Kamis, 29 September 2022

Ulama khusus Islam, Pastor khusus Katolik?

Saya baru tahu setelah baca kliping koran di laman Perpustakaan Nasional. Dahulu, tahun 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bikin pernyataan menarik. Bahwa kata atau istilah ulama hanya digunakan untuk pemuka agama Islam saja. (Waspada, 23 Mei 1975)

Majelis Ulama DKI Jakarta menyampaikan bahwa setiap agama mempergunakan istilah yang lazim bagi agamanya, seperti untuk agama Kristen dapat menggunakan istilah "pendeta", untuk agama Katolik "pastor" dan untuk pemuka agama Buddha dapat memakai istilah "biksu".

Saya belum baca konteks pernyataan MUI Jakarta ini. Bisa jadi dulu ada orang atawa media yang menggunakan istilah ulama Kristen atau ulama Buddha. Dikira ulama itu istilah netral dan umum.

Dulu kata pastor pun hanya merujuk ke romo atau pater atau imam Katolik. Pendeta Yesaya tentu pemuka agama Kristen Protestan. 

Karena itu, dulu, orang NTT biasa tersenyum atau tertawa sendiri membaca tulisan Kepala Paroki Santo Yosef Kupang (misalnya) Pendeta Yakobus Laba SVD.  Pendeta kok pimpin paroki?

Pembedaan pastor/pater/romo dengan pendeta itu memang khas tempo doeloe. Ketika gereja-gereja Kristen Protestan masih kental peninggalan Hindia Belanda. Alias Protestan beneran.

Nah, setelah gerakan Pentakosta dan Karismatik makin marak, maka lahirlah gereja-gereja Haleluya. Yakni gereja-gereja evangelical atau karismatik bercorak Amerika. Perkembangannya luar biasa. Hampir semua ruko, hotel, restoran dsb disewa untuk "ibadah raya".

 Gereja-gereja ini tidak pakai istilah "kebaktian" karena terkesan banget protestannya. Mereka juga tidak suka disebut Protestan. "Kami Kristen, titik," kata teman lama mantan aktivis gereja aliran Haleluya.

Nah, pendeta-pendeta gereja yang entertaining ini tidak disebut pendeta, melainkan pastor. Lah, kok sama dengan pastor Katolik yang tidak menikah itu? 

Yah.. karena istilah American English untuk pemuka gereja-gereja Haleluya memang pastor, bukan reverend. Maka di baliho-baliho sering ada billboard ibadah raya yang menghadirkan pastor-pastor terkenal dari dalam dan luar negeri. Hanya pendeta-pendeta lawas yang masih pakai istilah pendeta seperti Pendeta Dr Stephen Tong dari Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII).

Pemuka agama Buddha juga tidak mesti pakai istilah biksu versi MUI tahun 1975. Di Surabaya sekarang sudah jarang yang disebut biksu. Lebih banyak yang pakai bhante atau romo atau rinpoche dsb. Dulu saya sering diundang meliput kegiatan rinpoche-rinpoche asal Tibet.

9 komentar:

  1. Bung Hurek, kali ini Rika mengkritisi secara halus, tentang kemunafikan yang ada. Idaman Bung Karno membentuk Nation- Building belum terlaksana.
    Waktu duduk di bangku kelas 5 dan kelas 6 Sekolah Rakyat Negeri di Denpasar, di pekarangan sekolah ada Sanggah, tempat sembahyang warga Hindu Bali.
    Kepala Sekolahnya Bapak Ida Bagus Soetamaja dan ibu guru kelas saya Anak Agung Pudji dari Puri Jro Kuta. Mereka adalah dari Kasta Brahmana dan Ksatrya, tetapi belum pernah saya mendengar dari mereka, memberi salam kepada murid2-nya dengan Om Swastyastu. Cukup dengan Selamat Pagi ! Yang penting dari lubuk sanubari yang setulusnya.
    Seandainya saya penulis naskah pidato pejabat negara, maka saya akan kembali menulis " Selamat Pagi untuk kita semua ".
    Mengapa zaman sekarang, yang mudah malah dibikin njelimet ?
    Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Salam Sejahtera, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan,....
    Mengapa Sekat-Sekat di antara Kita tambah diperjelas, bukannya dihapus !
    Saya ingin bertanya kepada Yang Mulia Bapak Presiden, Salam yang mana untuk orang2 Tionghoa Konghucu ??
    Orang Tionghoa kalau salaman " Li ciak bo ?" yang maksudnya , "Le, kowe wis mangan?" Lek wong suroboyo "Cuk, kon wis mbadog ?"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Leres 🙏🏼 betul sekali itu. Saya juga sudah lama punya pandangan macam itu. Cukup satu salam aja. Dulu saya pernah bahas soal ucapan salam ini di blog lama.

      Masalahnya, orang Imdomesia ini sangat religius. Semua yg berbau agama masuk ke ruang publik. Jadinya seperti itu lah.

      Hapus
    2. Setuju. Saya sangat kecewa mengapa pembuka pidato presiden dan pejabat harus menggunakan berbagai macam salam keagamaan. Shrsnya mereka memberi contoh menghapuskan sekat2 dalam acara2 kenegaraan yang tidak berhubungan dgn agama. Salam cukup "Selamat pagi", atau seperti jaman Pak Harto dulu "Salam sejahtera saudara2ku sebangsa dan setanah air". Negara makin reformasi kok malah jadi makin agama-is. Sangat mengherankan.

      Hapus
    3. Kalau menuruti logika bahasa Inggris kata2 itu ada hierarkinya sebenarnya. Bhs Indonesia seharusnya mengadopsi hierarki tsb agar tidak rancu. Mana ini Dewan Bahasa?

      Kata BENDA generik untuk "ulama" ialah cleric atau clergy. Ini tidak peduli agama apapun. Cleric atau clergy maksudnya ya golongan orang2 yang mengurusi agama. Dalam bahasa Indonesia seharusnya ini diterjemahkan pemuka atau pemimpin agama. Jika ulama hanya untuk Islam ya gapapa (lihat paragraf berikutnya).

      Lalu ada kata2 BENDA resmi untuk menyebut para pemimpin agama itu tuk tiap agama: pendeta, pastur, bhiku, ustadz, brahmana.

      Barulah ada kata2 SEBUTAN yang digunakan dalam percakapan atau untuk mendahului nama seorang pemuka agama. Kadang2 bisa sama dengan kata bendanya. Dalam Agama Katolik ada: Romo, Pater, Uskup, Paus.

      Lalu ada kata2 SEBUTAN KEHORMATAN. Dalam Bhs Inggris, pendeta Protestan dan pastur Katolik dalam acara2 dan penerbitan2 resmi lazim disebut dengan panggilan honorifik atau kehormatan spt Reverend atau kalau lengkap The Most Reverend, disingkat Rev, artinya Yang Terpuji. Kalau naik pangkat menjadi Uskup, panggilannya menjadi Monsinyur. Diembeli lagi dgn Your Excellency, mungkin bisa diterjemahkan Yang Ciamik. Naik pangkat menjadi Paus, dipanggilnya menjadi "Your Holiness", atau "Yang Suci".

      Jadi, lengkapnya bisa jadi:
      Pastur paroki Kristus Raja, Yang Terpuji Romo KRMT John Tondowidjojo, C.M.
      Uskup Surabaya, Yang Ciamik Monsinyur Vincentius Sutikno

      Hapus
  2. Religius opone, Cak ? Cangkeme iyo. Pokoknya mereka polytheis dan polynationalis.
    Religius cangkeme, buktinya mereka bo ciak ti bak.
    Polytheis, buktinya mereka masing2 punya Allah, Tuhan, Dewa, Dewi, Thian, dll. Kata MUI, Allah hanya untuk Muslim. Surga dan neraka mereka masing2 juga berbeda.
    Polynationalis, buktinya kalau demonstrasi, demo ngalor ngidul hura hura, gerombolan yang sama, ada yang bawa Bendera Sang Saka Merah Putih, ada yang bawa bendera negara Palestina, ada juga yang bawa bendera hitam dan putih pakai tulisan Arab, entah dari national negara2 mana itu.
    Elek-elek-o, aku sing singkek, isik hafal Lagu National Indonesia Raya, semua lagu2 wajib, bahkan puisi Chairil Anwar "Aku".

    BalasHapus
  3. Kalau agama resminya 6 maka salamnya juga ada 6. Belum lagi salam "rahayu" (bahagia) khas kejawen. Salam Rahayu ini cukup enak dan universal.

    Yang tidak punya salam malah gereja katolik. Dari dulu tidak ada pater yg sapa Syalom kayak pendeta2 haleluya, tapi selamat pagi, selamat sore, selamat malam... Khusus di Jawa ada salam Berkah Dalem.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agama Katholik adalah Mbah-nya agama Kristen, tentu saja orang2 Katholik punya caranya bersalaman antara sesama Katholiken.
      Contoh :
      Laudetur Jesus Christus. Jawabnya: Per omnia saecula saeculorum.
      Atau yang lebih akrab, pakai, kata : Servus !
      Yang artinya Aku hamba mu ! Jawabnya juga Servus.

      Hapus
  4. Ada salam liturgi katolik tapi hanya diucapkan pater aja: Dominus vobis cum... Gak umum kalau umat awam ucap dominus vobis cum.. apalagi di luar liturgi.

    BalasHapus
  5. Kamsia, Cak Boen. Clergy atau cleric itu bahasa Indonesianya ulama atau klerus. Tapi kata ulama dianggap eksklusif muslim dan klerus khusus untuk katolik. Mungkin kata agamawan, agamawati, atau pemuka agama lebih netral dan berterima di semua kalangan. Bisa juga tokoh agama.

    BalasHapus