Minggu, 27 September 2020

Beta Baca Alkitab Bahasa Kupang


Saya perhatikan, anggota grup Flobamora di Jawa Timur lebih suka berkomunikasi pakai bahasa Kupang. Semacam bahasa Melayu Pasar dengan dialek Kupang. Orang NTT pasti tidak asing lagi.

Bahasa Kupang, karena hakikatnya bahasa Melayu Pasar, mudah dipahami orang NTT dari berbagai kawasan. Malah jadi semacam bahasa persatuan atau lingua franca orang-orang NTT di kawasan selatan dan Pulau Sumba.

Mulai dari Kupang dan seluruh Pulau Timor bagian barat, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Raijua dsb. "Beta orang Sabu na. Beta su lama tinggal di Surabaya," kata mendiang Om Peter.

Ia asli Sabu, remaja di Kupang, merantau di Jawa, lama di Jakarta, keliling berbagai kota di tanah air. Tapi aksen Kupang tidak bisa hilang ketika berbahasa Indonesia baku yang baik dan benar.

Orang Kupang sangat sulit, bahkan tidak bisa melafalkan e pepet. Semuanya é alias e benar. "Beta pu badan betul-betul sakit," kata bapa lain yang asli Soe.

Orang Sumba punya beberapa bahasa daerah. Ketika berkomunikasi dengan orang dari daerah lain, yang berbeda bahasa, mereka biasa berbahasa Melayu Kupang. Seperti John Kii, teman satu kosku dulu. Bung John ini benar-benar sonde bisa bilang ē pepet. Semuanya é benar.

Masyarakat Pulau Alor juga begitu. Meskipun jauh dari Kupang, mereka selalu berbahasa Melayu Kupang ketika bertemu orang yang bahasa daerahnya lain.

Unik karena Pulau Alor ini bertetangga dengan Pulau Lembata. Orang Lembata berbahasa Lamaholot seperti warga Kabupaten Flores Timur. Sebelum reformasi, Lembata juga masuk Kabupaten Flores Timur.

Apakah karena sering berbahasa Kupang, Pulau Alor, Pantar, dan sekitarnya masuk Keuskupan Kupang? Entahlah.

Yang pasti, sejak SD saya heran mengapa Alor yang bertetangga dengan Lembata masuk wilayah Keuskupan Kupang. Bukan Keuskupan Larantuka seperti Pulau Lembata, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Flores bagian timur.

Yang pasti pula, daerah-daerah yang lingua franca atau bahasa persatuannya bahasa Kupang mayoritas Kristen Protestan. Masyarakat di Pulau Flores hingga Lembata yang mayoritas Katolik tidak bisa bahasa Melayu Kupang. Alor yang jadi tetangga Lembata mayoritas Protestan. Sedangkan Lembata tidak ada Protestan, kecuali pendatang dari Kupang, Sumba, Alor dan wilayah selatan NTT.

Saya yang dari wilayah utara so pasti tidak lancar bahasa Kupang. Tapi sering pura-pura bahasa Kupang saat berkomunikasi dengan orang Kupang, Sabu, Rote, atau Sumba di Surabaya. Guru bahasa Kupang terbaik adalah Peter A. Rohi (RIP) dan Daniel Rohi, dosen UK Petra yang sekarang jadi anggota DPRD Jawa Timur.

Daniel Rohi ini sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya. Sejak jadi mahasiswa UK Petra, kemudian jadi dosen di kampus terkenal itu. Daniel juga jarang kumpul-kumpul dengan orang NTT. Kecuali saat Natal bersama atau pertemuan keluarga besar Flobamora. Tapi logat Kupangnya tidak hilang. Itu sudah jadi identitasnya.

Akhir-akhir ini beta mulai belajar lagi bahasa Kupang dengan membaca Alkitab Bahasa Kupang. Kata-katanya sederhana dan sangat khas di NTT.

Minggu pagi ini, 27 September 2020, beta baca Injil Lukas 12: 4-7. Begini bunyinya:


"Bosong pikir coba, burung pipit pung harga barapa? Paling mura, to! Lima ekor dua sen, aa? Biar bagitu, ma Tuhan Allah sonde lupa buang satu ekor ju.

Bagitu ju Tuhan taro hati sang bosong. Dia tau parsis barapa banya rambu di bosong pung kapala. Jadi bosong sonde usa taku, te Tuhan nilei bosong lebe dari burung pipit bambanya dong."

4 komentar:

  1. Orang-NTT hanya ada di Kepulauan Sunda Besar, Bali dan NTB. Sedangkan di NTT sendiri, yang ada orang-Kupang, orang-Lembata, -Sabu, -Rote, -Sumba, -Ngada, -Bajawa, dll.
    Orang-Cina atau Zhongguo-ren hanya ada di luar Tiongkok, sedangkan di negerinya sendiri, yang ada orang-Hunan, orang-Khek, orang-Kanton, orang-Hui, orang-Hokkian, dll. Orang-Hokkian pun masih dibeda-bedakan: Min-bei, Min-dong, Min-xi, Min-nan, sesuai dengan penjuru-angin.
    Jadi betapa pentingnya semboyan: Bhinneka Tunggal Ika. Kebangsaan !
    Yang ada Warga Negara Indonesia, Warga Negara Tiongkok, dll.

    Minggu lalu saya menginap beberapa hari di Hotel; disana ada seorang tamu orang-Jerman. Dia kalau ketemu saya, selalu tersenyum dan menyapa dengan hormat. Saya pun agak heran, kenapa bapak itu ingin berkenalan dengan ku. Hari ke-empat dia sengaja menghampiri saya, dan berkata :
    Bolehkah saya bertanya kepada Anda ? Silahkan, kata saya !
    Apakah Anda orang Jepang ? Bukan, saya orang Indonesia ! Jawab-ku spontan, tanpa berpikir panjang.
    Saya balik bertanya: Mengapa Anda bertanya demikian, bahkan se-olah2 Anda kecewa, waktu saya berkata, Saya Orang Indonesia !
    Kata dia: Saya seorang pengusaha Export-Import dengan negara Jepang sejak puluhan tahun, dan sangat sering bepergian ke Jepang. Saya menduga, Anda adalah orang Jepang.

    Saya Orang Indonesia, kata itu, bagi ku, hanya berlaku di luar negeri.
    Seandainya aku mengaku orang Indonesia di Jakarta di hadapan si Muslim, sopir pribadi adik-ku, pastilah dia akan tersenyum halus, dan berkata dengan sopan: Jika Bapak orang Indonesia, maka bolehlah sekiranya saya mengaku sebagai Zhou Enlai.

    Maksud saya menulis ini, karena saya agak bingung dengan pernyataan Ahok. Ahok : Saya bukan orang-cina, yang orang-cina itu kakek-saya !
    Hok, ingat pelajaran ilmu hayat, tentang hukum Mendel. Onta-Arab yang dilepas oleh orang-inggris di benua Australia, setelah 3 generasi beranak-pianak, tetap saja tampang onta, tidak bisa berubah menjadi Kanguru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia. Pengalaman yang sangat menarik. Bhinneka Tunggal Ika... berbeda tapi satu Indonesia.

      Salut banget sama Xiansheng yang bangga sebagai orang Indonesia di luar negeri. Kudu dicontoh anak2 muda biar tidak minder sama manusia2 bule.

      Hapus
  2. Maksud Ahok mungkin kewarganegaraan. Kakeknya saat itu warga negara RRT yang tinggal di Pulau Belitong alias Belitung alias Biliton. Sedangkan Ahok punya bapa sudah tercatat sebagai WNI. Otomatis Ahok warga negara Indonesia titik. Tanpa embel2 WNI keturunan Tionghoa, keturunan Arab, keturunan Belanda, dsb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beda pandang orang2 Jerman.
      Leben und leben lassen.
      Wir leben alle unter dem gleichen Himmel, aber wir haben nicht alle den gleichen Horizont.
      Biarkanlah aku hidup dengan cara ku, dan kalian dengan cara kalian masing-masing. Walaupun kita semua hidup dibawah langit yang sama, namun kita punya cakrawala masing2 yang berbeda.

      Kedengaran sangat bijaksana, sangat toleran. Ergo : Tidak ada kepercayaan atau ideologi yang rahmatan lil alamin. Tidak bisa semua manusia harus punya kiblat yang sama.

      Ocehan orang-orang Jerman diatas dibantah oleh orang-orang Jerman lain nya.
      Tidak bisa begitu, itu tidak adil, itu egois nama-nya, Tidak Aci ! Lu punya kekayaan 15 milliard US$, hidup foya-foya, sedangkan gua dan anak2-gua sudah 2 hari tidak makan. Gua berhak mengambil beras- dan ayam-lu, untuk menyambung hidup gua dan anak2-gua ! Sama rata sama rasa !

      Jerman lain juga teriak: Tidak Aci ! Tidak Berperikemanusiaan ! Hallelujah, Hallelujah ! Ajaran-ku rahmatan lil alamin, sebab yang percaya kepada ku, akan masuk Surga, sedangkan yang belum percaya atau tidak mau percaya akan dipanggang di api neraka.
      Jadi sebagai orang baik yang beragama dan beriman, aku harus menolong dan menyelamatkan orang2 kafir dari api neraka.

      Embohlah, gua hidup dan kumpul sama Jerman2 ini sudah 53 tahun lamanya, bahkan dua anak menantu gua, orang bule Jerman. Ergo cucu2-gua juga blasteran. Yah, kalian orang Jerman paling pinter kalau disuruh ber-theori, cuap-cuap. Paling suka nyinyir, keminter ngajari wong liane. Hanya bikin orang lain jadi bingung. Sudahlah, gua tui teng shua sajalah ! Kumpul karo wong cino, podo-podo karepe dewe. Ora ono sing jenenge lil alamin.

      Hapus