Selasa, 13 September 2022

Hotel Slamet di Jalan Bongkaran 18 Pernah Jaya, Sekarang Tinggal Nostalgia


Masih di Jalan Bongkaran, Kelurahan Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya. Tidak jauh dari Hotel Merdeka (d/h Hotel Liberty) ada Hotel Slamet. Sama-sama hotel toewa yang dibangun pada masa kolonial Belanda.

Hotel Slamet ini (mungkin) satu-satuanya hotel di Surabaya pada masa kolonial Belanda yang pakai nama bahasa Jawa. Tahun berapa didiriken ini hotel? Kita orang belum dapet informasi yang akurat.

Yang pasti, Hotel Slamet sudah eksis sejak tahun 1920-an. Sering jadi jujukan pedagang-pedagang dari berbagai kota yang berkunjung ke Surabaya. Sebab, lokasinya di Jalan Bongkaran Nomor 18 sangat strategis. Dekat Stasiun Kota atawa Semoet, Kembang Jepun, Kalimas, pusat pemerintahan di Jembatan Merah, dsb.

Iseng-iseng saya baca koran Soeara Publik edisi Djoemahat 12 Maart 1926. Tuan Oei Tjwan Seng dari Cepu menginap di Hotel Slamet, Jalan Bongkaran. Berita di koran lawas Surabaya itu berjudul "Tikus Dalem Hotel".

Intinya, Oei Tjwan Seng kehilangan uang f 300 di dalem ia punya kamer di itu hotel. "Poelangnja dari mandi, abis minoem koffie, maoe pakean, lebih doeloe raba sakoenja. Disitoe ia dapet taoe dompet berisi f 300 soedah amblas," tulis Soeara Publiek yang berkantor di Jalan Greesee 44 Soerabaia.

Dari sini bisa disimpulkan Hotel Slamet sudah ada sejak awal 1920-an. Dan, yang menarik, pemiliknya baba Tionghoa bernama Ho Tik Tjwan. Nama Baba Ho ini juga ditulis di buku telepon Soerabaia tahun 1937 sebagai eigenaar (baca: eikhnar) alias pemilik alias owner Hotel Slamet.

Seperti Hotel Liberty di sebelahnya, Hotel Slamet ini tidak begitu terkenal di Surabaya. Tidak banyak orang tahu kecuali warga yang tinggal di kawasan Surabaya Utara. Yang lebih tahu justru pedagang-pedagang atau masyarakat dari luar Jawa yang dulu biasa berpegian dengan kapal laut lalu sandar di Dermaga Kalimas atau Tanjung Perak.

Setelah kemerdekaan Hotel Slamet terus berkibar. Tidak perlu ganti nama macam Hotel Liberty jadi Merdeka atau Hotel Oranje jadi Majapahit. Bangunan hotel pun diperluas hingga ke belakang. Tentu saja karena pelanggan alias tamunya terus meningkat.

Puncak kejayaan Hotel Slamet ini tahun 1980-an. "Tahun 1990-an sudah sulit. Dan itu bukan hanya Slamet tapi juga Merdeka dan hotel-hotel lain di kawasan Bongkaran, Slompretan, Bakmi (Samudra), Pasar Atoom," kata Cak Slamet, mantan redaktur Jawa Pos di Kembang Jepun - tidak jauh dari Jalan Bongkaran.

Cak Slamet bilang doeloe di Jalan Bongkaran ada banyak hotel kelas melati semacam Hotel Slamet dan Hotel Merdeka. Jalan Bongkaran ada 4 atau 5 hotel. Slompretan juga lebih dari 3. Jalan Bakmi alias Samudra lebih dari 3 juga. Di Kembang Jepun pun ada 3 atau 4 hotel.

"Kalau ditotal bisa lebih dari 20 hotel di kawasan pecinan aja. Itu belum termasuk hotel-hotel di Kapasan, Cantian, Nyamplungan, Ampel, dsb," kata Cak Slamet yang dikenal sebagai gurunya sebagian besar redaktur media cetak di Surabaya.

The glory is over!

Tahun 1990-an bisnis perhotelan di kota lama (Surabaya Utara) terus melesu. Eigenaar alias para juragan makin tua. Anak-anak mereka memilih bisnis lain atau jadi akademisi atau pigi kuliah dan kerja di luar negeri. Manajemen hotel tidak sebagus ketika para siansen itu masih muda dan kuat.

"Hotel Slamet ini sudah lama tutup. Sudah puluhan tahun," kata Cak Mat. Orang Madura ini sudah lama (10 tahun lebih) jadi penjaga bekas Hotel Slamet.

Sejak tahun berapa ditutup? 

"Wah, gak tau saya. Pokoknya sudah lamaaa. Jauh sebelum saya di sini," katanya.

Setelah berhenti beroperasi, Hotel Slamet pernah disewa baba Tionghoa dan keluarganya. Dijadikan rumah tinggal sekaligus bisnis katering. Jualan favoritnya daging babi. "Orangnya dekat sama pemilik sehingga sewanya murah. Dari awal cuma Rp 25 ribu dan  tidak pernah dinaikkan sampai orang itu keluar," kata Cak Mat sambil tersenyum.

Baba yang sewa ini pun makin tua dan rapuh. Cabut dari eks hotel tua itu. Lalu datanglah Cak Mat bersama istri dan anaknya yang jadi penunggu. Sampai sekarang. (*)

4 komentar:

  1. Banyak hotel dan losmen di sekitar Jalan Bongkaran, sebab letaknya dekat Stasiun Semut. Begitulah di-mana2, dekat stasiun dan penambangan bis, selalu banyak losmen murah, di Eropa disebut Bahnhofsviertel (Lingkungan Stasiun). Biasanya lingkungan itu banyak preman, tempat Mabuk, Main dan Madon.
    Konon Kembang Jepun dulu juga dijuluki Moroseneng van Japans, tempat madon wong nippon karo wong cino.
    Di Tiongkok juga begitu, disekitar terminal bis umum selalu banyak losmen kecil yang menyewakan kamar jam-jam-an. Banyak depot yang jualan masakan RW, dan juga panti pijat.
    Gara-gara CRH (China Railway Highspeed), sekarang banyak stasiun yang digeser ke pinggir kota, hanya bis umum antar kota yang masih boleh masuk dalam kota.
    Supaya tidak dicurigai madon di Moroseneng van Japans, maka bagi tamu yang berduit, bisa menginap di Hotel Hollywood di Jalan Kapasan, Surabaya, di depan Kantor Polisi Seksi V, pojokan Jalan Sidodadi.
    Sejak awal tahun 1900-an, ber-bondong2 para Taoke kaya dari daerah Petjinan Surabaya pindah ke wilayah lingkungan Ketabang atau Darmo. Tidak mau lagi hidup di Ghetto, Reservat atau Kandang. Mau bebas seperti Meneer Londo.
    Saya dulu merasa heran, mengapa para Cek-kong saya bikin rumah2 mewah di Ketabang atau Darmo, sedangkan Kakek-buyut saya yang termasuk sangat kaya di Pabean, kok justru cuma bikin rumah di daerah Sawahan (Jalan Tidar) yang bukan termasuk daerah elite.
    Oh, ternyata si Buyut dalam otaknya, hanya punya satu pikiran, yaitu pulang ke kampung halaman-nya, jadi untuk apa dia bikin rumah mewah di Ketabang, lebih berguna dia membangun sekolahan umum untuk orang2 di kampungnya.
    Seperti text lagu wajib di sekolahan Indonesia : Cukup sudah masa janji, cukup sudah sabar menanti, cukup sudah derita dialami. Kini tiba saatnya rakyat bertindak.......dst.
    Mungkin Thay-kong saya selalu sedih menderita, melihat apa yang dialami oleh negerinya, Century of Humiliation, penghinaan, penindasan, perampokan yang dilakukan oleh Nekolim kepada orang China.
    1905 dia pulang untuk selamanya, membangun sekolahan dinamai Ming Xin School.
    Ming berarti Terang, menerangkan Moral dan Akhlak orang China yang sudah rusak kena candu dan mental budak, yang dipaksakan oleh nekolim, terutama Inggris.
    Xin berarti Baru, maksudnya setelah otak- dan moralnya terang, semoga bisa terbentuk Bangsa yang Baru. 明德新民.
    Aku sangat mengagumi Li Xian Long, perdana menteri Singapura, dia lebih pandai dalam segala hal daripada aku. Hanya saja aku dan dia sangat berbeda dalam pandangan hidup masing2.
    Aku ikut aliran 落叶归根, daun rontok kembali ke akarnya. Hidup di negeri orang, hanya jadi tamu, berperilakulah selayaknya seorang tamu. Jangan merugikan dan kurang ajar kepada tuan rumah.
    Xian-long ikut aliran 落地生根, daun jatuh ke tanah langsung tumbuh berakar, tak perduli tanah atau pekarang milik orang lain, bak burung Kedasih, seperti nekolim.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siansen punya penjelasan menarik betoel dan ada benernya soal losmen murah yg sering didatengin itu kupu2 malam. Beberapa orang tua di kawasan Sambongan juga ada cerita macem itu.

      Hapus
  2. Yang saya tahu dan masih buka: Hotel Ganefo di Jalan Kapasan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ganefo pake gedung tua tapi hotelnya baru tahun 63-an saat ada pesta olahraga Ganefo di Jakarta. Hotel2 era kolonial di Kapasan dan Tjantian cukup banyak tapi tak ada yang tersisa. Kondisi Ganefo juga kurang menggembirakan.

      Hapus