Kamis, 05 Juni 2025

Lapak Menara Pengawal di Dekat RSUD dr Soetomo Surabaya

Hampir saban hari bapak ini buka lapak di depan RSUD dr Soetomo Surabaya. Jualannya beda dengan lapak2 Madura di dekatnya.

Kalau Madura jualan sate, gorengan, pisang rebus, tela rebus, aneka minuman, bapak ini pajang buku2 Menara Pengawal. Ada brosur rohani, traktat khas Watch Tower.

Bapa Pengawal itu memang Saksi Yehuwa. Sudah lama sekali dia jualan firman di situ. Hampir tidak ada yang mampir karena alergi kristenisasi. Tapi Bapa Pengawal itu tetap tersenyum dan terus buka lapak.

Siang tadi Ayas mampir rehat setelah gowes jarak jauh. Bapa Pengawal menyapa. Basa-basi. "Anda dari NTT ya?"

Betul. Lalu Bapa Pengawal mulai masuk pelan2 bahas firman ala Saksi Yehuwa. "Saya sudah tahu," Ayas mencoba memotong perkataannya.

Tahu dari mana?

"Saksi Yehuwa kan terkenal. Semua orang Kristen pasti paham lah. Menara Pengawal. Watch Tower. Sedarlah!" Ayas ngomong seenaknya aja kayak paham Jehovah Witnesses.

Bapa Pengawal makin senang kelihatannya karena rada nyambung. Tapi Ayas tidak mau masuk dalam jebakan agen Pengawal. Ayas pun kabur ke arah Stasiun Gubeng dan seterusnya.

Ayas sudah tidak asing dengan agen2 Pengawal. Sudah lama sekali di Ngagel Jaya Selatan. Ada dua Saksi Yehuwa sangat rajin menemui seorang nenek pelukis yang sudah naik haji dan fanatik.

Nenek itu tidak paham gaya dan arah percakapan kedua agen Pengawal. Dia pikir orang Pentakosta atau Protestan atau Katolik yang melakukan penginjilan dari rumah ke rumah.

Beda banget, Nek! Saksi Yehuwa ini kelihatan sangat kristiani tapi bukan Kristen, bukan Katolik. Dulu dilarang karena dianggap aliran sesat!

Sejak itu Nenek Siti selalu memanggil Ayas untuk menghadapi kedua agen Pengawal. Awalnya santai lama2 mulai kurang enak. Apalagi mereka makin agresif.

Sejak itu Ayas melarang keduanya datang lagi untuk menemui sang nenek. "Nenek itu Islam tulen, hajah, janganlah diajak murtad," Ayas berpesan.

Namun, bukan agen Pengawal kalau tidak ndableg! Mereka masih sering mampir menemui nenek. Bagi majalah Sedarlah! Tapi nenek tidak pernah baca.

"Kamu aja yang baca," katanya. 

Ayas pun kumpulkan majalah2 Pengawal lalu dikilokan bersama koran bekas.

Mampir ke Gereja Ortodoks Rusia di Surabaya malah Dikejar Satpam Perumahan




Ayas ketinggalan informasi. Ternyata di Surabaya sudah lama berdiri Gereja Ortodoks Rusia. Tempat ibadah di Perumahan Araya dekat MERR. Tidak jauh dari GKI dan GKT.

Tidak banyak yang paham gereja ortodoks. Orang Indonesia hanya paham Katolik dan Protestan serta denom-denomnya yang banyak seperti Pentakosta, Karismatik, Advent, Baptis, Bala Keselamatan, hingga aliran pendatang baru macam Saksi Yehuwa dan Mormon.

Jangankan satpam-satpam yang muslim, orang Katolik di Gereja Stasi Yosafat pun tidak tahu ada Gereja Ortodoks Rusia. Padahal jaraknya dengan gereja katolik sangat dekat. Satu kelurahan.

"Anda mau ke mana? Tujuan apa?"

"Mau ke Gereja Ortodoks Rusia. Ini alamatnya!" Ayas menunjuk alamat gereja kuno tersebut di ponsel.

"Itu di pojok," kata satpam logat Madura.

Ternyata gereja megah di pojok itu GKT. Gereja Kristen Tionghoa atawa Gereja Kristus Tuhan. 

Satpam gereja menunjuk gereja lain di sebelah. Sekitar 100 meter. Ternyata GKI Araya. Satpam GKI pun tak tahu ada Gereja Ortodoks Rusia.

Ayas gowes pelan. Tiba-tiba dikejar satpam perumahan. Curiga. Ada keperluan apa? Mau cari siapa?

Gereja Ortodoks Rusia, Pak! Ayas tunjukkan alamat lengkap di ponsel. Rupanya satpam pun tidak paham ada gereja yang tidak lazim di perumahan yang dijaganya.

Syukur kepada Allah!

 Akhirnya ketemu rumah biasa di Blok F5 Nomor 2. Ada tulisan kecil "St. Iona Manchuria". Tidak salah lagi. Itulah nama pelindung Gereja Ortodoks Rusia di Surabaya. 

Seperti Gereja Katolik, gereja-gereja ortodoks punya santo atau orang kudus sebagai pelindung. Ada juga ikon-ikon Bunda Maria, Yesus Kristus, dan santo santa yang khas ortodoks.

Pagi tadi Ayas sempat ngobrol dengan Romo Kirill Juna Siswaja secara daring. Beliau Rektor Paroki St. Iona Surabaya. Ayas ingin wawancara langsung sekaligus melihat dan mengalami liturgi khas Ortodoks Siria. Liturgi yang detail dan mistis. Pasti lebih panjang durasinya ketimbang misa atau ekaristi di Katolik Roma.

 "Tiap hari selasa rabu jumat ada ibadah pagi semacam misa harian," kata Romo Kirill.

Pater yang namanya sama dengan Patriark Kirill di Rusia ini juga menyebut rencana Liturgi Ilahi (semacam misa) Hari Raya Pentakosta, Minggu 8 Juni. Misa hari raya penting ini berlangsung sangat lama dibandingkan ibadah protestan atau katolik.

"Jadi, saya pikir Mas Lambertus tidak harus datang awal, bisa datang mulai jam 10 atau lebih kalau kuatir kecapekan karena ibadah kami memang ibadah2 kuno yg cukup lama, apalagi pada pesta2 besar seperti Pesta Pentakosta ini," tulis Romo Kirill.

Matur nuwun, Romo Ortodoks Rusia! Baru kenalan secara daring tapi langsung akrab. Malah Ayas diundang untuk mengikuti Liturgi Ilahi Hari Pentakosta. Jarang ada Romo-Romo Roma (Katolik) yang mau bagi waktu dan mengajak orang biasa seperti Ayas dengan respek.

Kembali ke satpam perumahan. Dia terus mengawal Ayas di depan rumah yang jadi Gereja Ortodoks Rusia. Tertutup rapat. Tak ada pengurus, penjaga, atau satpam layaknya di gereja-gereja lain yang sudah mapan.

Ayas tadinya mengira Romo Kirill tinggal di rumah alias gereja itu. Setidaknya ada pengurus atau jemaat biasa yang bertugas atau berjaga di situ. Ternyata tidak ada.

Ayas pun memotret sejenak lalu balik kanan. "Lain kali tidak boleh masuk lewat belakang ya? Saya cuma melaksanakan aturan dari komandan saya!" nasihat satpam.

"Siaaap! Mohon maaf, Pak!"

Minggu, 18 Mei 2025

Sungguh Kubangga Bapa jadi alas gorengan di warkop

Aneh sekali! Di salah satu warkop di kawasan Prambon Sidoarjo saya temukan lagu karismatik lawas. Jadi alas gorengan. Pisang goreng, tela goreng, tahu goreng dsb.

Lagu itu Sungguh Kubangga Bapa ciptaan Lisna G. Arifin. Dulu sering dinyanyikan di berbagai persekutuan doa (PD) karismatik. Saat saya masih pelajar SMA dan mahasiswa.

Kalau tidak salah sampul bukunya warna hijau. Dicetak pakai font komputer jaman old yang masih ada bintik-bintik hurufnya. Komputer yang pakai disket program, disket data dsb. Sebelum ada MS Word yang sangat gampang dioperasikan.

Saya pun mengambil lembaran itu lalu membunyikan nada2 dalam hati. Enak juga. Gaya kalipso. Biasanya dinyanyikan gembira, tepuk tangan sukaria ala karismatik. Haleluyaaa!

Lisna G. Arifin seorang komposer lagu-lagu pujian dan penyembahan era 90-an. Banyak yang hit di berbagai denom gereja. Gerakan karismatik membuat persekutuan doa katolik sangat kental pentakosta.

 Ada acara bahasa roh juga. Saya mundur dari karismatik, dulu sekali, karena gagal dapat bahasa roh meski sudah sering mancing dengan berbagai cara. Juga gagal ambruk saat didoakan ramai-ramai di depan.

Selembar partitur lagu karismatik ini membuka kenangan lama. Haleluyaaa!

Kamis, 15 Mei 2025

Gereja Salib Suci Tropodo terkepung banjir, misa pagi batal

Pagi ini, Kamis 15 Mei 2025, niat ke gereja. Misa pagi di Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Bayar misa karena hari Minggu kemarin absen.

Daily Mass atau misa harian di gereja yang digembala imam-imam SVD itu mulai pukul 05.30. Beda dengan Gereja Roh Kudus Rungkut, parokiku, yang mulai pukul 06.00. Sudah kesiangan. 

Saya sih maunya misa pagi dimulai pukul 05.00 seperti beberapa paroki di Malang. Tapi, sebagai domba, kita hanya bisa manut aturan para gembala dan dewan paroki. Pukul 05.30 dianggap jalan tengah. Tidak terlalu pagi dan tidak kesiangan.

Saya pun gowes sekalian gerak badan. Alamak! Wisma Tropodo rupanya berubah jadi tambak raksasa. Kawasan perumahan itu terendam air hujan sekitar 30-an sentimeter. Bisa lebih di beberapa tempat.

Sepeda motor sulit lewat. Mobil bisa tapi kesulitan. "Hujan sejak tadi malam jam 10-an. Deres banget," kata seorang ibu warung dekat apotek.

Apa boleh buat. Terpaksa balik kucing. Tidak jadi misa. Saya menduga misa harian dibatalkan.

Wisma Tropodo memang sudah terkenal sebagai salah satu kawasan langganan banjir di Sidoarjo. Dulu sering saya laporkan dan beritakan agar diperhatikan pemkab. Mulai zaman Bupati Win (dua periode) disusul Bupati Saiful (dua periode juga).

Biasanya ada tanggapan. Pemkab melakukan "pompanisasi". Menyedot air dengan pompa. Masalah utamanya belum terselesaikan sehingga kini. Yakni saluran air yang tidak berfungsi dengan baik.

Gereja Katolik Salib Suci peninggalan Pater Heribert Ballhorn SVD ini memang sangat indah. Akustiknya bagus banget. Kualitas paduan suara atau kor-kor di Paroki Salib Suci menurut saya di atas rata-rata paroki lain di seluruh Jawa Timur. Mereka juga paling jago menyanyi Gregorian yang sulit.

Akan tetapi, ya itu tadi, ketika hujan deras dan lama, cuaca ekstrem istilah BMKG, maka kawasan Wistrop tenggelam. Gereja Salib Suci bahkan membatalkan misa agung Malam Natal pada 24 Desember 2024.

Mea culpa!
Mea culpa!

Ekonomi lesu, banyak ruko dan toko mangkrak di Surabaya

Ekonomi lagi lesu kayaknya. Ruko lama di Kembang Jepun itu ada tulisan DIJUAL hubungi 0815xxxx.

Dulu ruko itu toko yang ramai. Banyak pelanggan dari luar Surabaya, bahkan luar Jawa. Tapi sekarang tutup.

Toko di KJ 148 itu malah jadi tempat mangkal T4. Baju-baju digantung macam di kampung kumuh. Ada handuk dan tripleks sebagai pembatas tempat kos si T4 alias tempat tinggal tidak tetap alias gelandangan itu.

Aneh sekali karena Kembang Jepun ini salah satu tempat wisata di kota lama. Zona Pecinan. Biasa buka hari Jumat, Sabtu, dan Minggu petang sampai tengah malam.

Bagaimana wisatawan akan betah kalau destinasi wisata terlihat suram seperti itu? 

Persis di seberangnya, KJ 129, juga ada tulisan ruko dijual atawa dikontrakkan. Empat lantai. Ngantong pula. 

Insya Allah, rezeki pun ngantong! Sopo sing tuku?

Kalau tidak salah hitung ada 10 lebih ruko di Kembang Jepun yang "dijual" atawa "disewakan". Termasuk di sebelah bangunan cagar budaya.

Tidak hanya di KJ atau Surabaya Utara. Kelesuan ekonomi juga terlihat di kawasan lain. Ruko-ruko dijual atau dikontrakkan. 

Pemerintah daerah hingga Presiden Prabowo kudu segera tanggap. Wapres Gibran yang janji mencetak jutaan lapangan kerja juga kudu aksi nyata. Jangan terlalu sibuk seremoni-seremoni pantau acara MBG di sekolah-sekolah. 

Jumat, 09 Mei 2025

In the Shadow of Pope Leo X and Martin Luther, Hope Grows with Pope Leo XIV

By Fr. Patris Allegro, Kupang, Indonesia

Pope Leo X and Martin Luther stand as two unyielding poles of Church history. One represents the apex of ecclesial power in the 16th century; the other, the inner cry of a troubled Augustinian monk. 

Their clash was not merely a conflict of ideas, but of spiritual experience—between institution and conversion, between worldly splendor and restless faith.

Luther, in the silence of his Augustinian cloister, once wrote that he found no peace until he realized that "the righteousness of God" was not condemnation, but mercy that justifies the sinner by faith. It was a personal awakening that shattered external order. But in the turmoil of the time, there was no space for dialogue—what emerged instead was division.

Now, centuries later, we witness the election of Pope Leo XIV, also from the Order of Saint Augustine. As if history offers a new possibility—not a re-run of conflict, but the gift of healing. He carries the Augustinian legacy not to reopen old wounds, but to mend what has been torn.

Leo XIV does not come with the power of Leo X, nor with the fury of Luther, but with the humility of a shepherd shaped by pastoral mission in Peru—far from the centers of prestige, close to the peripheries where the Church walks in weakness and compassion. 

His priesthood, his missionary heart, his years among the poor, place him nearer to the anguished soul Luther once was. He knows that true conversion is not a journey toward doctrine, but toward a Person: the living Christ.

There is profound meaning in this symbolic convergence—that the two who once stood opposed now find a kind of unity, not historically, but spiritually. In Pope Leo XIV, we glimpse a meeting point: between Rome and Wittenberg, between past and future, between truth and mercy.

Perhaps this is what his motto proclaims: In illo uno unum—"In the One, we are made one."

 In Christ, even history's wounds can become a font of reconciliation.

Suster Ursula OSA dari Lembata pernah bertemu dan dialog dengan Kardinal Robert Prevost OSA yang kini jadi Paus Leo XIV

Sehari sebelum Konklaf di Vatikan, Suster Ursula OSA kirim pesan WA kepada saya:

"Sekarang te laran kae pi. Pedela dgn kereta dari Semarang."

Bahasa Lamaholot artinya: "Saya sudah di perjalanan dengan kereta dari Semarang."

Mampir sejenak, seperti biasa, di Biara Susteran Ordo Santo Agustinus (OSA) di Geluran, Taman, Sidoarjo. Kemudian Sr Ursula dan suster-suster lain langsung ke Tumpang, Malang. Di Rumah Sakit Sumber Santosa. Sekaligus Biara OSA yang besar dan bersejarah.

saat itu saya sedang menyunting berita tentang persiapan pemilihan paus baru. Pengganti Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025. Saya baca-baca beberapa media Barat yang mengunggulkan nama beberapa kardinal.

Habemus Papam!

Jumat dini hari, 9 Mei 2025, tersebar luas berita dan video Paus Leo XIV memberkati ribuan jemaat di Lapangan Santo Petrus. Paus pertama dari Amerika Serikat dari Ordo Santo Agustinus (OSA).

Saya langsung kirim ucapan selamat kepada Sr Ursula OSA di Tumpang. Selamat atas terpilihnya Paus Leo XIV! Paus dari OSA!

Suster Ursula OSA langsung bagi foto lama yang bersejarah. Foto bersama Pater Robert Prevost OSA. Saat itu Pater Robert menjabat superior general atau pimpinan tertinggi kongregasi OSA di seluruh dunia.

"Ketemu 15 tahun yang lalu ketika ada pertemuan kaum muda Agustinus di Inggris. Waktu itu na sbg General OSA 😁" tulis Suster Ursula OSA.

Seperti kebetulan. Tak terbayangkan Kardinal Robert Prevost OSA akhirnya terpilih sebagai Paus Leo XIV. Deo gratias! Syukur kepada Allah!

Suster Ursula dan suster-suster, romo-romo OSA, tentu sangat bahagia. Bahkan semua umat Katolik ikut bahagia karena takhta lowong, sede vacante, sudah terisi.

Paus baru ini tentu punya kedekatan dengan para imam dan suster OSA di Indonesia. Bahkan, saat menjadi superior general OSA, Paus Leo XIV juga pernah berkunjung ke Sorong, Papua, 2003.

Habemus Papam! Kejutan Paus Leo XIV dari Amerika Serikat

Sudah saya duga konklaf akan selesai dalam dua hari. Sama dengan dua konklaf sebelumnya yang memilih Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. 

Saya juga menduga hasil konklaf terlihat pada pemilihan putaran ketiga atawa keempat. Balot pertama mustahil. Balot kedua juga sulit. Biasanya paus baru terpilih setelah balot ketiga atau keempat. Paus Yohanes Paulus II pada balot kelima kalau tidak salah.

Karena itu, saya menunggu asap hasil balot ketiga dari Kapel Sistina di Vatikan sekitar pukul 23.00. Tapi saya ketiduran. Kelelahan. Baru terbangun pukul 02.00. Nonton sepak bola.

Saya yakin sudah Habemus Papam! Betul. Saya cepat-cepat nyalakan ponsel. Situs-situs dunia ramai-ramai memuat berita tentang paus baru asal Amerika Serikat: Paus Leo XIV. 

Kardinal Robert Prevost asal Chicago ini benar-benar kejutan. Sama seperti Paus Fransiskus yang juga tidak terduga.

Sejak Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025 - mudah diingat karena pas Hari Kartini - saya sering menerjemahkan, lebih tepatnya mengolah berita-berita terkait Paus Fransiskus, konklaf, dan siapa gerangan kardinal yang diunggulkan.

Ada 9 nama yang disebut-sebut. Ada media yang mengerucut jadi 6 nama. Kardinal dari Filipina bahkan sering disebut. Tapi tidak ada nama Kardinal Robert Prevost dari USA. 

Media-media besar dunia malah cenderung memprediksi dari Global South. Asia Afrika dianggap punya peluang. Ada lagi analisis bahwa 80% kardinal yang ikut konklaf diangkat oleh Paus Fransiskus. Karena itu, kardinal yang dekat dengan Pope Francis dianggap paling berpeluang.

Tapi konklaf bukan pemilihan presiden atau pemilu biasa. Sebelum mulai konklaf 133 kardinal menyanyikan Veni Creator Spiritus. Lagu terkenal yang pasti dihafal semua orang Katolik di dunia. Di Flores lagu ini bernama Datanglah, Ya Roh Pencipta!

Ya.. Roh Pencipta itulah yang bekerja.
Habemus Papam! Paus Leo XIV.

Kamis, 24 April 2025

Pater Markus Solo Kewuta SVD Menyapa Paus Fransiskus di Dalam Peti Jenazah

Pagi belum benar-benar ramai di Vatikan. Tapi satu pria asal Flores Timur sudah duduk diam di kursi yang tak jauh dari peti Paus Fransiskus. Namanya Pater Dr Markus Solo Kewuta, SVD. 

Di kalangan Gereja Katolik internasional, namanya tidak asing. Ia adalah imam misionaris yang sudah lama jadi bagian dari jantung Takhta Suci.

Dan pagi itu, tepat pukul 07.00 waktu Roma, Pater Markus datang untuk yang ketiga kalinya melihat jenazah pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu. Tapi kali ini beda.

"Rasanya tidak ingin pergi dari tempat itu," katanya.

Peti tempat Paus terbujur itu, katanya, sangat sederhana. Tanpa ukiran berlebih. Tubuh Paus sudah jauh berubah. Wajahnya putih pucat. Tak segemuk dulu. 

"Semuanya menyusut," ujar Pater Markus.

Yang mencolok hanya jubah merah yang dikenakan. Bukan merah biasa. Itu merah liturgi—warna cinta yang paling besar kepada Tuhan. Juga simbol kematian dalam tugas suci.

Selama tiga puluh menit ia duduk di situ. Kadang berlutut. Kadang duduk diam. Seperti sedang mengulang film panjang yang pernah mereka jalani bersama: saat Paus datang ke Jakarta, lalu Port Moresby, Timor Leste, hingga ke Singapura. Termasuk di dalam pesawat yang sempit tapi penuh cerita.

Dan ketika waktunya berpamitan datang, Pater Markus berdiri. Ia mendekat. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata: "Selamat jalan, Bapa Suci. RIP."

Tak ada air mata. Tapi ada hening yang lebih dalam dari tangisan.

Begitulah pagi itu di Vatikan. Bukan pagi yang biasa bagi Pater Markus dari Flores Timur.

Selasa, 22 April 2025

Paus Fransiskus bahagia di surga! Ora pro nobis, Sancto Pater!

Masih dalam suasana Paskah, Paus Fransiskus pulang. Bapa Suci bahagia bersama Bapa di surga. Bersama Yesus Kristus yang bangkit.

Haleluya!

Syukur kepada Allah!

Deo gratias!

"Alleluia! Tugas suci sudah purna," kata lagu Paskah lama di buku Madah Bakti. Lagu bagus itu sudah lama hilang karena tidak dimuat di Puji Syukur.

Paus Fransiskus juga manusia. Sama seperti kita. Sakit, masuk rumah sakit sangat lama. Gangguan pernapasan dsb. 

Keluar rumah sakit tapi butuh istirahat. Pemulihan. Tapi di usia 88, Paus Fransiskus akhirnya pamit. Memberkati ribuan orang yang memadati Lapangan Santo Petrus.

Sudah selesai! kata Yesus sebelum wafat.

Wus rampung!

Kematian Paus berbeda dengan kematian orang biasa. Santo Bapa, Holy Father, sudah bahagia di surga.

Mengapa bersedih hatimu? Tak perlu sedih. Bapa Suci sudah berada bersama rombongan para kudus di surga, kata kawan lama yang rajin misa harian.

"Justru kita-kita yang masih di dunia ini minta didoakan oleh Paus Fransiskus," katanya.

Rupanya cukup banyak orang di grup media sosial yang sepakat. Bahwa Bapa Suci sudah tenang dalam damai, bahagia di surga. Tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit lagi.

"Mengenang kembali salah satu momen saat Bapa Suci melakukan kunjungan ke Indonesia ❤️ Doakan kami yang masih berjuang di dunia ini Bapa," tulis  Janes Sihotang di grup medsos.

Ora pro nobis, Sancto Pater!

Minggu, 20 April 2025

Misteri tangga tua di Jalan Gula Surabaya

Saya naik tangga itu. Setengah ragu. Tapi juga penasaran. Tangga tua itu memanggil. Seperti bisikan dari masa lalu.

Ini Jalan Gula. Di Surabaya. Tempat para pedagang gula dan rempah dulu berjaya. Kini yang tersisa hanya puing, cat yang mengelupas, dan tangga tua yang entah menuju ke mana.

Maureen Nuradhi, dosen dari UC Surabaya, datang ke sini beberapa waktu lalu. Bersama komunitas pencinta sejarah. Ia berdiri di depan tangga itu, lama.

 Saya tahu, Maureen tidak sedang menghitung jumlah anak tangganya. Ia sedang mendengarkan bisu sejarah yang bergema di situ.

Tulis Bu Dosen itu: "Sebuah tangga tua, selalu menimbulkan perasaan yang campur aduk. Misteri di ujungnya. Kenangan peristiwa lebih dari seratus tahun yang membekas di semua anak tangganya."

 Saya diam. Saya mengerti perasaan itu. Saya juga merasakannya.

Di tikungan Jalan Gula itu, ada ibu penjual kopi. Namanya Munawaroh. Asalnya dari Madura. Orang sini memanggilnya Bu Muna. Ia sudah lama tahu kalau tangga itu punya daya tarik.

 "Banyak anak muda datang. Foto-foto. Ada yang buat prewedding juga," katanya. 

Saya tanya, "Pernah ada yang aneh?" Ia tertawa kecil. 

"Saya sih nggak pernah lihat apa-apa. Tapi suami saya... katanya sering lihat 'beberapa orang'."

Saya tidak tanya lebih jauh, karena Bu Muna sendiri tidak tampak ingin membahasnya lebih dalam. Lagi pula, siapa yang bisa benar-benar tahu siapa yang turun naik tangga itu di malam hari?

Tak jauh dari situ, di Jalan Karet nomor 54, ada bangunan tua lain. Sudah lama kosong. Pernah jadi gudang. Kini mangkrak. Seperti menunggu takdir. Seperti menyimpan cerita yang belum sempat diceritakan.

Surabaya punya banyak tangga seperti itu. Tangga-tangga tua yang bukan sekadar akses ke lantai atas. Tapi juga akses ke masa lalu. Dan mungkin... ke dunia lain. 

Sabtu, 19 April 2025

Jumat Agung di Kayutangan, Tiga Romo dari Flores, Passio Edisi NTT

Saya ikut sesi pertama. Jam 12.00. Di Gereja Kayutangan, Malang. Gereja tua yang jadi favorit sejak zaman saya masih sekolah dulu.

Harus ibadat awal karena kantor tidak libur. Tapi tak masalah. Saya tetap bisa WFA—work from anywhere. Jam dua ibadat bubar. Ponsel dibuka, kerja jalan terus.

Satu jam sebelum mulai, gereja sudah penuh. Luar biasa. Deo gratias! 

Saya masih dapat tempat duduk di dalam. Di sebelah saya: seorang mahasiswi asal Flores. Manis. Tapi kurus. Entah karena diet ketat, entah karena kantong mahasiswa yang ketat.

Sambil menunggu ibadat dimulai, berdoa Rosario. Satu peristiwa saja cukup.

Lalu gereja mulai sibuk. Misdinar mondar-mandir. Petugas liturgi mulai bersiap. Tiga imam masuk. Semua berbaju merah. Warna khas Jumat Agung.

Romo Simon Rande, O.Carm. Dua romo lainnya lebih muda. Ketiganya dari Flores. Seru juga. 

Ternyata bukan cuma imamnya. Yang menyanyikan Passio juga orang Flores. Dua awam dan satu romo yang memerankan Yesus. Lengkap. Tim Passio edisi NTT.

Homili dibawakan salah satu imam muda. Juga dari Flores. Gaya bicaranya santai. Tidak pegang teks. Tidak baca catatan. Semua dari kepala. Logat Flores-nya ada, tapi tidak tebal.

Bagian penghormatan salib seperti sebelum pandemi. Saya sempat mengira cara saat COVID dulu akan jadi norma baru. Ternyata gereja merasa: virus sudah lewat. Tidak perlu lagi jaga jarak dan sterilisasi.

Hari ini saya bersyukur. Bisa ikut Jumat Agung di tempat penuh kenangan. Dapat tempat duduk. Di samping mahasiswi manis pula. Haleluyaaa!

Sabtu, 05 April 2025

Ziarah Pengharapan ke Gua Maria Purworejo di Malang Selatan, Dapat Pelajaran Ilmu Porta Sancta

Hari kedua Lebaran. Saya kabur ke selatan. Agak jauh. Malang Selatan. Donomulyo. Masuk ke wilayah Desa Purworejo. Sudah mepet perbatasan Blitar.

Saya memang sudah lama ingin ke sana. Gua Maria Purworejo. Tempat ziarah yang tidak mainstream. Favorit, tapi sepi. Sunyi, tapi ramai oleh doa.

Jalan ke sana? Masih sama seperti sebelum Covid. Kecil, sempit, rusak di sana-sini. Seolah-olah pandemi tidak pernah terjadi di situ. Atau sudah lupa dibenahi sejak pandemi.

Saya kenal baik juru kuncinya. Pak Joseph Sumarlan. Orang baik. Ramah. Suka menyuguhkan singkong rebus dan legen. Singkong rebusnya empuk. Legennya manis. Perpaduan sempurna. Dunia modern tak sanggup menandinginya.

Tahun ini—2025—Tahun Jubileum. Gereja Katolik memberi banyak kemudahan. Banyak indulgensi. Banyak rahmat. Asal... Anda mau ziarah. Mau berdoa. Mau mengaku dosa. Sakramen rekonsiliasi.

Bapa Uskup Malang mengeluarkan daftar tempat ziarah yang direkomendasikan. Gua Maria Purworejo termasuk. Juga Gua Maria Curahjati di Banyuwangi. Juga Gereja Katedral Malang. Dan beberapa lagi yang saya lupa.

Itulah sebabnya, kali ini Gua Maria ramai. Jauh lebih ramai daripada kunjungan saya dulu-dulu.

Ada rombongan dari Jakarta. Dari Bandung. Dari Surabaya. Dari Malang. Baik kota maupun kabupaten. Luar biasa.

Salah satu yang mencolok: seorang ibu dari Jakarta. Tionghoa. Kayaknya guru agama. Atau katekis.

Ia berdiri di depan Porta Sancta. Pintu Suci. Menyampaikan katekese. Dengan suara tinggi. Tegas. Sedikit galak. Tapi sangat meyakinkan.

"Siapa yang dimaksud dengan Pintu Suci?" tanyanya keras.

Saya ikut tersindir. Soalnya tadi saya juga nyelonong masuk gua. Tanpa berdoa dulu. Tanpa kulo nuwun. Seperti masuk warung.

Padahal, kata ibu itu, Porta Sancta itu bukan pintu biasa. Ada aturan masuknya. Ada maknanya. Ada harapannya.

Dia memimpin doa di luar pintu. Rombongan satu per satu masuk. Pelan. Hening. Khusyuk. Serius.

Ziarahnya benar-benar ziarah. Bukan liburan. Bukan pelarian dari riuh kota.

"Bagus ibu itu. Disiplin," kata Pak Marlan sambil mengunyah singkong.

Saya mengangguk. Setuju. Tapi juga minder. Tertib saya kalah jauh.

Jam sudah pukul 24.00. Peziarah masih datang. Ada yang sendiri. Ada yang berdua. Tidak ramai-ramai. Tapi terus mengalir.

Saya tidur di paseban. Capek.

"Nggak takut tidur di situ?" tanya Pak Marlan.

Saya menjawab: "Kalau ada Bunda dan Porta Sancta, siapa yang perlu ditakuti?"

Padahal... aslinya saya takut ular. Takut lipan. Takut kalajengking. Hantu? Tidak. Tapi makhluk berbisa itu? Iya.

Setiap malam Jumat Legi ada misa. Di gua. Terbuka. Dingin. Sakral. Bahkan rombongan dari Bandung sudah daftar jadi petugas liturgi. Termasuk paduan suara.

Saya ingin ikut lagi. Mungkin Jumat Legi nanti. Atau Legi setelahnya.

Asal masih ada singkong dan legen. Dan Porta Sancta masih terbuka. Haleluya!

Kamis, 03 April 2025

Nostalgia Ngadireso: Gagal Dapat Bahasa Roh, Iri Melihat Kawan-Kawan Bertumbangan saat Didoakan

Ngadireso. Nama itu terkenal sekali. Terutama di kalangan Katolik. Bukan hanya di Jawa Timur. Bahkan sampai ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Biasanya disebut "Ngadireso, Tumpang". Padahal secara administratif, desa itu masuk Kecamatan Poncokusumo. Kabupaten Malang.

Di sana ada Pertapaan Karmel. Sudah sangat lama berdiri. Dirintis oleh Romo Yohanes Indrakusuma. Seorang imam Karmelit.

Romo Yohanes kemudian membentuk kongregasi sendiri. Namanya CSE: Carmelitae Sancti Eliae. Spiritualitasnya tetap Karmelit. Tapi pendekatannya berbeda. Lebih karismatik. Beda dengan O.Carm. kongregasi utama di Keuskupan Malang.

Beliau dikenal sebagai salah satu bapak gerakan karismatik Katolik di Indonesia. Wajar kalau tempat ini sering dipadati aktivis PDKK. Retret. Rekoleksi. Atau sekadar menyepi dan merenung.

Saya juga pernah. Dulu. Waktu remaja. Lalu berlanjut di masa mahasiswa. Tertarik karismatik. Lagu-lagunya bersemangat. Musiknya full band. Suasana doanya hangat. Persekutuannya hidup. Loncat-loncat!

Tapi saya selalu gagal di bahasa roh.

Juga gagal ambruk dalam sesi pencurahan roh kudus. Padahal teman-teman sudah banyak yang jatuh. Ada yang menangis. Ada yang meracau.

 Ada yang memuji Tuhan dalam bahasa yang tak saya mengerti. Walaloblabalabla...

Saya hanya berdiri tegak. Menahan kantuk.

Mbak Lina, putri Pak Alex—ketua PDKK Paroki Santo Yusuf—pernah menasihati saya. Katanya saya belum pasrah. Belum menyerahkan semua beban. Belum membiarkan diri kosong agar Roh Kudus bisa masuk.

Saya mencoba lagi. Retret berikutnya. Lalu satu lagi. Tapi tetap sama: gagal.

Akhirnya saya mundur pelan-pelan. Kembali menjadi Ata Kiwan. Orang awam. Katolik kampung khas Lamaholot.

Ata Kiwan itu sederhana. Tidak banyak teori. Tidak banyak sensasi. Tidak baca Alkitab karena tidak ada bukunya di kampung. 

Ata Kiwan hanya sembahyang pagi dan malam. Sembahyang Kontas alias Rosario. Bapa Kami. Salam Maria. Angelus. Credo. Ya Yesus yang Baik. Itu saja.

Mereka tidak tahu bahasa roh. Tidak kenal istilah pencurahan roh. Tidak paham mengapa di acara doa ada orang yang jatuh, tergeletak, atau menangis.

Sudah lebih dari 20 tahun saya tidak ke Ngadireso.

Sampai akhirnya libur Lebaran ini saya ke Malang. Rencana awal: ingin mampir ke RS Sumber Santosa di Tumpang. Ingin bertemu Suster Ursula OSA. Teman masa kecil di Lembata. Tapi beliau sedang di Kalimantan.

Dari Tumpang ke Ngadireso tidak jauh. Saya teruskan perjalanan ke pertapaan itu. Ingin nostalgia.

Mobil-mobil memenuhi halaman parkir. Banyak pelat B. Juga D. Tapi paling banyak pelat L.

Di dekat Gua Maria saya bertemu seorang lelaki muda. Dari Larantuka. Ternyata ia bagian dari rombongan Malang.

Dalam hati saya ingin bertanya: "Mau belajar bahasa roh? Atau ingin jatuh ke lantai saat didoakan?"

Tapi saya tahan. Kami malah ngobrol panjang dalam bahasa Lamaholot.

Dia menunjuk jalan ke arah gua.

Saya ke sana. Berdoa kontas. Satu peristiwa saja. Cukup. Doa sederhana orang kampung. Tanpa suara keras. Tanpa bahasa roh. 

Ave Maria gratia plena...

Selasa, 01 April 2025

Libur Lebaran di Tumpang, Gagal Nikmati Menu Susteran di RS Sumber Santosa

Libur Lebaran kali ini, saya memutuskan ke Malang lagi. Cuma dua jam perjalanan dari Surabaya, nggak jauh-jauh banget. Motor atau mobil, hampir sama cepatnya. Kalau naik bus patas, lebih asyik lagi—nyantai, duduk manis, dan lihat pemandangan.

Hari pertama Lebaran, warung-warung tutup. Udah biasa. Tapi saya nggak bisa diam di rumah. Jadi, saya meluncur ke Tumpang. Mampir ke RS Sumber Santosa, rumah sakit milik suster-suster OSA—Ordo Santo Agustinus.

Ada Suster Ursula OSA di sana. Teman masa kecil dulu di Desa Lamawara, Lembata. Namanya Marselina, tapi begitu jadi suster, dia ganti nama jadi Suster Ursula, pake nama ibunya, Mama Ursula.

Suster Ursula ini bukan suster biasa. Dia sudah kaul kekal. Orang penting di pusat OSA di Ketapang, Kalimantan Barat. Tapi sering banget ditugaskan ke Tumpang, ngurus rumah sakit tua yang ada di pinggir jalan raya itu.

Sayangnya, hari itu, Suster Ursula nggak ada di rumah sakit. Keinginan saya untuk makan menu susteran yang enak langsung melayang.

 Saya pun kirim swafoto di depan RS Sumber Santosa, langsung ke Suster Ursula. 

"Go kala rumah sakit ro mo take," teks saya dalam bahasa kampung. Bahasa Lamaholot gaya Ile Ape, Lembata.

Tidak lama, balasan masuk: "Saya telepon Suster supaya kamu masuk ke biara," jawabnya. "Go ia Ketapang," tambahnya. (Jadi, dia lagi di Ketapang.)

Saya cuma senyum geli. "Suster, saya sudah meluncur ke Ngadireso, Pertapaan Karmel." Padahal, saya masih di dekat rumah sakit itu, haha!

Menipu orang, apalagi seorang suster, jelas tidak baik. Itu salah saya. 

Mea culpa!

Minggu, 30 Maret 2025

Nasib Gedong Bella-Vista di Malang Semangkin Ngenes

Hujan agak deras petang tadi di Hari Raja Njepi. Ajas jang soeka oeklam-oeklam di Kota Malang malang nian nasibnja, tiada bawa pajoeng atawa djass oedjan. Tiada bisa bebas mlakoe-mlakoe, ia terpaksa bertedoeh di waroeng kopi jang terletak di gedong kolonial Bella-Vista, dempet dengan kantoran DPRD Malang, dekat pula Balai Kota.

Gedong itu kini soedah banjak waroeng-waroeng di sekelilingnja. Tiap hari ramai, lěbih-lebih oleh toean-toean penarik odjek, soeka njangkroek di sana, moentji baterei handphone atawa menumpang WiFi. Banjak anggota group tempo doeloe, soeka potret-potret di sana, buat dikirimkan di persatoean Malang Tempo Doeloe atawa pagoejoeban Sedjarah dan Budaja Malang-Raja.

Bella-Vista, asalnja nama berarti pemandangan indah, tapi siapa sangka sekarang tidak indah sama sekali? Boeat tahoe tahoen berapa didirikan, Ajas tjari informatie di group Malang Tempo Doeloe. 

Ada jang bilang, gedong itoe dahoeloe dari tahoen 1920 sampe 1942 ditinggali seboeah familie Belanda. Soedah itoe, pada masa Nippon 1942-1945, diambil dan dipakai kantor.

Tatkala taon 1990-an, Bella-Vista sempat ditempati Sekolah Tinggi Atlas Noesantara, tapi entah bagemana, sekolah tinggi itoe soedah pindah ke  Arjosari, maka gedong mangkrak sampe sekarang. 

Djoega ada jang bilang, Bella-Vista sering dipake tempat oendji njali, atawa anak-anak moeda bikin konten misteri lantaran konon ada penoenggoe di sono, begitoe katerangan Sam Suga dari Kepandjen, toean oplet.

Banjak kawan-kawan tempo doeloe mengeloh, mengapa Bella-Vista dibiarkan begitoe sadja? Mengapa tidak didjoelma mendjadi cagar boedaja Kota Malang?

 Kantoran Dewan dan Balai Kota dempet dengan Bella-Vista, tapi tidak ada jang ambil ferdoeli. Apa boleh boeat, nasi soedah mendjadi boeboer. Gedong itoe tinggal menanti tamat riwajat.

Adoeh, Bella-Vista! Dahoeloe njaman, sekarang soedah tidak keruan 🙏🙏

Sabtu, 29 Maret 2025

Mampir Ngombe Koffie di Toko Oen Malang

Toko Oen, Kajoe Tangan nomer 5, jang kesohor itu, adoeh, jang mana orang-orang pesiar di Malang belon lengkap rasanja kalau belon singgah di situ! Toko roti dan kue, tempat orang makan-makan, minoem koffie atawa bier, di tengah-tengah Kota Malang jang ramai.

Di dalem toko, ada tulisan besar pakai bahasa Belanda:

,,Welkom in Malang, Toko Oen die sinds 1930 aan de gasten gezelligheid geeft.''

Adoeh! Artinja? 

Nah, kalau ini djaman doeloe, sebelum ada internet atawa Mbah Google, mesti tanya sama oma opa jang masih cas-cis-cus Hollands spreken. Tapi sekarang? Wah, gampang betoel!

Daholoe Ajas masih anak moeda, kalau lewat toko ini cuma bisa liat dari loewar sadja. Pikiran sudah bilang: "Adoeh, pasti roti dan kue di dalam mahal betoel!"

 Mana berani masoek! Orang Malang sekalian pun banyak jang jangankan beli, masoek sadja tidak! 

Toko Oen van Malang ini memang tempatnja orang-orang tadjir, toeris-toeris dari negeri jauh, apalagi orang-orang Belanda jang doeloe pernah tinggal di sini.

Sore ini, Ajas pesiar keliling kota, dari Petjinan jang ada Kelenteng Eng An Kiong, lalu ke Pasar Besar, ke Agus Salim atawa Djalan Kabupaten jang makin ruwet, makin padet, makin semrawoet. Kemudian nyeberang ke Aloon-Aloon.

 Adoeh! Anak-anak ramai betoel main-main sama burung merpati. Rupanja Pemkot Malang kasi anggaran special bagi piara burung dara jang rakos makan biji djagung itu.

Ajas mulai rasa penat. Moesti cari tempat santai, minoem kopi. Tapi ini bulan puasa, 29 Ramadan 1446 H, kebetulan pas sama 29 Maart 2025. Wah, waroeng-waroeng banyak jang toetoep. 

Adoeh! Lantas Ajas pikir, lebih baik masoek sadja ke Toko Oen. Ini toko jang sejak zaman doeloe tetap buka macam hari biasa. Orang jang poso tetap hormat, orang jang tidak poso bisa santai.

Di dalam, suasana masih tetap tempo doeloe. Pelajan-pelajan pakai seragam putih item. Langit-langit tinggi, mebel dari djati tua, dan bau roti jang baru matang dari dapur. 

Ajas pesen koffie toebroek panas. Wah, harganja 20K! Lebih mahal dari koffie premium di Klodjen sana. Tapi jang Ajas cari bukan itoe wedhang kopinja. Ajas cari suasana nostalgia!

Biasanja di sini banyak toeris Belanda jang doeloe pernah tinggal di Hindia-Belanda, datang minoem koffie atawa bier. Tapi petang ini cuma ada dua bule toea. Lebih banyak orang Tionghoa jang rambutnja disemir pirang, ah, matjam orang bule!

Di podjokan, samar-samar Ajas dengar lagu Don't Sleep Away dari Daniel Sahuleka, penyanyi Maluku jang tinggal di negeri Belanda. Adoeh, makin terasa suasana tempo doeloe! 

Kopi masih panas, sore makin redup, dan Malang tetap njang tjantik seperti doeloe!

Jumat, 28 Maret 2025

Paus Fransiskus Sudah Keluar Rumah Sakit tapi Belum Sehat

Kabar kesehatan Paus Fransiskus, Pemimpin Tertinggi Katolik seantero jagad, menjadi perhatian khalayak ramai. Segenap umat beriman, dari benua ke benua, menunggu kabar dengan penuh rasa cemas, seraya berdoa bagi kesembuhan bapa suci asal Argentina tersebut.

Sebagaimana telah diketahui, Paus Fransiskus telah beberapa kali mengalami gangguan kesehatan dalam tahun-tahun terakhir. Kendati demikian, beliau tetap menjalankan tugas suci dengan semangat tak surut. 

Bulan lalu, Paus dikabarkan mengalami infeksi pernapasan ringan, sehingga beberapa agenda ditunda. Kendati demikian, sumber dari Vatikan menegaskan, kesehatan beliau tetap dalam pemantauan dokter-dokter ahli dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tatkala peristiwa ini tersiar, para dokter kepausan segera mengambil tindakan yang patut. Seorang pejabat tinggi di dalam lingkungan Takhta Suci menyatakan, "Bapa Suci masih kuat dan penuh semangat. Beliau tetap membaca, berdoa, serta menerima audiensi dengan para tamu penting."

 Walau telah lanjut usia, 88 tahun, Paus Fransiskus tetap menunjukkan kegigihan dalam menjalankan tugasnya sebagai Gembala Umat.

Adapun di Kota Roma, kaum awam dan rohaniwan tampak berbondong-bondong menuju Basilika Santo Petrus, menyalakan lilin dan mengucap doa bagi kesehatan Paus tercinta. Begitu pula di negeri-negeri jauh, dari Amerika Latin hingga Kepulauan Nusantara, sekalian umat mengadakan Misa Kudus sebagai tanda kasih dan kesetiaan kepada pemimpin rohani mereka.

Seorang imam dari Buenos Aires, tempat kelahiran Paus, berujar, "Dari muda hingga kini, Bapa Suci selalu dikenal sebagai pribadi yang kuat. Kendati usia telah senja, batin dan pikirannya tetap terang."

Dalam banyak kesempatan, Paus Fransiskus telah menegaskan bahwa kesehatan bukan sekadar urusan raga, melainkan juga jiwa. "Jangan takut akan kelemahan tubuh, sebab Tuhan selalu menyertai," demikian beliau pernah bersabda.

Kini, harapan besar tertumpu pada kesembuhan Paus. Di segala penjuru dunia, doa-doa terus dipanjatkan, tanda bahwa kasih kepada Pemimpin Gereja tetap berkobar. Semoga Bapa Suci lekas pulih dan kembali memimpin umat dalam damai serta kebijaksanaan.

Mudik: Tradisi yang Tak Bisa Ditawar di Tanah Jawa

Tiga hari lagi sampai Lebaran 2025. Jalan-jalan mulai ramai. Orang-orang Jawa berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Kaya, miskin, tua, muda, semua berkemas. Tak peduli lelah, tak peduli biaya, asal bisa merayakan Lebaran di tanah kelahiran.

Mbak Sinta, perempuan asal Tulungagung yang telah lama mengadu nasib di Buduran, Sidoarjo, pun tak mau ketinggalan. Pagi tadi, ia dan dua anak gadisnya yang manis-manis sudah naik bus mudik gratis. 

Biasanya, mereka mengendarai sepeda motor, menempuh perjalanan empat hingga lima jam. "Tapi tahun ini saya sudah capek," katanya, tersenyum kecil.

 "Lebih santai naik bus, tak perlu menyetir, tinggal duduk sampai kampung."

Meski bertahun-tahun menetap di Sidoarjo, memiliki kartu tanda penduduk Sidoarjo, hatinya tetap milik Tulungagung. "Di sini hanya cari duit, tapi kampung tetap di sana," ujarnya mantap.

 Dua anaknya pun sejak kecil sudah diajarkan satu hal: mudik itu wajib.

"Bagaimana kalau tidak mudik?" Kami bertanya.

"Tidak bisa," jawabnya cepat. "Mangan ora mangan, pokoké kumpul!"

Mbak Sinta hanyalah satu dari jutaan orang Jawa yang berpikiran serupa. Maka, tiap tahun, pemerintah daerah Jawa Timur menganggarkan dana besar untuk program mudik gratis. 

Presiden Prabowo boleh menyerukan efisiensi dan penghematan, tapi nyatanya, anggaran untuk mudik tetap ada. Tak mungkin dihapus. Sebab bagi orang Jawa, mudik bukan sekadar perjalanan pulang. Ia adalah panggilan hati, adalah janji pada leluhur, adalah harga diri.

Selamat mudik, rakyat Jawa Timur!

 Semoga selamat sampai tujuan dan berbahagia merayakan Lebaran di kampung halaman.

Banyak Orang Pulang Kampong, Hati Senang Ketemu Keluarga

Soerabaia, 28 Maret 2025 – Pagi-pagi sekali, halaman Universitas Bhayangkara (Ubhara) Soerabaia sudah rame betoel. Orang-orang datang bawa tas besar, anak kecil pegang tangan emak, ada yang bawak rantang isi makanan. Hari ini hari baik, karena Mudik Gratis 2025 Bareng Radar Soerabaia diberangkatkan.

Orang semua seneng, karena bus ini tidak bayar satu sen pun. Bus gede, bersih, ada AC, ada kursi empok. "Wah.. kalau naik bis semewah ini, harga tiket bisa mahal, tapi sekarang kita bisa naik graties," kata Bapa Soemadi, orang tua dari Ponorogo.

Besar dan kecil, muda dan tua, semua orang naik ke bus dengan tertib. Anak-anak lihat ke jendela, melambai ke famili yang anter. Ada jang titip salam ke famili di kampong. 
"Nanti kalau sampe, kirim kabar, jangan lupa," pesan seorang ibu ke anaknya yang duduk di pinggir jendela.

Bus melaju pelan-pelan, dikawal polisi biar selamat sampai kota masing-masing. "Biar hati tenang, kita dijaga sampe rumah," kata Mbok Ijah, yang mau pulang ke Trenggalek.

Hari ini banyak hati yang senang. Di kampong, famili sudah siap-siap masak opor dan ketupat. Hari Lebaran, semua orang bisa ketemu lagi, cerita panjang lebar, dan makan rame-rame.

"Semoga tahun depan ada lagi mudik gratis begini," kata Bapa Mamat, yang pegang tas berisi oleh-oleh buat cucunya.

Kamis, 27 Maret 2025

Blog Ini Terlantar Sangat Lama, Siapakah yang Salah?

Adalah suatu kenyataan yang tiadalah dapat disangkal: blog ini telah dibiarkan teronggok tanpa pembaruan hingga hampir dua purnama lamanya.

 Sang tuan rumah, yang dahulunya rajin menuangkan buah pikirannya di lembar maya ini, seakan terlena oleh kesibukan dunia fana—entah dalam urusan kerja, mengayuh sepeda pancal, atau barangkali terperangkap dalam gelombang hiburan Youtube serta seluk-beluk media sosial.

Adapun catatan terakhir yang menghiasi laman ini ialah perihal pertemuan dengan Romo Didik, beberapa hari sebelum menerima tahbisan sebagai Uskup Surabaya pada 20 Januari 2025 yang lalu.

Sejak saat itu, sunyilah blog ini, tiada kisah baru yang tersaji. Maka tiadalah mengherankan apabila beberapa sahabat bertanya-tanya: apakah gerangan yang terjadi dengan sang empunya blog?

Petang tadi, dalam sebuah kepenasaranan yang mendadak timbul, diperiksalah blog ini. Alangkah terkejutnya hamba mendapati bahwa hanya tiga belas orang yang sempat mengklik. Namun, yang mengklik belum tentu membaca. 

Apakah mereka dibawa ke mari oleh Paman Google? Itu pun belum ada kepastian. Malahan, setelah hamba mengetikkan alamat blog ini pada laman pencari, tiadalah ia muncul dalam daftar Google!

Maka bertanyalah hamba kepada seorang kawan yang memahami seluk-beluk algoritma dan SEO. Katanya, apabila tulisan di suatu blog terlalu sedikit, maka Paman Google akan menganggapnya tidak berkualitas. 

Dan apabila blog ini lebih sering diperbarui, apakah niscaya PV-nya akan membubung tinggi? Jawab seorang sahabat yang berkecimpung dalam dunia media daring di Surabaya: 

"Belum tentu! Banyak saja belum tentu masuk, apalagi sedikit, lebih-lebih lagi bila tiada sama sekali!"

Sebagaimana diketahui, laman-laman berita daring pun kini mengalami nasib serupa. Jumlah PV mereka merosot tajam, dari yang dahulunya mungkin melampaui seratus ribu, kini hanya berkisar di bawah dua puluh ribu, bahkan ada yang hanya menyentuh angka sepuluh ribu.

Demikianlah sekadar renungan bagi kita semua. Bahwa dalam jagat maya yang kian dinamis ini, kehadiran yang terus-menerus dan tulisan yang bermutu menjadi suatu keniscayaan. Apakah blog ini akan kembali semarak seperti dahulu kala? Ataukah ia akan menjadi sekadar jejak sunyi di sudut dunia digital? Biarlah waktu yang menjawabnya.

Senin, 20 Januari 2025

Dua keponakan berhasil jadi PNS Kemenkumham! Alhamdulillah

Buat apa kuliah kalau tidak bisa jadi pegawai negeri? 

Buat apa sarjana kalau sulit cari kerja?

Kuliah itu tujuan utamanya jadi PNS! Begitulah faham atau semacam "ajaran" yang berlaku di NTT. Pabrik-pabrik tidak ada. Industri swasta belum jalan.

Maka PNS jadi idaman semua orang NTT. Dapat gaji bulanan, kerja rileks tanpa tekanan, tanpa target omzet, dapat pensiun. Gaji selalu naik karena negara tidak bangkrut.

Rinol si keponakan baru saja lulus tes CPNS. Diterima sebagai pegawai Kemenkumham. Tugasnya nanti jadi penjaga tahanan atau narapidana alias warga binaan di lembaga pemasyarakatan alias penjara.

Rinol anak cerdas. Sebelumnya dia ikut tes masuk kampus kedinasan Kemenhub RI. Masuk 5 peserta terbaik di Provinsi NTT. Tapi NTT hanya dapat jatah 3 taruna alias mahasiswa.

Maka 5 peserta itu dites lagi. Wawancara tatap muka dsb. Kali ini Rinol gagal. Impian jadi mahasiswa yang dibayar negara pun ambyar.

Dasar anak cerdas, Rinol ikut tes masuk PTN. Tidak pakai belajar, bimbingan tes, ia diterima di Universitas Nusa Cendana (Undana Kupang). Fakultas Peternakan. Urusan ternak sapi, kambing, babi, ayam, bebek dsb. Tapi rupanya kurang semangat di kampus negeri itu.

Rinol iseng-iseng ikut tes CPNS Kemenkumham. Cukup pakai ijazah SMA. Ternyata lulus. Alhamdulillah. Impiannya dan orang tuanya akhirnya terkabul. 

Sebelumnya Fidel keponakan satu lagi juga pikiran serupa. Buat apa kuliah lama, jadi sarjana tapi tidak ada jaminan jadi PNS? Fidel punya otak cerdas. Lulusan SMA favorit di Kupang.

Ia pun coba-coba tes CPNS Kemenkumhan. Puji Tuhan, lolos! Padahal formasi yang diterima sangat sedikit. Fidel pun kini sangat menikmati pekerjaannya sebagai pegawai negeri urusan penjara. Saban hari ketemu warga binaan.

Lulus SMA atau SMK langsung kerja, diangkat PNS, adalah impian banyak orang. Khususnya rakyat NTT. 

Berbahagialah mereka yang jadi PNS! Sebab upahmu dibayar negara!

Minggu, 19 Januari 2025

Awak Media Ngobrol Santai dengan Uskup Surabaya Terpilih Monsinyur Didik

Modik, Romo Didik, segera menjadi Monsinyur Didik. Uskup Surabaya Monsinyur Agustinus Tri Budi Utomo. Tahbisan diadakan pada Rabu 22 Januari 2025 di Widya Mandala Hall, Pakuwon City, Surabaya.

Sabtu 18 Januari 2025, Gereja Katedral HKY sudah diterop seluruhnya. Persiapan Vesper Agung. Pemberkatan semua busana, tongkat, atribut yang akan dikenakan bapa uskup yang baru. Para uskup se-Indonesia diundang hadir dalam prosesi penting dan langka itu.

Empat hari sebelum tahbisan, Uskup Didik alias Monsinyur Agustinus mengundang awak media di Surabaya untuk ngobrol santai. Baru kali ini ada seorang uskup terpilih mengajak wartawan untuk diskusi santai.

Obrolan bebas. Tidak pakai moderator meski si Adrian dari Surya sebagai koordinator. Ada Eta dari Kompas, Ambro Kompas, Andreas CNN, Disway, Jawa Pos dan sebagainya. Banyak wartawan lawas macam Eta yang saya kenal baik, suaminya kebetulan orang Flores, tapi banyak yang belum kenal.

Tidak ada doa pembukaan. Langsung ngomong ngalor ngidul. Soal makan siang gratis, laut di pagar, PSN di Surabaya, aset keuskupan, tren panggilan atau seminaris, hingga sulitnya menghubungi orang keuskupan untuk membahas isu-isu aktual di media massa.

"Kita akan buat media center. Nanti Komsos akan kita benahi sesuai tuntutan zaman. Zaman sekarang tidak bisa lagi ditutup-tutupi," kata bapa uskup asal Ngawi itu.

Wartawan juga meminta agar para awak media di Surabaya yang bukan Katolik diajak retret atau gathering agar memahami sejumlah istilah khas gerejawi. Sebab saat konferensi pers beberapa waktu lalu ada wartawan yang menanyakan beda "tahbisan" dan "pelantikan", uskup itu apa, tugasnya apa, mengapa tidak segera "dilantik" tapi harus  menunggu tiga bulan setelah diumumkan Vatikan.

Semua pertanyaan, keluhan, curhat para awak media direspons dengan baik oleh Uskup Didik. Ternyata ia sudah melakukan berbagai persiapan terkait media center di Keuskupan Surabaya. Ruang itu bakal terbuka untuk siapa saja. Bukan hanya bagi wartawan yang beragama Katolik.

"Silakan mampir, ngopi, mengetik berita dsb," kata uskup yang pernah jadi pastor kepala Paroki Sidoarjo itu.

Lantas, kapan "kabinet" baru akan diumumkan?

"Tanggal 23 Januari," kata Uskup Didik.

 Artinya sehari setelah ditahbiskan oleh Dubes Vatikan Monsinyur Piero Pieppo, nama-nama kuria sudah bisa diketahui rakyat di seluruh dunia. Sebab Misa Tahbisan Uskup Surabaya, Misa Pontifikal, dan Vesper Agung disiarkan secara live streaming lewat YouTube dan media sosial.

Tak terasa obrolan di ruang tengah Wisma Keuskupan Surabaya sudah berlangsung selama dua jam. Adrianus minta Uskup Didik memimpin doa sekaligus memberkati para wartawan di Surabaya.

Deo gratias!

Selamat bertugas, Uskup Didik!

Kamis, 09 Januari 2025

Wayang Potehi Sambut Tahun Baru Imlek, Ki Subur Panen Tanggapan di Jakarta

Jelang Tahun Baru Imlek 2025, Ki Subur, dalang wayang potehi asal Kampung Dukuh, Surabaya, tengah sibuk mempersiapkan jadwal padatnya di Jakarta. Dalang yang dikenal piawai dalam memainkan wayang khas Tionghoa ini telah mendapatkan serangkaian undangan dari berbagai pihak untuk tampil selama bulan Januari hingga awal Februari 2025.

"Saya main dua hari pada 14-15 Januari 2025 di Kelenteng Pasar Baru Jakarta," ujar Ki Subur. 

Usai tampil di kelenteng, ia langsung diminta mengisi pertunjukan di Mall Ciputra Jakarta mulai 16 Januari hingga 3 Februari.

 "Pertunjukan nonstop selama 19 hari berturut-turut. Alhamdulillah, Imlek tahun ini saya masih dipercaya untuk menghibur masyarakat Jakarta dan sekitarnya," tambahnya.

Ki Subur mengenang awal perjalanan kariernya di Jakarta pada 2007, ketika dirinya pertama kali diundang untuk memainkan wayang potehi karena belum ada dalang potehi di wilayah Jabodetabek. Antusiasme masyarakat sangat tinggi, terutama karena kesenian ini sempat dilarang pada era Orde Baru.

 "Apalagi potehi dimainkan di pusat perbelanjaan, bukan di kelenteng seperti biasanya. Saya padatkan ceritanya dan mengemas sedemikian rupa agar jadi hiburan keluarga," jelasnya.

Tahun ini, menyambut Tahun Ular, Ki Subur akan membawakan lakon Siluman Ular Putih, sebuah legenda klasik yang populer di industri film namun jarang dimainkan dalam wayang potehi.

 "Saya harus membaca lagi cerita tentang Siluman Ular Putih dan konteks sejarahnya agar lebih pas saat dipentaskan. Kami juga menyiapkan properti baru untuk mendukung cerita," kata Subur.

Untuk mendukung pertunjukan yang panjang ini, Ki Subur membawa tim beranggotakan lima pemain musik, terdiri dari tiga orang dari Surabaya dan dua dari Jakarta. Anak Ki Subur, Ringgo, juga ikut tampil untuk mendukung regenerasi seni wayang potehi.

Berbeda dengan wayang kulit yang hanya dimainkan semalam suntuk, Ki Subur menjelaskan bahwa wayang potehi memiliki durasi yang lebih fleksibel. "Bisa satu-dua hari, satu minggu, bahkan satu bulan sesuai pesanan. Sekali tampil biasanya dua jam, dan ceritanya dibuat fragmen-fragmen hingga selesai pada hari terakhir," tuturnya.

Antusiasme terhadap wayang potehi terus bertumbuh, terutama di Jakarta. "Alhamdulillah, banyak yang suka sehingga setiap tahun saya dapat job di sini," ujar Ki Subur, penuh syukur.

 Pertunjukan wayang potehi ini diharapkan menjadi bagian dari perayaan Tahun Baru Imlek yang penuh warna dan makna bagi masyarakat Tionghoa dan penikmat seni tradisional di Indonesia.

Selasa, 07 Januari 2025

Pastor Josef Cui Lipeng SVD, Misionaris Asal Hubei Tiongkok Bertugas di Surabaya

Pastor Josef Cui Lipeng, 38 tahun, misionaris asal Provinsi Hubei, Tiongkok, saat ini bertugas di Gereja Gembala Yang Baik, Jalan Jemur Handayani, Surabaya. Meski baru setahun berada di Indonesia, Pastor Cui sudah cukup fasih berbahasa Indonesia dan memimpin misa dalam bahasa Indonesia.

"Saya pertama kali belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta selama tiga bulan, kemudian praktik langsung dengan para romo di Jogja, Jakarta, Semarang, dan Surabaya," ungkap Pastor Cui.

Namun, Pastor Cui mengaku belajar bahasa Indonesia bukan hal mudah baginya. Ia mengalami kesulitan terutama dalam pengucapan huruf "r." 

Ucapannya sering pelat sehingga tidak dipahami orang lain. "Sekarang sudah lumayan," ujar Pastor Cui sambil tersenyum.

Pastor Cui berasal dari keluarga Katolik yang taat di Hubei. Bahkan, pamannya adalah seorang pastor praja di Tiongkok. Melihat pamannya kewalahan melayani umat di sana, ia memutuskan menjadi misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) dan melanjutkan pendidikan teologi di Jerman.

Saat belajar di Jerman, Pastor Cui bertemu dengan keluarga Indonesia yang dikenalnya sebagai orang-orang yang sangat baik. Hal ini menumbuhkan keinginannya untuk bertugas di Indonesia. 

"Keinginan itu akhirnya terwujud dengan perutusan saya ke Surabaya," tuturnya.

Pastor Cui merasa nyaman bertugas di Surabaya. "Di Surabaya, saya merasa seperti di kampung sendiri karena banyak umat yang potongannya seperti saya (Tionghoa)," katanya.

Untuk memperlancar kemampuan bahasa Indonesia, Pastor Cui terus belajar dari rekan-rekannya di Surabaya, terutama Romo Lucius Tumanggor SVD. "Kami sering nonton televisi bersama. Kalau ada yang tidak saya mengerti, dia yang menjelaskan," katanya.

Pastor Cui juga mengapresiasi kehidupan religius masyarakat Indonesia yang menurutnya sangat berbeda dengan di Tiongkok atau Eropa.

 "Di Surabaya, saya melihat umat biasanya datang lebih awal sebelum misa dimulai dan berdoa pribadi sangat lama. Di Tiongkok tidak seperti itu," jelas pastor kelahiran 4 Maret 1986 ini.

Meski baru setahun bertugas, dedikasi Pastor Josef Cui Lipeng di Gereja Gembala Yang Baik mendapat apresiasi dari umat. Pastor Cui berharap dapat terus melayani dengan penuh semangat sambil memperdalam pemahaman budaya dan bahasa Indonesia.

Minggu, 05 Januari 2025

Tahun baru kelabu di Jolotundo Trawas

Natal kelabu, tahun baru juga hambar. Malam tahun baru saya mampir di rumah panggung kawasan Biting, Seloliman, Trawas. Dekat petirtaan Jolotundo. Mendinginkan badan.

Pak Gatot Hartoyo hanya ditemani Dila, anaknya Mbak Nur pembantunya Pak Gatot. Dila masih kelas 3 SMP. Belum pintar masak. Beda dengan mamanya.

Mbak Nur ke mana? "Lagi sakit. Sedang perawatan," kata Dila. 

Rupanya Mbak Nur sudah lama sakit berat di payudara. Perlu kemoterapi. Duh, Gusti!

Tak ada Mbak Nur membuat malam tahun baru terasa hambar. Tak ada acara makan-makan, sarasehan budaya seperti biasanya. Hiburan musik dari Heri Biola pun tak ada.

"Mas Heri pulang ke Sidoarjo. Memang nggak ada agenda malam tahun baru," kata Pak Gatot yang juga penulis beberapa buku sejarah Sidoarjo. 

Maka, malam itu kami hanya sarasehan berdua. Di usianya yang senja Pak Gatot masih tajam analisisnya. Banyak cerita tentang perkembangan Jolotundo, bisnis warung, vila-vila hingga teman-teman sebayanya yang sudah tiada.

"Teman-teman saya sudah nggak ada semua," kata Gatot.

 Ia lalu menyebut nama-nama seniman + budayawan Sidoarjo yang sudah berpulang. Bambang Haryadjie pelukis. Bambang Tri budayawan penulis buku. Eyang Thalib pelukis. Mas Eko Porong pemilik galeri. Santoso pematung. Erwin budayawan. 

Di mana Pak Hendri Haryanto kurator lukisan? "Agak stres kayaknya sejak istri dan anaknya diambil mertua. Dia benar-benar terpukul," kata Pak Gatot.

Obrolan mengalir perlahan hingga 23.00. Saya pun ngantuk berat. Rahayuuuu!

Jumat, 03 Januari 2025

Damai yang Hilang di Kota Lama! Natal Terasa Hambar

Natal 2024 ini terasa kelabu. Tak ada nuansa perayaan, pohon terang berkilau, jajanan di meja, wajah-wajah ceria.

Tak seperti biasanya Kota Lama Gang Buntu, Malang, sepi saat Hari Natal. Seperti hari biasa aja. Paman CKH tak ada di rumah. Mungkin sibuk kerja atau ke Singosari. Seperti kebiasaannya selama ini.

Esoknya usai misa pagi Natal di Cor Jesu, Celaket 55, ayas mampir lagi di Kota Lama alias Klentengstraat karena dekat kelenteng terkenal itu. Ketemu Susan, istrinya Oscar Hurek. "Om di mana?"

"Belum pulang. Mungkin sebentar lagi," kata wanita asli Malang itu. 

Banyak perubahan di kediaman om di Kota Lama. Oscar dan Susan bersama keluarga bangun rumah di bekas kandang burung mainan paman dulu.

 Lahan eks kebun anggrek itu memang luas. Ada pohon kelapa, kelor, dan aneka tanaman. Mirip di desa.

Tiba-tiba Om CKH sudah ada di depan pintu. Betapa girang hatiku. "Selamat Natal! Semoga sehat dan damai," ayas mengukurkan tangan.

Aneh! Om rupanya tidak tahu siapa aku. Padahal biasanya kami ngomong ngalor ngidul berbahasa Lamaholot sampai berjam-jam. Mungkin pikun karena sudah tua. Tapi fisiknya masih kuat meski sekarang makin kurus. Dulu badannya besar dan agak kegemukan.

"Saya kalau mati tidak akan bawa tanah dan rumah ini. Orang mati menghadap Tuhan tidak bawa apa-apa!" katanya dengan nada keras. 

Ada apa ini? Kok Om bicara soal tanah? "Gak nyambung karena pendengarannya gak kayak dulu. Omong harus keras," kata Susan.

Om CKH pun masih bicara soal tanah. Mungkin aku dikira petugas pajak atau pengacara. Padahal saya seperti biasa mampir untuk Natalan sederhana seperti biasa. 

Makin lama Om masih konsisten bicara soal tanah. Saya pun mulai menebak apa yang berkecamuk di benak paman dari Pulau Lembata itu. Mungkin ada sengketa, batinku.

Saya pun sekali lagi menyalami Om dan minta diri. Diantar Susan. Di luar ketemu Oscar. Ouw... akhirnya saya jadi paham duduk persoalannya. Bukan hanya faktor usia, kepikunan, tapi ada masalah lain yang lebih kompleks.

Itu yang membuat damai Natal tahun ini hilang di Kota Lama.

"Sampean dikira pengacara!" kata Susan.