Kamis, 03 September 2020

Menyendiri di sudut kota ini

Suara Vanny Vabiola melengking tinggi. Melantunkan lagu-lagu lawas. Tembang melankolis ciptaan Pance Pondaag, Rinto Harahap, dan sejenisnya.

"Biarlah yang hitam menjadi hitam
Biarlah rembulan di atas sana.."

Orang NTT di perantauan Jawa atau Malaysia tak asing dengan lagu-lagu beginian. Merintih. Memelas. Berurai air mata.

Sejak kecil orang NTT mengonsumsi lagu-lagu begini. Diputar di truk yang dimodifikasi jadi angkutan pedesaan. Diputar di kapal feri dari Kupang ke Larantuka atau Lembata. Selama 8 atau 9 jam.

Pagi ini lagu-lagu kesayangan orang NTT (dan Batak) itu diputar di sebuah warkop di Rungkut, Surabaya. Masuk agak jauh. Saya baru tahu ada warkop yang doyan lagu-lagu Pance atau Rinto.

"Biarlah hanya di dalam mimpi
Kita saling melepaskan rindu..."

Mas penjaga warung bilang langganannya memang cukup banyak asal Flores, Batak, wilayah Indonesia Timur. Orang-orang yang fisiknya kelihatan sangar tapi melankolis. Suka lagu-lagi mellow nan sendu.

"Mereka selalu request lagu-lagu Pance," ujar mas itu.

Ah... ini lagu Pance sedang on. "Mungkin lebih baik begini. Menyendiri di sudut kota ini," begitu antara lain syair Pance yang dibawakan Vanny.

Asyik memang bernostalgia. Mengenang masa lalu yang manis-manis melodinya. Masa sekarang terlalu berat. Pandemi korona benar-benar merusak tatanan ekonomi, sosial, budaya, agama dsb.

"Biarkan aku sendiri
Menyendiri tanpa dirimu lagi"

Ah.... lagu-lagu Pance, Obbie, Rinto, Dores bagaikan pil ekstasi atau sabu buat orang NTT. Makin dinikmati makin nagih. Dan... bisa makin gila.

Selasa, 01 September 2020

Tidak Ada Korona di Jolotundo

Situasi semakin gawat! Begitu penilaian Dr Zubairi, ketua satgas covid-19 IDI. Wabah korona yang terjadi sejak awal Maret 2020 bukannya menurun tapi menaik.

Pasien covid naik terus. Termasuk tenaga kesehatan. Banyak dokter yang meninggal akibat covid. Sudah 102 dokter. Belum perawat dan nakes-nakes lainnya.

Ironisnya, masih banyak warga yang tidak percaya covid. Masih menganggap virus korona sebagai mainan orang-orang besar di atas sana. Konspirasi global. Jualan obat, vaksin, dsb.

Di tengah situasi yang 'semakin gawat' itu, aktivitas warga di Surabaya dan sekitarnya biasa-biasa saja. Warkop-warkop tetap penuh. Tidak ada yang namanya jaga jarak.

Sebagian warga juga jarang pakai masker. Apalagi cuci tangan pakai sabun dsb. Guyonan-guyonan yang meremehkan covid masih ramai di warkop dan media sosial.

"Di sini tidak ada korona. Korona itu cuma ada di Surabaya," kata Bu Nur Hasanah, pemilik warung di kawasan Jolotundo, Trawas, pekan lalu.

Karena itu, Nur dan warga setempat tidak mau pakai masker. Tidak ada jaga jarak di warkop, rumah, dsb. "Pakai masker kalau turun ke Mojosari atau Mojokerto. Biar nggak ditangkap," kata langganan lamaku itu lantas ketawa.

Klaim Nur Hasanah bahwa korona tidak ada di desanya memang ada benarnya. Sejak wabah covid diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, belum ada satu pun warga Desa Seloliman, Trawas, yang positif covid.

Bagaimana dengan wisatawan yang datang ke sini? Sebagian besar dari Surabaya dan Sidoarjo? Kawasan zona merah di Jawa Timur.

"Alhamdulillah, semakin banyak yang datang semakin bagus. Biar warung-warung di Jolotundo ini ramai lagi," kata Nur.

Nur dan kawan-kawan tak habis pikir mengapa kawasan wisata candi dan petirtaan Jolotundo sempat ditutup selama 4 atau 5 bulan. Padahal tidak ada korona di kampungnya yang asri dan sejuk itu.

Bagi orang-orang desa itu, air sumber di petirtaan Jolotundo itu ibarat obat mujarab yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Rahayu! Rahayu! Rahayu!

Senin, 31 Agustus 2020

28 Rumah Adat di Kampung Napaulun Lembata Terbakar


SEBANYAK 28 rumah adat hangus dilalap api setelah terjadi kebakaran di kampung Napaulun, Desa Buga Muda, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Minggu (30/8/2020) sekitar pukul 14.00 Wita.

Beruntung, 8 buah rumah adat dapat diselamatkan warga yang datang membantu memadamkan api. Warga yang berasal dari dua Desa yakni Desa Bunga Muda dan Desa Napasabok tampak sigap membantu memadamkan Kebakaran tersebut, meski dengan peralatan seadanya.

Warga menduga, api berasal dari arah timur kampung adat tersebut. Api yang terus menjalar karena hempasan angin yang kencang di wilayah Gunung Ile Lewotolok, ditopang udara terik di siang bolong, memudahkan api melahap puluhan bagunan tradisional itu dalam tempo singkat.

Upaya pemadaman dilakukan warga dengan menggunakan ranting tanaman. Sedangkan upaya mencari bantuan mobil pemadam kebakaran yang berada di Kota Lewoleba, tidak membuahkan hasil. Api lebih cepat menghanguskan bangunan rumah adat tersebut.

''Belum ada mobil pemadam kebakaran, api sudah makan rumah adat banyak. Dari 34 rumah adat, yang terbakar ada 24 buah. Untung ada 8 buah rumah berhasil diselamatkan warga,'' ujar Tedi, warga Desa Bunga Muda.

Setelah menghanguskan 28 unit rumah adat, api terus mengarah ke bagian barat Gunung Ile Ape.

Kampung Napaulun adalah kampung adat milik dua desa, yakni Desa Bunga Muda dan Desa Napasabok, Kecamatan Ile Ape. Kampung adat tersebut selalu menjadi lokus ritual pesta kacang setiap tahun.

Kampung Napaulun memiliki arti penting bagi warga karena menjadi sumber kekuatan spitirual dalam tradisi warga setempat. (Media Indonesia)

Minggu, 30 Agustus 2020

Misa Pagi di Warkop Juanda


Nggowes pagi di dekat Bandara Juanda. Mampir ke warkopnya Mbak Wati langganan lama. Sudah lama tak ketemu mbak gemuk yang ramah itu. Tepatnya sejak pandemi korona.

Warkopnya buka. Ada dua langganan asyik ngopi dan main ponsel. Memanfaatkan wifi gratis. Saya pesan kopi kapal api.

Lalu baca koran Jawa Pos yang pagi ini terlihat cakep dengan versi tabloid. Makeup jaksa cantik Pinangki dibahas panjang lebar. Termasuk kebiasaan mbak jaksa yang senang pelesir ke USA.

Duit dari mana? Berapa sih gaji seorang jaksa? Kok bisa bergaya hidup mewah? Operasi plastik dsb? Menarik.

Oh... ini hari Minggu. Saya belum misa. Gereja belum buka. Masih pakai misa live streaming sejak 25 Maret 2020.

Saya akhirnya masuk YouTube. Rupanya dia tahu apa yang saya cari. Video teratas Sunday Mass dari Amerika Serikat. ST. THOMAS THE APOSTLE PARISH, West Springfield, Massachusetts, United States.

Channel ini favoritku sejak tiga bulan lalu. Pastornya Romo Jack Sheaffer. Saya paling suka karena misanya sangat padat dan efisien. Tidak lebih dari 20 menit. Daily Mass atau misa harian cuma 18 menit.

Misa streaming gereja-gereja di Surabaya juga ada. Dan bagus. Hanya saja terlalu panjang. Seperti misa biasa di luar masa pandemi. Bisa 70 menit atau sejam lebih.

Minggu lalu saya ikut streaming mass di salah satu gereja di Sidoarjo. Khotbahnya sangat panjang. Sang pastor kurang sadar homili panjang membuat misa jadi lama. Boros data.

Belum lagi lagu-lagu liturgi yang lengkap ala misa normal. Ditambah banyak petugas, lektor, pemazmur yang tentu saja makan waktu saat ganti mikrofon, gosok mikrofon pakai tisu dsb.

Nah, misa di Amerika, khususnya di West Springfield ini sangat efisien. Pastor sendirian. Tidak ada misdinar. Tak ada pemazmur, lektor, penyanyi dsb.

Lagunya cuma tiga:

Opening: Come Thou Almighty King
Lamb of God: Agnus Dei
Communion: Panis Angelicus

Itu pun pakai rekaman. Agnus Dei pakai Gregorian 8 yang sangat terkenal di Flores dan Lembata. Begitu juga Panis Angelicus.

Homili pater juga sangat padat. Tidak banyak bumbu-bumbu. Tentang barangsiapa yang mengikuti Aku harus menyangkal dirinya dsb.

Mbak Wati dan orang-orang di warkop (semuanya muslim) tidak tahu bahwa saya sempatkan diri mengikuti misa pagi Hari Minggu. Bahkan dari Amerika pula. Teknologi komunikasi memang luar biasa. Kita bisa WFH, kerja dari rumah, bisa juga MFH, mass from home.

Bahkan bisa misa dari warkop. Kapan saja. Di mana saja. Tuhan ada di mana-mana. Gereja ada di HP.

Sabtu, 29 Agustus 2020

Gus Ipul makin turun kelas


Gus Ipul sudah pernah jadi wakil gubernur Jawa Timur. Dua periode. 10 tahun.

Lalu maju dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Jadi calon gubernur. Pasangannya Puti Guntur sebagai calon wakil gubernur.

Hasilnya? Kalah telak oleh Khofifah Indar Parawansa. Sama-sama mantan menteri dan kader nahdliyin. 

Saifullah Yusuf, nama asli mantan wartawan tabloid Detik, yang dibredel rezim Orde Baru, lalu mundur ke desa. Pulang ke kampung halamannya di Prigen, Pasuruan.

"Saya mau jadi petani," katanya di internet.

Gus Ipul lalu membuka tempat wisata di kawasan Ledug, dekat Tretes. Sudah banyak peminat yang berkunjung ke sana. Termasuk komunitas sepeda pancal dari Surabaya dan Sidoarjo.

Tadinya saya pikir Gus Ipul leren dari dunia politik dan pemerintahan. Agar fokus mengurus tempat wisata dan pertanian di Prigen.

Eh, ternyata saya salah. Kemarin Gus Ipul dapat rekomemdasi dari DPP PKB. Untuk maju sebagai calon wali kota Pasuruan. Siap bertarung pada 9 Desember 2020.

Waduh...

Gus Ipul kok turun kelas? Habis jadi menteri di Jakarta lalu wakil gubernur Jatim. Lalu turun jadi wali kota Pasuruan (kalau jadi)?

Sangat banyak komentar di media sosial ihwal pencalonan Gus Ipul sebagai cawali Pasuruan. Pro kontra khas warganet. "Maklum, sudah ketagihan jabatan," komentar salah satu anggota grup Suara Surabaya.

Bagaimana peluang Gus Ipul di Pasuruan?

Tidak mudah... meskipun ia sudah lama jadi pejabat di pusat dan provinsi. Pilkada di kabupaten/kota punya kekhasan sendiri. Mereka yang kuat di pusat bukan jaminan bakal menang di daerah.

Peluang Gus Ipul sedikit di atas 50 persen, kata teman di Pasuruan. Apalagi kalau logistik lancar. Gizinya juga bagus. Gus Ipul itu politisi kawakan, katanya.

Orang yang asyik-asyik aja turun jabatan kayak Gus Ipul ini tidak banyak. Biasanya mantan wali kota yang maju lagi sebagai calon wakil wali kota. Bambang DH contoh terbaik di Surabaya. Itu memang dimungkinkan oleh aturan undang-undang.

Gus Ipul turunnya jauh. Kalau maju sebagai calon wali kota Surabaya masih bisa dimaklumi. Sebab Kota Surabaya levelnya sudah provinsi meskipun resminya kota/kabupaten.  Tapi Kota Pasuruan yang sempit?

Saya khawatir suatu saat Gus Ipul ikut maju dalam pemilihan kepala desa di kampungnya.

Terlalu banyak data hangus


Semalam terlalu capek. Ketiduran. Lagu-lagu lawas gaya swing khas Hendri Rotinsulu terus mengalun. Sampai pagi.

Bangun agak kesiangan. Lalu muncul pesan pendek (SMS):

"Pkt XTRA Combo 15GB+15GB, 30hr, Rp129rb Anda terhenti karena pulsa tidak cukup utk perpanjangan. Isi pulsa mudah di myXL atau internet/m-banking. Info 817."

Waduh. Lupa beli pulsa semalam.

Hanguslah data yang cukup banyak. Masih sekitar 15 GB. Sangat besar. Anak-anak sekolah cuma dijatah 10 GB untuk pembelajaran daring selama sebulan.

Kalaupun pulsa cukup pun tetap hangus datanya. Yang bisa diakumulasi cuma 1 GB. Provider XL rupanya sudah mengubah sistem jualannya.

Dulu data sisa diakumulasi atau ditambahkan saat memperpanjang paket. Saya lupa. Karena itu, saya hemat data selama bulan Agustus ini. Eh, ternyata malah hangus banyak sekali datanya.

Hikmahnya, saya makin tahu kebutuhan data internet sebulan. 30 GB terlalu banyak. Apalagi saya mengurangi nonton bola tengah malam. Dan tidur lebih awal. Saat pandemi.

Dulu saya coba paket data 10G sebelum pandemi korona. Ternyata kurang. Itu juga karena terlalu sering nonton bola dan video-video petualangan dan lagu-lagu swing jazz lawas.

Lalu coba paket 20G. Pernah kurang tapi pernah sisa. Lalu muncul tawaran diskon 15G+15G bulan lalu. Alias 30G. Ternyata, itu tadi, kebanyakan.

Beberapa menit lalu muncul SMS:

"XTRA Combo 10GB+10GB 89rb sdh aktif, berlaku s.d 28/09/2020 00:00."

Semoga cukup untuk menikmati YouTube, WA, browsing, WFH, dan sesekali blogging.

Salam sehat untuk semua!

Jumat, 28 Agustus 2020

Kata Mereka tentang Saya

Ternyata saya sempat 'dirasani' sejumlah wartawan senior Jawa Pos Group di salah satu WA Group. Kebetulan saya sudah lama tidak ikut grup-grup yang tidak ada hubungan dengan kerjaan. Memori ponselku terlalu sempit untuk menampung data dari WAG yang besar itu.

Menarik. Gara-gara pertanyaan Pak Maksum, dosen, mantan redaktur opini Jawa Pos. Saya kenal Pak Maksum, bahkan tahu tempat duduknya, dulu. Tapi ia tidak kenal saya.

Kalau ketemu langsung, saya yakin Pak Maksum kenal. Cuma tidak tahu nama saya.

Bung Thom, eks wartawan senior JP Group, yang membagikan sedikit percakapan di WA Group para jurnalis lawas itu. Ceritanya, nama saya tercatat sebagai salah satu pemesan buku biografi Cak Soeryadi, mantan karyawan Jawa Pos, yang jago sepak bola itu.

Maksum: "Mbak Oemi, sopo Hurek itu Mbak?"

Soeryadi: "Hurek itu redaktur Radar Surabaya Pak Maksum."

ArNov Palabo (pensiunan wartawan ekonomi Jawa Pos): "Hurek iku dulu Redaktur Suara Indonesia/Radar Surabaya. Areke pendiam berat. Tapi, nek diajak ngobrol, omonge uuuuaaaakeeeeh.

Nek diajak ngobrol, guyone luar biasa gayeng. Sangat nyaman diajak berteman."

Maksum: "Lah, maka itu Cak Nov karena saya belum kenal nanya."

ArNov Palabo: "Memang anaknya gak banyak omong, Cak Sum. Tapi grapyak dasyat. Asal NTB klo gak salah."

Amri (redaktur Jawa Pos): "Bang Hurek itu arek NTT mas.. Lembata tepatnya. Bener. Kalo udah ngobrol sama dia, seru banget. Wawasannya luas."

David Yusuf (wartawan senior): "Lembata NTT Flores."

Isna Fatmawati (mantan wartawan Radar Surabaya dan Tabloid Nurani):

"Lambertus Lusi Hurek, Redaktur satu ini emang bener-bener top markotob. Beliau berasal dari Lembata (Flores Timur) NTT, tapi sudah lama sekali merantau ke Pulau Jawa.

Saya banyak belajar dari beliau. Pak Hurek sudah saya anggap bapak sekaligus guru menulis.

Model liputan blusukannya jadi acuan saya tiap kali liputan. Cara mengajarnya bak seorang guru, enak, mudah dipahami, dan langsung masuk.

Pak Hurek tidak pernah bilang tulisanmu salah, atau tulisanmu kurang bagus tidak cocok. Tapi, beliau menegur dengan kalimat-kalimat positif yang bisa membangun wartawan bimbingannya menjadi lebih baik. Saya akan selalu merindukan bimbingan dari Pak Hurek."

Menarik juga komentar teman-teman wartawan senior Jawa Pos dan Isna yang milenial asli Pagerwojo, Sidoarjo. Komentar-komentar positif, bikin senang.

Tapi ya itu.. ada banyak sisi negatif yang tidak disebut para kolega. Mungkin aku kurang luwes dan luas bergaul sehingga Pak Maksum tidak kenal saya.

Padahal, sejak mahasiswa saya mengikuti analisis berita dan ulasan Pak Maksum setiap pagi, Senin sampai Kamis, di Radio SCFM Surabaya. Saat itu Maksum yang sehari-hari redaktur opini Jawa Pos menjadi salah satu narasumber di SCFM.

Matur nuwun atas komentar konco-konco lawas (cowas) Jawa Pos Group.