Situasi semakin gawat! Begitu penilaian Dr Zubairi, ketua satgas covid-19 IDI. Wabah korona yang terjadi sejak awal Maret 2020 bukannya menurun tapi menaik.
Pasien covid naik terus. Termasuk tenaga kesehatan. Banyak dokter yang meninggal akibat covid. Sudah 102 dokter. Belum perawat dan nakes-nakes lainnya.
Ironisnya, masih banyak warga yang tidak percaya covid. Masih menganggap virus korona sebagai mainan orang-orang besar di atas sana. Konspirasi global. Jualan obat, vaksin, dsb.
Di tengah situasi yang 'semakin gawat' itu, aktivitas warga di Surabaya dan sekitarnya biasa-biasa saja. Warkop-warkop tetap penuh. Tidak ada yang namanya jaga jarak.
Sebagian warga juga jarang pakai masker. Apalagi cuci tangan pakai sabun dsb. Guyonan-guyonan yang meremehkan covid masih ramai di warkop dan media sosial.
"Di sini tidak ada korona. Korona itu cuma ada di Surabaya," kata Bu Nur Hasanah, pemilik warung di kawasan Jolotundo, Trawas, pekan lalu.
Karena itu, Nur dan warga setempat tidak mau pakai masker. Tidak ada jaga jarak di warkop, rumah, dsb. "Pakai masker kalau turun ke Mojosari atau Mojokerto. Biar nggak ditangkap," kata langganan lamaku itu lantas ketawa.
Klaim Nur Hasanah bahwa korona tidak ada di desanya memang ada benarnya. Sejak wabah covid diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, belum ada satu pun warga Desa Seloliman, Trawas, yang positif covid.
Bagaimana dengan wisatawan yang datang ke sini? Sebagian besar dari Surabaya dan Sidoarjo? Kawasan zona merah di Jawa Timur.
"Alhamdulillah, semakin banyak yang datang semakin bagus. Biar warung-warung di Jolotundo ini ramai lagi," kata Nur.
Nur dan kawan-kawan tak habis pikir mengapa kawasan wisata candi dan petirtaan Jolotundo sempat ditutup selama 4 atau 5 bulan. Padahal tidak ada korona di kampungnya yang asri dan sejuk itu.
Bagi orang-orang desa itu, air sumber di petirtaan Jolotundo itu ibarat obat mujarab yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Rahayu! Rahayu! Rahayu!
Pasien covid naik terus. Termasuk tenaga kesehatan. Banyak dokter yang meninggal akibat covid. Sudah 102 dokter. Belum perawat dan nakes-nakes lainnya.
Ironisnya, masih banyak warga yang tidak percaya covid. Masih menganggap virus korona sebagai mainan orang-orang besar di atas sana. Konspirasi global. Jualan obat, vaksin, dsb.
Di tengah situasi yang 'semakin gawat' itu, aktivitas warga di Surabaya dan sekitarnya biasa-biasa saja. Warkop-warkop tetap penuh. Tidak ada yang namanya jaga jarak.
Sebagian warga juga jarang pakai masker. Apalagi cuci tangan pakai sabun dsb. Guyonan-guyonan yang meremehkan covid masih ramai di warkop dan media sosial.
"Di sini tidak ada korona. Korona itu cuma ada di Surabaya," kata Bu Nur Hasanah, pemilik warung di kawasan Jolotundo, Trawas, pekan lalu.
Karena itu, Nur dan warga setempat tidak mau pakai masker. Tidak ada jaga jarak di warkop, rumah, dsb. "Pakai masker kalau turun ke Mojosari atau Mojokerto. Biar nggak ditangkap," kata langganan lamaku itu lantas ketawa.
Klaim Nur Hasanah bahwa korona tidak ada di desanya memang ada benarnya. Sejak wabah covid diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, belum ada satu pun warga Desa Seloliman, Trawas, yang positif covid.
Bagaimana dengan wisatawan yang datang ke sini? Sebagian besar dari Surabaya dan Sidoarjo? Kawasan zona merah di Jawa Timur.
"Alhamdulillah, semakin banyak yang datang semakin bagus. Biar warung-warung di Jolotundo ini ramai lagi," kata Nur.
Nur dan kawan-kawan tak habis pikir mengapa kawasan wisata candi dan petirtaan Jolotundo sempat ditutup selama 4 atau 5 bulan. Padahal tidak ada korona di kampungnya yang asri dan sejuk itu.
Bagi orang-orang desa itu, air sumber di petirtaan Jolotundo itu ibarat obat mujarab yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Rahayu! Rahayu! Rahayu!
Oalah, Indonesiaku. Orang-orang yang tak mudah diberitahu. Tidak seperti Tiongkok, Jepang, Vietnam, Thailand, Taiwan, Singapura, Korea. Apakah bedanya rakyatku dengan rakyat mereka? Hanya Allah yang tahu. Wallahualam bissawab.
BalasHapus