Jumat, 28 Maret 2025

Mudik: Tradisi yang Tak Bisa Ditawar di Tanah Jawa

Tiga hari lagi sampai Lebaran 2025. Jalan-jalan mulai ramai. Orang-orang Jawa berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Kaya, miskin, tua, muda, semua berkemas. Tak peduli lelah, tak peduli biaya, asal bisa merayakan Lebaran di tanah kelahiran.

Mbak Sinta, perempuan asal Tulungagung yang telah lama mengadu nasib di Buduran, Sidoarjo, pun tak mau ketinggalan. Pagi tadi, ia dan dua anak gadisnya yang manis-manis sudah naik bus mudik gratis. 

Biasanya, mereka mengendarai sepeda motor, menempuh perjalanan empat hingga lima jam. "Tapi tahun ini saya sudah capek," katanya, tersenyum kecil.

 "Lebih santai naik bus, tak perlu menyetir, tinggal duduk sampai kampung."

Meski bertahun-tahun menetap di Sidoarjo, memiliki kartu tanda penduduk Sidoarjo, hatinya tetap milik Tulungagung. "Di sini hanya cari duit, tapi kampung tetap di sana," ujarnya mantap.

 Dua anaknya pun sejak kecil sudah diajarkan satu hal: mudik itu wajib.

"Bagaimana kalau tidak mudik?" Kami bertanya.

"Tidak bisa," jawabnya cepat. "Mangan ora mangan, pokoké kumpul!"

Mbak Sinta hanyalah satu dari jutaan orang Jawa yang berpikiran serupa. Maka, tiap tahun, pemerintah daerah Jawa Timur menganggarkan dana besar untuk program mudik gratis. 

Presiden Prabowo boleh menyerukan efisiensi dan penghematan, tapi nyatanya, anggaran untuk mudik tetap ada. Tak mungkin dihapus. Sebab bagi orang Jawa, mudik bukan sekadar perjalanan pulang. Ia adalah panggilan hati, adalah janji pada leluhur, adalah harga diri.

Selamat mudik, rakyat Jawa Timur!

 Semoga selamat sampai tujuan dan berbahagia merayakan Lebaran di kampung halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar