Kamis, 18 September 2025

Apes! Angkot di Arjosari Malang Ngetem Satu Jam dan Tidak Berangkat



 Jarak Surabaya (titik nol di Tugu Pahlawan) dengan titik nol Sidoarjo dekat alun-alun cuma 30 km lebih sedikit. Tapi ada beberapa titik kemacetan parah yang membuat durasi perjalanan jadi sangat lama. Bisa satu jam bahkan 90 menit saat jam pulang kerja.

Ayas sering naik bus ekonomi dari Terminal Purabaya Bungurasih ke Arjosari Malang. Jaraknya hampir 100 km. Lama perjalanan rata-rata 70 menit. Bahkan bisa lebih cepat atau lambat sedikit.

Luar biasa! 

Perjalanan dari Surabaya ke Malang saat ini ibarat perjalanan di dalam kota saja. Tidak lagi dua jam atau tiga jam lewat jalur tradisional. Jalan tol yang tersambung menyeluruh mengubah segalanya.

Bus tidak bisa lagi turun naikkan penumpang di mana saja. Tidak bisa ngetem di terminal, halte, atau di mana saja. Sekarang cuma bisa ngetem sejenak di pintu keluar Purabaya. 

Lalu ngebut terus sampai Karanglo, eksit tol. Kemudian masuk Terminal Arjosari.

Masalahnya setelah sampai di Arjosari. Angkot-angkot ngetem lama sekali. Kadang bisa satu jam dan belum tentu berangkat jika jumlah penumpang terlalu sedikit. 

Ayas dapat pengalaman buruk pekan lalu. Sampai di Arjosari sekitar pukul 21.10. Target pukul 22.00 harus sampai di Kotalama, dekat kelenteng yang terkenal itu karena ada voucher. Lewat jam 10 malam hangus.

Tunggu punya tunggu, hampir satu jam, angkot AMG (Arjosari, Malang, Gadang) tidak juga berangkat. Mungkin karena penumpang saat itu hanya tiga orang. Tunggu dua penumpang lagi minimal. Ternyata tidak ada.

Mendekati jam 22.00 angkot tidak berangkat. Ayas sudah tak punya kemampuan untuk marah atau maki-maki. Langsung turun jalan kaki mampir di warkop dekat pintu keluar terminal. Mendoakan sopir angkot yang ngawur itu.

Sudah pasti voucher hotel gratis hangus. Plan A gagal. Harus ambil plan B. Bermalam di kos harian semacam penginapan sederhana di Arjosari. Besok pagi baru meluncur ke Malang Kota.

Ayas baru saja baca para sopir angkot di Malang menghadap wakil rakyat. Memprotes rencana bus Trans Jatim masuk Malang Raya. Itu membuat penghasilan mereka berkurang.

Kawan-kawan sopir angkot itu lupa bahwa ulah mereka yang ngetem sangat lama sangat merugikan penumpang. Masyarkat jadi hilang simpati.

Rabu, 17 September 2025

Nona Singapura Tidak Bisa Cakap Melayu, Ketemu di GNI Bubutan

 



Siang ini Ayas mampir di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan Surabaya. Ada Makam dr Soetomo pahlawan nasional sekaligus pendiri GNI. Pendapanya terbuka sangat nyaman dan bersih.

Ada kantor Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang didirikan dr Soetomo pada 2 September 1933. Sampai hari ini masih terbit meski pembacanya kian menua. Ayas punya dua kawan yang jadi redaktur hebat di PS.

Tiba-tiba datang gadis manis agak gemuk. Tionghoa. "Ada yang bisa saya bantu?" Ayas menyapa basa-basi ketika si nona manis mendekat.

Dia ngomong bahasa Inggris. Ouw, rupanya wisatawan asal Singapura. Dia bertanya tentang gedung ini, sejarahnya, dan sebagainya. Ayas pun menjawab sekenanya seperti pemandu wisata amatiran.

Syukurlah, informasi yang dipajang di pendapa GNI sangat lengkap. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada foto-foto tua djaman doeloe yang sangat menarik. Ayas pun meminta Nona Singapura itu untuk membaca sendiri. 

Ayas kembali ngopi sambil membaca berita-berita mentahan kiriman wartawan lalu disunting. Kemudian diunggah di portal berita. 

Kebetulan berita lagi sepi selepas kerusuhan pada akhir Agustus lalu. Penangkapan maling-maling motor berkurang. Penangkapan geng-geng remaja juga nihil.

Ayas lalu merenung. Mengapa orang Singapura tidak bisa berbahasa Melayu? Padahal, katanya bahasa Melayu salah satu bahasa resmi Singapura selain bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal, Negaraku, lagu kebangsaan Singapura ditulis oleh komponis Melayu dan berbahasa Melayu.

Ayas juga sering mengikuti pidato-pidato perdana menteri Singapura macam Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong dalam bahasa Melayu. Sangat fasih dan jelas. 

Naga-naganya bahasa Melayu tidak dianggap penting di Singapura. Bahasa Inggris yang utama. Bahasa Mandarin dan Hokkien mungkin nomor 2. Orang Tionghoa rupanya tidak punya minat sama sekali belajar bahasa Melayu.

Nona Singapura itu serius banget membaca narasi-narasi di pendapa GNI yang disusun secara kronologis. Kemudian melanjutkan jalan kaki ke Tugu Pahlawan

Orang Surabaya sekalipun sangat jarang jalan kaki sejauh itu dari Tunjungan, Bubutan, Ampel, Kembang Jepun, Rajawali dan sebagainya. Apalagi membaca cerita-cerita sejarah yang terkait dengan bangunan cagar budaya.

Sembahyang Tutup Peti Oei Hiem Hwie Dipimpin Pater Thomas Bani SVD


 Tokoh literasi, wartawan era Orde Lama, Soekarnois tulen, Oei Hiem Hwie tutup usia. Ayas sangat kehilangan. Penggemar buku-buku, majalah, koran, tempo doeloe di Surabaya juga kehilangan besar.

Ayas sering mampir menemui Om Oei di Perpustakaan Medayu Agung, kawasan Rungkut Surabaya. Setiap kali gowes pagi ke hutan bakau wisata mangrove Gunung Anyar biasanya mampir. 

Ada saja bahan yang dibahas Oei Hiem Hwie. Cerita-cerita tentang pengalamannya di Pulau Buru paling menarik. Mantan wartawan koran Trompet Masjarakat itu (kantornya dekat Tugu Pahlawan) dibuang selama 8 tahun di Buru. 

Oei yang lahir di Malang ditangkap di Malang, dibawa ke Nusa Kambangan tiga bulan lalu dibuang ke Pulau Buru. Ia dianggap orang kiri, Soekarnois, pengurus Baperki.

 "Saya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan," katanya.

Oei dan ribuan tahanan politik, narapidana politik, sudah hilang asa. Merasa sudah selesai di Buru. Mati di pulau yang pada awal 1970-an masih liar itu. Tapi proyek orba itu dikecam dunia barat. 

Tahun 1978 Oei dibebaskan. Setahun kemudian Pramoedya Ananta Tour dibebaskan. Oei yang menyediakan kertas, alat tulis agar Pram tetap bisa menulis novel atau apa saja di Pulau Buru. Manuskrip-manuskrip asli Pram pun disimpan dan disembunyikan Oei.

Ayas, seperti biasa, tidak pernah menanyakan apa agama seseorang. Ayas menduga Om Oei jemaat kelenteng. Bisa Tridharma atau Buddha. Bisa juga Khonghucu. 

Nasrani kayaknya bukan karena diksi-diksi yang diucapkan Oei jauh dari kata-kata yang biasa kita dengar dari orang Katolik, Protestan, Pentakosta, Karismatik, Advent dsb. Om Oei tak pernah bicara soal gereja atawa kekristenan sama sekali.

Ayas beberapa kali mampir di Medayu Agung pada Jumat pagi. Ngobrol biasa, tanya jawab, lalu Om Oei siap-siap berangkat ke Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bersama salah seorang karyawannya.

Oh, berarti Om Oei ini mualaf. Seperti Haji Masagung tokoh muslim Tionghoa yang juga idola Oei Hiem Hwie, pikir Ayas.

Karena itu, Ayas agak terkejut saat mengikuti acara tutup peti mendiang Om Hwie di Adi Jasa Surabaya. Loh, ada Romo Thomas Bani SVD, Pastor Paroki Roh Kudus, Rungkut. Pater asal Belu NTT ini pastor paroki saya yang meliputi Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar.

"Salam damai, Pater!" 

Ayas menyalami pater yang ramah ini. Pater tampak semangat.

Di Adi Jasa saat itu ada banyak akademisi Unair yang memang dekat dengan Om Oei. Ada Dr Dede Oetoemo, Dr Shinta Rahayu dosen dan sinolog terkenal, hingga tokoh-tokoh Tionghoa. Ada pula beberapa umat Katolik dari Paroki Roh Kudus.

Oh, ternyata Om Oei ini Katolik. Dua hari kemudian dikremasi di Kembang Kuning. Ibadat cara Katolik juga.

Orang Tionghoa memang paling luwes. Sangat fleksibel. Tidak fanatik. Sering sulit ditebak apa agamanya. Lahir sebagai umat kelenteng, belajar di sekolah Katolik kadang jadi katekumen, dewasa bisa jadi mualaf, kemudian berpulang dan dimakamkan secara Katolik. 

Toh, Tuhan Allah hanya satu, bukan?

Selamat jalan, Om Oei!

Minggu, 14 September 2025

Sembahyang 40 Hari Tante Nanik di Kotalama Malang, Nostalgia Kampung Halaman

 


Tidak terasa sudah 40 hari Tante Anastasia Nanik tiada. Berpulang dalam damai ke rumah Bapa. Dimakamkan di Makam Nasrani Sukun, Malang.

Sabtu malam, 13 September 2025, sembahyang bersama 40 harinya. Ayas hadir. Mestinya hari Jumat tapi diundur sehari karena ada kesibukan di lingkungan, kata Susan, menantunya Om Cornelis Hurek Making, suaminya mendiang Tante Nanik.

Cukup banyak umat Katolik dari kawasan Kotalama, Paroki Kayutangan, Malang, hadir. Ada Pak Prasetyo asisten imam (AI) yang terkenal di Malang Kayutangan lantaran suaranya yang mantap keras tanpa perlu mikrofon.

Ayas duduk di dalam bersama sebagian jemaat. Sebagian lagi di teras dan halaman rumah tua gaya kebun di kampung. 

Doa bersama secara liturgi, nyanyi beberapa lagu, lalu doa rosario lima peristiwa. Kebiasaan lama yang tidak pernah ayas lakukan selama bertahun-tahun karena kerja malam hari. Tidak mungkin ikut doa lingkungan, wilayah, kategorial, legio dsb.

Sembahyang selesai. Kurang lebih satu jam. Lalu makan bersama soto ayam. Jemaat pulang bawa nasi berkat, jajan di kotak. Layaknya selamatan di kampung.

Ayas tentu saja tidak langsung pulang. Tapi ngobrol panjang lebar dengan Om Cornelis Hurek Making. Meski telinga kanannya agak terganggu gara-gara jatuh dari motor, dibegal di kawasan Kiai Tamin, dua tahun lalu, obrolan cukup asyik.

Om bicara panjang lebar dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah di Kecamatan Ile Ape, Lomblen Island alias Pulau Lembata. Nostalgia masa kecil sekolah rakyat (SR) di Lewotolok lalu pergi merantau ke Malaysia. Di usia 12 atau 13 tahun.

"Kame gere tena mesin take leron 48," katanya. Kami naik perahu tanpa mesin selama 48 hari. 

Di tengah jalan perahu yang membawa para perantau asal Lembata, Adonara dan sekitarnya diserang bajak laut. Barang-barang berharga yang dibawa sebagai bekal dari kampung dijarah. Ngeri!

Belum sampai Sabah, yang saat itu masih dijajah British. Belum gabung Malaysia. Sabah dan Serawak gabung Persekutuan Tanah Melayu tahun 1969 menjadi negara Malaysia yang kita kenal sekarang.

"Mo inam Yuli ne kame tobo kelas tou," katanya. Artinya, ibu saya, Yuliana Manuk, ternyata teman satu kelas Om Cornelis di SR Lewotolok. 

Murid-murid anak kampung dulu masih sangat sederhana. Belum ada celana. Pakai kewodu, sarung yang ditenun sendiri mama-mama di kampung. Wanita juga pakai sarung.

Kepala sekolah, Bapa Hendrikus Lawe Betan asal Waibalun Larantuka, kerasnya minta ampun. Murid nakal, malas, apalagi bandel atawa kurang ajar dipukul dengan penggaris. Kadang ditempeleng dengan tangan kosong.

Meski begitu, Om Cornelis berterima kasih kepada Bapa Betan yang sangat berjasa merintis sekolah rakyat pertama di kampung. Bukan cuma mengajar pelajaran membaca, berhitung, menulis, mencongak tapi juga mengajar agama kiwanen (Katolik).

"Nolo kame sembahyang Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.. moi hala," kata Om sambil ketawa.

Maksudnya, dulu anak-anak kampung tidak hafal doa-doa dasar seperti Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya.... Guru Betan yang berjasa memberikan dasar-dasar pendidikan Katolik di kampung yang masih sederhana.

Ayas suka dengar cerita-cerita ringan macam ini. Ada narasi sejarah, adat istiadat hingga lapisan-lapisan generasi yang jarang diketahui generasi muda. Apalagi anak desa yang lekas merantau pada usia sangat muda.

Semoga Tante Nanik tenang di sana! 

Semoga Om Cornelis tetap kuat ditemani anak-anak dan 13 cucu - kalo gak salah ingat.

Senin, 01 September 2025

Uklam Tahes #120 Ikamisa Malang Ketemu Guru Bahasa Inggris Terbaik

 


Uklam Tahes atawa Mlaku Sehat atawa Jalan Sehat nawak-nawak alumni Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang sudah memasuki edisi ke-120. Luar biasa! 

Boleh jadi IkamisaIkatan Alumni Mitreka Satata masuk rekor nasional Muri sebagai ikatan alumni yang paling sering bikin acara kumpul-kumpul dan jalan sehat. Tapi nawak-nawak malas cari rekor. Uklam tahes hanya sekadar silaturahmi santai aja.

 Bulan Agustus ini ada dua edisi uklam tahes sekaligus. Di Jabodetabek dan kompleks sekolahan Mitreka Satata persis di samping Alun-Alun Bunder depan Balai Kota Malang.

Ayas ikut yang di sekolahan. Tidak enak sama Rudi admin Grup Grafiti dan Iponk juragan kopi di Prapatan Klojen yang kebetulan satu alumni juga di kampus Unej. Kalau ke Malang ayas hampir pasti nongkrong ngopi di Koopen kafe unik yang juga sering disambangi turis-turis bule backpacker.

Sam Ipong sering jadi pemandu wisata sembari jualan aneka biji kopi yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia. Termasuk dari Flores. Kemampuan bahasa Inggrisnya memang bagus seperti nawak-nawak Mitreka Satata yang dulu digembleng keras oleh Mr Bee, guru bahasa Inggris terbaik di Malang Raya.

Uklam Tahes 120 ini seperti biasa ramai sekali. Tapi nawak-nawak grup satu kelas tidak banyak yang hadir. Ipong pasti datang sekalian buka booth kopi Koopen, Rudi sudah pasti, Wiwik PDAM, Haryono, Sugianto. Ada lagi beberapa kawan yang saya ingat wajahnya tapi lupa namanya.

Ayas senang banget bisa bertemu Bapak Ki Bambang Tribagjo Prawirayuwono yang kondang dengan sapaan Mr B. Guru bahasa Inggris ini memang dahsyat. Sejak lulus dari SMAN 1 aku tak pernah jumpa beliau.

Ayas pun salaman lalu perkenalkan diri blablabla. "Masih ingat saya, Pak?"

"Oh yesss... I still remember you! I remember you!" kata Mr B mantap.

Alhamdulillah! Puji Tuhan! 

Mr B bukan sekadar guru bahasa Inggris tapi juga penyanyi dengan suara bariton yang enak. Ada vibrasi khas penyanyi-penyanyi djaman doeloe. Ia sering membawakan lagu What a Wonderful World... yeaaah yeaaah yeaahhh...

"Hahaha... Louis Armstrong," tukas Mr B setelah saya melantunkan sedikit awal lagu legendaris itu.

Acara jalan sehat tidak terlalu jauh. Start dari lapangan basket SMAN 1 belok kiri masuk Kertanegara lalu belok kiri Sultan Agung depan SMAN 3 belok kiri Pajajaran lalu belok kiri Suropati dan masuk finis di sekolah.

Istirahat, minum, makan-makan ada tumpeng istimewa dari Wiwik yang kebetulan juara lomba bikin tumpeng Agustusan. Dari dulu Wiwik memang pintar masak dan keibuan.

Salam tahes! Komes!

Minggu, 10 Agustus 2025

Ujian Fisik Gowes dari Surabaya ke Jolotundo Trawas



Dua bulan sudah aku sudah bisa bike to work, B2W. Napas biasa, tidak capek lagi meski harus melahap rute lumayan panjang. Sekitar 25-30 km pergi pulang dari Kelurahan Rungkut Menanggal ke Kelurahan Bongkaran di kawasan kota lama.

Aku sendiri pun heran. Tak menyangka bisa gowes sejauh itu. B2W saban hari. Cuma dua tiga hari gagal B2W karena hujan deras mengguyur Kota Surabaya.

Mengapa tidak nyoba jarak jauh sekalian? Rute Surabaya - Jolotundo? Kalau tidak kuat, ya leren, pulang. Atau nuntun aja sepedanya. Begitu bisikan dari langit.

Yes, I do! 

Aku pun coba gowes dari Rungkut Menanggal ke Jolotundo, Kecamatan Trawas, Mojokerto. Lewat jalur Krian, Mojosari, yang lebih landai ketimbang jalur Ngoro yang penuh tanjakan. 

 Pulangnya baru menikmati turunan panjang Jolotundo, Ngoro, Watukosek, kampung Inul di Kejapanan, Porong, Lapindo hingga Sidoarjo sampai Surabaya.

Sepeda Polygon lawas disetel dengan rasio gir lebih ringan ketimbang setelan dalam kota yang sengaja dibuat agak berat. Rasio gir ini penting untuk melahap tanjakan pegunungan ala Jolotundo.

Lumayan capek tapi akhirnya bisa mendekati Jolotundo tempat wisata alam yang terkenal dengan petirtaan dan sumur kuna peninggalan Raja Airlangga. Tiga km jelang garis finish di Jolotundo tanjakan terlalu ekstrem.

Pesepeda senior yang pakai sepeda mahal canggih pun biasanya kewalahan. Apalagi sepeda tua keluaran 2005-an yang girnya sudah protolan. 

Apa boleh buat, aku sering nuntun. Kalau jalan agak datar atau tanjakan ringan giwes lagi. Akhirnya tiba di garis finish. Gasebo yang jadi markas komunitas pesepeda dari Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya.

Mampir sejenak ngopi di PPLH: Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup. Beberapa kenalan tidak percaya kalau aku gowes dari Surabaya sampai ke Jolotundo. Sekitar 60 km versi Mbah Google.

Mbah Gatot Hartoyo budayawan dan sesepuh Sidoarjo pun kaget melihat aku menuntun sepeda pancal ke rumah panggungnya di Dusun Biting, masih satu desa dengan kawasan wisata Jolotundo. 

"Saya cuma iseng aja ngetes fisik gowes ke Jolotundo. Alhamdulillah, ternyata sampai di garis finish dengan selamat," basa-basi kepada Mbah Gatot.

Mbah Gatot kelihatan capek dan ngantuk meski belum pukul 21.00. Beda dengan sebelum covid ia biasa "diganggu" rombongan dari Sidoarjo melekan semalam suntuk. Bahas seni budaya, politik, birokrasi, zionisme, hingga kerusakan lingkungan hidup.

Aku pun permisi istirahat. Melepaskan lelah, tidur nyenyak sampai pagi di Jolotundo. Pulangnya ngebut banget meski tidak mancak pedal karena turunan panjang hingga ke Ngoro Industri.

Rabu, 06 Agustus 2025

Mengantar Tante Nanik dari Kotalama Menuju Makam Sukun Malang


Susan bagi kabar dukacita. Tante Nanik meninggal dunia pada 4 Agustus 2025 di rumah Kotalama, Malang. Dimakamkan besoknya di Makam Nasrani Sukun.

Jenazah disemayamkan di Panca Budi. Tak jauh dari rumah Om Cornelis Kalu Hurek di Kotalama. 

Resquescat in pace! 

Selamat jalan Tante Nanik!

Semoga bahagia bahagia di rumah Bapa!

Tante Nanik tak lain istri Om Cornelis Hurek. Istri kedua. Istri pertama Tante Marie sudah lama meninggal dunia. Karena itu, paman yang sejak muda tinggal di Malang bersama Tante Marie di Kotalama dekat kelenteng itu menikah lagi.

Mendiang Tante Marie melahirkan 4 anak: Herlina, Lisa, Roy, Oscar. Si sulung Herlina sudah meninggal. Susan yang bagi kabar duka itu tak lain istrinya Roy alias mantunya Om Cornelis.

Tante Nanik melahirkan 2 anak laki-laki: Chris dan Nelson. Waktu kecil keduanya agak nakal. Makin besar dan dewasa makin insaf. Apalagi Chris belum lama ini menikah dan punya anak.

Aku punya banyak kenangan dengan Kotalama. Di sinilah, rumah di dalam gang buntu, itu pertama kali aku kenal Kota Malang dengan segala suka dukanya.

Tante Nanik selalu menyediakan masakan khas NTT khususnya Flores dan Lembata. Sayur kelor hampir pasti. Rumpu-rampe sayur campuran daun pepaya, jantung pisang dsb. Ikan laut juga hampir pasti karena itu kesukaan Om Cornelis.

Meski sudah puluhan tahun tinggal di Malang, punya anak cucu, bahkan dianggap embahnya Amalatok (Kotalama dibaca dari belakang khas Ngalam alias Malang), selera Om Cornelis ternyata tidak banyak berubah. Sulit adaptasi dengan selera Jowo.

Karena itu, nasinya pun selalu beras campur jagung. Kalau nasi putih tok kurang cocok. "Kita ini orang kampung jadi selera masa kecil tidak bisa hilang," katanya.

Yang menarik, hidup doa, rutinitas berliturgi Tante Nanik ini luar biasa. Tak hanya rajin misa mingguan di Gereja Kayutangan tapi juga aktif di kegiatan-kegiatan lingkungan dan sebagainya. 

Padahal, Tante Nanik ini Katolik katekumen semacam mualaf karena menikah dengan seorang lelaki asal Pulau Lembata NTT yang beragama Katolik. Malah lebih rajin ketimbang yang ngajak dia jadi Katolik. Banyak kasus seperti ini di mana-mana.

Selama ini aku pikir kondisi paman dan bibi di Kotalama baik-baik saja. Saya pun tak mampir kalau ada acara bersama kawan-kawan alumni Mitreka Satata karena waktunya sangat mepet.

Betapa kaget saat aku mampir saat libur Lebaran pada awal April 2025 yang lalu. Tante Nanik tak ada di rumah. Om Cornelis pun baru kena begal saat naik sepeda motor melintas di dalam kota tengah malam. 

Susan kasih tahu bahwa Tante Nanik sakit berat. Kanker payudara stadium lanjut. Bolak-balik ke rumah sakit. "Doakan semoga membaik," kata Susan yang memang sangat aktif dalam berbagai kegiatan di Paroki Kayutangan Malang itu.

Susan tidak cerita secara detail. Intinya sudah parah tapi kadang membaik. Kudu sering rawat inap di rumah sakit.

Sekitar lima bulan kemudian... selesai.

Upacara pemakaman dipimpin Romo Yohanes Sirilus Bhaha, OCarm dari Paroki Kayutangan. Romo Yoris sapaan akrabnya berasal dari Ende lahir 1986. 

Jenazah Tante Nanik disembahyangkan di persemayaman Panca Budi Kotalama lalu dibawa ke Makam Kristen Sukun.

Senin, 04 Agustus 2025

Bella dan Anang pamitan, kangen polo pendhem gembili talas bentoel

Bella pamit duluan lalu disusul Anang. Selalu ada rasa sedih ketika kolega yang cukup lama berada di ruangan yang sama pamit. Kontrak habis atau sebab lain.

Bella tipe anak muda milenial yang antusias tapi kritis. Tidak segan-segan mengoreksi atasannya. Sesuatu yang kurang lazim bagi generasi lawas. 

"Bos tak pernah salah," begitu prinsip lama yang selalu diingat karyawan atawa pegawai swasta dan pemerintah.

Anang Yulianto boleh dikata wong lawas. Tamatan grafika di Malang. Sangat paham teknologi percetakan era film hingga digital. Kaki sebelahnya di teknologi cetak model lama. Kaki satunya model baru yang tidak pakai film.

Dulu Anang dkk gantian bawa film ke percetakan. Naik motor malam-malam. Biasanya jelang pukul 00.00. Cetak jarak jauh belum lazim di Indonesia.

Di era cetak jarak jauh, Anang cukup koordinasi dengan karyawan percetakan yang jauh di daerah Wringinanom Gresik. Koreksi sedikit kalau ada masalah teknis.

Anang tinggal jauh di Tanjangrono Mojosari. Sudah masuk Kabupaten Mojokerto. Saban hari naik motor pergi pulang ke kantor. Pernah rawat inap lama, operasi gara-gara kecelakaan di Geluran Taman.

Waktu itu saya kurang konsentrasi. Kecapekan, katanya sambil tersenyum.

Kecelakaan gara-gara kecapekan, jaga deadline sampai larut malam tak membuang kawan asal Malang Kabupaten ini kapok. Ia terus kerja kerja kerja... mencari makna hidup. Meski penghasilannya sebagai petani di Mojosari bisa jadi lebih tinggi.

Anang selalu bawa polo pendhem ke kantor. Singkong rebus, telo rambat, talas, bothek, uwi, gembilibentoel dan sebagainya. Hasil panen dari kebun sendiri. Kebun mertuanya yang asli Tanjangrono.

Gara-gara Anang pula aku dan kawan-kawan jadi akrab dengan aneka tanaman polo pendhem. Akrab dengan gembili. Aku dulu penasaran dengan Jalan Gembili dekat gereja parokiku zaman dulu, Paroki Yohanes Pemandi, dekat RSAL yang berada di Jalan Gembili.

Gembili itu apa? Tidak ada umat paroki yang paham. Ada yang mengira semacam nama pewayangan kayak Kunti, Sadewa, Arjuna dsb.

Aha.. ternyata gembili itu sejenis ubi yang ada rambutnya. Ada manis-manisnya.

Sejak Anang pamit wisuda, tak ada lagi gembili yang bisa dinikmati. Aku cari di beberapa warkop lawas Surabaya tapi jarang ada. Biasanya cuma ubi jalar dan singkong rebus atau bothe yang ada.

Sampean mampir saja ke rumah kalau pengen singkong atau talas. Silakan cabut sendiri, katanya.

Anang memang tahu kalau aku sering ngadem ke daerah Jolotundo Trawas lewat Mojosari dan Ngoro. Dulu aku pun sering blusukan ke kampung-kampung seputar PG Kremboong dan PG Watoe Toelis Sidoarjo. Anang tinggal dan berkebun tak jauh dari situ.

Rutam nuwus, Sam Ngana!

Minggu, 03 Agustus 2025

Gowes ke Bangkalan Nostalgia Kapal Penyeberangan Jokotole

 


Sejak ada Jembatan Suramadu aku tak pernah naik kapal feri dari Surabaya ke Madura. Naik feri ribet dan lama ketimbang jalur darat Suramadu yang sat-set-wet. Karena itu, bisnis kapal penyeberangan Ujung-Kamal sudah lama kolaps.

Kini tinggal satu kapal saja yang melayani Ujung-Kamal. KMP Jokotole milik Dharma Lautan Utama si raja kapal dari Surabaya. 

Aku coba gowes ke Madura via kapal penyeberangan itu. Mau tak mau. Sebab sepeda angin atawa sepeda ontel dilarang lewat Jembatan Suramadu. Boleh asal tidak ketahuan, kata rekan penggowes kawakan.

Aku pun nostalgia mengenang masa lalu saat beberapa kali ngetrip ke Pulau Madura sebelum ada Suramadu. Gowes dari Kamal ke Bangkalan sekitar 20 km. Tidak jauh bagi para penggowes kawakan tapi lumayan menantang bagi pemula.

Jalan raya di Madura lebih nyaman bagi kawan-kawan onthelis. Kendaraan tidak ramai. Ada tanjakan ringan disusul turunan dan seterusnya bergantian hingga Bangkalan Kota.

Satu-satunya tanjakan berat di sekitar Makam Tionghoa kawasan Socah. Harus pakai gir ringan. Bagaimana kalau pakai sepeda fixed gear atawa single speed?

Sebaiknya turun aja. Sepeda dituntut sebentar karena tidak terlalu panjang. Toh sebentar lagi turunan yang enak. Aku ikuti nasihat para senior itu. Nuntun lalu mampir di warung bebek dekat Bong Tionghoa.

Siansen Tan alias Jacob Basuki pengurus Kelenteng Eng An Bio Bangkalan terkejut melihat aku mampir di kelenteng pakai sepeda pancal. Dia menganggap saya hebat karena bisa gowes Surabaya-Bangkalan pp.

Gak hebat, Pak! Banyak kawan saya yang biasa gowes Surabaya-Pandaan atau Surabaya-Malang dua atau tiga kali sepekan. Kalau cuma 20 km sih kecil bagi mereka.

Siansen (Bapak) pengurus kelenteng itu memang suka mengapresiasi tamu. Biar senang dan tambah semangat. Dia juga biasa gowes dari rumahnya ke kelenteng sekalian olahraga. Harus banyak gerak, katanya.

Sabtu, 05 Juli 2025

Mulai Gowes Rutin ke Kantor. Bike to Work Ternyata Tidak Sulit

 


Awalnya cuma iseng. Coba-coba gowes jarak jauh. Sekaligus menguji tubuh di usia yang tak lagi muda. 

Awalnya aku cuma gowes santai di sekitar kawasan Rungkut, hutan bakau Gunung Anyar, Bandara Juanda, Segoro Tambak, Tambak Oso. Mampir sejenak di Gereja Roh Kudus di Purimas devosi di Gua Maria. Balik lagi ke Abdul Karim.

Lama-lama nyoba gowes ke Kenjeran Park. Tempat wisata yang ada Sanggar Agung, patung Buddha Empat Muka, pagoda replika Beijing yang kini mangkrak. Lumayan jauh. Bisa 20 km pergi pulang.

Bagaimana kalau gowes ke Kota Lama? Kya-Kya Kembang Jepun, Rajawali, Jembatan Merah, Kalimas, Pasar Atom, Bongkaran, Gula, Kopi, Karet dst. 

Ternyata tidak terlalu berat. Jarak di atas 10 km terasa biasa saja karena tidak ngoyo. Tidak ngebut ala Sam Puspita juara SEA Games masa lalu asal Malang tapi juga tidak santai ala fun bike.

Awalnya hampir satu jam durasinya. Lama-lama bisa lebih cepat. Tapi bisa juga lebih lama kalau mampir di warkop, beli es degan di MERR, atau baca koran dulu di warkop dekat Makam WR Soepratman yang dari dulu langganan Jawa Pos.

Aku pun akhirnya memutuskan nyoba B2W selama sebulan penuh. Bulan Juni 2025. Kalau gak kuat ya wis. 

Syukur kepada Allah. Tak terasa sudah sebulan penuh aku bisa gowes dari rumah ke tempat kerja. Bike to work! B2W saban hari. "Gak percoyo," kata teman.

Gak percoyo yo wis.


Kamis, 05 Juni 2025

Lapak Menara Pengawal di Dekat RSUD dr Soetomo Surabaya

Hampir saban hari bapak ini buka lapak di depan RSUD dr Soetomo Surabaya. Jualannya beda dengan lapak2 Madura di dekatnya.

Kalau Madura jualan sate, gorengan, pisang rebus, tela rebus, aneka minuman, bapak ini pajang buku2 Menara Pengawal. Ada brosur rohani, traktat khas Watch Tower.

Bapa Pengawal itu memang Saksi Yehuwa. Sudah lama sekali dia jualan firman di situ. Hampir tidak ada yang mampir karena alergi kristenisasi. Tapi Bapa Pengawal itu tetap tersenyum dan terus buka lapak.

Siang tadi Ayas mampir rehat setelah gowes jarak jauh. Bapa Pengawal menyapa. Basa-basi. "Anda dari NTT ya?"

Betul. Lalu Bapa Pengawal mulai masuk pelan2 bahas firman ala Saksi Yehuwa. "Saya sudah tahu," Ayas mencoba memotong perkataannya.

Tahu dari mana?

"Saksi Yehuwa kan terkenal. Semua orang Kristen pasti paham lah. Menara Pengawal. Watch Tower. Sedarlah!" Ayas ngomong seenaknya aja kayak paham Jehovah Witnesses.

Bapa Pengawal makin senang kelihatannya karena rada nyambung. Tapi Ayas tidak mau masuk dalam jebakan agen Pengawal. Ayas pun kabur ke arah Stasiun Gubeng dan seterusnya.

Ayas sudah tidak asing dengan agen2 Pengawal. Sudah lama sekali di Ngagel Jaya Selatan. Ada dua Saksi Yehuwa sangat rajin menemui seorang nenek pelukis yang sudah naik haji dan fanatik.

Nenek itu tidak paham gaya dan arah percakapan kedua agen Pengawal. Dia pikir orang Pentakosta atau Protestan atau Katolik yang melakukan penginjilan dari rumah ke rumah.

Beda banget, Nek! Saksi Yehuwa ini kelihatan sangat kristiani tapi bukan Kristen, bukan Katolik. Dulu dilarang karena dianggap aliran sesat!

Sejak itu Nenek Siti selalu memanggil Ayas untuk menghadapi kedua agen Pengawal. Awalnya santai lama2 mulai kurang enak. Apalagi mereka makin agresif.

Sejak itu Ayas melarang keduanya datang lagi untuk menemui sang nenek. "Nenek itu Islam tulen, hajah, janganlah diajak murtad," Ayas berpesan.

Namun, bukan agen Pengawal kalau tidak ndableg! Mereka masih sering mampir menemui nenek. Bagi majalah Sedarlah! Tapi nenek tidak pernah baca.

"Kamu aja yang baca," katanya. 

Ayas pun kumpulkan majalah2 Pengawal lalu dikilokan bersama koran bekas.

Mampir ke Gereja Ortodoks Rusia di Surabaya malah Dikejar Satpam Perumahan




Ayas ketinggalan informasi. Ternyata di Surabaya sudah lama berdiri Gereja Ortodoks Rusia. Tempat ibadah di Perumahan Araya dekat MERR. Tidak jauh dari GKI dan GKT.

Tidak banyak yang paham gereja ortodoks. Orang Indonesia hanya paham Katolik dan Protestan serta denom-denomnya yang banyak seperti Pentakosta, Karismatik, Advent, Baptis, Bala Keselamatan, hingga aliran pendatang baru macam Saksi Yehuwa dan Mormon.

Jangankan satpam-satpam yang muslim, orang Katolik di Gereja Stasi Yosafat pun tidak tahu ada Gereja Ortodoks Rusia. Padahal jaraknya dengan gereja katolik sangat dekat. Satu kelurahan.

"Anda mau ke mana? Tujuan apa?"

"Mau ke Gereja Ortodoks Rusia. Ini alamatnya!" Ayas menunjuk alamat gereja kuno tersebut di ponsel.

"Itu di pojok," kata satpam logat Madura.

Ternyata gereja megah di pojok itu GKT. Gereja Kristen Tionghoa atawa Gereja Kristus Tuhan. 

Satpam gereja menunjuk gereja lain di sebelah. Sekitar 100 meter. Ternyata GKI Araya. Satpam GKI pun tak tahu ada Gereja Ortodoks Rusia.

Ayas gowes pelan. Tiba-tiba dikejar satpam perumahan. Curiga. Ada keperluan apa? Mau cari siapa?

Gereja Ortodoks Rusia, Pak! Ayas tunjukkan alamat lengkap di ponsel. Rupanya satpam pun tidak paham ada gereja yang tidak lazim di perumahan yang dijaganya.

Syukur kepada Allah!

 Akhirnya ketemu rumah biasa di Blok F5 Nomor 2. Ada tulisan kecil "St. Iona Manchuria". Tidak salah lagi. Itulah nama pelindung Gereja Ortodoks Rusia di Surabaya. 

Seperti Gereja Katolik, gereja-gereja ortodoks punya santo atau orang kudus sebagai pelindung. Ada juga ikon-ikon Bunda Maria, Yesus Kristus, dan santo santa yang khas ortodoks.

Pagi tadi Ayas sempat ngobrol dengan Romo Kirill Juna Siswaja secara daring. Beliau Rektor Paroki St. Iona Surabaya. Ayas ingin wawancara langsung sekaligus melihat dan mengalami liturgi khas Ortodoks Siria. Liturgi yang detail dan mistis. Pasti lebih panjang durasinya ketimbang misa atau ekaristi di Katolik Roma.

 "Tiap hari selasa rabu jumat ada ibadah pagi semacam misa harian," kata Romo Kirill.

Pater yang namanya sama dengan Patriark Kirill di Rusia ini juga menyebut rencana Liturgi Ilahi (semacam misa) Hari Raya Pentakosta, Minggu 8 Juni. Misa hari raya penting ini berlangsung sangat lama dibandingkan ibadah protestan atau katolik.

"Jadi, saya pikir Mas Lambertus tidak harus datang awal, bisa datang mulai jam 10 atau lebih kalau kuatir kecapekan karena ibadah kami memang ibadah2 kuno yg cukup lama, apalagi pada pesta2 besar seperti Pesta Pentakosta ini," tulis Romo Kirill.

Matur nuwun, Romo Ortodoks Rusia! Baru kenalan secara daring tapi langsung akrab. Malah Ayas diundang untuk mengikuti Liturgi Ilahi Hari Pentakosta. Jarang ada Romo-Romo Roma (Katolik) yang mau bagi waktu dan mengajak orang biasa seperti Ayas dengan respek.

Kembali ke satpam perumahan. Dia terus mengawal Ayas di depan rumah yang jadi Gereja Ortodoks Rusia. Tertutup rapat. Tak ada pengurus, penjaga, atau satpam layaknya di gereja-gereja lain yang sudah mapan.

Ayas tadinya mengira Romo Kirill tinggal di rumah alias gereja itu. Setidaknya ada pengurus atau jemaat biasa yang bertugas atau berjaga di situ. Ternyata tidak ada.

Ayas pun memotret sejenak lalu balik kanan. "Lain kali tidak boleh masuk lewat belakang ya? Saya cuma melaksanakan aturan dari komandan saya!" nasihat satpam.

"Siaaap! Mohon maaf, Pak!"

Minggu, 18 Mei 2025

Sungguh Kubangga Bapa jadi alas gorengan di warkop

Aneh sekali! Di salah satu warkop di kawasan Prambon Sidoarjo saya temukan lagu karismatik lawas. Jadi alas gorengan. Pisang goreng, tela goreng, tahu goreng dsb.

Lagu itu Sungguh Kubangga Bapa ciptaan Lisna G. Arifin. Dulu sering dinyanyikan di berbagai persekutuan doa (PD) karismatik. Saat saya masih pelajar SMA dan mahasiswa.

Kalau tidak salah sampul bukunya warna hijau. Dicetak pakai font komputer jaman old yang masih ada bintik-bintik hurufnya. Komputer yang pakai disket program, disket data dsb. Sebelum ada MS Word yang sangat gampang dioperasikan.

Saya pun mengambil lembaran itu lalu membunyikan nada2 dalam hati. Enak juga. Gaya kalipso. Biasanya dinyanyikan gembira, tepuk tangan sukaria ala karismatik. Haleluyaaa!

Lisna G. Arifin seorang komposer lagu-lagu pujian dan penyembahan era 90-an. Banyak yang hit di berbagai denom gereja. Gerakan karismatik membuat persekutuan doa katolik sangat kental pentakosta.

 Ada acara bahasa roh juga. Saya mundur dari karismatik, dulu sekali, karena gagal dapat bahasa roh meski sudah sering mancing dengan berbagai cara. Juga gagal ambruk saat didoakan ramai-ramai di depan.

Selembar partitur lagu karismatik ini membuka kenangan lama. Haleluyaaa!

Kamis, 15 Mei 2025

Gereja Salib Suci Tropodo terkepung banjir, misa pagi batal

Pagi ini, Kamis 15 Mei 2025, niat ke gereja. Misa pagi di Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Bayar misa karena hari Minggu kemarin absen.

Daily Mass atau misa harian di gereja yang digembala imam-imam SVD itu mulai pukul 05.30. Beda dengan Gereja Roh Kudus Rungkut, parokiku, yang mulai pukul 06.00. Sudah kesiangan. 

Saya sih maunya misa pagi dimulai pukul 05.00 seperti beberapa paroki di Malang. Tapi, sebagai domba, kita hanya bisa manut aturan para gembala dan dewan paroki. Pukul 05.30 dianggap jalan tengah. Tidak terlalu pagi dan tidak kesiangan.

Saya pun gowes sekalian gerak badan. Alamak! Wisma Tropodo rupanya berubah jadi tambak raksasa. Kawasan perumahan itu terendam air hujan sekitar 30-an sentimeter. Bisa lebih di beberapa tempat.

Sepeda motor sulit lewat. Mobil bisa tapi kesulitan. "Hujan sejak tadi malam jam 10-an. Deres banget," kata seorang ibu warung dekat apotek.

Apa boleh buat. Terpaksa balik kucing. Tidak jadi misa. Saya menduga misa harian dibatalkan.

Wisma Tropodo memang sudah terkenal sebagai salah satu kawasan langganan banjir di Sidoarjo. Dulu sering saya laporkan dan beritakan agar diperhatikan pemkab. Mulai zaman Bupati Win (dua periode) disusul Bupati Saiful (dua periode juga).

Biasanya ada tanggapan. Pemkab melakukan "pompanisasi". Menyedot air dengan pompa. Masalah utamanya belum terselesaikan sehingga kini. Yakni saluran air yang tidak berfungsi dengan baik.

Gereja Katolik Salib Suci peninggalan Pater Heribert Ballhorn SVD ini memang sangat indah. Akustiknya bagus banget. Kualitas paduan suara atau kor-kor di Paroki Salib Suci menurut saya di atas rata-rata paroki lain di seluruh Jawa Timur. Mereka juga paling jago menyanyi Gregorian yang sulit.

Akan tetapi, ya itu tadi, ketika hujan deras dan lama, cuaca ekstrem istilah BMKG, maka kawasan Wistrop tenggelam. Gereja Salib Suci bahkan membatalkan misa agung Malam Natal pada 24 Desember 2024.

Mea culpa!
Mea culpa!

Ekonomi lesu, banyak ruko dan toko mangkrak di Surabaya

Ekonomi lagi lesu kayaknya. Ruko lama di Kembang Jepun itu ada tulisan DIJUAL hubungi 0815xxxx.

Dulu ruko itu toko yang ramai. Banyak pelanggan dari luar Surabaya, bahkan luar Jawa. Tapi sekarang tutup.

Toko di KJ 148 itu malah jadi tempat mangkal T4. Baju-baju digantung macam di kampung kumuh. Ada handuk dan tripleks sebagai pembatas tempat kos si T4 alias tempat tinggal tidak tetap alias gelandangan itu.

Aneh sekali karena Kembang Jepun ini salah satu tempat wisata di kota lama. Zona Pecinan. Biasa buka hari Jumat, Sabtu, dan Minggu petang sampai tengah malam.

Bagaimana wisatawan akan betah kalau destinasi wisata terlihat suram seperti itu? 

Persis di seberangnya, KJ 129, juga ada tulisan ruko dijual atawa dikontrakkan. Empat lantai. Ngantong pula. 

Insya Allah, rezeki pun ngantong! Sopo sing tuku?

Kalau tidak salah hitung ada 10 lebih ruko di Kembang Jepun yang "dijual" atawa "disewakan". Termasuk di sebelah bangunan cagar budaya.

Tidak hanya di KJ atau Surabaya Utara. Kelesuan ekonomi juga terlihat di kawasan lain. Ruko-ruko dijual atau dikontrakkan. 

Pemerintah daerah hingga Presiden Prabowo kudu segera tanggap. Wapres Gibran yang janji mencetak jutaan lapangan kerja juga kudu aksi nyata. Jangan terlalu sibuk seremoni-seremoni pantau acara MBG di sekolah-sekolah. 

Jumat, 09 Mei 2025

In the Shadow of Pope Leo X and Martin Luther, Hope Grows with Pope Leo XIV

By Fr. Patris Allegro, Kupang, Indonesia

Pope Leo X and Martin Luther stand as two unyielding poles of Church history. One represents the apex of ecclesial power in the 16th century; the other, the inner cry of a troubled Augustinian monk

Their clash was not merely a conflict of ideas, but of spiritual experience—between institution and conversion, between worldly splendor and restless faith.

Luther, in the silence of his Augustinian cloister, once wrote that he found no peace until he realized that "the righteousness of God" was not condemnation, but mercy that justifies the sinner by faith. It was a personal awakening that shattered external order. But in the turmoil of the time, there was no space for dialogue—what emerged instead was division.

Now, centuries later, we witness the election of Pope Leo XIV, also from the Order of Saint Augustine. As if history offers a new possibility—not a re-run of conflict, but the gift of healing. He carries the Augustinian legacy not to reopen old wounds, but to mend what has been torn.

Leo XIV does not come with the power of Leo X, nor with the fury of Luther, but with the humility of a shepherd shaped by pastoral mission in Peru—far from the centers of prestige, close to the peripheries where the Church walks in weakness and compassion. 

His priesthood, his missionary heart, his years among the poor, place him nearer to the anguished soul Luther once was. He knows that true conversion is not a journey toward doctrine, but toward a Person: the living Christ.

There is profound meaning in this symbolic convergence—that the two who once stood opposed now find a kind of unity, not historically, but spiritually. In Pope Leo XIV, we glimpse a meeting point: between Rome and Wittenberg, between past and future, between truth and mercy.

Perhaps this is what his motto proclaims: In illo uno unum—"In the One, we are made one."

 In Christ, even history's wounds can become a font of reconciliation.

Suster Ursula OSA dari Lembata pernah bertemu dan dialog dengan Kardinal Robert Prevost OSA yang kini jadi Paus Leo XIV

Sehari sebelum Konklaf di Vatikan, Suster Ursula OSA kirim pesan WA kepada saya:

"Sekarang te laran kae pi. Pedela dgn kereta dari Semarang."

Bahasa Lamaholot artinya: "Saya sudah di perjalanan dengan kereta dari Semarang."

Mampir sejenak, seperti biasa, di Biara Susteran Ordo Santo Agustinus (OSA) di Geluran, Taman, Sidoarjo. Kemudian Sr Ursula dan suster-suster lain langsung ke Tumpang, Malang. Di Rumah Sakit Sumber Santosa. Sekaligus Biara OSA yang besar dan bersejarah.

saat itu saya sedang menyunting berita tentang persiapan pemilihan paus baru. Pengganti Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April 2025. Saya baca-baca beberapa media Barat yang mengunggulkan nama beberapa kardinal.

Habemus Papam!

Jumat dini hari, 9 Mei 2025, tersebar luas berita dan video Paus Leo XIV memberkati ribuan jemaat di Lapangan Santo Petrus. Paus pertama dari Amerika Serikat dari Ordo Santo Agustinus (OSA).

Saya langsung kirim ucapan selamat kepada Sr Ursula OSA di Tumpang. Selamat atas terpilihnya Paus Leo XIV! Paus dari OSA!

Suster Ursula OSA langsung bagi foto lama yang bersejarah. Foto bersama Pater Robert Prevost OSA. Saat itu Pater Robert menjabat superior general atau pimpinan tertinggi kongregasi OSA di seluruh dunia.

"Ketemu 15 tahun yang lalu ketika ada pertemuan kaum muda Agustinus di Inggris. Waktu itu na sbg General OSA 😁" tulis Suster Ursula OSA.

Seperti kebetulan. Tak terbayangkan Kardinal Robert Prevost OSA akhirnya terpilih sebagai Paus Leo XIV. Deo gratias! Syukur kepada Allah!

Suster Ursula dan suster-suster, romo-romo OSA, tentu sangat bahagia. Bahkan semua umat Katolik ikut bahagia karena takhta lowong, sede vacante, sudah terisi.

Paus baru ini tentu punya kedekatan dengan para imam dan suster OSA di Indonesia. Bahkan, saat menjadi superior general OSA, Paus Leo XIV juga pernah berkunjung ke Sorong, Papua, 2003.

Habemus Papam! Kejutan Paus Leo XIV dari Amerika Serikat

Sudah saya duga konklaf akan selesai dalam dua hari. Sama dengan dua konklaf sebelumnya yang memilih Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. 

Saya juga menduga hasil konklaf terlihat pada pemilihan putaran ketiga atawa keempat. Balot pertama mustahil. Balot kedua juga sulit. Biasanya paus baru terpilih setelah balot ketiga atau keempat. Paus Yohanes Paulus II pada balot kelima kalau tidak salah.

Karena itu, saya menunggu asap hasil balot ketiga dari Kapel Sistina di Vatikan sekitar pukul 23.00. Tapi saya ketiduran. Kelelahan. Baru terbangun pukul 02.00. Nonton sepak bola.

Saya yakin sudah Habemus Papam! Betul. Saya cepat-cepat nyalakan ponsel. Situs-situs dunia ramai-ramai memuat berita tentang paus baru asal Amerika Serikat: Paus Leo XIV

Kardinal Robert Prevost asal Chicago ini benar-benar kejutan. Sama seperti Paus Fransiskus yang juga tidak terduga.

Sejak Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025 - mudah diingat karena pas Hari Kartini - saya sering menerjemahkan, lebih tepatnya mengolah berita-berita terkait Paus Fransiskus, konklaf, dan siapa gerangan kardinal yang diunggulkan.

Ada 9 nama yang disebut-sebut. Ada media yang mengerucut jadi 6 nama. Kardinal dari Filipina bahkan sering disebut. Tapi tidak ada nama Kardinal Robert Prevost dari USA. 

Media-media besar dunia malah cenderung memprediksi dari Global South. Asia Afrika dianggap punya peluang. Ada lagi analisis bahwa 80% kardinal yang ikut konklaf diangkat oleh Paus Fransiskus. Karena itu, kardinal yang dekat dengan Pope Francis dianggap paling berpeluang.

Tapi konklaf bukan pemilihan presiden atau pemilu biasa. Sebelum mulai konklaf 133 kardinal menyanyikan Veni Creator Spiritus. Lagu terkenal yang pasti dihafal semua orang Katolik di dunia. Di Flores lagu ini bernama Datanglah, Ya Roh Pencipta!

Ya.. Roh Pencipta itulah yang bekerja.
Habemus Papam! Paus Leo XIV.