Selasa, 03 Mei 2022
Cak Misdi setia jadi tukang becak di Kota Malang
Senin, 02 Mei 2022
Nafsu besar, tenaga kurang
Minggu, 01 Mei 2022
Puasa Ikut Pemerintah, Lebaran Ikut Pemerintah
Nostalgia Sasana Kawanua di Jalan Pajajaran Malang
Dulu Malang Raya pernah jadi barometer olahraga tinju nasional. Begitu sering perebutan gelar juara nasional diadakan di GOR Pulosari, Jalan Kawi Malang. GOR yang kerap jadi venue konser-konser musik itu kini tinggal kenangan.
Sasana-sasana atawa boxing camp juga cukup banyak di Malang. Sasana Gajayana, Sasana Javanua, Sasana Alamanda, Sasana Arema, Sasana Bhirawa, Sasana Kawanua, dan beberapa lagi. Sasana Gajayana pernah punya petinju asal Timor Timur (sekarang Timor Leste) Thomas Americo.
Mendiang Thomas Americo menantang Saoul Mamby juara dunia kelas ringan WBC di Jakarta tapi kalah. Stamina Thomas Americo melorot.
Tahun 1980-an memang masa keemasan tinju pro di Malang. Ada 7 juara nasional dari Malang. Beberapa nama petinju dari kota dingin itu Juhari (Gajayana Malang), M Solikin (Gajayana Malang). Di kelas bulu ada Monod (Arema Malang) yang dijuluki Raja KO.
Ada lagi Edward Apay (Bhirawa Malang) dan Benny (Alamanda Malang) yang sering muncul di TVRI. Edward Apay ini menghajar Elyas Pical yang pernah jadi juara dunia kelas bantam junior versi IBF itu.
Saat jalan-jalan di Malang, saya teringat Sasana Kawanua di Jalan Pajajaran. Sekarang jadi kantor JNE.
Sasana Kawanua dekat sekali dengan kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 di kawasan Alun-Alun Bundar. Saat berangkat dan pulang sekolah saya biasa lewat di Jalan Pajajaran itu.
Berbeda dengan sasana-sasana lain, Sasana Kawanua berlatih di pelataran Hotel Pajajaran. Petinju-petinju biasa lari memutari Alun-Alun Bunder.
Bisa ditebak Sasana Kawanua itu milik orang Manado. Pak Kailola yang jadi pembina sekaligus pelatihnya. Kemudian diteruskan putranya, Leonard Gustaf Kailola. Bung Leo meninggal dunia pada Kamis (2/11/2017) di RSSA Malang gegara kecelakaan lalu lintas di Kayutangan.
Masa kejayaan sasana-sasana tinju di Malang tinggal kenangan. Sudah lama berlalu. Tak ada sisa-sisa samsak, pelindung kepala, ring, atau perlengkapan tinju yang tersisa
Tak hanya Sasana Kawanua, sasana-sasana lain di Malang juga sudah jadi almarhum. Bekas Sasana Gajayana di pojokan Jembatan Splendid bahkan sudah lama rata dengan tanah. Padahal di situlah Thomas Americo digembleng pelatih Abu Dhori yang sangat terkenal di masa lalu.
Jumat, 29 April 2022
Dua Paus yang Bahagia di Vatikan
Sirikit Syah Berpulang, Kita Kehilangan Media Watch
Mbak Sirikit sangat kritis pada wartawan. Tepatnya karya jurnalistik. Itu selalu ia suarakan lewat buletin Media Watch dan program mingguan di Radio Suara Surabaya.
Saking kerasnya, wartawan-wartawan yang masih kerja di media mainstream cenderung mengambil jarak. Sebab idealisme Sirikit sering tidak berbanding lurus dengan pragmatisme bisnis media.
Terlalu idealis medianya bisa mati karena tidak dapat iklan. Terlalu pragmatis dan kompromi pasar juga membuat kualitas jurnalisme jadi hancur. Idealnya 9 elemen jurnalisme harus dijalankan. Tapi di lapangan sering melenceng dari pelajaran dasar untuk mahasiswa jurnalistik semester awal itu.
"Sekarang jurnalisme tanpa verifikasi kian merajalela di era media sosial," kata Sirikit.
Padahal, elemen jurnalistik nomor 1 adalah disiplin verifikasi. Tanpa verifikasi maka wartawan-wartawan hanya jadi corongnya humas pemerintah, kepolisian, militer, hingga public relations.
Kritik-kritik Sirikit memang sangat keras tapi perlu. Pahit tapi bikin sehat seperti minum obat. Karena itu, saya pernah mengundang Sirikit untuk memberikan pelatihan jurnalistik kepada wartawan-wartawan gereja di Surabaya.
Orangnya asyik ternyata. Omongan Sirikit yang kritis dan tajam ternyata disukai peserta seminar atau pelatihan. Salah satunya saat diklat jurnalistik komsos paroki di kawasan Citraland, Surabaya. Suasana sangat hidup.
Peserta bahkan minta tambahan waktu. Tapi honornya tidak ditambah. "Soal itu (honor) terserah Sampean aja. Saya senang kok kasih pelatihan jurnalistik di lingkungan gereja," kata Sirikit.
Maklum, saat itu duit panitia sangat terbatas. Honor hanya ala kadarnya. Padahal saya mengajak redaktur-redaktur senior, dan saya anggap hebat, untuk memberikan pelatihan jurnalistik. "Kita perlu beri edukasi juga ke konsumen media," katanya.
Sudah lama sekali saya tidak kontak Sirikit. Apalagi datang ke rumahnya di kawasan Rungkut sejak pandemi covid. Saya pun tak lagi membaca tulisannya di koran. Juga tak lagi dengar suaranya di radio.
Seasa pagi, 26 April 2022, beredar berita berantai di grup-grup WA. Sirikit Syah kembali ke pangkuan-Nya.
Selamat jalan, Mbak Sirikit!