kambing itu. Tapi pelayanannya di tahun 2019 ini boleh dikata gak kalah dengan kelas atas.

Gerbongnya pakai AC. Tidak ada lagi penumpang duduk atau tidur di sela-sela kaki seperti yang sering saya alami dulu. Tidak ada pedagang asongan yang wira-wiri seenaknya di dalam gerbong. Semuanya bersih dan tertata. Ada juga nona-nona manis pramugari resmi yang jualan kopi dan makanan.

Jadwal keberangkatan pun tepat waktu. On time schedule. Tiba di Stasiun Tawang Semarang juga persis jadwal. Bahkan lebih cepat dua menit. Bandingkan dengan pesawat-pesawat terbang yang masih sering delay atau cancel.

Ada lagi yang bikin saya kagum. Tiket KA itu langsung boarding. Beda dengan naik pesawat yang harus check in, antre panjang, untuk mendapatkan nomor tempat duduk.

Di KA Maharani yang kelas super ekonomis ini semuanya serba otomatis. SSW: set wet wet.

Luar biasa perubahan yang dilakukan manajemen PT KAI. Diawali gebrakan Ignasius Jonan saat menjabat dirut PT KAI. Revolusi layanan pelanggan itu dipertahankan sampai sekarang.

Kalau kereta yang 49 ribu saja layanannya sangat modern, bagaimana dengan KA kelas premium yang tiketnya Rp 1,2 juta? Saya belum coba.

Mungkin dua atau tiga kali lebih cepat daripada kelas ekonomi. KA Maharani harus singgah di 8 stasiun kecil, sedang, dan besar. Kereta eksekutif premium bisa jadi cuma singgah di 2 atau 3 stasiun saja.

Selamat untuk PT KAI!

Minggu, 20 Oktober 2019

Perlu Belajar ke Tiongkok


Masih banyak orang Indonesia yang memandang remeh Tiongkok. Itu memang hasil indoktrinasi sejak orde baru akhir 60an. Tiongkok disebut negara tirai bambu, komunis, tertutup, sangat miskin.

"Lihatlah pakaian orang Tiongkok itu. Seragam semua. Ke mana-mana naik sepeda pancal atau jalan kaki. Kurang makan dan kurang gizi," begitu antara lain pelajaran bapak guru di Indonesia tahun 80an.

Indonesia sendiri saat itu juga belum maju. Tapi dianggap sudah jauh lebih maju ketimbang Tiongkok yang komunis itu. Pesan moralnya:

"Kalau mau maju jangan jadi negara komunis. Hancurkan paham komunisme sampai ke akar-akarnya. Ikut santiaji atau penataran P4. Indonesia akan lepas landas, jadi adil dan makmur."

Begitu kira-kira sedikit materi pelajaran PMP, PSPB, dan P4 yang masih saya ingat. Betapa bahayanya Tiongkok itu. Filsafat dan ideologi komunisnya bikin negara mundur.

Tidak sampai tiga dasawarsa Tiongkok bikin kaget dunia. Kemajuannya luar biasa pesat. Dibandingkan dengan suasana di foto hitam putih itu. Negara yang masih komunis, satu partai, tapi kok bisa melesat jauh melebihi Indonesia? Kapan Indonesia adil dan makmur?

Pagi ini saya baca catatan Dahlan Iskan. Mantan menteri BUMN, wartawan senior, yang bolak-balik pigi ke Zhongguo untuk urusan kesehatan, bisnis, rekreasi, studi banding dsb. Dahlan Iskan juga pernah menulis buku Pelajaran dari Tiongkok. Saat itu Mr Yu (sapaan Dahlan Iskan di Tiongkok, Yu Shigan) masih jadi laoban di Grup Jawa Pos.

Pagi ini Mr Yu menulis tentang pentingnya membereskan sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Tiongkok yang penduduknya miliaran bisa jadi rujukan. Mengapa Tiongkok bisa, Indonesia tidak (belum) bisa?

Mister Yu menulis:

"Saya tidak kagum pada administrasi kependudukan di Singapura. Negara itu begitu kecil. Pendudukan hanya 3 juta. Pendidikannya tinggi.

Tiongkok-lah yang benar-benar membuat saya kagum: bagaimana bisa mengadministrasikan 1,3 miliar penduduk dengan modern. Yang wilayahnya juga rumit. Yang dulunya juga sangat miskin.

Saya sudah ke desa-desa di pojok tenggara, pojok barat daya, barat lautnya. Administrasi kependudukannya sangat modern."

Hemmm.... Mungkin banyak orang Indonesia yang belum pernah membaca tulisan-tulisan Bos Dahlan tentang Tiongkok. Bisa juga tidak tahu perkembangan ekonomi Tiongkok dalam 10 atau 20 tahun terakhir.

Karena itu, komentar-komentar sebagian besar orang Indonesia di media sosial tentang Tiongkok atau Tionghoa masih melulu soal Aseng, Aseng, dan Aseng. Mereka lupa tanpa mendiang Aseng dunia tinju profesional di Indonesia sedang sekarat.

Aseng Sugiarto yang satu ini promotor tinju Arek Suroboyo. Bukan temannya Mr Li, Mr Deng, atau Mr Xi dari Tiongkok.

Rabu, 16 Oktober 2019

HM Handoko Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo Berpulang



Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo HM Handoko, 65, meninggal dunia di Roomsch Katholieke Ziekenhuis (RKZ) Surabaya, Senin (14/10/2019) petang. Pria yang juga pemilik Al Handoko Motor di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, itu sebelumnya menjalani perawatan intensif akibat gangguan ginjal.

"Papa selama ini juga harus cuci darah secara teratur. Kondisi Papa terakhir memang drop dan akhirnya berpulang," kata Albert Handoko, putra almarhum HM Handoko.

Jenazah tokoh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Sidoarjo itu disemayamkan di Adi Jasa, Jalan Demak Surabaya. Pihak keluarga masih menunggu kedatangan Valencia dan William, cucu almarhum Handoko, yang berdomisili di Kanada.

Sedangkan Yuliana Handoko, anak pertama Handoko yang tinggal di Kanada, sudah berada di samping ayahandanya di RKZ sejak pekan lalu. "Papa meninggal dengan tenang. Sepertinya Papa sudah tahu kalau waktunya sudah tiba," kata Yuliana Handoko.

"Pemakaman akan dilakukan di Gunung Gangsir," kata Albert yang kini meneruskan bisnis ayahnya.

Selain dikenal sebagai pengusaha yang gigih, pria bernama lahir Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Handoko kemudian dilantik sebagai ketua PITI Sidoarjo oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.
Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.

"Saya sih maunya cukup satu periode, gantian orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk mengurus PITI tidak gampang," kata ayah dua anak itu dalam beberapa kesempatan.

Setelah ada pimpinan yang baru, Handoko pun tetap jadi penasihat dan sesepuh PITI Sidoarjo. Berbagai kegiatan sosial terus ditunaikan pengusaha yang dikenal punya jaringan luas di kalangan pejabat dan politisi itu.

Salah satu keinginan Handoko yang belum terwujud adalah membangun Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo. Rencana itu pernah dipresentasikan di depan Bupati Win Hendrarso. Namun, pihak PITI menemui berbagai kendala di lapangan. "Khususnya pengadaan tanah," katanya.

Meski begitu, Handoko optimistis masjid berarsitektur Tionghoa itu suatu saat bisa terwujud di Sidoarjo meskipun dirinya tidak ada lagi di dunia. Selain sebagai tempat ibadah dan syiar Islam, Handoko ingin menunjukkan eksistensi muslim Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo.

"Orang Tionghoa itu sejak dulu sangat terbuka, toleran, dan guyub. Ada yang Buddha, Khonghucu, Taoisme, Nasrani, Islam, Kejawen, dan sebagainya. Bahkan, dalam satu keluarga agamanya bisa macam-macam. Bhinneka Tunggal Ika," katanya. (rek)

Minggu, 13 Oktober 2019

Soe Tjen Bedah Buku di Jerman


Setiap kali melintas ke arah Kenjeran, baik Suramadu, Pantai Kenjeran, atau taman baru di Bulak, saya selalu ingat Soe Tjen Marching PhD. Arek Tionghoa Surabaya yang tinggal di London, Inggris. Saya sering blusukan masuk ke Taman Putroagung yang ada lapangan bola kaki, kemudian lewat di depan Sekolah Mandala.

Soe Tjen memang punya sekolah tiga bahasa di Putroagung (Indonesia, Inggris, Mandarin). Bu Juliana Soesilo, mamanya Soe Tjen, yang bertanggung jawab sehari-hari. Mbak Soe Tjen memantau dari Inggris sana.

Saya pun beberapa kali diskusi dengan Yan Shi, nama pena Bu Juliana, pengurus sastra Tionghoa dan penyair produktif itu. Yan Shi mengisi rubrik sastra Tiomghoa (pakai aksara hanzhi) di koran berbahasa Mandarin terbitan Surabaya, Qiandao Ribao.

"Menulis terus biar gak cepat pikun," kata ibu yang ramah ini. Tahun lalu Yan Shi menerbitkan novelnya yang kesekian. Sempat dibahas di Jawa Pos.

Tiba di Jembatan Suramadu, seperti biasa, pesan kopi hitam rada pahit. Lalu saya cari kabar Soe Tjen Marching pakai telepon seluler. Ouw... rupanya Soe Tjen punya agenda penting di Frankfurt, Jerman. Bedah buku tulisannya yang berjudul
"The End of Silence". Buku yang menceritakan tentang Keluarga Korban Genosida 1965.

EINLADUNG ZUR BUCHBESPRECHUNG

„The End of Silence" von Dr. Soe Tjen Marching - Dozent der SOAS Universität London – über die Familien der Völkermordopfer 65 in Indonesien, am Freitag, den 18. Oktober 2019, von 18:00 bis zum 21:00 Uhr im Seminarhaus Raum SH O 106 Campus Westend der Goethe-Universität, Max-Horkheimer-Straße 4, 60323 Frankfurt am Main.

Luar biasa Soe Tjen ini. Gigih, ulet, ngeyel, wani. Meskipun isu tentang tragedi 1965 sangat sensitif, lulusan SMA Sinlui dan UK Petra itu tidak pernah gentar. Soe Tjen bahkan terang-terangan menghadapi anggota FPI yang hendak membubarkan sebuah seminar di Jalan Diponegoro, Surabaya, beberapa tahun lalu.

"Mereka itu kelihatannya sangar, tapi kalau dihadapi ya biasa aja," kata Soe Tjen lantas tertawa khas.

Soe Tjen Marching memang konsisten mengangkat isu-isu sensitif. Dia pimpinan majalah Bhinneka yang sejak awal menulis panjang lebar topik LGBT, tragedi 65, dan isu-isu sensitif yang dihindari media massa arus utama. Majalahnya pun dibagikan gratis.

Soe Tjen baru saja menyelesaikan naskah novel terbarunya. Ada isu tentang gerakan perempuan aliran kiri yang disebut Gerwani. Tema ini sangat sensitif setiap bulan September di Indonesia. Dia kemudian kerja sama dengan sebuah penerbit besar di Jakarta. "Karena distribusinya bagus," katanya.

Negosiasi untuk penerbitan buku itu pun berlangsung alot. Beda dengan novel Soe Tjen sebelumnya yang berlatar pasien kanker atau kematian. Akhirnya, seperti diduga, penerbit besar itu tidak jadi menerbitkan novel Soe Tjen itu. Apalagi selama ini toko buku milik penerbit itu kerap dirazia aparat dan ormas.

"Akhirnya, naskah saya akan diterbitkan Marjin Kiri," kata Soe Tjen sedikit lega tapi kecewa. Sebab, setelah 21 reformasi Indonesia belum bisa bebas dari trauma 65 dan segala sesuatu yang berbau kiri. "Bagaimana kita bisa meluruskan sejarah?" katanya.

Nah, dalam rangka meluruskan sejarah itulah, Soe Tjen Marching membedah buku The End of Silence di Jerman. Pasti lebih aman karena tidak akan ada ormas yang membubarkan diskusi itu. Pemerintah dan masyarakat Jerman juga tidak punya urusan dengan tragedi 65, Gerwani, Lekra, Manipol Usdek, Nasakom dsb.

Sabtu, 12 Oktober 2019

Lupakan Bola Kaki! Fokus Badminton!



Lupakan sepak bola!

Indonesia bisa dipastikan tidak mungkin bersaing di tingkat dunia. Tingkat Asia pun sulit. Tingkat Asia Tenggara alias SEA Games atau Piala AFF pun berat. Lawan Malaysia atau Thailand saja kedodoran. Begitu juga Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, atau Singapura.

Lama-lama tim nasional RI pun bakal keok oleh Timor Leste atau Brunei. Ini kalau permainan Beto dkk masih sama seperti saat melawan Malaysia, Thailand, dan UEA. Selama sepak bola masih berdurasi 90 + 5 menit saya sangsi sepak bola Indonesia bisa maju. Ada baiknya Jokowi melobi FIFA agar sepak bola alias bola kaki (istilah khas NTT) bisa dipangkas durasinya.

Sebetulnya Indonesia tidak merana sendiri dalam urusan persepakbolaan. USA dan Tiongkok pun sama. Meskipun USA sudah tembus Piala Dunia. Liga Tiongkok juga makin marak dengan kehadiran pemain-pemain top dunia.

Bedanya, bola kaki tidak populer di USA atau Tiongkok. Orang Amerika lebih doyan basket NBA, sepak bola ala amrik, dan banyak cabang olahraga lainnya. Tiongkok juga sangat hebat di berbagai cabang olimpiade.

Indonesia ini sangat malang. Jutaan rakyat + pejabat + politisi doyan bola kaki, tapi prestasinya jeblok. Penonton Persebaya rata-rata 30 ribu sampai 40 ribu orang. Tapi prestasi sepak bolanya tidak ada. Makin lama makin suram.

Mestinya KONI dan pemerintah sudah lama melakukan pemetaan cabor. Tidak seperti sekarang. Tidak jelas cabang-cabang yang jadi unggulan kita. Sepak bola yang nihil prestasi anggarannya sangat sangat besar alias tremendeous, pinjam istilah Mr Trump.

Satu klub saja bisa habis Rp 20 miliar. Dulu malah dibiayai APBD. Belum fasilitas stadion, wisma atlet, hingga transportasi. Mana ada cabang lain dapat kucuran anggaran miliaran rupiah? Silat yang hebat di Asian Games 2018 dapat berapa? Senam? Hoki?

Syukurlah, Bappenas yang tidak mengurus olahraga justru lebih paham penyakit-penyakit kita di bidang olahraga. Kemenpora kalah deh. Apalagi menpora jadi tersangka kasus korupsi. Uang rakyat malah disunat untuk kepentingan oknum-oknum itu. Bukan untuk memajukan prestasi olahraga ke tingkat dunia.

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menganggap program pembinaan olahraga di Indonesia selama ini tidak jelas. Tidak ada target prestasi yang mantap di olimpiade. Semua cabang olahraga dibina tapi cuma sekadar saja.

Bappenas mengusulkan 10 cabang prioritas: badminton, panjat tebing, atletik, panahan, angkat besi, taekwondo, senam, dayung, renang, sepeda.

Bola kaki alias sepak bola?

No way! Lupakan saja. Indonesia memang sudah selayaknya menggunakan sistem piramida terbalik ala jurnalistik. Posisi teratas piramida adalah the most important sport: badminton!

Hanya bulu tangkis yang membuat nama Indonesia harum di level dunia sejak tahun 1950an sampai sekarang. Memang prestasi badminton kita pasang surut belakangan ini. Tapi Indonesia masih tetap berada di jajaran elite dunia.

Demam badminton perlu dihidupkan lagi seperti pada era 80an dan 90an. Ketika kita ketagihan menonton Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Taufik Hidayat, Haryanto Arbi dsb. Pembinaan yang sudah dirintis Djarum selama 60an tahun jangan dimatikan.

Prinsip piramida terbalik itu makin ke bawah makin tidak penting. Bisa diabaikan atau dipotong. Bola kaki alias sepak bola alias balbakan sudah tentu berada di ujung bawah piramida terbalik yang runcing itu.

Anehnya, di Indonesia ini sepak bola justru berada di posisi paling atas sebagai the most important sport. Anggaran dari APBD paling banyak ketimbang cabor-cabor lain macam silat, kempo, muaythai, catur, bridge, atau bola tangan.

Tak hanya di pusat, daerah-daerah pun tidak punya olahraga unggulan. KONI Sidoarjo misalnya punya 40 cabang olahraga. Apa cabor unggulan Sidoarjo? Tidak jelas.

"Kita punya banyak cabor unggulan. Kita juga punya program sport science," kata Ketua KONI Sidoarjo Franki Efendi jelang Porprov Jatim beberapa waktu lalu.

Karena peta olahraganya tidak jelas, tak ada piramida terbalik, targetnya pun asal bunyi. Bupati Sidoarjo Saiful Ilah berkali-kali bilang Sidoarjo bakal jadi juara umum. Mengungguli Surabaya yang sejak dulu sangat perkasa.

Waduh... Abah Saiful! Hitung-hitungan medalinya bagaimana? Data dari KONI bagaimana? Kok ngaco gitu?

Sidoarjo akhirnya peringkat ketiga. Surabaya mantap jadi juara porprov. Jumlah medali emas yang diraih Surabaya bahkan jauh di atas perolehan Sidoarjo dan beberapa kabupaten lain dijadikan satu.

Jumat, 11 Oktober 2019

Timnas Indonesia Berantakan



Salah saya sendiri. Kok mau melekan nonton timnas Indonesia vs UEA? Sudah pasti kalah. Skornya pasti besar. Pasti lebih dari tiga gol.

Tapi begitulah... Saya nonton siaran langsung di TVRI yang makin fenomenal untuk urusan bola itu. Buat hiburan. Kompensasi setelah sehari penuh dibombardir berita penusukan Menko Polkam Wiranto.

Saya pikir timnas asuhan Pelatih Simon bermain lebih taktis dan cerdik. Awalnya lumayan. Ada peluang emas untuk cetak gol lewat serangan balik. Tapi Beto yang lansia (standar atlet bola) tidak bisa duel dengan dua bek UEA. 

Peluang sirna. Beto malah bergerak melebar ke kanan. Bagaimana bisa cetak gol? Beto tidak mau ambil risiko ditekel agar Indonesia dapat hadiah penalti. Penyerang yang berani duel cuma Tedd Rivaldo dari Persipura di U-23. Simon lebih suka pemain-pemain tua macam Beto.

Akhirnya, Indonesia kalah telak. Lima gol tanpa balas. "UEA lebih siap segalanya," kata Simon.

Sangat wajar Indonesia kalah oleh UEA. Lawan Malaysia pun kita dipermalukan di kandang sendiri. Lawan Thailand juga hancur. Kalah tiga kali, poin nol.

Indonesia sudah finis di kualifikasi Piala Dunia 2020. Sudahi saja mimpi menembus turnamen sepak bola terbesar sedunia itu.

Target yang paling realistis adalah juara di Asia Tenggara. Medali emas SEA Games. Apakah mungkin? Kalau timnas bermain seperti Beto dkk dalam tiga laga terakhir ya hil yang mustahal, kata almarhum Asmuni, pelawak Srimulat.

Indonesia bakal juara SEA Games kalau Malaysia, Thailand, dan Vietnam memasang anak-anak U-19 atau U-21. Kalau mainnya masih kayak gini, lama-lama timnas senior (man footbal) ditekuk tim sepak bola wanita.

Kamis, 10 Oktober 2019

Kalimas Kering, Kota Tua Merana

Surabaya masih panas sore ini. Apalagi posisi matahari persis di atas Surabaya pada 12 Oktober 2019. Sang Surya memang sedang dalam perjalanan ke selatan untuk menyambut musim hujan pada pertengahan November nanti. Tapi kata BMKG Juanda musim hujan tahun ini terlambat datang di Jawa Timur.

Sambil menikmati hawa terik, saya perhatikan Kali Mas. Airnya makin habis. Tinggal sedikit di bagian dasar yang penuh endapan. Baunya tentu saja tidak enak.

Banyak sampah yang nyangkut di Jembatan Merah. Sebab selama ini memang jarang dibersihkan. "Nanti akan kami benahi agar ada rute baru wisata air hingga ke kota lama di Jembatan Merah," kata pejabat pemkot beberapa waktu lalu.

Air Sungai Kalimas memang biasa berkurang saat musim hujan. Tapi rasanya tidak separah tahun ini. Kalau musim hujan masih lama, ya bisa kering parah sungai yang bermuara di dekat Pelabuhan Tanjung Perak itu.

Saya jadi ingat foto-foto tempo doeloe di kawasan Kalimas. Sungai itu ramai banget. Banyak perahunya. Suasananya mirip laut atau danau yang berlimpah air. Tak ada keringnya.

Bangunan-bangunan di samping Kalimas Timur dan Kalimas Barat pun bagus-bagus. Tidak kalah dengan di Belanda, kata orang. Sebab permukiman orang Belanda di Surabaya pada masa penjajahan berada di Kalimas bagian barat. Di sebelah timur Kalimas permukiman Tionghoa, Arab, Melayu, Jawa.

Rasanya seperti mimpi melihat foto-foto hitam putih yang diambil tahun 1930-an. Begitu indah, ramai, dan mentereng kawasan Kalimas. Jembatan Merah, Rajawali, Krembangan, Kalisosok, Kembang Jepun, Karet, Gula,Cokelat, Panggung, Nyamplungan, Ampel dst.

Saat ini kawasan Surabaya Utara rasanya suram. "Saya jualan paling lama sampai jam lima. Sepi Mas," kata seorang ibu asal Madura. Perempuan gemuk ini berjualan di emperean Gedung Internatio yang mangkrak gak karuan.

JMP pun redup. Satu-satunya plaza di Surabaya yang tidak buka malam hari. Stan-stannya pun sudah banyak yang kosong. Food Court di lantai paling atas JMP sudah lama kosong melompong.

Ah... kota lama! Kota tua. Kota masa lalu. Hanya indah dan semerbak dalam foto kenangan hitam putih itu.

Good News Bible vs King James Bible


Bulan September bulan kitab suci nasional. Agenda tetap di lingkungan Gereja Katolik. Ada banyak agenda yang berkaitan dengan kitab suci. Mulai anak hingga lansia. 

Umat Katolik diajak untuk lebih rajin membaca Alkitab setiap hari. Minimal satu perikop. Gereja sudah menyiapkan perikop yang harus dibaca: Perjanjian Lama, Epistola, dan Injil. Tinggal klik langsung ketemu di internet atau aplikasi.

September lalu saya pun membaca Good News Bible. Alkitab berbahasa Inggris yang saya beli di lapak buku-buku bekas Jalan Semarang, Surabaya. Alkitab ini terbitan Kanada. 

Versi bahasa Indonesia Good News Bible ini kalau tidak salah bernama Alkitab Kabar Baik. Kata-katanya lebih sederhana dan akrab. Berbeda dengan Alkitab TB (Terjemahan Baru) yang jadi kitab suci resmi di hampir semua gereja di Indonesia. 

Sayang, Alkitab BIS (Bahasa Indonesia Sehari-hari) justru kurang populer di Indonesia. Orang kristiani lebih suka Alkitab TB yang standar dengan kata-katanya paling mendekati versi aslinya. "Alkitab BIS lebih cocok untuk katekumen," kata seorang teman aktivis gereja di Surabaya.

Kembali ke Good News Bible. Terlepas dari banyaknya kritikan tentang terjemahan yang terlalu bebas, parafrase, menurut saya, Bible ini paling cocok untuk orang Indonesia yang kosa kata bahasa Inggrisnya masih terbatas. Kata-kata Inggris yang digunakan memang sederhana dan jelas. Kalimat-kalimatnya pun tidak panjang. 

Good News Bible sepertinya diterbitkan untuk pembaca yang bukan native speaker macam di Indonesia, Timor Leste, Thailand, Tiongkok, Burma dsb. Dus, kita bisa dengan mudah mengetahui isinya tanpa terlalu banyak dipeningkan oleh kata-kata sulit. Tidak perlu buka kamus.

Karena itu, bagi saya, membaca Good News Bible ibarat sambil menyelam minum air. Merenungkan sabda Tuhan sekaligus belajar bahasa Inggris. Kita dibiasakan untuk membaca kalimat-kalimat bahasa Inggris. Juga berpikir dalam bahasa internasional itu.

Jauh sebelum punya Good News Bible, saya sebetulnya sudah punya Alkitab berbahasa Inggris versi lain. Namanya King James Bible. Di berbagai kota seperti Malang, Surabaya, Jakarta, Sidoarjo juga saya temukan King James Bible. Ada stempelnya di halaman depan atau belakang: GRATIS! DARI THE GIDEONS.

Di sejumlah hotel berbintang pun sering saya temukan King James Bible. Kenapa begitu banyak King James? Karena gratis. Ada yayasan The Gideons yang menyumbang kitab suci bahasa Inggris itu ke Indonesia. Mungkin juga negara-negara lain.

Sayang, rupanya pengurus Gideons ini tidak tahu pasar. Tepatnya tidak tahu level bahasa Inggris hampir semua orang Indonesia. Bahasa Inggris yang dipakai King James Bible bisa saya nilai 10 (skala 1-10) alias super high level.

 Padahal, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris Indonesia itu rata-rata masih di bawah level 5. Saya sendiri pun mungkin cuma level 2 atau 3. Buktinya, saya tidak mengerti omongan turis-turis native speaker asal USA, Inggris, atau Australia. Beda kalau yang ngomong Inggris itu orang Belanda, Jerman, Italia, atau Prancis yang mudah dimengerti.

Karena itu, saya tidak pernah membaca King James Bible itu. Hanya disimpan saja untuk pencitraan. Seakan-akan saya pintar berbahasa Inggris. Hehehe....

Sejak membeli Good News Bible di pasar loak itu, King James Bible itu saya sumbangkan ke pedagang buku-buku bekas. Siapa tahu ada orang yang mau membeli.

Dua minggu lalu saya mampir ke Kampoeng Ilmu, pusat buku-buku bekas di Jalan Semarang, Pasar Turi, Surabaya. Ketemu lagi Lia, pedagang Madura, langganan lama. Lia menawarkan beberapa buku yang dianggap cocok dengan selera saya. Mulai buku-buku Pramoedya, roman-roman Balai Pustaka dan... King James Bible.

"Loh, kok ada buku itu (King James). Dapat dari mana?" tanya saya.

"Ada aja orang yang jual buku-bukunya di sini," kata mantan gadis manis yang kini punya dua anak itu.

Saya pun ketawa dalam hati. Lapo tuku King James. Kitab suci bahasa Inggris yang kata-kata dan susunan kalimatnya paling sulit di dunia.

Mestinya sejak dulu The Gideons membagikan Good News Bible ke NTT biar sekalian belajar bahasa Inggris tingkat dasar. Bukan King James Bible yang bahasa Inggrisnya super high level English itu.

Senin, 07 Oktober 2019

Surabaya 39 Celcius, Doa Minta Hujan

Surabaya memasuki puncak panas. Seminggu terakhir media sosial dipenuhi komplain masyarakat tentang suhu yang begitu panas.

BMKG Juanda bilang suhu tertinggi mencapai 38 derajat Celcius. Tapi sejumlah warga bilang 39. Bisa saja kualitas dan standar termometer warga beda dengan BMKG. Metode pengukurannya juga tidak standar ilmiah.

Gunawan di Darmo Harapan: "Puanas pool.. Darmo harapan 35 derajat Celcius."

Wasiran: "Jemursari 38 derajat."

"Masuk get tol dupak arah satelit langsung merayap. Cuaca murup 36 derajat," tulis Hendra Purnama.

"Citraland 38 derajat C," tulis Helen.

Musim kemarau memang masih panjang. Hujan baru mulai menitik pada bulan November. Itu pun belum belum tinggi intensitasnya. Bagus untuk pedagang es tebu, es blewah, es dawet, dsb di pinggir jalan.

Menurut Teguh Susanto dari BMKG Juanda, panas terik yang menyengat di Surabaya juga akibat posisi matahari. Sang Surya lagi tur ke belahan bumi bagian selatan.

"Sekitar tanggal 13 dan 14 Oktober, matahari akan tepat di atas Surabaya," kata Teguh.

Maka, bisa dipastikan Surabaya bakal lebih panas hingga akhir Oktober. Nanti setelah Sang Surya sampai di Australia baru kepanasan ini sedikit berkurang. Diganti mendung nan sumuk.

Yen dipikir-pikir, panas atau hujan sebetulnya sama-sama gak enak. Di Surabaya dan Sidoarjo ini meskipun hujan sedikit saja hampir pasti banjir parah. Misalnya di kawasan dekat Sungai Buntung, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Seperti Kedungrejo, Bungurasih, hingga Tambaksawah dan Tambaksumur.

"Saya sih lebih menikmati musim kemarau ketimbang hujan," kata Greg Suharsojo, seniman eks Lekra di Beringinbendo, Sidoarjo.

Maklum, rumah Mbah Greg selalu terendam air hujan cukup tinggi. Mirip tambak di musim hujan.

Kemarin Gubernur Khofifah bersama pejabat-pejabat muspida melaksanakan salat minta hujan. Salat Istisqa. "Kami berharap Allah berkenan menurunkan hujan," ujar Bu Gub.

Semoga permohonan Bu Gub dan masyarakat Jatim dikabulkan Sang Pencipta. Agar kepanasan, kekeringan, dan kebakaran segera berlalu.

Sabtu, 05 Oktober 2019

Selamat Jalan Romo Paskalis Hurek!

Berita duka lagi dari kampung halaman.

Sabtu pagi, 5 Oktober 2019, Romo PASKALIS GILO HUREK, Pr meninggal dunia di RSUD Larantuka, Flores Timur, NTT. Gara-gara kecelakaan lalu lintas di depan STM Bina Karya Larantuka.
Jenazah dimakamkan di Larantuka, Minggu siang 6 Oktober 2019.

"Kak Berni, Romo Kalis naika," begitu pesan SMS dari Is Hurek, adik saya, dari Lembata, NTT.

Saya yang lagi nonton kuliah filsafat di YouTube pun hanya bisa terdiam. Berserah kepada Dia Sang Empunya Hidup. Tak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya.

Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Terpujilah nama-Nya

Begitulah kata-kata Nabi Ayub yang sering dikutip saat dukacita begini. Kata-kata yang masih terngiang di telinga saya saat kami sekeluarga juga mengalami kedukaan. Saat Bapa Nikolaus Nuho Hurek dipanggil Tuhan pada 22 Juli 2019 lalu.

Belum terlalu lama. Setelah Bapa Niko Hurek, keluarga besar suku Hurek Making kehilangan lagi seorang tokohnya. Romo Paskalis Hurek, imam diosesan Keuskupan Larantuka.

Bulan Juli 2019 saya sempat melintas di jalan raya depan rumahnya. Di pinggir Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata. Dekat tempat permakaman kampung itu. Banyak tokoh kampung bersemayam di situ.

Saya sempat doa singkat di makamnya Ama Yeremian Selebar Hurek, ayahanda Romo Paskalis Hurek. Beliau katekis pertama di kampung saya. Tak heran putrinya jadi biarawati pertama di kampung saya: Suster Yerona Hurek.

Jejak Suster Yerona kemudian diikuti Paskalis Hurek. Jadilah ia pastor pertama asal Desa Mawa Napasabok. "Paskalis itu sangat berbakat. Pintar pelajaran, musiknya juga hebat," kata Bapa Niko Hurek, guru pertama Romo Paskalis di Mawa Napasabok.

Saat anak-anak, saya takjub mendengar permainan gitar Ama Kalis (belum romo, masih seminari). Lagu-lagu Ebiet G Ade dipetik layaknya seniman profesional. Inilah pertama kali saya melihat orang Lembata bisa main gitar dengan cara klasik. Bukan cuma jreng genjreng ala pemain koplo atau dangdut itu.

Rupanya bakat musik ini dibawa hingga ia ditahbiskan jadi pastor. Romo Paskalis selalu main musik dan menyanyi. "Paling enak kalau dia nyanyi Mama.. Kembalilah," kata seorang teman dari Adonara.

Sayang, saya tidak pernah bertemu muka dengan beliau selama bertahun-tahun. Sebab beliau memang ditugaskan di paroki-paroki yang jauh dari Lembata. Lebih banyak di Larantuka dan sekitarnya.

Saat saya mudik Natal, sudah pasti Pastor Paskalis sibuk di parokinya. Saat beliau mudik, saya bekerja di Jawa Timur. "Tuan Paskalis beto terus. Na maring meri gute ape teti lewo," kata tante saat saya mampir ke rumah Romo Paskalis.

(Romo Paskalis selalu pulang kampung. Dia bilang ambil api di kampung halaman.)

Gute ape. Ambil api.

Itulah pesan dan kebijaksanaan Romo Paskalis. Beliau berpesan kepada para perantau untuk meluangkan waktu pulang kampung sejenak. Ambil api. Sumber semangat dan inspirasi di lingkungan keluarga dekat dan jauh.

"Jangan sampai lupa kampung," pesannya.

Dua pekan lalu, Romo Paskalis Hurek pulang kampung. Kali ini beliau sangat bahagia merayakan misa pertama Romo Yeri Laper Making Pr di Desa Mawa Napasabok, kampung halamannya. Romo Yeri baru saja ditahbiskan di Kupang.

Romo Paskalis Hurek pastor pertama dari Kampung Mawa dan Romo Yeri Laper Making pastor kedua. Setelah 30an tahun baru lahir pastor baru. "Go mehak hala muri. Go kong Arik Yeri," kata Romo Paskalis dalam khotbahnya seperti diceritakan Ama Franky Hurek.

Perayaan atau pesta penyambutan imam baru di kampung pun berlangsung meriah. Imam lama, Romo Paskalis, pun berbunga-bunga. Kampung yang gersang itu ternyata mampu melahirkan pekerja untuk kebun anggur Tuhan.

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. "Tuan Paskalis naika kenehingen," kata adik saya. Romo Paskalis meninggal dunia secara mendadak. Kecelakaan lalu lintas.

Ama Tuan... mo maiko kepi!
Kerung Bapa Niko lau Bapa langun!

Requescat in pace!
Selamat jalan Romo Paskalis!

Rokok Bentoel Tinggal Kenangan



Pagi ini saya mampir di warkop dekat Bandara Juanda, Sedati, Sidoarjo. Mengaso sejenak setelah nggowes sepeda jengki lawas cukup jauh. Sekalian baca koran. Sebagian warkop di Surabaya dan Sidoarjo memang abonemen surat kabar terbitan Surabaya.

Saya tertarik dengan Ardath milik seorang pria 40an tahun. Asal Lowokwaru, Malang. Aha, kebetulan cocok. Mau saya tes pengetahuan mas itu. Tentang rokok Bentoel yang identik dengan Kota Malang itu.

"Mas, rokok kretek Bentoel apa masih ada? Saya kok gak pernah lihat di Surabaya," tanya saya. Jujur... saya tidak pernah lihat rokok Bentoel di lapak-lapak di Surabaya dan Sidoarjo.

"Saya juga gak pernah lihat Bentoel. Mungkin masih ada, tapi kurang diminati di sini," kata arek Lowokwaru yang sudah lama jadi warga Sidoarjo itu.

Saya lalu cerita nostalgia tentang Bentoel. Kisah masa kecil saya di Lembata yang tidak ada listriknya. Betapa rokok Bentoel lakunya luar biasa. Rokok yang paling disukai masyarakat saat itu. Gudang Garam kalah jauh.

Situasinya berubah drastis sejak reformasi. Bentoel hilang. Orang-orang kampung kecanduan Surya. Tidak lagi ngelinting tembakau pakai daun koli (siwalan). Hem... nikmatnya Surya.

"Ardath itu produksi mana?" tanya saya lagi.

Mas asal Malang penggemar Ardath -- kenikmatan sukses -- bilang tidak tahu. Rupanya dia tidak pernah baca tulisan di bawah bungkus rokok Ardath. Dibuat di Malang. Yang bikin ya perusahaan rokok Bentoel itu.

Sudah lama Bentoel diakuisisi BAT. Makanya rokok-rokok buatan Bentoel, eh BAT, dominan rokok putih. Kretek khas Ong Hok Liong tidak lagi jadi andalan. Karena itu, sangat wajar kalau kretek Bentoel tak ada lagi di pasar.

Beberapa waktu lalu saya mlaku-mlaku di Malang. Lewat di bekas rumah Ong Hok Liong, laopan pendiri Bentoel Malang, di Wiromargo 32, Klojen. Rumah yang 6 tahun lalu dijadikan museum sejarah Bentoel itu sepi jali. Ada spanduk bertulisan "dijual". Patung Tuan Ong juga sudah tidak ada lagi.

Lengkap sudah. Bentoel yang pernah mengebulkan asap nan harum ke seluruh Nusantara itu kini tinggal cerita. Bahkan, orang Malang sendiri kayak mas dari Lowokwaru itu pun tidak tahu kalau salah satu ikon di kotanya sudah tiada lagi.

Mas itu menyedot rokok Ardath dalam-dalam. Ah... kenikmatan sukses!

Jumat, 04 Oktober 2019

Semburan Minyak di Kutisari Surabaya

Sudah hampir dua minggu muncul semburan di Kutisari Indah Utara III Surabaya. Persis di halaman rumah. Bau khas minyak mentah meruak ke mana-mana.

Jumat pagi, 4 Oktober 2019, saya mampir ke sana. Banyak petugas yang berjaga. Linmas, satpol, pekerja, hingga satpam. Drum-drum berisi minyak mentah berjejer di halaman dan pinggir jalan.

"Minyaknya sudah sedikit. Lebih banyak airnya," kata anggota Linmas Surabaya. Mereka berjaga gantian hingga jelang 24.00.

Semburan lumpur berminyak di Kutisari ini tidak sama dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Beda jauuuh. Di Kutisari mirip sumber mata air yang bergejolak.

Karena itu, secara awam bisa dikatakan aman. Warga sekitar pun adem ayem. Tidak ada keresahan. Mereka juga sudah bikin selamatan tumpeng, doa bersama, meminta bantuan Yang Mahakuasa agar semburan itu berhenti. Pemerintah juga tidak tinggal diam.

Pakar geologi dari ITS Dr Amien Widodo mengatakan hampir di sepanjang sumbu lipatan di wilayah Jawa Timur selalu muncul semburan secara alami baik minyak, gas, maupun lumpur. Di antaranya, di Sedati, Pulungan, Gununganyar, Kutisari, Semolowaru, Lidah Kulon, Gresik, Madura, Wringinanom.

Penjajah Belanda dulu melakukan pengeboran untuk mengambil minyak di sekitar semburan semburan tersebut. Amien Widodo mengatakan, lapangan minyak Belanda di Kota Surabaya ada tiga, yaitu Lapangan Lidah, Lapangan Krukah, dan Lapangan Kuti-anyar. Eksploitasi migas Belanda sekitar 1880 dan berhenti operasi (ditinggalkan) tahun 1930-an.

"Bekas lapangan migas tersebut saat ini menjadi perumahan padat seperti di Kutisari," kata geolog yang aktif meneliti semburan lumpur di Sidoarjo sejak 2006 itu.

Berapa sumur minyak tua eks Belanda di Kutisari? Datanya simpang siur. DLH Surabaya bilang 84 sumur. Yang sudah terdeteksi 34 sumur minyak.

Tentu saja posisi sumur-sumur lawas itu sudah tidak kelihatan lagi setelah eksplorasi distop satu abad lalu. Eks lapangan minyak itu pun sudah berubah menjadi kampung dan perumahan padat penduduk. Nyaris tidak ada spasi di antara rumah-rumah di Kutisari dan sekitarnya.

Lantas, kapan semburan minyak itu berhenti? Apakah sumur-sumur lain pun berpotensi nyembur?

Ini yang belum bisa dijawab. Ada pakar yang bilang semburan kecil itu biasanya akan berhenti sendiri. Bisa cepat seperti di Gresik, tapi bisa juga sampai puluhan tahun seperti di Jawa Tengah. Waduh!

Pater Markus Solo SVD Temani Menteri Agama RI di Vatikan

Sudah 12 tahun Pater Markus Solo Kewuta SVD bertugas di Vatikan. Jadi semacam staf ahli Takhta Suci. Sejak Paus Benediktus XVI yang kini emeritus dan dilanjutkan Paus Fransiskus. Pastor asal Flores Timur ini selalu jadi pendamping dan tak bosan-bosannya menyerukan perdamaian dunia.

Padre Marco, begitu nama populer Pater Markus Solo SVD, pekan ini ikut mendampingi rombongan kiai dan ulama Indonesia yang berkunjung ke Vatikan. Termasuk menemani Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin beraudiensi dengan Paus Fransiskus.

Inilah untungnya ada orang Indonesia yang jadi staf kepausan. Orang Flores Timur pula. Yang bahasa daerahnya bahasa Lamaholot seperti bahasa ibu di kampung saya. Sama-sama Keuskupan Larantuka pula.

Pater Markus Solo SVD menulis:

"Tadi sama Pak Menteri Agama Indonesia bincang2 ttg bgm majukan perdamaian & kerukunan di tanah air. Pendidikan inklusif jd kata kunci," tulis sang pater yang mengawali panggilan dengan masuk Seminari Hokeng itu.

Selanjutnya, Pater Markus menemani Pak Menag jalan-jalan di kompleks Vatikan City. "Beliau sangat tertarik mendengar penjelasan2 saya. Katanya: Romo, baru ketemu tapi rasanya akrab. Saya jawab: Karena kita orang Indonesia," kata Pater Markus.

Masa jabatan menteri dari PPP ini tinggal seminggu lagi. Rupanya di ujung pengabdiannya sebagai menteri agama, Lukman Hakim menyempatkan diri berkunjung ke Vatikan. Diskusi tentang banyak hal. Indonesia yang majemuk, Bhinneka Tunggal Ika, dsb.

Satu jam lalu Menag Lukman mengunggah fotonya saat berada di Vatikan. Sang Menteri menulis:

"Mengabadikan diri di depan lukisan tokoh2 agama dunia, usai berdialog dg Mgr. Miguel Angel Ayuso, Presiden Dialog Antaragama, Dewan Kepausan Tahta Suci Vatican, ditemani Romo Markus Solo asal Flores, NTT, yg sudah 12 tahun mengabdi di Vatican."

Ada guyonan kecil Pater Markus Solo yang bikin saya ketawa sendiri. Rombongan dari Indonesia minta nomor teleponnya. Pater Markus pun menulis + 379 kode Vatikan.

"Ini bukan tanda salib tapi plus," kata Pater Markus disambut tawa anggota rombongan.

Maklum, belakangan ini isu jin kafir sedang ramai di media sosial. Hehehe....

Pesan kopi langsung bayar



Pesan langsur bayar.

Begitu tulisan di salah satu warkop di Rungkut Menanggal Surabaya yang saya baca pagi ini. Tulisan sejenis pun makin marak di warkop-warkop lain di Surabaya dan Sidoarjo.

Rupanya ada perubahan tata kelola warkop atau warung di Indonesia. Biasanya sistem "pesan langsung bayar" hanya kita temui di KFC, MacD, atau resto-resto besar di plaza atau hotel. Tapi sekarang mulai merambah ke usaha kecil dan menengah.

"Lebih aman kalau langsung bayar. Soalnya tidak semua pelanggan dan pembeli itu jujur," kata Cak Mamat, pengusaha warkop di Surabaya Utara.

Cak Mamat sangat jengkel karena beberapa pelanggannya punya utang tapi tidak ngaku. Atau makan 5 gorengan tapi cuma lapor makan 3 jajan. Pelanggan-pelanggan mokong ini cukup banyak.

"Saya rugi. Makanya, kalau beli rokok wajib bayar langsung," katanya.

Kalau kopi, teh, atau gorengan? "Sekarang sih belum. Tapi nanti akan saya terapkan sistem bayar langsung," katanya.

Memang ada pergeseran budaya orang Indonesia. Budaya kita makan minum dulu bayar belakangan. Sebab makanan dan minuman yang dinikmati itu jumlahnya belum jelas. Bisa 2 atau 3 atau 5. Tergantung kapasitas perut. Kopinya juga bisa nambah 2 gelas lagi.

Maka, setelah ditotal baru bayar kopi dsb itu. Beda dengan budaya Barat yang modern. Mereka sudah lama pakai sistem langsung bayar. Ada uang ada ayam tepung KFC. Tidak ada ceritanya makan dan minum baru bayar belakangan di MacD.

Persoalan kita ya itu tadi... makin lama kejujuran makin tergerus. Uang yang dibayar lebih sedikit daripada makanan dan minuman yang sudah masuk perut.

Saya sendiri cocok dengan sistem modern ini. Lebih praktis. Transaksi cukup sekali, makan minum, lalu cabut. Tidak perlu lagi berurusan dengan si pedagang kopi itu.

Bulan Bahasa, Wartawan Ditatar Lagi


Oktober bulan bahasa. Wartawan-wartawan dari berbagai media di Jawa Timur ditatar oleh Badan Bahasa Jawa Timur. Diingatkan kembali akan pentingnya bahasa yang baik dan benar.

Saya pun ditugaskan sebagai salah satu peserta penataran ini. Anggap saja ngecas baterai. Sudah sangat lama saya tidak ikut lokakarya bahasa Indonesia macam ini. Tapi karena ditugaskan ya.. mau tidak mau, suka tak suka, harus ikut.

Ada lima materi yang disajikan selama dua hari. Penggunaan BI di media massa, ejaan dan peristilahan, bentuk dan pilihan kata, kalimat dan paragraf, dan praktek, eh praktik penulisan berita.

Boleh dikata, materi-materi ini tidak ada yang baru. Setiap hari pekerja media selalu bergulat dengan kata, kalimat, judul, paragraf, dsb. Rutinitas. Ibarat mesin yang sudah punya SOP atawa prosedur tetap.

Ibarat sopir truk yang setiap hari menyetir truk di jalan raya, melewati rute panjang, yang diajari lagi cara menyetir yang baik dan benar. Aturan-aturan lalu lintas. Larangan-larangan di jalan raya.

Sopir yang bekerja rutin, bertahun-tahun, pun sering kena tilang karena melanggar aturan. Bukan karena tidak tahu, tapi ya serobot sana sini. Karena itu, polisi perlu melakukan operasi zebra, tilang, cipta kondisi, dan sebagainya.

Saking rutinnya menulis berita, bermain kata, wartawan-wartawan sering tidak bisa membedakan dsb (dan sebagainya) dan dst (dan seterusnya). Bahkan banyak pula media yang memakai 'dan lain sebagainya'. Kesalahan-kesalahan seperti inilah yang dikoreksi Badan Bahasa Jatim.

Media-media juga sering menyamakan INI dan ITU. Prof Dr Suyatno dari Unesa kemudian mengoreksi. Ternyata ada banyak sekali kesalahan bahasa di media-media di Jawa Timur. Bukan saja media-media kecil, tapi juga media besar yang punya reputasi nasional.

Dari lima pemateri, saya paling tertarik dengan Prof Suyatno. Pakar bahasa ini merupakan copy editor pertama Jawa Pos ketika masih berkantor di Kembang Jepun 167. Pertengahan 1980-an, masih pakai mesin ketik, belum komputer. Pracetak masih pakai film. "Capek," katanya.

Prof Suyantno menyajikan 41 kesalahan logika atau sesat pikir wartawan saat menulis berita. Di antaranya, argumentum ad hominem, pars pro toto alias gebyah uyah atau sebaliknya totum pro parte. Logika yang buruk ini membuat berita-berita di media massa jadi berantakan.

Hetty Palestina Yunani pembicara terakhir. Dia meminta peserta yang sebagian besar redaktur agar tidak terlalu terikat pada piramida terbalik. Bikin berita naratif dengan angle yang unik dan menarik. Tidak pasaran. Lupakan rumus 5W+1H. Menulis sebebas dan sekreatif mungkin.

Hetty ini dulu reporter saya. Sekarang dia tak lagi terikat dengan koran, majalah, tabloid, atau media massa mainstream. Maklum, Hetty dari dulu tidak mau terikat dengan aturan-aturan perusahaan seperti wajib ngantor paling lambat pukul 15.00, wajib nyetor 4 berita sehari, dsb.

"Kalau mindset Anda terlalu standar, ya berita-berita Anda tidak akan bagus. Cuma bikin penuh koran, tapi tidak akan dibaca orang," kata Hetty.

Gara-gara ikut lokakarya bahasa Indonesia ini, saya bisa bertemu lagi dengan Hetty Palestina. Lima tahun lebih saya tidak ketemu dan ngobrol sama putri mendiang RM Yunani, wartawan senior Surabaya Post itu.

Kamis, 03 Oktober 2019

Kades dari Lembata Studi Banding Sorgum di Jatim



Dua pekan lalu ada rombongan kepala desa, sekdes, dan BPD dari tiga desa di Lembata, NTT, studi banding di Jawa Timur. Mereka belajar budidaya sorgum di Lamongan, buah naga di Banyuwangi, dan tata kelola wisata pantai di Banyuwangi. Mungkin baru kali pertama kades-kades di Lembata pigi studi banding sekaligus jalan-jalan.

"Banyak hal yang bisa kita pelajari di Jawa. Orang Jawa sangat kreatif dan maju," kata Kades Mawa Napasabok Patrisius Gawi Manuk kepada saya saat ngopi di Hotel Neo Sidoarjo, Jalan Raya Waru.

Kades Gawi didampingi Kades Lamawara Ama Moses dan Kades Bungamuda Ama Berni. Selama satu minggu mereka pesiar, cuci mata, dan mencoba menyerap ilmu dari orang Lamongan dan Banyuwangi. Juga menikmati keramaian dan kemacetan Surabaya dan Sidoarjo. Malamnya melihat Jembatan Suramadu yang menghubungan Pulau Jawa dan Madura itu.

Sorgum bukanlah tanaman yang asing di Lembata dan Flores Timur, NTT. Saat anak-anak di kampung, saya biasa menikmati makanan olahan sorgum yang lezat. Sorgum juga ditanam sebagai selingan jagung. 

Kalau jagung disebut WATA dalam bahasa Lamaholot, sorgum disebut WATA HOLOT. Maka bumi Lamaholot bisa diartikan sebagai Kampung Sorgum. (Lama artinya kampung atau wilayah.)  

Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Wata holot alias sorgum itu lama-lama hilang. Tinggal wata (jagung) biasa. Jagung pun makin terdesak oleh raskin alias beras untuk warga miskin. Maka orang Lembata di desa-desa pun makin kecanduan makan nasi putih. Saat mudik di kampung halaman, saya sangat kesulitan mendapatkan nasi jagung. 

Aneh! Sebab tanah di Lembata lebih cocok untuk jagung dan jagung cantel alias sorgum ini. Saya hanya melihat sedikit sorgum di sebuah pondok di Parek, ladang utama orang Ile Ape di kawasan Lembata Utara, dekat Laut Flores.

Rupanya beberapa tahun terakhir ada gerakan untuk kembali menanam sorgum. Dibuat beberapa kebun contoh di NTT. Orang Lembata yang sudah puluhan tahun lupa wata holot pun teringat nenek moyangnya.

 Oh, dulu banyak wata holot di kampung! Tapi hilang karena tidak dibudidayakan. Dianggap makanan yang kelasnya lebih rendah daripada beras. Makan beras lebih bergengsi. Macam pejabat, PNS, atau orang Jawa yang dianggap hebat-hebat.

Apa hasil studi banding sorgum itu? Banyak, kata tiga kades yang masih punya hubungan kekerabatan dengan saya. "Tanam sorgum perlu serius. Bukan lagi selingan, tapi tanaman utama," kata Ama Gawi.

Begitu juga buah naga yang sudah mulai dikenal di Lembata. Selama ini orang Lembata hanya fokus ke jagung. Tanaman-tanaman lain hanya selingan. "Kami akan coba di Parek Walang," kata Ama Gawi.

Yang menarik adalah pengolahan pascapanen. Sorgum bisa diolah menjadi aneka ragam makanan. Dan bisa dijadikan uang.

Malam makin larut. Obrolan di kafe Hotel Neo+ itu pun berlanjut dengan pengelolaan wisata pantai di Banyuwangi. Pantainya sih biasa saja. Pantai dan laut di Lembata jauh lebih bersih dan eksotis. Tapi belum digarap sebagai objek wisata yang menarik.

Ama Gawi bilang saat ini Desa Mawa Napasabok sudah merintis Pantai Eler. Biar keren disebut Eler Beach. Pantai di pinggir desa ini punya pemandangan yang eksotik. "Bisa untuk uji nyali," kata kades yang juga Opu Lake ini.

Kades Gawi Manuk mengaku sudah punya konsep untuk mengembangkan wisata pantai. Apalagi ia sudah dapat inspirasi dari Banyuwangi. Ke depan Eler Beach bakal jadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Lembata.

Uangnya dari mana? "Kan ada dana desa. Dana dari Jokowi itu akan kita pakai untuk pembangunan fisik. Salah satunya Pantai Eler," katanya.

Malam makin larut. Obrolan makin asyik. Sayang, malam itu rombongan kades, sekdes, dan BPD itu harus ngelencer ke Surabaya dan Sidoarjo. Kapan lagi? Sebab besok harus kembali ke NTT.