Selasa, 01 Oktober 2024

Gaya dan Karakter Penulis Blog Ini Menurut Penilaian AI

Kecerdasan buatan, AI, makin diminati di era digital. Makin lama jawaban dan solusinya makin akurat. Lama-lama makin banyak pekerjaan yang diambil alih oleh AI.

Ama Hurek iseng mengetes mesin AI dengan 10 pertanyaan. Mulai soal musik, sastra, jurnalistik, agama secara umum, gereja, liturgi, tempat wisata, hingga masa depan surat kabar.

Luar biasa! Jawaban AI ternyata sesuai dengan yang saya pikirkan. Akurasinya mendekati 100%. Dari 10 pertanyaan hanya 2 saja yang agak kurang pas. Tapi tetap nyambung.

Ama Hurek lalu menyodorkan dua tulisan di blog ini untuk dinilai. Bagaimana karakter orang ini dilihat dari gaya dan konten tulisannya?

Berikut jawaban AI:

 Berdasarkan tulisan tersebut, karakter penulisnya cenderung memiliki ciri-ciri berikut:

1. Nostalgik:
 Penulis sering mengenang masa lalu, seperti lagu-lagu lama, suasana kafe jadul, dan kenangan akan musik yang pernah populer. Ini menunjukkan bahwa ia sangat menghargai memori masa lalu dan merasakan kehangatan emosional dari kenangan tersebut.

2. Pecinta Seni dan Musik:
 Penulis memiliki pengetahuan yang mendalam tentang musik, termasuk jazz, pop, hingga lagu-lagu lama Indonesia. Ia menyebut beberapa nama artis dan komposer dengan apresiasi yang tinggi, serta menggambarkan suasana musikal dengan sangat detail.

3. Santai dan Reflektif: 
Gaya tulisannya cenderung mengalir dengan kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaan dan pengamatan dengan santai. Penulis juga sering menyelipkan renungan tentang kondisi sosial atau isu-isu yang sedang terjadi, seperti bencana dan situasi ekonomi, tetapi dengan nada reflektif yang tidak terlalu berat.

4. Cermat terhadap Detail:
 Penulis sangat detail dalam menyampaikan informasi, mulai dari nama-nama artis, judul lagu, hingga lokasi-lokasi yang dikunjungi. Ini menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap detail, baik dalam musik maupun pengalaman pribadi.

5. Rasa Cinta terhadap Tanah Air:
 Walaupun tulisan ini berbicara tentang kenangan pribadi, penulis juga menonjolkan rasa cinta dan kebanggaannya terhadap Indonesia, khususnya melalui apresiasi terhadap keindahan alam dan karya seni Indonesia, seperti lagu "Indonesia Sungguh Indah Permai."

Secara keseluruhan, penulis tampaknya seseorang yang peka terhadap seni, memiliki kenangan yang kuat terhadap masa lalu, dan menghargai pengalaman-pengalaman kecil dalam hidupnya, khususnya yang berkaitan dengan budaya dan musik.

Jumat, 13 September 2024

Pater Dr Markus Solo SVD, Poliglot Hebat dari Flores Timur, Pendamping dan Penerjemah Paus Fransiskus

Di pelosok kampungku nun jauh di sana Pater Dr Markus Solo SVD dikenal sebagai pencipta lagu-lagu pop Lamaholot. Paling terkenal dan sangat viral adalah Selen Ro. Lagu ini selalu jadi pengiring tarian di Flores Timur, Lembata, dan daerah lain di NTT. 

Lagu Selen Ro jadi sangat viral setelah dibawakan Ancis Matarau. Kebetulan penyanyi ini satu daerah dengan saya. Satu kecamatan tapi beda desa di Lembata. 

Pekan lalu, Romo Markus Solo jadi sorotan dan viral di grup-grup NTT. Maklum, pater asal Lewouran, Flores Timur, ini jadi pendamping sekaligus penerjemah Paus Fransiskus saat berkunjung ke Indonesia. Pastor itu memang sudah lama jadi staf di Vatikan. 

Pater Markus yang seniman ini poliglot sejati. Menguasai banyak bahasa dunia. Bahasa Inggris sudah pasti. Bahasa Latin sebagai bahasa liturgi jelas bisa. Bahasa Italia, Jerman, Prancis, Portugis, Spanyol, hingga bahasa Arab. 

Itu belum termasuk bahasa Indonesia, Nagi Larantuka, Lamaholot sebagai bahasa ibu dan entah bahasa apa lagi.

Seandainya Paus Fransiskus pekan lalu berkunjung ke Pulau Flores bisa dipastikan lagu ciptaan Pater Markus Solo, Selen To, akan diputar. Dan ribuan orang akan menari bersama Tarian Selen untuk menyambut Santo Bapa dari Vatikan.

Kamis, 12 September 2024

Mendampingi Karin, keponakan yang kuliah di Stikes RKZ Surabaya

Karin diam-diam memilih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) RKZ Surabaya. Gak nyangka keponakan satu ini sudah jadi mahasiswa. Gadis remaja yang pengen jadi perawat.

Beta sebagai paman sampai pangling melihat wajah Karin yang berubah. Beda banget dengan saat masih SD dan SMP di Kupang dulu. Pertumbuhan anak dan remaja memang sangat cepat.

Kali terakhir saya bertemu Karin pada 25 Juli 2019. Saat mudik ke NTT lantaran ayah kandung meninggal dunia di Pulau Lembata. Lima tahun lalu Karin masih kecil dan manja.

Karin putrinya Vincentia Hurek, adik kandungku. Ayahnya Hendrik Watun, sekarang Kepala SMAN 6 Kupang. Hendrik cukup terkenal di Kupang karena sekolahnya jadi pilot project alias uji coba sekolah mulai pukul 05.00 oleh Gubernur NTT Victor Laiskodat.

Kebijakan yang kontroversial itu akhirnya dicabut setelah Victor lengser sebagai gubernur. "Capek sekali, Ama. Kita mesti bangun jam 3 tiap hari," kata Hendrik yang asli Desa Baopukang, Lembata.

Awalnya saya ingin Karin tinggal di Asrama RKZ. Apalagi ibu asrama dan pembinanya suster-suster SSpS yang punya Rumah Sakit RKZ Surabaya. Tapi Karin lebih suka ngekos di dekat kampus. 

"Mahal sonde apa-apa," kata bapaknya. "Yang penting Karin bisa jalan kaki ke kampus. Surabaya terlalu banyak kendaraan. Macet. Kurang aman untuk anak perempuan."

Apalagi Karin ini tidak bisa nyetir sepeda motor. Andaikan naik Gojek saban hari, maka pulang pergi sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Sebulan bisa habis 1.500 untuk transportasi.

Karena itu, Karin punya bapak lebih memilih kos yang agak mahal tapi biaya transportasi Grab atau Gojek nol rupiah. Luar biasa cara berfikir orang Kupang. Beta angkat topi!

Saya akhirnya jadi wakil orang tua alias wali mahasiswa. Mendampingi Karin pada hari pertama PKKMB - istilah baru untuk Ospek jaman old. Banyak hal yang sama dengan kuliah jaman old tapi ada juga banyak kebijakan baru di bidang perkuliahan ala Kampus Merdeka, Merdeka Belajar dan sebagainya.

Selamat kuliah di Surabaya, Karin!

Selamat berjuang dan belajar menempa diri jauh dari bapa dan mama di Kupang!

Ada & Tiada! 10 Seniman Jatim pamer karya tiga dimensi di Galeri Prabangkara Surabaya

Pameran lukisan digelar hampir saban hari di Surabaya. Mulai pelukis junior, setengah tua, senior (tua). Karya pelukis-pelukis yang sudah meninggal pun sering dipamerkan dan dijual. 

Kali ini sedikit berbeda. Sepuluh pelukis menggelar pameran bersama karya-karya tiga dimensi di Galeri Prabangkara, Gentengkali, Surabaya, 11 September 2024. Patung, boneka, instalasi. Judul pameran: Ada & Tiada.

Sepuluh seniman itu Abdun JA, Alvin AA, Bayu S, Mg Kirman, Widodo Basuki, Jenny Lee, Rano IK, Rachmad Priyandoko, Sukron S, Rifqi M.

Semuanya asal Jawa Timur. Saya kenal beberapa nama dan karyanya. Widodo Basuki wartawan senior, pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa Jaya Baya, ternyata seniman serbabisa. Jenny Lee sudah tak asing lagi di Surabaya.

Widodo Basuki jelas orang sibuk. Selalu ditekan tenggat waktu alias deadline dan membuat tulisan-tulisan berbahasa Jawa untuk majalahnya. Tapi selalu ada waktu baginya untuk berkarya.

Kesenian ibarat makan minum atau ibadah bagi Cak Widodo. Karena itu, ia berkarya kapan saja. Ada atau tiada pameran bersama, atau pameran tunggal, ia selalu kerja kerja kerja... kerja kesenian.

Patung karya Widodo cukup menarik. Ada tiga pengunjung cewek terpana melihat objek yang dibuat Widodo. "Ini patung apa, Pak?" 

Widodo menjawab, "Wakil rakyat yang tertidur". Tiga cewek tersenyum.

 Entah apa yang dia fikirken. Semoga para wakil rakyat tidak tidur saat sidang soal rakyat!

Agus Koecink, dosen, seniman, wartawan, aktivis, jadi kurator plus provokator pameran 3D ini. Agus sengaja mengajak seniman-seniman untuk pamer karya tiga dimensi karena sudah terlalu banyak pameran lukisan 2D. Biar ada variasi.

Apalagi di Jawa Timur ada banyak seniman yang aktif bikin patung, keramik, boneka, toys dan karya-karya 3D. Mereka jarang dapat tempat untuk unjuk karya ke publik. Malah lebih banyak pameran di luar Jawa Timur. Khususnya Jogjakarta.

Tak kenal maka tak sayang. Masyarakat jadi asing dengan seniman-seniman patung. "Bakal ada pameran lebih besar lagi," kata Agus Koetjing.

Rabu, 11 September 2024

Misa Paus Fransiskus di Timor Leste cetak rekor dunia! Ordinarium Gregorian VIII bukan Misa Lauda Sion ala Jakarta

Sudah saya duga kunjungan Paus Fransiskus di Timor Leste jauh lebih meriah ketimbang di Indonesia. Hampir separo penduduk negara tetangga itu turun ke jalan untuk mengelu-elukan Bapa Suci.

Pemandangan seperti itu tidak mungkin ada di Indonesia yang hanya 3 persen penduduk beragama Katolik. Misa Paus Fransiskus di Stadion GBK Jakarta diikuti sekitar 100 ribu jemaat. Angka yang bukan kaleng-kaleng untuk ukuran negara mayoritas muslim.

Misa Paus Fransiskus di Timor Leste memang luar biasa. Dahsyat! Merinding menyaksikan 700 ribu hingga 800 ribu orang menyemut di lapangan berdebu. 

Timor Leste, terlepas dari segala kekurangannya, membuktikan diri sebagai salah satu dari sedikit negara Katolik di dunia. Mungkin 97 persen penduduknya bergama Katolik.

Sudah saya duga perayaan ekaristi di Timor  Leste menggunakan lagu ordinarium Misa Gregorian VIII. Lagu gregorian ini memang sangat populer di Timor Leste dan NTT. Bahkan di seluruh dunia.

Sebaliknya, di Jawa Gregorian VIII sangat tidak populer meski sejak dulu dimuat di buku Madah Bakti dan sekarang Puji Syukur. Orang Katolik di Jawa lebih akrab dengan Misa Lauda Sion.

Karena itu, ordinarium Misa Lauda Sion yang dibawakan saat Misa Paus Fransiskus di Jakarta. Semua orang Katolik di Jawa pasti sangat hafal lagu lawas itu. Sebaliknya, semua orang Katolik asal NTT pasti tidak hafal dan bingung diajak nyanyi Misa Lauda Sion.

Paus Fransiskus akan segera mengakhiri lawatan apostoliknya di Singapura. salah satu negara terkaya di dunia. Sebelumnya melawat negara termiskin di dunia, Timor Leste.

Biasanya penghayatan iman orang miskin berbeda dengan orang kaya. Karena itu, sudah bisa dipastikan Paus Fransiskus tidak akan disambut dengan sorak-sorai meriah seperti di Timor Leste.

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya kerajaan surga!

Selamat Jalan, Om Eddie Samson, Tokoh Cagar Budaya Surabaya!

Kita kehilangan salah satu tokoh Soerabaia Tempo Doeloe. Eddie Emmanuel Samson meninggal dunia di Malang pada Senin 9 September 2024. Om Eddie berpulang dalam usia 90 tahun.

Jenazah lelaki kelahiran Surabaya, 3 April 1934, itu dimakamkan di TPU Keputih, Surabaya, Selasa 10 September 2024. "Saya baru pulang dari pemakaman Pak Eddie Samson di Keputih," kata Yan Ferdinandus, orang dekat Eddie Samson.

Saya sendiri terlambat mendapat informasi kematian tokoh yang sering jadi narasumber untuk berita-berita tentang Soerabaia Tempo Doeloe itu. Saya langsung meluncur ke rumahnya di Asem Mulya, Surabaya. 

Sepi. Saya pun bertanya ke tetangga sebelah. Ternyata benar. Om Eddie Samson meninggal dunia. Sudah dimakamkan, kata tetangga.

Sudah lama Eddie Samson tak berdaya karena usia lanjut. Terutama setahun terakhir. Kalau biasanya dia sangat aktif diskusi, seminar, ngomong di koran, televisi, radio, kini seperti menghilang. 

Acara-acara Indo Club Surabaya pun tak lagi dihadiri Eddie Samson. Padahal Eddie Samson ketua sekaligus pendiri komunitas orang-orang keturunan Indonesia-Belanda di Jawa Timur.

"Bapak tidak bisa diganggu. Sekarang masih tidur. Maaf ya," kata salah seorang anaknya. 

Saya pun hanya bisa berdiri di depan pagar rumah Om Eddie di pojok itu. Padahal dulu Om Eddie senang sekali diganggu. Om Eddie yang mengundang wartawan ke rumahnya untuk wawancara atau diskusi.

 Tema utamanya bangunan cagar budaya, perjuangan arek Surabaya, dan komunitas Indo di Surabaya. Om Eddie juga gandrung penyanyi-penyanyi Indo tempo doeloe macam Tante Lien yang terkenal dengan lagu Nasi Goreng itu.

Sejak pandemi Om Eddie tak lagi terlihat di televisi dan koran. "Apa kabar, Om Eddie?" tanya saya lewat pesan pendek wasap.

"Puji Tuhan, saya masih baik-baik saja. Tapi Om sudah 88 tahun. Ini karena berkat Tuhan," kata Om Eddie.

Tak lupa Eddie Samson membagi fotonya memakai jas warna biru. Jas yang dipakai sebulan sekali di gerejanya yang beraliran Pentakosta di Surabaya. Setelah itu Om Eddie kerap membagi kata-kata bijak dan ayat suci. Kadang gambar-gambar jenaka.

"Ora et labora. Berdoa dan bekerja. Dua-duanya harus kita lakukan sebagai umat Allah," kata anggota Tim 11 Von Vaber pelestari cagar budaya Surabaya itu.

Dalam berbagai kesempatan, Eddie Samson selalu menekankan pentingnya merawat bangunan-bangunan cagar budaya yang masih ada di Surabaya. Dia begitu terpukul melihat bangunan-bangunan kolonial mangkrak. Apalagi dihancurkan untuk dibangun pusat perbelanjaan atau gedung-gedung modern.

Sayang, Om Eddie tidak bisa melihat geliat bangunan-bangunan cagar budaya di kawasan kota lama yang kini jadi jujukan wisata di Surabaya sejak akhir Maret 2024 lalu. Saya membagikan beberapa foto kota lama yang makin kinclong untuk Om Eddie. Sekaligus minta komentar dan masukannya tentang pengembangan kota lama di Surabaya.

Sayang, tidak ada jawaban. Nomor WA Eddie Samson sudah tidak aktif lagi. "Bapak tidak bisa diganggu," kata putrinya.

Sekarang Om Eddie sudah tenang bersama Sang Pencipta dalam keabadian. 

Selamat jalan, Meneer!

Kamis, 05 September 2024

Ordinarium Misa Lauda Sion dalam Misa Bersama Paus Fransiskus dan Paus Yohanes Paulus II

Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta rupanya memilih lagu ordinarium Misa Lauda Sion untuk misa kudus bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno, Kamis 5 September 2024. Saya lihat sedikit cuplikan latihan paduan suara di media sosial.

Tidak salah kalau Misa Lauda Sion yang dipilih. Pada Misa Paus Yohanes Paulus II di Stadion Jogjakarta, 1989, pun Misa Lauda Sion yang dipakai sebagai ordinarium. Umat Katolik menyanyi dengan penuh semangat karena sudah hafal nada dan kata-katanya.

Misa Lauda Sion diciptakan oleh Romo AS Dirjoseputro pada 1967. Inilah tahun-tahun awal komponis musik liturgi sedang bergairah menciptakan lagu-lagu baru. Sebab Konsili Vatikan II baru saja usai.

Perayaan ekaristi yang sebelumnya memakai doa-doa dan nyanyian dalam bahasa Latin kini diganti jadi bahasa setempat. Umat mulai antusias ikut misa berbahasa Indonesia.

 Misa Lauda Sion ini rupanya sangat populer di Jawa tapi tidak dikenal di NTT atau luar Jawa. Waktu itu buku Madah Bakti belum ada. Buku-buku nyanyian liturgi Jawa pun tidak beredar di Flores dan pulau-pulau lain di NTT.

Karena itu, waktu pertama kali datang ke Jawa, tepatnya Kota Malang, saya heran sekali karena Misa Lauda Sion dinyanyikan hampir setiap misa hari Minggu. Khususnya di Gereja Kayutangan paroki saya saat itu. Misalnya, dari 10 kali misa, mungkin 7 kali dinyanyikan Misa Lauda Sion.

Ketika pindah ke Paroki Jember, juga masuk Keuskupan Malang, lagi-lagi Lauda Sion selalu dinyanyikan. Lagu-lagu ordinarium misa yang lain malah jarang bahkan tidak pernah dinyanyikan.

 Misa Hardjowardojo yang saya nilai sangat bagus malah hampir tidak pernah dinyanyikan oleh paduan suara bersama umat. Setahun tidak sampai empat kali. Begitu juga Misa Sunda yang bagus dan khas.

 Apalagi Gregorian I yang memang sulit. Gregorian VIII pun sangat jarang dibawakan di Jawa. Padahal di pelosok Pulau Lembata lagu-lagu Gregorian VIII ini dibawakan hampir setiap Minggu. Saking seringnya saya sampai hafal lagu dan syairnya meski tidak pernah melihat notasinya di buku 

Tahun 1990-an akhir, Romo Kelik Mursodo OCarm, mantan pastor paroki di Kayutangan, Malang, pindah ke Paroki Jember. Pastor ini sangat serius, tegas, disiplin dalam segala hal. Dia tidak segan-segan menghentikan kor yang dia anggap membawakan lagu liturgi yang tidak sesuai kriteria liturgi.

Nah, suatu ketika ada kor yang menggunakan lagu ordinarium yang tidak ada di Madah Bakti. Umat Katolik di Jember belum pernah dengar. Pastor Kelik langsung menghentikan kor itu. Lalu menggantinya dengan Misa Lauda Sion.

Saya sendiri awalnya asing dengan Lauda Sion. Lagunya panjang sesuai dengan teks liturgi resmi. Beda dengan lagu-lagu misa di Flores yang pendek-pendek dengan pola refrein + solo. 

Aneh, lagu Misa Lauda Sion itu pada tahun-tahun awal saya di Jawa Timur. Tapi karena sangat sering dinyanyikan, saya jadi terbiasa dan lama-lama sangat senang. Bahkan jadi lagu misa favorit saya sampai sekarang. Ordinarium misa favorit saya yang lain adalah Misa Te Deum.

Sekitar 10 tahun terakhir saya perhatikan Misa Lauda Sion tidak lagi populer di Jawa. Kor-kor sekarang lebih senang Misa Kita IV yang dianggap lebih rumit dan sulit. Misa Lauda Sion terlalu gampang, kata seorang aktivis kor di Surabaya. 

Maka, kalau kita ikut misa hari Minggu atau hari raya di Pulau Jawa saat ini hampir pasti kor membawakan Misa Kita IV ciptaan Pastor Antonius Soetanta SJ (1971). Lagu ini paling banyak variasi di buku Puji Syukur dan Madah Bakti.

Karena itu, saya senang Komisi Liturgi KAJ memilih Misa Lauda Sion untuk perayaan ekaristi bersama Paus Fransiskus. Umat Katolik di Pulau Jawa pasti semangat menyanyi karena hafal semua. Umat Katolik di NTT pasti tidak hafal.

Sebaiknya dalam Misa Agung Paus Fransiskus di era live streaming ini lagu ordinarium yang dipakai adalah Gregorian VIII dalam bahasa Latin. Sebab lagu itu paling populer di kalangan umat Katolik di seluruh dunia.