Selasa, 09 Desember 2025

Mengenang SMPK San Pankrasio Larantuka yang Pernah Jadi Sekolah Favorit di NTT

Goe sudah lama mencari informasi seputar SMP Katolik San Pankrasio di Larantuka. Sekolah ini dempet kompleks Keuskupan Larantuka. Tepatnya di San Dominggo. Nama-namanya memang berbau Portugis.

Goe tidak dapat informasi apa pun. Rupanya tidak ada alumni San Pankrasio yang menulis di blog atau media sosial. Kalaupun ada sepotong info ternyata merujuk ke naskah di Goe punya blog lama yang dikutip atau dimuat ulang orang lain.

Goe alumnus SMPK San Pankratio ini. Dulu jadi jujukan anak-anak dari seluruh Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Sayang sekolah milik Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur (Yapersektim) itu ditutup tahun 1990-an. Alasannya salah kelola atawa mismanajemen.

Romo Frans Amanue memang keras dan disiplin. Kalau pengurus dianggap tidak beres, apalagi korupsi, ya selesai. SMPK San Pankrasio yang didirikan misi SVD tahun 1955 pun selesai. 

San Pankrasio sekolah favorit pada masanya. Ada asrama putra yang disebut Aspan = Asrama Pankrasio. Ibu asrama saat itu, Ibu Maria Riberu, kerasnya minta ampun. Disiplin macam pater-pater Belanda di Istana Keuskupan.

Saban Subuh lonceng dibunyikan. Wajib bangun. Mandi atau cuci muka. Lalu misa pagi. Ada imam dari "atas" (keuskupan) yang pimpin misa. Sembahyang Angelus atau Malaikat 3 kali sehari. Ada Vesper dan Completorium.

Kalau mau tidur ada nyanyian bersama Salam Ya Ratu atau bahasa Latinnya Salve Regina.. Mater Misericordia dan seterusnya.

Saking tingginya minat masuk Pankrasio, sekolah ini bahkan buka kelas siang atau sore. Goe tidak diterima di kelas utama (pagi). Maka, apa boleh buat, ikut Pankrasio Sore. Disebut juga SMPK Santo Antonius. Nama sekolahnya beda tapi ijazahnya dikeluarkan dan ditandatangani Kepala SMPK San Pankrasio Hendrikus Wungubelen.

Setelah hijrah ke Jawa Timur, Goe tidak lagi mengikuti perkembangan San Pankratio. Santo Antonius sudah lama mati. Goe pun baru tahu San Pankratio dimatikan oleh imam asal Adonara, Romo Frans Amanue, di media sosial.

Pekan lalu tiba-tiba muncul gambar old school gedung eks SMPK San Pankrasio di media sosial Flores Timur. Goe pangling karena sudah beda jauh dengan masa lalu ketika Goe masih remaja usia SMP.

"Sempat beralih fungsi sebagai penginapan keuskupan lalu pasca erupsi Lewotobi gedung bersejarah ini digunakan Seminari San Dominggo Hokeng sebagai sekolah sementara," tulis Bung Hokon alumnus Pankrasio.

Goe sedih banget mengenang masa lalu di Kota Reinha, Nagi Larantuka. Sekolah bersejarah, SMP swasta pertama itu cuma tinggal kenangan. 

Goe hanya bisa ingat Ibu Maria Riberu (+) ibu asrama, Bapak Jan Keban (+), hingga Uskup Larantuka Mgr Darius Nggawa SVD (+) saat itu yang sangat sering pimpin misa harian di Kapel Pankrasio. Saban pekan anak-anak asrama wajib ngepel lantai di kapel ini hingga mengilat.

Selain Pak Hendrikus Wungubelen kepala sekolah pagi dan Martinus Lamuri, kepala sekolah sore, Goe juga ingat Pak Paul Riberu guru English, Suban Liwu guru biologi, Aloysius Aldo bahasa Indonesia, Pedo Beke agama dan kesenian, Yosef Kewisa fisika, Pak Betan ngajar PMP...

Guru-guru lain sudah lupa. 

Semoga para bapa ibu guru, bapa asrama, ibu asrama dan pengurus yayasan bahagia di surga.

Selasa, 02 Desember 2025

Mencoba Bus Trans Jatim ke Batu setelah 15 Tahun

Sudah lama Goe tidak mampir di Batu. Mungkin 10 atau 15 tahun. Padahal Goe cukup sering datang ke Malang. Apalagi setelah jalan raya tol penuh boleh dikata saban pekan Goe mampir ke Ngalam. Apalagi ketika Surabaya sedang cuaca panas tinggi.

Awal Desember 2025. Ada bus Trans Jatim buka rute dari Malang Kota alias Malkot ke Batu. Goe lagi baca-baca berita yang kurang menarik di ponsel. Dekat Stasiun Kota Baru.

Bus TJ berhenti. Goe pun bergerak naik ke TJ. Sudah penuh. Harus berdiri dari Malkot ke Batu. Gak masalah. Toh bus baru masih kinclong. Pramugarinya ramah. Lumayan ayu. Nilainya 7,8.

Goe akhirnya sampai di Batu. Ngopi sebentar dekat terminal yang bagus banget. Lalu naik ojek ke alun-alun. Dekat saja. Banyak perubahan di Kota Batu. Makin bagus setelah jadi kota sendiri. Terpisah dari induknya Kabupaten Malang.

Goe menikmati suasana Batu yang adem. Lebih dingin ketimbang Malang. Napak tilas jalan kaki mampir sejenak di beberapa biara dan Gereja Katolik

Sejak dulu Batu memang dikenal sebagai kota rekoleksi atau retret. Kalau tidak retret biasanya jarang sekali orang Katolik di Dioses Malang yang mampir ke Batu. Kecuali urusan dagang atau rombongan wisata biasa.

Goe sempat misa senja di Batu.

Mea culpa!

Senin, 10 November 2025

Cucu Lebih Tua ketimbang Anak - Adik Sepupu Rasa Ponakan

Ayas biasa lewat Jalan Karet. Dulu namanya Petjinan Kulon. Masa Hindia Belanda disebut Chineeschevoorstraat. Semacam pelataran kawasan pecinan tempo doeloe.

Ada 3 rumah sembahyang (kadang disebut rumah abu) di Jalan Karet. Rumah sembahyang Keluarga Han, The, dan Tjoa. Ketiganya pemimpin Tionghoa pada zaman Belanda. Paling berpengaruh dan mungkin paling kaya saat itu.

Nah, di dekat rumah sembahyang Keluarga Tjoa ada warung sederhana khas Madura. Menempati pelataran halaman gedung tua yang mangkrak. Ayas biasa mampir ngopi atau makan di situ. Sambalnya pedes banget.

Lama-lama Ayas jadi akrab dengan Bu Faris pemilik warung itu. Disapa Bu Faris karena anaknya bernama Faris. Bukan istri Pak Faris. 

Itu kebiasaan orang Madura. Kalau pakai nama suami, bagaimana kalau cerai? Ganti panggilan lagi. Kalau pakai nama anak pasti abadi. Begitu kira-kira alam fikiran saudara-saudara kita dari Pulau Garam.

Bu Faris cerita tentang kebiasaan kawin muda di desanya dan Madura umumnya. Umur 12 tahun sudah menikah. Punya anak juga di usia segitu. Orang kampung tidak mikir lanjut sekolah ke SMP dan seterusnya. 

Calon suami pun sudah ada. Gak ada yang namanya pacaran, kata Bu Faris yang selalu menolak menyebut nama aslinya. Setelah punya anak, maka perempuan Madura kehilangan nama aslinya.

Karena menikah di usia sangat muda, di bawah 18 tahun, Bu Faris sudah lama punya cucu. Kalau jalan bareng ke pasar atau mal bisa dikira adik atau keponakannya. Sebab jarak usia tidak terlalu jauh.

Sekian tahun kemudian Bu Faris punya anak lagi. Usianya lebih muda ketimbang cucunya. Pekan lalu Ayas kebetulan bertemu si cucu itu yang sedang main bersama Faris di warung itu. 

Siapa pun pasti menduga bahwa Faris itu adiknya anak itu. Padahal sejatinya Faris itu paman alias om. Sangat menarik. Ayas senyum sendiri melihat pemandangan yang unik ini. Cucu kok lebih tua ketimbang anak?

Ayas bertanya secara halus diplomatis agar tidak tersinggung. Bu Faris bilang kasus Faris yang lebih muda ketimbang keponakannya itu sudah biasa di desanya di Bangkalan sana.

Di daerah NTT kasus seperti ini sangat jarang bahkan hampir tidak ada. Yang banyak itu adik atau kakak sepupu tapi rasa keponakan karena perbedaan usia yang sangat jauh. 

Ayas punya adik sepupu, Carmen, saat ini sekolah di SMAK Dempo Malang. Beda usia terlalu jauh. Tapi menurut adat Lamaholot yang menekankan garis generasi, Carmen tidak boleh memanggil Ayas dengan Om tapi harus Kaka.

Carmen itu adik sepupu rasa keponakan. Kakak sepupunya sudah ubanan, dia masih pelajar SMP atau SMA! That's life.

Jumat, 07 November 2025

B2W selama 5 bulan haleluyaaaaa



Lima bulan sudah Ayas mengamalkan B2W. Bike to work. Bersepeda (ontel) ke tempat kerja. Pergi pulang sekitar 28-30 km. 

Tentu saja bukan gowes ngebut ala pembalap atawa komunitas cycling yang serius. Tapi juga bukan fun bike atawa sepeda santai. Sedang-sedang saja lah.

Ayas mulai B2W sejak Juni 2025. Awalnya cuma iseng. Niru Benjamin dan Sanaa, pasangan penggowes asal Swedia, yang keliling dunia untuk gerakan pembebasan Sahara Barat

Ayas wawancara khusus sambil makan malam di Hotel Kokoon, Jalan Slompretan, Surabaya, dekat kelenteng tua. Ayas heran dan kagum dua orang bule itu bisa asyik-asyik aja gowes di begitu banyak negara.

"Kamu juga bisa kalau mau. Mulai dari dalam kota dulu. Lama-lama biasa dan tidak terasa berat," kata Ben dan Sanaa.

Ayas pernah ikut komunitas sepeda tua. Iseng saja. Tidak serius. Sesekali gowes santai untuk meramaikan CFD di Alun-Alun Sidoarjo. Tidak pernah terpikir B2W saban hari.

Mengapa tidak dicoba? Awalnya memang berat. Apalagi Juni, Juli, Agustus.. Surabaya lagi panas-panasnya. Tapi karena sudah niat kendala itu bisa diatasi. Lama-lama terbiasa seperti kata-kata motivasi dua aktivis HAM dari Eropa itu.

Hari berganti, bulan bersilih. Lima bulan tidak terasa. Ajaibnya, ban tidak pernah bocor sama sekali. Cuma nambah angin sesekali. Pedal dan rantai yang beberapa kali dikencangkan. 

Syukur kepada Tuhan! Alleluia!

Rabu, 05 November 2025

Ama Dewa Lera Wulan Kowa Lolon


AMA DEWA LERA WULAN KOWA LOLON
KAME IKIT SOGANG NARAN MOEN
LODO DAI IA TANA EKAN PEHENG PERETA
HELO MO PEHENG PERETA TETI KOWA LOLON

NIKU TULUNG PAO BOE KAME LERON GETAN
AKE MANG PETEN HUKUT NALAN KAMEN
HELO KAME DI AMET MARING KAKA ARI KAMEN

AKE MANG HUKO BEKEL PUKEN NALAN KAMEN
TEDUN KAME LOLON HENA RAE MAI
TI AKE MA PANA LARAN NALAN  LALI MAI
AMEN 

Sabtu, 11 Oktober 2025

Mbak Nur Gendut Tukang Masak di Jolotundo Pulang ke Rumah Allah

 


Nama Nur rupanya sangat populer di kawasan wisata Jolotundo, Trawas. Tepatnya di Desa Seloliman. Ada 5 wanita bernama Nur yang buka warung djaman doeloe sebelum kalah bersaing dengan warung-warung baru gaya modern.

Nur Khasanah alias Mbak Gembuk. Nur Beringin yang warungnya dekat pohon beringin. Nur Gendut karena gemuk banget. Dua Nur lagi di dekat PPLH lupa.

Ayas sangat lama tidak naik ke Jolotundo. Ada kesibukan dan rute healing baru. Misalnya Bangkalan, Madura, atau belakangan Malang Raya.

Betapa kaget mendengar kabar bahwa Nur Gendut sudah tiada. Pulang ke pangkuan Sang Pencipta. Selamat jalan, Mbak Nur!

Nur Gendut ini yang paling dekat rombongan komunitas seniman asal Sidoarjo. Jadi pembantu, tukang masak Mbah Gatot Hartoyo, budayawan, sejarawan lokal, yang punya padepokan di Biting dekat Jolotundo. Padepokan ala rumah panggung ini jadi markas diskusi atau sarasehan budaya.

Mbak Nur Gendut yang setia menyiapkan kopi, teh, makanan untuk para tamu. Malam tahun baru biasanya ada syukuran tumpengan di padepokan Mbah Gatot. Mbak Nur sangat sibuk di dapur.

Nur sejak kecil sudah gendut. Berkebutuhan khusus. Jalan harus pakai tongkat. Tapi kelebihannya di masak. Lebih enak ketimbang Nur Khasanah yang warungnya di atas dekat Sumur Jolotundo

Karena itu, kepergian Mbak Nur Gendut membuat Ayas dan kawan-kawan dari Sidoarjo sangat kehilangan. Sebelumnya Mbak Saning juga pulang ke hadirat Allah. Mereka sudah ibarat keluarga sendiri saking seringnya bertemu. 

Ayas mampir di padepokan Mbah Gatot belum lama ini. Ternyata Nur Gendut sudah lama punya masalah kanker payudara. Sempat rawat inap di rumah sakit tapi kondisinya malah makin parah. Akhirnya selesai.

Nur Gendut meninggalkan seorang putri, Sila, kelas 8 SMPN di kawasan Trawas. Beda dengan mamanya yang gendut, Sila sangat kurus karena makan sedikit. 

Sabtu, 04 Oktober 2025

Lagu Lawas Malang Kota Subur Pernah Sangat Terkenal di Malang

 



Oleh Dukut Imam Widodo


Antara tahun 1950 hingga 1960-an ada beberapa kelompok paduan suara yang terkenal di Malang

Paduan Suara SGAK Celaket 21, SDK Kodya Malang, RRI Malang, Kesenian Malang.. dan mungkin masih banyak lagi.

Dengan iringan piano dan arahan dirigen, maka bernyanyilah para anggota paduan suara itu dengan penuh semangat membawakan lagu-lagu mars seperti Maju Tak Gentar, Halo-Halo Bandung, atau Hari Merdeka.

Adalah R. Dirman Sasmokoadi. Sekitar tahun 1960-an beliau pernah mengajar di SPG Jalan Bromo. Beliau bukan komponis terkenal seperti Ibu Sud, Ismail Marzuki, atau Cornel Simanjuntak. Namun beliau pernah menciptakan sebuah lagu indah judulnya Malang Kota Subur.

Saya tidak mengenal beliau secara pribadi. Namun, melalui karyanya yang berjudul Malang Kota Subur itu saya menaruh hormat pada beliau. 

Sekarang ini tidak semua murid SD di Malang hafal dengan lagu ini. Jangankan muridnya hafal, lha wong gurunya saja tidak tahu lagu ini kok!

Nah, jika Anda membaca tulisan ini, dan kebetulan Anda seorang guru, atau ketua sebuah paduan suara di sekolahan.. pliz deh, nyanyikan lagi lagu ini:


MALANG KOTA SUBUR

Oleh R. Dirman Sasmokoadi


Betapa indah gemilang Kota Malang

Kota di datar tinggi,

Sejuk menarik hati

Yang Brantas melintas berliku

Yang tepi dilindung gunung

Penuh pemandangan sehat 

Malang kota berkat


Ya, Malang kota harapan setiap insan

Lihat gedung sekolahnya

Lihat industrinya 

Sekitarnya penuh tamasya 

B'ri sehat jiwa dan raga

Marilah kawab bersyukur

Malang kota subur 

Rabu, 01 Oktober 2025

Ayas dicurigai dan diinterogasi satpam di kantor Radar Madura

Ketimbang bengong di Surabaya atau Sidoarjo, Ayas gowes ke Bangkalan Madura. Lewat penyeberangan Ujung Kamal. Jalur Jembatan Suramadu lebih enak dan gratis tapi dilarang undang-undang. Kecuali nekat dan tidak ketahuan.

Gowes dari Kamal ke Bangkalan Kota tidak berat. Cuma 18 atau 20 km. Ada tanjakan ringan berganti turunan. Paling asyik gowes di Madura ketimbang Surabaya yang flat total. Satu-satunya tantangan cuma tanjakan agak berat di bong atawa Makam Tionghoa, Socah.

Tak jauh dari pertigaan arah ke Makam Mbah Cholil ada kantor Radar Madura. Surat kabar milik Jawa Pos Group. Kantor bagus, halaman cukup luas.

Ayas mampir, selamat pagi untuk mas penjaga atawa satpam yang duduk di depan kantor. "Bisa ketemu wartawan atau redaktur Radar Madura?" Ayas bertanya.

"Anda siapa? Anda dari mana?"

 Nadanya kurang bersahabat. Ayas mungkin dicurigai sebagai peminta sumbangan, orang gak jelas, atau semacam wartawan abal-abal. Sebab, Ayas gowes atawa ngontel dari Surabaya. Bukan naik mobil atawa menunggang sepeda motor layaknya wartawan konvensional.

"Mana kartu pers Anda? Saya mau lihat!"

 Masih dalam nada gak enak. Ayas sebetulnya sudah malas dan hendak minta diri. Tapi Ayas ladeni permintaannya. Ayas keluarkan kartu tanda pengenal.

 Mas Penjaga itu kayaknya masih kurang puas. Dia ngetes lagi. Persis interogasi. Siapa nama direktur Radar Surabaya? Siapa nama direktur Jawa Pos? Anda di bagian apa?

"Apakah Radar Madura libur hari Sabtu?" Ayas bertanya meski sudah paham Radar Madura pasti tetap terbit hari Minggu karena satu paket atau kopel dengan Jawa Pos.

"Anda ini ngakunya wartawan Jawa Pos Group. Masak nggak tahu kalau wartawan itu tidak ada liburnya?" masih ketus Mas Penjaga itu.

Ayas pun menyerah. Putus harapan untuk sekadar mampir basa-basi sedikit dengan kawan-kawan redaksi Radar Madura. Harus diakui Radar Madura punya kinerja edisi online yang sangat bagus. Ayas ingin cari resepnya alias studi banding kecil-kecilan.

Sayang, sambutan yang tidak ramah dari Mas Penjaga membuat runyam semuanya. Ayas mohon maaf sekaligus minta diri. Lanjut gowes ke Bangkalan Kota.

Ayas ketawa sendiri sepanjang jalan. Sudah sekian tahun tidak pernah ada narasumber atau siapa pun yang minta kartu pers. Apalagi menginterogasi kayak penyidik kepolisian atawa kejaksaan. Asem!

Tak terasa sudah 4 bulan gowes B2W



 Akhir bulan September 2025. Ketua RT bagi surat edaran lewat kertas dan wasap. Wajib pasang bendera setengah tiang. Lalu bendera penuh pada 1 Oktober.

Tidak ada perintah nonton bersama film Pengkhianatan G30S PKI seperti masa Orde Baru dulu. Tapi belakangan romantisme Orba muncul kuat di masyarakat. Pak Harto presiden terbaik, begitu pendapat yang banyak muncul di media sosial.

Lupakan dulu soal berat kontroversial tentang G30S, Pancasila Sakti, Orde Baru, Soeharto, Prabowo, makan bergizi gratis yang belakangan dikupas di mana-mana.

Ayas bahas gowes saja. Tak terasa sudah 4 bulan penuh Ayas gowes rutin ke tempat kerja. Bike to Work alias B2W. Empat bulan nyaris penuh karena cuma dua atau tiga hari terpaksa tidak bersepeda karena hujan musim kemarau.

Empat bulan membuat otot-otot kaki jadi terbiasa. Pernapasan pun biasa saja. Jarak 10 km rasanya ringan saja. Kecepatan sedang. Tidak secepat gaya balapan off road tapi juga tidak santai macam ibu-ibu gowes ke pasar. Sesekali gowes dengan kecepatan tinggi di MERR arah Kenjeran kalau sepi.

Selama 4 bulan ini Ayas sudah 2 kali mencapai kawasan pegunungan Jolotundo Trawas. Finis di gazebo dekat PPLH yang jadi markas komunitas gowes Surabaya Raya.

Tanjakan ekstrem di seputar Jolotundo membuat Ayas harus sering turun. Nuntun sepeda sampai medan agak datar meski pendek. Lalu nuntun lagi dst. Toh sampai juga di garis finis.

Ayas juga jadi sering ke Bangkalan Madura. Lewat kapal penyeberangan Ujung - Kamal. Gowes dari Kamal ke Bangkalan Kota cuma 18 atau 20 km. Tempat mangkal di Kelenteng Eng An Bio. Ngobrol panjang lebar dengan Tan Siansen biokong yang wawasannya sangat luas - sering menang isi TTS harian Kompas yang sulit.

Dari kelenteng tua di Jalan PB Sudirman, Ayas meluncur ke Martajasah. Makam Mbah Cholil pusat wisata religi utama di Pulau Madura. Ramai banget. 

Lalu geser ke hutan bakau wisata mangrove. Cukup menarik pemandangan alam di pesisir Bangkalan itu. Sayang, komunitas nyamuk terlalu banyak. Minyak serai, minyak kayu putih, obat nyamuk oles tidak mempan.

Anehnya, warga setempat kelihatan asyik-asyik saja dan bahagia. Kayak sudah kebal dengan nyamuk. Rupanya nyamuk Van Madoera cuma doyan mengisap darah pendatang baru.

"Kapan ke Madura lagi? Lama sampean tidak ke sini," tanya Tan Siansen lewat WA.

"Owe lagi di Malang. Lihat pawai budaya kirab tepekong dalam rangka 200 tahun TITD Eng An Kiong."

Nama kelenteng di Malang dan Bangkalan sangat mirip. Eng An Kiong Malang dan Eng An Bio Bangkalan. Sama-sama tua. Tapi acara sembahyangan tidak meriah. Tidak ada kirab budaya besar-besaran seperti di Malang.

Tuan Tan ini senang sekali kalau dibawakan koran Kompas edisi Minggu yang ada TTS itu. Hadiahnya memang besar. Tan sudah 5 atau 7 kali menang. "Sudah lama Kompas tidak beredar di Madura," katanya.

Sabtu, 27 September 2025

Basah keringat, gagal misa, menatap patung Binatang Jalang

Ramai sekali kirab budaya dalam rangka 200 tahun Kelenteng An Kiong di Malang, Sabtu sore 27 September 2025. Rutenya sangat panjang. Melewati jalan-jalan utama Kota Malang.

Dimulai dari kelenteng di Kotalama, lewat Gatot Subroto, Embong Brantas, Trunojoyo, Stasiun Kotabaru, Kartanegara, Balai Kota, samping Gereja Kayutangan dan seterusnya. Berakhir di kelenteng lagi.

Ayas terkesan dengan pawai tepekong dari puluhan kelenteng di Jawa. Ada juga tamu-tamu dari Kedah, Penang, Malaysia, Singapura dsb.

Tak hanya atraksi liang liong dan barongsai, ada juga tarian reog ponorogo, topeng malangan, tarian bali dan sebagainya.

Luar biasa sambutan warga Malang. Seakan larut dalam kebahagiaan bersama warga Tionghoa yang merayakan dua abad kelenteng legendaris di Kotalama itu.

Ayas lelah jalan kaki. Keringetan meski hawa di Malang tidak sepanas Surabaya. Kaos agak basah. Bau keringat pasti gak enak.

Masalahnya, Ayas niat misa di Kayutangan sore ini. Gantinya misa hari Minggu. Ayas seperti biasa nyangkruk di Taman Chairil Anwar persis di depan Gereja HKY Kayutangan. Kebiasaan lama sejak zaman sekolah dulu.

Mau ke gereja tapi bau keringat. Belum mandi. Tidak pantas ikut misa yang dihadiri ribuan jemaat. Beda dengan misa harian yang umatnya sedikit. Kita bisa menjauh agar orang lain tidak risi.

Apa boleh buat. Ayas tidak jadi pigi sembahyang misa meski pagar gereja antik itu cuma terpisah sekitar lima meter saja dari patung Chairil Anwar.

"aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
........
aku ingin hidup seribu tahun lagi"

Ayas kembali membaca sajak Aku yang diukir di bawah patung Chairil Anwar. 

Mea culpa
Mea maxima culpa

200 Tahun Kelenteng Eng An Kiong Malang, Kirab Tepekong

 


Sabtu pagi ini, 27 September 2025, ramai banget di Kotalama Malang. Rupanya ada perayaan 200 tahun Kelenteng Eng An Kiong

Luar biasa! Sudah dua abad usia kelenteng di kawasan Pecinan Malang itu.

Ada acara kirab arca atawa tepekong dari 52 kelenteng di Jawa. Panitia membatasi karena kapasitas yang terbatas. Dari Surabaya ada Kelenteng Mbah Ratu ikut serta. Ada juga kelenteng dari Semarang, Lasem, hingga Jawa Barat kirim arca untuk pawai keliling kota.

Kevin panitia bilang ada perwakilan 7 negara partisipasi dalam perayaan dua abad Eng An Kiong sekaligus 14th World Tua Pek Kong Festival. Rombongan dari luar negeri sekitar 1.500 orang. Undangan dari dalam negeri 2.500 orang.

Setiap kelenteng bawa arca tuan rumahnya masing-masing lalu dibawa kirab bersama, kata Kevin.

Perayaan dua abad Kelenteng Eng An Kiong di Malang ini penting dan bersejarah. Paling tidak jadi rujukan bahwa sudah 200 tahun lebih warga Tionghoa eksis di Kota Malang. Mereka dagang, buka toko, dan ikut membangun peradaban modern di Kota Malang dan tanah air umumnya. 

Ayas masih ingat dulu ada bioskop di depan kelenteng. Bioskop Mulia kalau tak salah. Zaman Belanda namanya Emma Theatre. Persis di samping Emma Hotel. Hotel tua itu baru saja dibongkar sekitar dua bulan lalu.

Tidak jauh dari situ ada Bioskop Garuda. Juga tinggal nama. Kemudian di sebelahnya ada Sekolah Tionghoa yang kini jadi SMAN 2 Malang. 

Tak jauh dari SMAN 2 ada Rumah Sakit Tionghoa Malang. Sekarang jadi RS Panti Nirmala milik yayasan Katolik. Begitu banyak aset Tionghoa di kawasan Petjinanstraat atawa Jalan Martadinata nama sekarang.

Ayas dulu sangat sering jalan kaki di depan kelenteng ke rumah paman yang hanya sepelemparan batu dari kelenteng legendaris itu. Tapi tidak pernah masuk. Apalagi wawancara atau sekadar bertanya tentang tradisi budaya Tionghoa dan sebagainya.

Bahkan, dulu zaman Orde Baru, segala hal yang berbau Tionghoa atawa Cina harus dijauhi. Termasuk bahasa Tionghoa, aksara Mandarin, barongsay, liang liong, busana Tionghoa dan sebagainya.

Karena itu, dulu kelenteng terlihat misterius. Ada kegiatan tapi diam-diam saja. Ayas baru masuk setelah ikut rombongan Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya mengikuti pawai kirab tepekong sekian tahun sebelum covid. Ibu Juliani pimpinan Kelenteng Hong San Ko Tee yang ajak ke Malang.

Sejak itu Ayas makin terbiasa mampir di Eng An Kiong. Dewa-dewi Tionghoa bukan lagi sosok misterius dan menakutkan. Bahasa dan aksara Tionghoa pun bukan lagi "bahasa setan" seperti yang sering disampaikan pejabat-pejabat pada masa Orde Baru. 

Dirgahayu Kelenteng Eng An Kiong!

Senin, 22 September 2025

Nus Tuwanakotta Penyiar Legendaris TVRI Surabaya, Teknik Vokal Diafragma

 


Dulu hanya satu stasiun televisi di Indonesia. TVRI: Televisi Republik Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia nonton TVRI. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Sangihe sampai Rote di NTT.

Karena itu, wajah dan suara penyiar TVRI sangat dikenal orang-orang lawas. Sambas, Toety Aditama, Idrus, Yasir Denhas, Hasan Azhari Oramahi, Yan Partawidjaja, Luther Kalasuat, Pungky Runkat.... 

Di TVRI Surabaya ada Nus Tuwanakotta. Penyiar kawakan ini lebih dikenal dalam liputan olahraga. Pertandingan Persebaya Surabaya di Tambaksari hampir pasti disiarkan langsung oleh Bung Nus, 76.

Cuplikan pertandingan Persebaya biasa muncul di Dari Gelanggang ke Gelanggang. Kadang di Arena dan Juara. "Saya juga meliput langsung Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Semua pertandingan kami liput," ujar wartawan senior di Surabaya itu. 

Nus Tuwanakotta tandem dengan Max Sopacua saat liputan di Amerika Serikat. Reporter TVRI seksi olahraga lain yang kondang [hampir semua kondang] antara lain Abraham Isnan, Sambas sudah pasti, Huzair Tarmidzi, Azwar Hamid.

Yang menarik, gaya dan teknik vokal penyiar-penyiar TVRI djaman doeloe sangat khas. Suara berat, dalam, berwibawa. "Itu teknik vokal diafragma. Semua penyiar harus menjalani latihan cukup lama sampai benar-benar menguasai," kata Bung Nus.

Dulu, sebelum dilepas jadi penyiar berita, seorang calon penyiar harus melalui tahap latihan ketat. Ada ujian baca artikel dengan suara mantap, bulat, dan berwibawa. Kalau lolos, baru bisa dipercaya muncul di layar. 

Selain itu, ada juga pendidikan khusus di Balai Diklat TVRI Jakarta selama berbulan-bulan. Tujuannya jelas: membentuk suara diafragma yang kokoh.

“Live reporting pun harus pakai suara diafragma,” kata Nus Tuwanakotta. 

Bahkan ketika ia melaporkan langsung pertandingan sepak bola 2x45 menit, termasuk Piala Dunia, Olimpiade, hingga Asian Games, semua tetap menggunakan teknik suara dari diafragma.

 Itulah sebabnya, penyiar TVRI dan RRI zaman dulu suaranya rata-rata berat, berwibawa, dan terdengar seragam.

Sekarang, situasinya agak berbeda. Presenter atau host televisi lebih banyak tampil dengan suara natural. Tidak semua dituntut untuk punya suara besar dan berotoritas.

Malah, tren penyiaran modern justru lebih menekankan spontanitas, gaya santai, dan kedekatan dengan penonton. Seakan-akan yang penting bukan lagi suara berat, melainkan kesan akrab dan mudah dicerna.

Perubahan ini tentu ada plus minusnya. Di satu sisi, suara berat dan berwibawa memberi rasa formalitas dan kepercayaan. Di sisi lain, suara natural cenderung lebih disukai audiens sekarang yang lebih suka gaya informal.

Bung Nus sebagai penyiar era diafragma menegaskan bahwa teknik vokal diafragma yang terbaik bagi penyiar radio dan televisi. Putranya, Iwan Tuwanakotta, sekarang penyiar TVRI Jawa Timur (nama baru TVRI Surabaya) mewarisi bakat ayahnya.

Bung Nus kerap diundang menjadi instruktur penyiar-penyiar di sejumlah televisi swasta nasional dan televisi lokal. Dia perlu waktu lama, sangat telaten, membentuk vokal dengan pernapasan diafragma. Mirip latihan vokal untuk penyanyi profesional.

Salah satu muridnya adalah Rendra Sudjono presenter Indosiar dan SCTV spesialis siaran pandangan mata atawa live reporting sepak bola. Rendra menggunakan diafgrama. Bukan suara natural ala orang ngobrol di kafe atau pasar.

Melaporkan pertandingan sepak bola 2x45 menit plus tambahan waktu jelas membutuhkan stamina dan suara yang prima. Tidak mudah serak. Itu hanya bisa jika menggunakan teknik diafragma. 

Sabtu, 20 September 2025

Baba Yentji Sunur Bupati Lembata 2 Periode Ternyata Satu Leluhur Hurek

 


Baba Yentji Sunur, Bupati Lembata NTT, dua periode sudah lama meninggal dunia. Tepatnya 2021. Baba Tionghoa yang aktif di politik itu jadi korban penyakit aneh yang disebut Covid-19.

Saya cuma sekali bertemu Baba Yance sapaan akrabnya. Itu pun karena kebetulan sama-sama naik Susi Air dari Lembata ke Kupang. Bupati Yance didampingi dr Kandou, istrinya yang asli Manado.

Tak banyak informasi yang saya ketahui tentang Eliaser Yentji Sunur alias Baba Yentji. Cuma info sumir bahwa baba Tionghoa itu sebetulnya "tite hena". Artinya, bukan orang lain, tapi masih punya hubungan darah dengan suku (fam, marga) Hurek Making. 

Hanya saja, leluhur wanitanya kawin dengan baba Tionghoa di Kedang. Karena itu, keluarga besar Suku Hurek kurang mengenal dekat cucu cicit yang di Kedang itu. Apalagi dari jalur perempuan macam leluhurnya Baba Yentji Sunur.

Saya baru dapat cerita yang lebih detail dari Om Cornelis Kalu Hurek di Kotalama Malang, dekat kelenteng, seputar leluhur Suku Hurek "biko tou". 

Artinya satu rumah adat. Karena Suku Hurek Making punya 5 biko.

Singkat cerita: kakeknya bapak saya (Gega Hurek), kakeknya Om Cornelis (Ire Hurek), dan kakeknya Yentji Sunur (Uba Hurek) itu saudara kandung. Nama kakeknya bapak saya itu Nuho Hurek.

Bapak saya juga pakai nama Nuho Hurek. Lengkapnya Nikolaus Nuho Hurek. "Jadi, tite tou hena, ata ahan hala. Tite mei tou," kata Om Cornelis yang sudah tinggal di Malang sejak awal 1970-an.

Omongan Om Cornelis itu artinya: Kita (dengan Baba Yentji) itu satu leluhur, bukan orang lain. Kita satu darah.

Baba Yentji sendiri lahir dan masa kecilnya di Kedang. Lalu merantau ke Jakarta untuk kuliah, kerja dan sebagainya. Baru pulang kampung ketika berniat maju dalam Pilkada Lembata.

 Calon bupati mau tidak mau mencari suku adat, jaringan leluhur, kekerabatan agar bisa menang. Namanya juga pemilihan langsung.

Sejak itulah Baba Yentji jadi sadar bahwa dirinya ternyata punya hubungan kekerabatan dengan Suku Hurek Making di Pulau Lembata bagian utara. Ada dua kecamatan yang potensi suaranya besar.

Saya pun baru sadar sekarang mengapa bapakku (almarhum Niko Nuho Hurek) dulu sangat getol mendukung pasangan Baba Yentji dan Victor Mado Watun. Calon wakil bupati memang Suku Watun yang memang masih keluarga juga.

 Tapi Baba Yentji? Bapa Niko tidak cerita sedetail Om Cornelis Kalu Hurek di Kota Malang.

Om Cornelis menuturkan, Buyut Nuho punya 6 anak. Lima laki-laki dan satu perempuan. Nah, satu-satunya perempuan itu (Mbah Uba) yang jadi kakek baba Tionghoa, Yentji Sunur, yang pernah jadi Bupati Lembata selama 9 tahun itu.

Baba Yentji sudah lama tiada. Seandainya masih hidup tentu saya akan sering mampir, ngobrol, diskusi, belajar ilmu dagang. Sebab, dialah salah satu dari sedikit baba Tionghoa yang pintar dagang + main politik.

Damai di surga, Baba Yentji!

Jumat, 19 September 2025

Buruh Pakerin Berkemah di Depan Kantor Gubernur Jawa Timur

 



Beberapa hari ini Ayas mampir di Titik Nol Surabaya. Persis di depan kantor Gubernur Jawa Timur. Persis di seberang Tugu Pahlawan. Memantau grup kerjaan khawatir ada koreksi, komplain dsb. 

Kalau ada masalah bisa balik lagi ke kantor. Tidak terlalu jauh. Monumen Titik Nol sering disambangi penggowes atawa wisatawan lokal. Foto-foto, bikin konten, istirahat sambil  ngopi, ngeteh atawa minum air putih nan sehat.

Ayas jadi tidak enak melihat ratusan buruh PT Pakerin berkemah di depan kantor gubernur. Pabrik kertas yang terkenal (dulu) itu rupanya lagi bermasalah. Ratusan buruh sering unjuk rasa di pabriknya dekat Jembatan Prambon itu. Kemudian demo berkali-kali di Surabaya.

Rupanya ada masalah manajemen keluarga. Pecah kongsi. Pabrik jadi macet. Gaji buruh tidak dibayar berbulan-bulan. THR pun tidak dibayar. Kami minta bantuan gubernur, kata seorang buruh.

Di tengah ekonomi yang lesu ini pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak. Gubernur Khofifah juga sibuk misi dagang ke Kalimantan dan daerah lain di luar Jawa. Dinas-dinas yang ada tak banyak membantu mengatasi kasus Pakerin alias Pabrik Kertas Indonesia.

Mengapa tidak mengadu ke Jakarta? Langsung ke Menaker atau Wakil Menteri Tenaga Kerja? Oh ya, Wamenaker Noel baru saja ditangkap KPK karena korupsi. 

Kami ngadu ke gubernur dan dewan aja dulu, kata seorang karyawan. Dia dan kawan-kawan yakin kasus Pakerin bisa diselesaikan jika pihak bank tidak membekukan rekening perusahaan.

Entah kapan perkemahan di depan kantor Gubernur Jawa Timur ini berakhir. Pakerin bukan satu-satunya perusahaan yang bermasalah.

PT Gudang Garam yang raksasa pun ikut oleng. Banyak buruh yang di-PHK. Gubernur bilang bukan PHK tapi pensiun dini. 

Yang pasti, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Inflasi menggila. Harga semua barang dan jasa naik tajam. Harga diri wakil rakyat di mana-mana yang anjlok.


Kamis, 18 September 2025

Apes! Angkot di Arjosari Malang Ngetem Satu Jam dan Tidak Berangkat



 Jarak Surabaya (titik nol di Tugu Pahlawan) dengan titik nol Sidoarjo dekat alun-alun cuma 30 km lebih sedikit. Tapi ada beberapa titik kemacetan parah yang membuat durasi perjalanan jadi sangat lama. Bisa satu jam bahkan 90 menit saat jam pulang kerja.

Ayas sering naik bus ekonomi dari Terminal Purabaya Bungurasih ke Arjosari Malang. Jaraknya hampir 100 km. Lama perjalanan rata-rata 70 menit. Bahkan bisa lebih cepat atau lambat sedikit.

Luar biasa! 

Perjalanan dari Surabaya ke Malang saat ini ibarat perjalanan di dalam kota saja. Tidak lagi dua jam atau tiga jam lewat jalur tradisional. Jalan tol yang tersambung menyeluruh mengubah segalanya.

Bus tidak bisa lagi turun naikkan penumpang di mana saja. Tidak bisa ngetem di terminal, halte, atau di mana saja. Sekarang cuma bisa ngetem sejenak di pintu keluar Purabaya. 

Lalu ngebut terus sampai Karanglo, eksit tol. Kemudian masuk Terminal Arjosari.

Masalahnya setelah sampai di Arjosari. Angkot-angkot ngetem lama sekali. Kadang bisa satu jam dan belum tentu berangkat jika jumlah penumpang terlalu sedikit. 

Ayas dapat pengalaman buruk pekan lalu. Sampai di Arjosari sekitar pukul 21.10. Target pukul 22.00 harus sampai di Kotalama, dekat kelenteng yang terkenal itu karena ada voucher. Lewat jam 10 malam hangus.

Tunggu punya tunggu, hampir satu jam, angkot AMG (Arjosari, Malang, Gadang) tidak juga berangkat. Mungkin karena penumpang saat itu hanya tiga orang. Tunggu dua penumpang lagi minimal. Ternyata tidak ada.

Mendekati jam 22.00 angkot tidak berangkat. Ayas sudah tak punya kemampuan untuk marah atau maki-maki. Langsung turun jalan kaki mampir di warkop dekat pintu keluar terminal. Mendoakan sopir angkot yang ngawur itu.

Sudah pasti voucher hotel gratis hangus. Plan A gagal. Harus ambil plan B. Bermalam di kos harian semacam penginapan sederhana di Arjosari. Besok pagi baru meluncur ke Malang Kota.

Ayas baru saja baca para sopir angkot di Malang menghadap wakil rakyat. Memprotes rencana bus Trans Jatim masuk Malang Raya. Itu membuat penghasilan mereka berkurang.

Kawan-kawan sopir angkot itu lupa bahwa ulah mereka yang ngetem sangat lama sangat merugikan penumpang. Masyarkat jadi hilang simpati.

Rabu, 17 September 2025

Nona Singapura Tidak Bisa Cakap Melayu, Ketemu di GNI Bubutan

 



Siang ini Ayas mampir di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Ada Makam dr Soetomo pahlawan nasional sekaligus pendiri GNI. Pendapanya terbuka sangat nyaman dan bersih.

Ada kantor Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang didirikan dr Soetomo pada 2 September 1933. Sampai hari ini masih terbit meski pembacanya kian menua. Ayas punya dua kawan yang jadi redaktur hebat di PS.

Tiba-tiba datang gadis manis agak gemuk. Tionghoa. "Ada yang bisa saya bantu?" Ayas menyapa basa-basi ketika si nona manis mendekat.

Dia ngomong bahasa Inggris. Ouw, rupanya wisatawan asal Singapura. Dia bertanya tentang gedung ini, sejarahnya, dan sebagainya. Ayas pun menjawab sekenanya seperti pemandu wisata amatiran.

Syukurlah, informasi yang dipajang di pendapa GNI sangat lengkap. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada foto-foto tua djaman doeloe yang sangat menarik. Ayas pun meminta Nona Singapura itu untuk membaca sendiri. 

Ayas kembali ngopi sambil membaca berita-berita mentahan kiriman wartawan lalu disunting. Kemudian diunggah di portal berita. 

Kebetulan berita lagi sepi selepas kerusuhan pada akhir Agustus lalu. Penangkapan maling-maling motor berkurang. Penangkapan geng-geng remaja juga nihil.

Ayas lalu merenung. Mengapa orang Singapura tidak bisa berbahasa Melayu? Padahal, katanya bahasa Melayu salah satu bahasa resmi Singapura selain bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal, Negaraku, lagu kebangsaan Singapura ditulis oleh komponis Melayu dan berbahasa Melayu.

Ayas juga sering mengikuti pidato-pidato perdana menteri Singapura macam Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong dalam bahasa Melayu. Sangat fasih dan jelas. 

Naga-naganya bahasa Melayu tidak dianggap penting di Singapura. Bahasa Inggris yang utama. Bahasa Mandarin dan Hokkien mungkin nomor 2. Orang Tionghoa rupanya tidak punya minat sama sekali belajar bahasa Melayu.

Nona Singapura itu serius banget membaca narasi-narasi di pendapa GNI yang disusun secara kronologis. Kemudian melanjutkan jalan kaki ke Tugu Pahlawan

Orang Surabaya sekalipun sangat jarang jalan kaki sejauh itu dari Tunjungan, Bubutan, Ampel, Kembang Jepun, Rajawali dan sebagainya. Apalagi membaca cerita-cerita sejarah yang terkait dengan bangunan cagar budaya.

Sembahyang Tutup Peti Oei Hiem Hwie Dipimpin Pater Thomas Bani SVD


 Tokoh literasi, wartawan era Orde Lama, Soekarnois tulen, Oei Hiem Hwie tutup usia. Ayas sangat kehilangan. Penggemar buku-buku, majalah, koran, tempo doeloe di Surabaya juga kehilangan besar.

Ayas sering mampir menemui Om Oei di Perpustakaan Medayu Agung, kawasan Rungkut Surabaya. Setiap kali gowes pagi ke hutan bakau wisata mangrove Gunung Anyar biasanya mampir. 

Ada saja bahan yang dibahas Oei Hiem Hwie. Cerita-cerita tentang pengalamannya di Pulau Buru paling menarik. Mantan wartawan koran Trompet Masjarakat itu (kantornya dekat Tugu Pahlawan) dibuang selama 8 tahun di Buru. 

Oei yang lahir di Malang ditangkap di Malang, dibawa ke Nusa Kambangan tiga bulan lalu dibuang ke Pulau Buru. Ia dianggap orang kiri, Soekarnois, pengurus Baperki.

 "Saya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan," katanya.

Oei dan ribuan tahanan politik, narapidana politik, sudah hilang asa. Merasa sudah selesai di Buru. Mati di pulau yang pada awal 1970-an masih liar itu. Tapi proyek orba itu dikecam dunia barat. 

Tahun 1978 Oei dibebaskan. Setahun kemudian Pramoedya Ananta Tour dibebaskan. Oei yang menyediakan kertas, alat tulis agar Pram tetap bisa menulis novel atau apa saja di Pulau Buru. Manuskrip-manuskrip asli Pram pun disimpan dan disembunyikan Oei.

Ayas, seperti biasa, tidak pernah menanyakan apa agama seseorang. Ayas menduga Om Oei jemaat kelenteng. Bisa Tridharma atau Buddha. Bisa juga Khonghucu. 

Nasrani kayaknya bukan karena diksi-diksi yang diucapkan Oei jauh dari kata-kata yang biasa kita dengar dari orang Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent dsb. Om Oei tak pernah bicara soal gereja atawa kekristenan sama sekali.

Ayas beberapa kali mampir di Medayu Agung pada Jumat pagi. Ngobrol biasa, tanya jawab, lalu Om Oei siap-siap berangkat ke Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bersama salah seorang karyawannya.

Oh, berarti Om Oei ini mualaf. Seperti Haji Masagung tokoh muslim Tionghoa yang juga idola Oei Hiem Hwie, pikir Ayas.

Karena itu, Ayas agak terkejut saat mengikuti acara tutup peti mendiang Om Hwie di Adi Jasa Surabaya. Loh, ada Romo Thomas Bani SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut. Pater asal Belu NTT ini pastor paroki saya yang meliputi Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar.

"Salam damai, Pater!" 

Ayas menyalami pater yang ramah ini. Pater tampak semangat.

Di Adi Jasa saat itu ada banyak akademisi Unair yang memang dekat dengan Om Oei. Ada Dr Dede Oetoemo, Dr Shinta Rahayu dosen dan sinolog terkenal, hingga tokoh-tokoh Tionghoa. Ada pula beberapa umat Katolik dari Paroki Roh Kudus.

Oh, ternyata Om Oei ini Katolik. Dua hari kemudian dikremasi di Kembang Kuning. Ibadat cara Katolik juga.

Orang Tionghoa memang paling luwes. Sangat fleksibel. Tidak fanatik. Sering sulit ditebak apa agamanya. Lahir sebagai umat kelenteng, belajar di sekolah Katolik kadang jadi katekumen, dewasa bisa jadi mualaf, kemudian berpulang dan dimakamkan secara Katolik. 

Toh, Tuhan Allah hanya satu, bukan?

Selamat jalan, Om Oei!

Minggu, 14 September 2025

Sembahyang 40 Hari Tante Nanik di Kotalama Malang, Nostalgia Kampung Halaman

 


Tidak terasa sudah 40 hari Tante Anastasia Nanik tiada. Berpulang dalam damai ke rumah Bapa. Dimakamkan di Makam Nasrani Sukun, Malang.

Sabtu malam, 13 September 2025, sembahyang bersama 40 harinya. Ayas hadir. Mestinya hari Jumat tapi diundur sehari karena ada kesibukan di lingkungan, kata Susan, menantunya Om Cornelis Hurek Making, suaminya mendiang Tante Nanik.

Cukup banyak umat Katolik dari kawasan Kotalama, Paroki Kayutangan, Malang, hadir. Ada Pak Prasetyo asisten imam (AI) yang terkenal di Malang Kayutangan lantaran suaranya yang mantap keras tanpa perlu mikrofon.

Ayas duduk di dalam bersama sebagian jemaat. Sebagian lagi di teras dan halaman rumah tua gaya kebun di kampung. 

Doa bersama secara liturgi, nyanyi beberapa lagu, lalu doa rosario lima peristiwa. Kebiasaan lama yang tidak pernah ayas lakukan selama bertahun-tahun karena kerja malam hari. Tidak mungkin ikut doa lingkungan, wilayah, kategorial, legio dsb.

Sembahyang selesai. Kurang lebih satu jam. Lalu makan bersama soto ayam. Jemaat pulang bawa nasi berkat, jajan di kotak. Layaknya selamatan di kampung.

Ayas tentu saja tidak langsung pulang. Tapi ngobrol panjang lebar dengan Om Cornelis Hurek Making. Meski telinga kanannya agak terganggu gara-gara jatuh dari motor, dibegal di kawasan Kiai Tamin, dua tahun lalu, obrolan cukup asyik.

Om bicara panjang lebar dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah di Kecamatan Ile Ape, Lomblen Island alias Pulau Lembata. Nostalgia masa kecil sekolah rakyat (SR) di Lewotolok lalu pergi merantau ke Malaysia. Di usia 12 atau 13 tahun.

"Kame gere tena mesin take leron 48," katanya. Kami naik perahu tanpa mesin selama 48 hari. 

Di tengah jalan perahu yang membawa para perantau asal Lembata, Adonara dan sekitarnya diserang bajak laut. Barang-barang berharga yang dibawa sebagai bekal dari kampung dijarah. Ngeri!

Belum sampai Sabah, yang saat itu masih dijajah British. Belum gabung Malaysia. Sabah dan Serawak gabung Persekutuan Tanah Melayu tahun 1969 menjadi negara Malaysia yang kita kenal sekarang.

"Mo inam Yuli ne kame tobo kelas tou," katanya. Artinya, ibu saya, Yuliana Manuk, ternyata teman satu kelas Om Cornelis di SR Lewotolok. 

Murid-murid anak kampung dulu masih sangat sederhana. Belum ada celana. Pakai kewodu, sarung yang ditenun sendiri mama-mama di kampung. Wanita juga pakai sarung.

Kepala sekolah, Bapa Hendrikus Lawe Betan asal Waibalun Larantuka, kerasnya minta ampun. Murid nakal, malas, apalagi bandel atawa kurang ajar dipukul dengan penggaris. Kadang ditempeleng dengan tangan kosong.

Meski begitu, Om Cornelis berterima kasih kepada Bapa Betan yang sangat berjasa merintis sekolah rakyat pertama di kampung. Bukan cuma mengajar pelajaran membaca, berhitung, menulis, mencongak tapi juga mengajar agama kiwanen (Katolik).

"Nolo kame sembahyang Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.. moi hala," kata Om sambil ketawa.

Maksudnya, dulu anak-anak kampung tidak hafal doa-doa dasar seperti Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.... Guru Betan yang berjasa memberikan dasar-dasar pendidikan Katolik di kampung yang masih sederhana.

Ayas suka dengar cerita-cerita ringan macam ini. Ada narasi sejarah, adat istiadat hingga lapisan-lapisan generasi yang jarang diketahui generasi muda. Apalagi anak desa yang lekas merantau pada usia sangat muda.

Semoga Tante Nanik tenang di sana! 

Semoga Om Cornelis tetap kuat ditemani anak-anak dan 13 cucu - kalo gak salah ingat.