Hujan agak deras petang tadi di Hari Raja Njepi. Ajas jang soeka oeklam-oeklam di Kota Malang malang nian nasibnja, tiada bawa pajoeng atawa djass oedjan. Tiada bisa bebas mlakoe-mlakoe, ia terpaksa bertedoeh di waroeng kopi jang terletak di gedong kolonial Bella-Vista, dempet dengan kantoran DPRD Malang, dekat pula Balai Kota.
Gedong itu kini soedah banjak waroeng-waroeng di sekelilingnja. Tiap hari ramai, lěbih-lebih oleh toean-toean penarik odjek, soeka njangkroek di sana, moentji baterei handphone atawa menumpang WiFi. Banjak anggota group tempo doeloe, soeka potret-potret di sana, buat dikirimkan di persatoean Malang Tempo Doeloe atawa pagoejoeban Sedjarah dan Budaja Malang-Raja.
Bella-Vista, asalnja nama berarti pemandangan indah, tapi siapa sangka sekarang tidak indah sama sekali? Boeat tahoe tahoen berapa didirikan, Ajas tjari informatie di group Malang Tempo Doeloe.
Ada jang bilang, gedong itoe dahoeloe dari tahoen 1920 sampe 1942 ditinggali seboeah familie Belanda. Soedah itoe, pada masa Nippon 1942-1945, diambil dan dipakai kantor.
Tatkala taon 1990-an, Bella-Vista sempat ditempati Sekolah Tinggi Atlas Noesantara, tapi entah bagemana, sekolah tinggi itoe soedah pindah ke Arjosari, maka gedong mangkrak sampe sekarang.
Djoega ada jang bilang, Bella-Vista sering dipake tempat oendji njali, atawa anak-anak moeda bikin konten misteri lantaran konon ada penoenggoe di sono, begitoe katerangan Sam Suga dari Kepandjen, toean oplet.
Banjak kawan-kawan tempo doeloe mengeloh, mengapa Bella-Vista dibiarkan begitoe sadja? Mengapa tidak didjoelma mendjadi cagar boedaja Kota Malang?
Kantoran Dewan dan Balai Kota dempet dengan Bella-Vista, tapi tidak ada jang ambil ferdoeli. Apa boleh boeat, nasi soedah mendjadi boeboer. Gedong itoe tinggal menanti tamat riwajat.
Adoeh, Bella-Vista! Dahoeloe njaman, sekarang soedah tidak keruan 🙏🙏
Karena pernah bersekolah dan menetap selama 3 tahun di kota Malang, saya jadi ingin tahu dimana letaknya Bella Vista, maka lihat Google Maps. Ooh ternyata letaknya di Alun-alun Bunder. Itu daerah Klojen saya kenal baik, bahkan saya pernah menukar uang kertas Republik Indonesia Rp. 1000,- menjadi Rp.1,- di Pasar Klojen.
BalasHapusSungguh ciaklat, 3 tahun saya hidup di Malang, tetapi belum pernah masuk ke Toko Oen, sebab kala itu dompet pun aku tak punya, apalagi isinya " duit ". Mampunya cuma kadang2 ngandog di warung depan pasar Klojen, atau paman jualan Cuimie di sebelah Kathedral Ijen, atau paman jualan Heci (ote-ote) di depan sekolah.
Minggu lalu saya mengajak anak2 pergi ke Notaris, untuk membuat surat resmi, mewariskan semua rumah2 dan harta milik saya kepada mereka, secara adil dan disepakati bersama, agar kelak tidak ada ribut2 gara2 harta. Kita semua harus menunjukkan surat akta kelahiran dan surat bukti kewarganegaraan kita kepada si Notaris, sebagai bukti hanya warganegara sah yang boleh memiliki tanah dan rumah.
Elek2o gini isun masih punya surat djadoel akta kelahiran dari kantor catatan sipil di Denpasar dan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) dari Kantor Pengadilan Negeri Denpasar.
Ternyata kebanyakan Imigran asal Yaman tidak memiliki surat akta kelahiran dan tidak punya SBKRI, ergo mereka adalah WNA, lha koq bisa jadi imam besar dan jadi gubernur DKI ? Idem apakah Ahok punya SBKRI ? Bahkan bojo-ku kecuali punya SBKRI, juga punya Surat Permandian dari Pastor van Mensvoort Paroki Kristus Radja Surabaya.
Asperges me Domine hyssopo et mundabor. Lagu Gregorian ini mengingatkan kepada saya, bahwa religion sama pentingnya seperti vitamin bagi manusia. Hati-hati jangan sampai overdosis ! Nanti malah keracunan.
BalasHapusSepercik sudah cukup, jangan diguyur atau disiram.
Tahun depan saya dan istri, "Deo volente", akan merayakan ulang tahun perkawinan emas.
Biasanya doi adalah katolik abangan, alias katolik ktp, tetapi achir2 ini doi suka ngomel2, kecewa nikah sama ike, karena tidak diajak ziarah religi ke Jerusalem, Lourdes, Fatima, Santiago de Compostella cari Jakobus, bahkan akhir ini minta ke Roma lihat Holy Doors. Isun dadi ngelu ndase.
Semuanya ini gara2 teman2 bojo-ku dari Surabaya yang cerita di Whatsapp, mereka ramai2 tiap tahun keluar negeri untuk ziarah religi. Alhamdulillah lah, orang2 Indonesia sangat religius, seperti Bung Hurek sering cerita. Cuma saja dalam hati aku menggerutu; jancuk, daripada uang biaya jalan2 kalian buang percuma, khan lebih berguna disumbangkan kepada ubab dan sopir kalian untuk beli kambing di desa.
Menurut Sigmund Freud ada semacam gangguan jiwa yang dia sebut sebagai " ekklesiogene neurose ", atau diterjemahkan jadi " Sinting agama ". Dari kata Ecclesia = Gereja. Atau lebih aktuell bisa disebut " mukibinitis ".