Rabu, 07 September 2022

Langgar Tua di Balongbendo, Jejak Haji Laut di Zaman Belanda

Cukup banyak bangunan tua era kolonial di kawasan Balongbendo, Sidoarjo. Maklum, tempo doeloe ada Pabrik Gula (PG) Balongbendo, kemudian pabrik tekstil Ratatex yang terkenal. 

Kampung di pinggir Sungai Brantas juga pernah jadi pusat perdagangan yang sibuk. Jejaknya masih terlihat di Passer  Soeroengan (Pasar Surungan), Desa Penambangan, Balongbendo.

Akhir pekan lalu saya mampir ke dekat Pasar Surungan itu. Ngobrol di Omah Belanda, salah satu bangunan tempo doeloe yang menonjol di Penambangan. Ditemani Bung Taufik dan Mbak Rita pemilik rumah tua itu.

Mbah buyut Taufik dulu memang saudagar hasil bumi, palawija, yang kondang di Balongbendo. Ia membeli Omah Londo itu dari pedagang Tionghoa. Rumah itu sempat rusak berat tahun 1970-an. Kemudian direstorasi. Jadi bagus lagi.

Di samping rumah lawas itu ada langgar (mushala) keluarga. Mbah buyut Taufik ini orang Tionghoa yang beragama Islam. "Beliau yang bangun itu langgar," kata pensiunan karyawan IPTN di Bandung itu.

Kapan langgar itu dibangun? 

Taufik tidak punya catatan tahunnya. Hanya saja, mereka sudah empat generasi di pinggir Kali Brantas itu. Artinya, tahun 1800-an. "Rumah aslinya tidak ada langgar karena pemilik rumah bukan muslim," katanya.

Mbah buyut Bung Taufik pigi naik haji ke Makkah beberapa kali pada masa kolonial Belanda. Pakai kapal laut tentu saja. Lamaaa sekali.. bisa enam bulan pergi pulang. 

Nah, sebagai ungkapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sepulang haji beliau membangun itu langgar di samping rumah. Selain dipakai sendiri, sekaligus untuk tempat sembahyang pekerja-pekerja yang cukup banyak.

"Sampai sekarang masih dipakai salat warga di sini," kata Taufik.

Bisa jadi langgar di Penambangan, Balongbendo, ini merupakan salah satu "monumen" Haji Laut di Kabupaten Sidoarjo. Lebih unik lagi karena Abah Haji yang bangun itu langgar ternyata orang Muslim Tionghoa. Artinya, sudah lama ada orang Tionghoa yang beragama Islam di Sidoarjo. (*)

4 komentar:

  1. Penambangan asal katanya tambang. Kalau terletak di pinggir sungai memang logis. Di tengah kota Denpasar dulu juga ada Penambangan, yaitu terminal bis umum. Walaupun tidak ada kali nya, mungkin sebelum saya lahir tempat itu banyak tambang untuk mengikat jaran-jaran milik kusir dokar.

    BalasHapus
  2. Desa2 di pinggir Kali Brantas itu memang punya banyak penambangan alias perahu2 tambang untuk menghubungkan wilayah Kab Sidoarjo dan Kab Gresik. Atau Kab Sidoarjo dengan Surabaya. Lokasi perahu2 penyeberangan itu selalu dikata Penambangan. Sampai sekarang pun masih banyak penambangan. Kalau motor lewat jalan raya terlalu jauh muternya di jembatan.

    BalasHapus
  3. Semoga setelah wabah Covid berlalu, Bung Hurek diberi kesempatan oleh Jawa Pos untuk membuat reportase tentang orang2 China yang beragama Islam. Bukannya di daerah Jalan Sutra Darat,atau di wilayah barat ( Xinjiang ), melainkan di daerah Jalur Sutra Laut, tepatnya di Fujian-Quanzhou, kampung halaman ibu-saya dan juga kebanyakan orang2 Tionghoa di Surabaya yang sekarang sudah terlanjur haleluyaan.
    Di Tumen Street Quanzhou ada sebuah Mesjid tua, 清净寺, Qing-Jing-Si, atau Mesjid Al-Ashab yang dibangun tahun 1009 Masehi oleh orang2 penduduk keturunan Arab yang sejak jaman Khalifah Umayyah Damaskus sudah menetap di Quanzhou. Mereka menyebut tempat tinggal baru mereka dengan nama kota Zaytun. Orang-orang Arab sudah berabad abad waktu yang lalu, datang ke Fujian untuk berdagang dan menetap disana, demi kehidupan yang lebih baik, " bukan nya berdakwah untuk menyebarkan agama ".
    Mereka tidak bisa pulang ke Arab, sebab Kalifah Umayyah sudah dihancurkan oleh saudaranya sendiri Kalifah Abbasiyah.
    Orang2 Arab di Quanzhou mengalami SINISASI, dari Arab mereka berubah jadi China. Cara sembahyang mereka persis seperti orang2 Cina di Eng An Bio, Bangkalan, pakai altar, lilin, hioshua, hioluo, tetapi bukan patung, foto atau gambar yang mereka sembah, melainkan permadani bermotif Ka'abah. Nama2 mereka pun telah berubah menjadi She (marga), Ma, Kwee, Tan, Oey, Hu, dll.
    Begitulah suasana kehidupan di Quanzhou, tidak ada orang yang memusingkan agama orang lain.
    Cara yang manusiawi untuk mengatasi wabah Kadrunitis yang menjalar di Bumi Pertiwi, adalah mengirim semua kadrun pergi ke Tiongkok untuk belajar caranya bermasyarakat yang beradab.
    Bisa2 setelah kembali mereka ketagihan ciak bak, kalau sekarang mereka masih doyan ciak mbak.
    Mengapa saya bilang Quanzhou adalah kampung halaman ibu-saya, sebab sejak zaman firaun, leluhur ibu adalah orang chuan-chiu asli.
    Sedangkan leluhur ayah berasal dari Shaanxi, tahun 1116 B.C.sampai tahun 617 B.C. (sebelum masehi) mereka hijrah ke Henan, lalu gara2 kalah perang ngungsi ke Shandong, dari Shandong, Le-an, pindah ke Anhui, Fengyang, dan tahun 1392 Masehi diperintah oleh Zhu Yuanzhang, kaisar Ming pertama, untuk menjadi komandan garnison di Quanzhou Fujian, menghadang para perampok dan perompak Nippon yang selalu menggangu daerah pesisir Tiongkok.
    Ergo, orang keturunan Arab di Quanzhou lebih pribumi daripada leluhur saya disana. Dimana-mana saya ini kok apes, selalu jadi Singkek.
    Dulu sebelum Gestok, engkoh2 daerah petjinan Surabaya banyak yang mendambakan seorang cewek, anaknya restorant Kit Wan Ki
    yang cantik jelita, mancung, matanya bak bintang timur, ramping tinggi semampai. Saya pernah lihat doi main basket ball. mungkin doi adalah produkt sino-arabika yang banyak ada di Quanzhou. Kalau masih ada, pasti usia doi sekarang sekitar 80 tahun. Oh, kejamnya Batara Kala.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu nona resto Kit Wan Ki pasti cakep betul macam bintang filem. En sudah tentu banyak kumbang2 berebut aken isep madu yg manis.. berkelahi agar bisa dspetken itu siaocie.

      Itu nostalgia jaman masih muda remaja. Kamsia

      Hapus