Ama Kepala Keluli mataya kae. Akeng lupa sembahyang nong tutung lilin.
(Bapa Kepala Keluli sudah tidak ada. Jangan lupa sembahyang dan bakar lilin.)
Begitu pesan pendek yang beredar di media sosial dan ponsel orang-orang Lembata, khususnya dari Desa Mawa dan Bungamuda di Kecamatan Ile Ape, belum lama ini. Ada foto Ama Kepala Keluli semasa hidup. Tampak masih kokoh di usia yang lanjut.
Saya pun tertegun sejenak dan berdoa. Semoga Ama Kepala Keluli beristirahat dengan tenang bersama Bapa di surga.
Requiem aeternam!
Resquescat in pace!
Carolus Keluli Nimanuho nama lengkap almarhum yang rumahnya paling dekat dengan pantai di Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT, itu. Ama Keluli pernah jadi kepala desa. Karena itu, ia selalu disapa Ama Kepala Keluli meskipun sudah puluhan tahun tidak menjabat.
Memang ada kebiasaan di Lembata dan Flores Timur atau etnis Lamaholot untuk menghargai pemimpin desa atau kampungnya. Tetap dipanggil ama kepala (desa) meskipun sudah mantan. Maka, ama-ama kepala ini banyak sekali.
Saya paling ingat Ama Kepala Keluli Nimanuho dan Ama Kepala Philipus Hurek. Sebab keduanya menjabat saat saya berada di Lewotanah atau kampung halaman. Kepala-kepala desa lain juga pasti kenal, ada ikatan darah, tapi saya tidak sempat jadi rakyatnya.
Saya sempat bertemu dan ngobrol sejenak bersama Ama Kepala Keluli di Desa Mawa pada Juli 2019. Masih dalam suasana dukacita terkait kematian Ama Nikolaus Nuho Hurek, ayah kandung saya. Urusan adat istiadat khas kampung.
Saat itu kami, keluarga besar suku Hurek Making melakukan prosesi adat menghadap suku Nimanuho terkait kematian ayahku. Sebab, Bapa Niko dilahirkan oleh Nenek Ebong yang sukunya Nimanuho. Hanya pimpinan atau sesepuh suku Nimanuho pula yang berhak menutup peti jenazah ayah saya. Aturan adat itu juga berlaku di semua keluarga Lamaholot di mana saja.
Bapak C.K. Nimanuho alias Ama Kepala Keluli ini memimpin Desa Mawa yang masih sangat sederhana pada 1980-an. Belum ada listrik. Tidak ada telepon. Tak ada televisi dan sebagainya.
Namun, visi kemanusiaan, gotong royong, toleransi, harmoni ata kiwan dan ata watan (Katolik dan Islam) sangat luar biasa. Tidak ada "kami" dan "mereka" tapi kita. Tite hena: kita semua sama!
Visi itu yang diterapkan Ama Kepala Keluli saat memimpin pembangunan masjid di kampung. Padahal Bapa C.K. Nimanuho ini seorang Katolik tulen. Mayoritas penduduk juga Katolik. Orang Islam tidak begitu banyak.
"Tite hama-hama gotong royong tula mesikit," kata Ama Kepala Keluli Nimanuho.
Artinya, ayo kita semua bergotong royong membangun masjid di kampung kita agar cepat rampung.
Maka, semua warga bergerak. Anak-anak SD macam saya ramai-ramai mengambil pasir, batu, dan material bangunan lainnya. Kerja gotong royong ini dilakukan dengan senang dan ikhlas.
Hasilnya, Masjid Nurul Jannah tampak indah dan gagah.
Ama Mohammad Ansar Paokuma alias Ama Imam yang jadi imam atau pimpinan masjid di dekat pantai itu. Ama Imam ini juga sering pimpin acara "baca doa" atau pengajian di rumah-rumah orang Katolik. Paling sering di rumah saya.
Nah, setelah Masjid Nurul Jannah itu berdiri, kampung kami sering jadi tuan rumah perayaan Idulfitri dan Iduladha se-Kecamatan Ile Ape. Umat Islam sekecamatan datang untuk salat Id berjamaah di masjid hingga ke halaman (namang). Festival musik kasidah pun pernah diadakan di Desa Mawa Napasabok.
Kalau dibandingkan masjid-masjid di kota, apalagi Jawa, sebetulnya masjid di Mawa itu kalah jauh. Lebih cocok disebut langgar atau musala. Bangunannya pun sederhana saja. Tidak seindah masjid-masjid di Jawa.
Namun, proses pembangunan yang langsung dipimpin Ama Kepala Keluli, orang Katolik, bersama warga desa yang mayoritas Katolik (93%), itu sangat berkesan bagi saya. Apalagi ketika kita mendengar banyak orang di tempat-tempat lain menolak pembangunan rumah ibadah agama lain yang mayoritas.
Setiap kali membaca atau mendengar kasus SARA terkait penolakan pembangunan gereja, wihara, pura dsb, saya langsung teringat Masjid Nurul Jannah di kampung halaman saya. Juga ingat Ama Kepala Keluli.
Sekarang Ama Kepala Keluli sudah tak ada lagi di dunia ini. Sudah pergi menemani Bapa Niko, sahabat ngobrol dan minum kopi di kampung, menghadap Sang Pencipta. Selesai sudah tugasnya di alam fana ini.
Ama Kepala Keluli hanya mau kopi kental di gelas besar, bukan gelas kecil. Ngobrolnya ngalor-ngidul dari soal remeh-temeh hingga masalah besar yang serius.
Dua orang penting di kampungku itu sudah tak ada lagi. Saat aku mudik tak ada lagi obrolan yang diwarnai gelak gawa Bapa Niko Hurek dan Ama Kepala Keluli Nimanuho.
Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Selamat jalan Ama Kepala Keluli!
Jasa-jasa moen kame lupang hala!
(Jasa-jasamu tak akan kami lupakan!)