Senin, 08 Mei 2023

Paskah Bersama dan Halalbihalal Keluarga Besar NTT di Balai Pemuda Surabaya

Setelah 3 tahun dihajar pandemi, keluarga besar Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata) di Surabaya Raya kembali mengadakan perayaan Paskah 2023 sekaligus Halalbihalal Idul Fitri 1444 Hijriah.

Puji Tuhan, Pemkot Surabaya mengizinkan warga NTT di Kota Pahlawan menggunakan gedung Balai Pemuda yang ikonik dan historis itu. Cukup banyak warga NTT dari 22 kabupaten hadir. 

 Tak sekadar halalbihalal dan Paskahan, kegiatan itu juga dimeriahkan dengan pentas seni budaya khas berbagai daerah di NTT. Cukup menarik meski persiapan sangat singkat.

Selamat Paskah!  
Haleluyaaaa!!! 

Selamat Idul Fitri! 
Minal aidin wal faidzin!
Maaf lahir dan batin.

Sabtu, 06 Mei 2023

Warga Eks Syiah Dipulangkan ke Sampang setelah Taubat

Sebanyak 265 pengungsi asal Sampang dipulangkan ke kampung halaman mereka. Selama 10 tahun warga Sampang itu tinggal di Rusun Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo. 

Kasus ini dulu sempat ramai hingga ke luar negeri. Isunya sangat peka: soal agama. Ratusan orang Sampang itu penganut Syiah. Mazhab yang tidak dikehendaki eksis di Indonesia. Khususnya Madura.

Rumah-rumah pengikut Syiah itu dibakar. Ladang dan sebagainya pun habis. Tajul Muluk pemimpinnya ditangkap, diadili, dipenjara. Sekarang sudah bebas dan bertobat. Kembali ke jalan yang benar.

Cukup lama orang-orang Sampang itu jadi pengungsi di Sidoarjo karena akidah atawa doktrin Syiah mereka sangat kuat. Mereka berani tanggung risiko meski rumah dan harta benda mereka ludes. 

Presiden SBY bersama Pemprov Jawa Timur berusaha mencari jalan keluar. Termasuk membentuk tim khusus yang dipimpin rektor UINSA Surabaya. Tetap saja sulit. 

Ayas cukup sering menemui dan meliput warga Sampang di Puspa Agro itu. Sering melihat mereka bekerja sebagai kuli pengupas buah kelapa. Ada juragan dari Malang yang mempekerjakan ratusan pengungsi.

Ada juga yang jualan kopi, gorengan, bakso dsb. Awalnya sulit karena orang-orang Sampang ini asalnya petani di desa. Tidak terbiasa dengan kehidupan kota industri ala Sidoarjo. Tapi lama-lama terbiasa. Suasana di Puspa Agro jadi meriah saban hari. 

Ayas juga disuruh meliput sekolahnya anak-anak Syiah Sampang. Pemkab Sidoarjo membuka kelas khusus di rumah susun. Ada juga yang dititipkan di SDN dekat rusunawa macam SDN Jemundo. 

Lama-lama mereka terbiasa hidup sebagai penduduk musiman di Sidoarjo. KTP mereka tetap Sampang tapi tinggalnya di Sidoarjo. Kalau ada pemilu legislatif, pilpres, pilkada coblosnya ya di rusunawa itu.

Saking lamanya tinggal di Puspa Agro Sidoarjo, isu pengungsi Sampang tidak lagi menarik. Ayas masih sering ke Puspa Agro tapi tidak tertarik lagi membahas kasus Sampang.

 Ayas justru lebih sering ngobrol dengan pengungsi-pengungsi Pakistan, Afganistan, Somalia, Myanmar, dsb. Kebetulan para pengungsi asing itu juga tinggal di rusunawa yang sama. Cuma beda tower. Pengungsi asing dibiayai UNHCR.

Ayas lalu digeser ke Surabaya. Sudah pasti makin jarang mampir ngopi di warkopnya Jeng Sri di Puspa Agro. Dekat banget dengan lokasi pengungsi asal Sampang itu. Ayas bahkan sudah tak punya nomor Ustad Tajul Muluk dan beberapa pimpinan warga Sampang di Puspa Agro.

Sampai akhirnya muncul berita kemarin di laman internet. Ratusan pengungsi Sampang akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya. Dijemput pejabat Pemkab Sampang. Dulu Bupati Fadhilah yang pimpin pengusiran warga Syiah ke luar Pulau Madura.

Alhamdulillah!

Ayas baca ternyata masalah akidah atau doktrin sudah selesai. Ratusan warga Sampang itu sudah tobat massal. Kembali ke jalan yang benar. Tidak lagi ikut "ajaran Tajul Muluk" yang dianggap sesat.

 Tajul sendiri pun sudah taubat, katanya.

Jumat, 05 Mei 2023

Tirakatan Ngalap Berkah di Gua Maria Purworejo, Malang Selatan

Cukup semalam di Gunung Kawi. Ayas lanjutkan perjalanan ziarah ke kawasan Malang Selatan. Tepatnya di Desa Purworejo, Kecamatan Donomulyo. Mampir di Gua Maria Sendang Purwaningsih.

Gua Maria ini cukup terkenal di kalangan umat Katolik di Keuskupan Malang. Ayas yang lama berparoki di Keuskupan Malang malah belum pernah pigi ziarah ke sini. Cuma baca-baca dan belakangan nonton gambarnya di YouTube.

Gua Maria Sendang Purwaningsih ini ada sejarahnya. Sebagai monumen atau tetenger keberadaan misi Katolik di Purworejo sekitar tahun 1932. Mbah Wagirin yang mula pertama jadi katekumen. Alias orang Katolik pertama di situ. 

 Lama-lama umatnya banyak dan jadi paroki. Paroki Purworejo cukup terkenal sebagai paroki desa yang berhasil. Devosi umat untuk Bunda Maria bagus. Mereka juga rajin ekaristi alias misa kudus.

Ayas bertemu Suparlan, penjaga alias juru kunci Gua Maria Sendang Purwaningsih. Mbah Lan asli Purworejo. Ngomong pakai bahasa Jawa halus. Ayas kurang fasih krama inggil sehingga beralih ke bahasa Indonesia pasaran.

Siang itu sepi banget. Gua Maria ini jauh dan terpencil dari jalan raya. Beda dengan gua-gua lain yang selalu ramai dan kadang mirip sentra pedagang kaki lima. Pondokan Mbah Lan juga agak jauh di bawah. Malah dekat dengan masjid.

Karena itu, kompleks Gua Maria ini sangat cocok untuk tirakatan, nyepi, mengasingkan diri, meditasi, atau sekadar mendaraskan rosario.

Ayas yang kecapekan dari Gunung Kawi -- lumayan jauh -- tertidur pulas di pendapa. Saat bangun ada seorang lelaki 40-an tahun. Kristoforus dari Paroki Pandaan. Kris ini bapaknya Flores, mama Jawa Semarang. Dia senang blusukan ke tempat ziarah, khususnya Gua Maria.

Akhirnya, ngobrol banyak dengan Kris. Banyak nyambungnya karena dia sejak kecil misdinar di gereja, aktivis KMK di kampus. Katolik banget pokoknya. Dia juga kagum dengan suasana Gua Maria di Purworejo meski nyaris kesasar dari kawasan Karangkates.

Sekitar satu jam kemudian datang 7 peziarah. Tionghoa semua. Ternyata dari Paroki Redemptor Mundi, Surabaya. Mereka sembahyang rosario lalu pulang. Tinggal Ayas dan Kris.

Pukul 19.00 Kris pulang ke Pandaan. Ayas memilih bertahan di gua. Turun ke Malang terlalu jauh. Fisik tidak kuat. Yah, tirakatan saja di depan Gua Maria. 

Mbah Lan rupanya tidak tega melihat Ayas tidur di pendopo terbuka itu. Dia paksa Ayas tidur di kantor sekretariat yang ada kasur empuk. "Sampean itu tamu kehormatan saya," katanya.

Ayas akhirnya manut keinginan Mbah Lan. Padahal biasanya Ayas istirahat seadanya di depan Gua Maria. Itu biasa Ayas lakukan di Sendangsono, Kulonprogo, Jogjakarta, atau Puhsarang, Kediri. 

Matur nuwun, Mbah Lan!
Berkah Dalem!

Rabu, 03 Mei 2023

Pigi ziarah cari ketenangan di Gunung Kawi

"Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya."

Kata-kata ini sering dikutip Tuan Yu Shiguan pengusaha media dan mantan menteri. Taipan Mochtar Riyadi juga sering kutip pepatah ini.

"Laut tidak perlu dalam asal ada naganya," sambungan pepatah lawas itu.

Gara-gara membaca tulisan Tuan Yu tentang Gunung Kawi, Ayas pun ingin mampir ke sana. Tuan Yu memuji habis perubahan kompleks Gunung Kawi yang makin bersih, teratur, nyaman, aman, dan sebagainya. Itu karena ada renovasi besar saat pandemi covid.

Ayas sudah lama sekali tidak pigi lihat Gunung Kawi. Kali terakhir 2007 - kalau tidak salah ingat. Waktu itu ada pengalaman buruk. Ayas merasa diperas oleh komplotan di tempat ritual yang disebut keraton. Padahal, Ayas cuma ingin wawancara dengan bapak kuncen alias juru kunci.

Sejak itu minat ke Gunung Kawi di kawasan Wonosari, Kabupaten Malang, hilang. Jangan-jangan, jangan-jangan... terulang lagi. Apalagi Gunung Kawi ini dianggap tempat pesugihan, klenik, kuasa gelap dsb yang harus dijauhi. 

"Ngapain ke Gunung Kawi? Apanya yang menarik?" kata kawan penganut aliran karismatik haleluya. 

Tapi Ayas lebih manut Tuan Yu yang santri dan punya pemahaman mendalam tentang budaya dan tradisi Tionghoa. Tuan Yu bahkan membawa kembang untuk Dewi Kwan Im di Kelenteng Gunung Kawi. Kemudian mampir ke Rumah Ciamsi. Lalu nyekar di makam utama alias pesarean paling atas yang terkenal itu.

"Gunung Kawi itu perpaduan Tionghoa, Jawa, dan Islam," kata Yu.

Ayas pun mampir ke Gunung Kawi saat libur Lebaran lalu. Kondisi jalan raya sudah jauh lebih baik ketimbang belasan tahun lalu. Hanya beberapa ruas jalan di kawasan Ngajum yang jelek. Jalan raya di Kecamatan Wonosari, lokasi Gunung Kawi, sangat mulus.

Meski disebut gunung, kawasan wisata religi atau pesarean ini tidak serasa di gunung. Suhu udara hampir sama dengan di Malang. Ayas bahkan bisa mandi sekitar pukul 7 malam. Tidak perlu mandi air hangat. 

"Suhu di Kawi sekarang memang beda dengan dulu," kata seorang ibu pemilik penginapan. "Perubahan suhu karena climate change," kata Koh Ming dari Surabaya.

Koh Ming ternyata pelanggan setia Gunung Kawi sejak puluhan tahun lalu. Kali ini dia membawa rombongan istri, anak, menantu, cucu. Ayas banyak cakap dengan baba yang rajin pigi sembahyang di kelenteng itu.

"Saya punya anak ada yang Katolik, ada Pentakosta, tapi sering ke Gunung Kawi juga. Kita orang dateng ke sini untuk wisata. Bukan cari pesugihan, minta ini, minta itulah," katanya.

"Ayas juga datang untuk wisata. Mau lihat-lihat kondisi Gunung Kawi setelah direnovasi. Ternyata lebih bersih dan bagus. Gak ada lagi pedagang-pedagang dan pasar tumpah di jalan," komentar Ayas.

Koh Ming: "Bersih tapi gak ada cuan, buat apa? Sekarang sepi pengunjung. Orang dagang dapet duit dari mana?"

Ayas: "Tapi sekarang aman, gak ada copet, pengemis. Gak ruwet kayak dulu. Suasananya bagus untuk foto-foto, media sosial, selfie..."

Koh Ming: "Cuannya dari mana? Dulu penuh ini jalan. Sekarang Sampean lihat cuma berapa orang saja."

Siansen ini memang senang bicara. Ngobrol dengan dia tak akan habisnya. Maka, Ayas pamit jalan ke atas. Mampir sejenak di Kelenteng Kwan Im lalu Ciamsi di sebelahnya. Ada tiga orang Tionghoa yang sedang antre melakukan ritual ciamsi. Menanyakan peruntungannya kepada dewa.

Ketika dapat nomor yang dianggap kurang hoki, diulang. Sampai ketemu ramalan yang dirasa positif. Lama sekali wanita 60-an itu bermain-main ciamsi. Semoga dia orang dapat banyak rezeki.

Puncak wisata religi Gunung Kawi ya di pesarean. Makam Eyang Djoego kalau tidak salah. Ayas lihat tidak banyak peziarah yang masuk. Hanya 5 atau 7 orang saja petang itu. Sekitar 20 pengunjung duduk merenung di bangku dekat Makam Eyang.

Suasana hening. Tidak ngobrol ngalor ngidul macam di warung dekat penginapan yang ada Koh Ming itu. Bukan karena sibuk sembahyang, meditasi, wiridan, tapi asyik dengan ponsel masing-masing. Beda banget dengan dulu ketika belum ada HP android dan media sosial.

Menjelang magrib, Ayas turun. Ketemu lagi dengan Koh Ming. Ngobrol lagi soal perkembangan Gunung Kawi, minat warga Tionghoa Surabaya dateng ziarah ke Gunung Kawi, hingga ciamsi, Kelenteng Kwan Im, hingga kuliner di Gunung Kawi.

"Makanan di sini buanyaaaak dan murah. Rasanya juga lezat," kata Koh Ming.

Dui, dui, dui... ciamik!

Selasa, 02 Mei 2023

Roh memang penurut, tapi daging lemah

Ayas ketemu Pak Tan di Bangkalan, Madura, kemarin. Siansen Tionghoa itu dulu sangat aktif di gereja katolik setempat. Dulu Tan rajin ikut retret karismatik di Ngadireso, Tumpang, Malang. 

Karena itu, dia kenal dan kagum Romo Yohanes Indrakusuma, bapak rohani gerakan karismatik di Indonesia, yang sekarang hijrah ke kawasan Bogor. Romo Yohanes bahkan mendirikan ordo baru, CSE. Beliau memang punya magnet luar biasa di Pulau Jawa. Khususnya warga menengah atas yang rindu bahasa roh, kuasa penyembuhan, pengusiran kuasa kegelapan dsb. 

"PDKK itu yang membuat imanku jadi kuat. Kalau nggak ada karismatik mungkin banyak orang Katolik yang hanyut ke gereja lain," kata Tan Siansen.

Sekarang Siansen masih ikut karismatik?  Masih pigi retret ke Tumpang? Masih ikut retret PDKK (Persekutuan Doa Karismatik Katolik)?

"Saya ini sudah tua. Sudah jarang pigi-pigi," kata Tan.

Siansen ini malah lebih sering pigi kelenteng. Nguri-uri tradisi budaya Tionghoa. "Orang Katolik itu tidak kaku. Bisa pigi kelenteng, pigi Sai Baba, dan sebagainya. Semua itu menuju ke Tuhan," katanya.

Ayas jadi ingat Romo SHS di Bangkalan akhir 1990-an. Ayas sempat wawancara agak panjang saat magang di majalah mingguan katolik, HIDUP. 

Ayas dulu kagum banget dengan SHS,  pastor yang sangat intelektual. Rajin baca buku-buku tebal dan berat. Dulu SHS sering menulis artikel untuk koran-koran dan majalah di tanah air. Khotbahnya juga enak dan berisi.

Di mana Romo SHS sekarang? Ayas sudah 25 tahunan gak ketemu. Jejak digitalnya juga tidak disimpan Mbah Google.

"Anda belum tahu ya? SHS sudah lama lepas jubah. Tidak jadi romo lagi. Anda ketinggalan informasi rupanya," kata baba Tionghoa Madura itu.

Ayas kaget betul. Gak nyangka SHS lepas jubah. Maklum, ordonya dikenal ketat, disiplin dalam soal spiritualitas.

Hem... apakah beliau menikah atau..?

"Kawin sama janda kaya punya perusahaan otomotif. Ya, namanya juga perjalanan hidup orang beda-beda. Eman-eman, proses jadi romo itu sangat panjang dan sulit," kata siansen yang biasa antar jemput pastor di Paroki Bangkalan itu.

Ayas tak lagi bertanya soal imam yang lepas jubah. Sebab masalah ini sensitif dan tidak elok dibicarakan secara terbuka. Biasanya diomongkan bisik-bisik di internal jemaat. 

"Kita doakan agar semua pastor, bruder, frater, suster setia pada panggilannya sampai ajal," kata Siansen itu.

Ayas jadi ingat bacaan Injil saat Minggu Palem bulan April lalu. Yesus menasihati para muridnya: 

"Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26 : 41)

Yuyun Kho, Biokong Kelenteng Bangkalan, bahagia bersama para dewa

Ayas manfaatkan libur Hari Buruh 2023 dengan ngelencer sejenak di Madura. Sebab unjuk rasa ribuan buruh saban May Day membuat macet di berbagai kawasan.

Di Pulau Madura tidak ada unjuk rasa. Jalan raya dari Jembatan Suramadu hingga tengah kota Bangkalan agak sepi. Maklum, tanggal merah.

Ayas, seperti biasa, mampir di Eng An Bio, kelenteng terkenal di Jalan Panglima Sudirman. Hendak ketemu Tante Yuyun Kho. Biokong asal Salatiga itu sudah jadi pengurus TITD Bangkalan sejak 1990-an. Ayas lama kenal betul Tante Yuyun karena sering ngobrol santai, wawancara, atau sekadar leyeh-leyeh di aula yang luas itu.

"Bu Yuyun sudah nggak ada. Meninggal dunia di Salatiga tanggal 6 Maret 2023 yang lalu. Kita doakan semoga beliau bahagia di surga," kata Tan Siansen yang rupanya jadi pengganti mendiang Yuyun Kho.

Ayas sempat mampir dan ngobrol dengan Tante Yuyun awal Februari lalu. Kondisi fisik wanita yang juga seniman lukis dinding itu agak merosot. Capek dan lambat. Maklum, usianya sudah di atas 70. Kalau tidak salah kelahiran tahun 1945. 

Meski terlihat capek, Tante Yuyun masih menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang ciamsi, kertas sembahyang, hingga cara bertanya kepada dewa-dewi Tiongkok. Juga tentang suguhan yang harus dihidangkan kepada para dewa saban hari di altar masing-masing. 

"Kelenteng Bangkalan ini punya 7 altar. Tuan rumahnya dewa bumi Hok Tik Ceng Sing. Itu dewa yang bawa rezeki. Makanya banyak orang dari jauh dateng sembahyangan ndek sini," kata Yuyun Kho.

Biokong sepuh itu tidak bisa berbahasa Tionghoa. Saban hari berbahasa Jawa campur Melayu Tionghoa khas orang-orang tempo doeloe. Meski sudah 30-an tahun bertugas di Bangkalan, Yuyun ternyata sama sekali tidak bisa berbahasa Madura.

"Bahasa Madura iku angele luar biasa. Kita orang ndak bisa," katanya. 

Yuyun Kho tergolong biokong yang telaten. Saban hari ia menyeduh teh tawar untuk disajikan kepada para dewa.  Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.

Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati. 

Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.

Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.

"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.

Itulah obrolan terakhir dengan Tante Yuyun di Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan. Sekarang beliau sudah bahagia bersama para dewa di jagat nirwana nan abadi.

Selamat jalan, Tante Yuyun!
Kamsia! Matur nuwun! 

Kamis, 27 April 2023

Selamat jalan, Rahima Mado, teman sekelas di SMA tempo doeloe

Suasana Idul Fitri 1444 Hijriah ini terasa sendu. Hari kemenangan itu diwarnai dukacita. Ayas rasakan sekali di grup alumni satu kelas Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang.

Ipong, juragan warkop Koppen di Klojen dan Jalan Ijen, membagi informasi:

"Kepada saudara2 yang kami hormati, InshaAllah acara kirim doa 100 hari Alm. Ratno Aryo Wicaksono, akan diadakan pada 23 April 2023 pk 19.00 (bada' isya) bertempat di rumah Sengkaling Indah 2 Jalan Kemuning nomor 2 Dau, Malang."

Ratno alias Daker, yang jago main drum, aktif di band rock sejak SMP sampai tutup usia, ternyata sudah berpulang 100 hari lalu. Ratno yang ceria dikenal sebagai aktivis pemberdayaan wong cilik di Pujon dan sejumlah kawasan Malang Raya. 

Lima hari setelah Idul Fitri (versi pemerintah dan NU), Rudi Kristianto membagi berita dukacita. 

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun... Kawan kita Rahima Mado telah meninggal dunia tadi pagi (27/4/2023).  Di rumah beliau di Jogja krn sakit (kanker)"

Lalu muncullah doa-doa untuk almarhumah Rahima Mado di grup. Nawak-nawak (kawan-kawan) yang selama ini tidak aktif berkomentar di grup eks satu kelas Fisika itu membagikan doa-doa khas era digital. Ayas yang kurang aktif juga menulis doa pendek.

"Selamat jalan, Rahima Mado. RIP," Ayas menulis.

Ira Rachmasari, teman sekelas yang jadi dokter di Jogja, dapat amanah untuk taksiah ke rumah duka. Ira sendiri ternyata tidak tahu kalau teman sekelasnya di Smansa Malang itu tinggal di Jogjakarta. 

"Anaknya Rahima tinggal di Jogja sejak tahun 2010. Alhamdulillah, di akhir hayatnya banyak menyebut nama Allah,  semoga akhir yg baik, husnul khatimah," tulis dr Ira.

Rahima ini termasuk alumni sekelas yang sulit terlacak. Karena itu, dia tidak masuk grup. Ada beberapa kawan yang seperti itu. Fokus dengan urusan dan kesibukannya. Apalagi di masa pandemi covid. Masa lalu zaman persekolahan ya sudah lewat. Jauuuh!

Tahun 2023 ini ada dua kawan sekelas yang berpulang ke alam baka. Ratno dan Rahima. Beberapa tahun sebelumnya Sri Astuti lebih dulu berpulang.

Semoga Rahima, Ratno, dan Astuti tenang dan bahagia bersama Sang Pencipta. RIP!