Saya baru tahu setelah baca kliping koran di laman Perpustakaan Nasional. Dahulu, tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bikin pernyataan menarik. Bahwa kata atau istilah ulama hanya digunakan untuk pemuka agama Islam saja. (Waspada, 23 Mei 1975)
Majelis Ulama DKI Jakarta menyampaikan bahwa setiap agama mempergunakan istilah yang lazim bagi agamanya, seperti untuk agama Kristen dapat menggunakan istilah "pendeta", untuk agama Katolik "pastor" dan untuk pemuka agama Buddha dapat memakai istilah "biksu".
Saya belum baca konteks pernyataan MUI Jakarta ini. Bisa jadi dulu ada orang atawa media yang menggunakan istilah ulama Kristen atau ulama Buddha. Dikira ulama itu istilah netral dan umum.
Dulu kata pastor pun hanya merujuk ke romo atau pater atau imam Katolik. Pendeta Yesaya tentu pemuka agama Kristen Protestan.
Karena itu, dulu, orang NTT biasa tersenyum atau tertawa sendiri membaca tulisan Kepala Paroki Santo Yosef Kupang (misalnya) Pendeta Yakobus Laba SVD. Pendeta kok pimpin paroki?
Pembedaan pastor/pater/romo dengan pendeta itu memang khas tempo doeloe. Ketika gereja-gereja Kristen Protestan masih kental peninggalan Hindia Belanda. Alias Protestan beneran.
Nah, setelah gerakan Pentakosta dan Karismatik makin marak, maka lahirlah gereja-gereja Haleluya. Yakni gereja-gereja evangelical atau karismatik bercorak Amerika. Perkembangannya luar biasa. Hampir semua ruko, hotel, restoran dsb disewa untuk "ibadah raya".
Gereja-gereja ini tidak pakai istilah "kebaktian" karena terkesan banget protestannya. Mereka juga tidak suka disebut Protestan. "Kami Kristen, titik," kata teman lama mantan aktivis gereja aliran Haleluya.
Nah, pendeta-pendeta gereja yang entertaining ini tidak disebut pendeta, melainkan pastor. Lah, kok sama dengan pastor Katolik yang tidak menikah itu?
Yah.. karena istilah American English untuk pemuka gereja-gereja Haleluya memang pastor, bukan reverend. Maka di baliho-baliho sering ada billboard ibadah raya yang menghadirkan pastor-pastor terkenal dari dalam dan luar negeri. Hanya pendeta-pendeta lawas yang masih pakai istilah pendeta seperti Pendeta Dr Stephen Tong dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII).
Pemuka agama Buddha juga tidak mesti pakai istilah biksu versi MUI tahun 1975. Di Surabaya sekarang sudah jarang yang disebut biksu. Lebih banyak yang pakai bhante atau romo atau rinpoche dsb. Dulu saya sering diundang meliput kegiatan rinpoche-rinpoche asal Tibet.