Bekas gedung Sekolah Kiauw Nam di Jalan Samudra 48 Surabaya masih terlihat kokoh tapi kusam. Ada plang dari Dinas Pendidikan Jawa Timur sebagai penguasa tanah dan bangunan itu. Dijadikan gudang.
Namun, masih ada 6 keluarga yang setia menempati dan menjaga eks kantor sekolahan Tionghoa itu. Soejati alias Soepartik dan kerabatnya tak lain keturunan pengurus Perkumpulan Hwie Tiauw Ka di Jalan Slompretan 58 Surabaya.
Perkumpulan itu sempat menggugat negara (BPN, menteri keuangan, gubernur) agar lahan dan bangunan itu dikembalikan. Sebab tanah seluas 2.003 meter persegi itu aslinya milik Hwie Tiauw Ka alias Rukun Sekawan, perkumpulan masyarakat Hakka di Surabaya.
Ceritanya, tempo doeloe tanah di Bakmi 48 (nama lama Jalan Samudra) itu dipinjam Yayasan Kiau Nam untuk dibangun sekolah. Ketua yayasannya Chung Kho Pin, pimpinan koran Tsing Huang Daily di Jalan Bongkaran 22. Tuan Chung ini pernah jadi direktur Toko Nam yang sangat terkenal di Surabaya.
Umur sekolahan ini sangat pendek. Sekolah Kiauw Nam di Bakmi 48 ditutup pada 4 Desember 1958. Mengapa ditutup? Sudah sering dibahas di grup-grup Tionghoa.
Biasanya sekolah-sekolah yang berkiblat ke nasionalis Tiongkok alias Kuomintang yang kena gelombang pertama pembredelan. Nanti setelah G30S giliran sekolah-sekolah Tionghoa lain yang disapu habis oleh rezim militer Orde Baru.
Pekan lalu, saya mampir ngopi di Warung Bu Partik di kompleks eks Kiauw Nam itu. Ngobrol sedikit soal sekolah itu. Bu Partik alias Soejati yang lahir tahun 1963 tentu saja tidak pernah melihat sendiri ada sekolah Kiauw Nam di situ. Tapi dia tahu dulu pernah ada Sekolah Trisila. Sekian tahun kemudian semua murid Trisila dipindahkan ke kawasan Undaan.
"Dulu ramai banget di sini. Jualan saya laku keras. Anak-anak sekolah juga sering latihan tarian, nyanyian, pokoknya kreatif banget," tutur Bu Partik yang ramah dan seneng guyon itu.
Sudah lama saya dengar ada sengketa hukum di situ. Kalau tidak salah awal 1980-an Perkumpulan Hwie Tiauw Ka berjuang agar asetnya dikembalikan. Tapi mana bisa sukses di zaman Orba yang sangat anti Tionghoa?
Tahun 2019 Ali Handoyo, ketua Perkumpulan Hwie Tiauw Ka melayangkan gugatan resmi ke pengadilan. Agar lahan dan bangunan eks Sekolah Kiauw Nam (kemudian Trisila) dikembalikan ke perkumpulan. Tapi kayaknya belum hoki.
PN Surabaya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Artinya, penguasaan aset eks Kiauw Nam School oleh Dispendik Jatim sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Saya belum baca putusan di tingkat banding. Naga-naganya agak berat untuk menang. Apalagi eks sekolah Tionghoa di seluruh Indonesia sejak dulu memang diambil alih dan dikuasai negara.
Bu Partik sendiri tidak paham sengketa hukum eks Kiauw Nam. Dia lahir di situ, ibunya juga di situ, tinggal di situ, dan dari dulu sudah jadi bagian dari keluarga besar Rukun Sekawan alias Hwie Tiauw Ka meski dirinya asli Jowo, bukan Tiong Hwa.
"Dulu pernah ada beberapa orang yang minta kami untuk keluar karena bangunan ini bukan milik kami. Lah, kalau disuruh pergi lalu saya bersama anak cucu mau tinggal di mana?" kata Bu Partik.
Yo, wis! 🙏🏼🙏🏼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar