Minggu, 20 September 2020

Uji Usap, Uji Cepat, Kuntara, Lokdon

Syukurlah, belakangan ini koran-koran sudah menemukan padanan rapid test dan swab test. Selama enam bulan kedua istilah tersebut sangat produktif di media massa. Tiada hari tanpa rapid dan swab.

Pagi ini ada berita di koran. Judulnya: Uji Usab Sasar Perkampungan.

Di alinea pertama ada istilah tes swab. Bukan lagi swab test. Tes swab alias uji uap memang sedang gencar dilakukan Pemkot Surabaya untuk mengatasi pagebluk Covid-19.

Istilah rapid test pun sudah dapat padanan uji cepat atau tes cepat. Biasanya saya pakai tes rapid meskipun dalam hati ingin tes cepat. Biar tidak terlalu berbeda dengan omongan pejabat-pejabat yang selalu pakai rapid test dan swab test.

Begitulah. Bahasa Indonesia memang sangat kehilangan menghadapi serbuan istilah-istilah asing. Khususnya di bidang kedokteran, kesehatan, teknologi informasi, politik, hingga hiburan. Maklum, kita tidak punya kata-kata teknis yang canggih untuk menyebut istilah-istilah teknis yang sangat modern.

Karena itu, bisa dimengerti kalau orang Malaysia cenderung menganggap bahasa Melayu tidak bisa dipakai sebagai bahasa akademis atau bahasa ilmiah di kampus-kampus. Orang Malaysia justru lebih mendahulukan bahasa Inggris daripada bahasa Melayu. Padahal bahasa Melayu notabene jadi asal bahasa Indonesia.

Di era digital yang kian terhubung ini rasanya bahasa Indonesia akan makin gamang menghadapi serbuan bahasa asing. Khususnya Inggris. Kita tidak akan bisa menemukan padanan kata dalam waktu cepat.

Istilah rapid test dan swab test saja butuh waktu enam bulan menjadi uji cepat dan uji usap.

Lockdown belum ada padanan yang pas. Ada media yang pakai kuntara (kunci sementara), tapi lebih banyak yang menggunakan lockdown apa adanya. Seperti offside atau handball dalam sepak bola. Untungnya ada istilah PSBB yang maknanya seperti PSBB: pembatasan sosial berkala besar.

Goenawan Mohamad, esais ternama, pakai istilah lokdon. Sama dengan di warkop-warkop di  Surabaya. Download jadi donlot. Upload: aplot.

3 komentar:

  1. Kalau bhs Cina tidak demikian. Cepat sekali mereka menemukan padanan atau terjemahan untuk istilah2 baru. Komputer diterjemahkan “dian nao” atau “otak listrik”. Microwave oven pun menjadi “weibolu”, yang artinya harafiah kata per kata: tungku gelombang kecil. Enaknya bahasa Cina, kata padanan pun ringkas, bahkan lebih pendek drpd bahasa Inggrisnya.

    BalasHapus
  2. Itulah kelebihan bahasa Mandarin, Korea, Jepang, Arab dsb. Sistem fonologi dan aksara mereka memang memaksa kata2 asing tunduk pada tata bunyinya. Mereka juga sudah terbiasa mendapatkan padanan yang sangat cepat. Dan berlaku untuk semua.

    Bahasa Indonesia memang terlalu luwes. Bisa dicampur aduk dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Dalam satu kalimat sangat lazim ada 3 kata Inggris, 4 kata Indonesia, 2 kata Jawa, 3 kata Betawi.

    Di era media sosial, frase atau kata2 bahasa Inggris makin banyak masuk dalam kalimat bahasa Indonesia. Malah itu jadi kebanggaan karena dianggap pintar dan modern.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah kelebihan bahasa Mandarin, Korea, Jepang, Hanacaraka. Mau nulis apapun, orang bule tidak bisa komplain, karena mereka butahuruf.
      Contoh; orang cina terkenal karepe dewe, masakah Donald Trump ditulis 唐纳德 特朗普.
      Anehnya si Donald tetap tersenyum ketawa-ketawi dipanggil 唐纳德特朗普xian sheng.
      Anjing pun tak akan noleh jika dipanggil Tang Na De, lha wong nama aslinya Donald !
      Burung betet pun bisa ngoceh kata Trump jika dilatih 5 kali, tetapi wong cino menyebutnya Te Lang Pu.
      Oh, cungkok-ren, sakkarepmu wae !

      Hapus