Pekan lalu saya mampir lagi ke Toko Wancu alias Toko Redjo di Jalan Gajah Mada, Sidoarjo. Persis di depan eks Sekolah Tionghoa yang kini jadi sentra kuliner. Toko Wancu masih seperti yang dulu.
Saya beli minyak gosok. Iseng aja. Aslinya cuma nostalgia. Mengenang almarhum Haryadjie BS, pelukis senior Sidoarjo yang biasa disapa Bambang Thelo atau Mbah Tekek. Haryadjie memang paling suka melukis tokek dan kucing.
Mbah Bambang Thelo inilah yang pertama kali mengajak saya ke Toko Wancu. Dia fanatik betul dengan toko khas Tionghoa tempo doeloe.
"Saya kalau belanja pasti ke Wancu. Barang-barang yang kami butuhkan ada semua. Rasanya lain belanja di Wancu dengan di minimarket," kata pentolan Dewan Kesenian Sidoarjo itu.
Maklum, Bambang Thelo ini orang lawas. Ia poenja selera matjam oma opa tempo doeloe. Ia juga sering omong-omong pake bahasa Melajoe tempo doeloe matjam ini. Lama-lama kita orang djadi terbiasa. 😀
Bambang Thelo yang memang senang sejarah lalu cerita sedikit riwayat itu Toko Wancu. Intinya, tempo doeloe ada juragan Tionghoa bernama Wancu bangun toko untuk cari nafkah layaknya pedagang-pedagang Tionghoa lainnya.
"Tapi beliau bisa mempertahankan model tokonya sampai hari ini. Toko-toko lain di Gajah Mada dan sekitarnya sudah berubah. Itulah hebatnya Wancu," ujar Bambang Thelo.
Siapa gerangan engkong bernama Wancu itu?
Tidak lain The Thwan Tjioe (baca: Wancu). Wartawan Jawa Pos era Kembang Jepun Basuki Soedjatmiko menyebut The Thwan Tjioe sebagai salah satu tokoh terkemuka Tionghoa di Sidoarjo. Aktif di organisasi masyarakat Tionghoa.
Pak Wancu juga beberapa kali jadi ketua Kelenteng Tjong Hok Kiong Sidoarjo di Jalan Hang Tuah.
Effendy Tedjokusumo menulis:
"Beliau dipenjara dan 'digebuki' penjajah Jepang. Sehingga sesudah itu, beliau menderita radang paru-paru (batuk darah) dan sakit-sakitan. Sehingga akhirnya harus mengasoh, dan selanjutnya beliau aktif dalam kepengurusan di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Sidoarjo, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai ketua."
Toko Wancu sendiri berdiri sejak tahun 1933. Tidak mudah tentu saja untuk mempertahankan toko lawas ini di tengah gempuran supermarket, minimarket, dan ritel-ritel modern.
"Uniknya, kalau orang-orang lama Sidoarjo ke toko, mereka selalu pesan jangan diubah-ubah. Nuansa toko kuno yang jual segala, yang berkesan morat-marit ini, supaya dipertahankan," kata Effendy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar