Kamis, 24 April 2025

Pater Markus Solo Kewuta SVD Menyapa Paus Fransiskus di Dalam Peti Jenazah

Pagi belum benar-benar ramai di Vatikan. Tapi satu pria asal Flores Timur sudah duduk diam di kursi yang tak jauh dari peti Paus Fransiskus. Namanya Pater Dr Markus Solo Kewuta, SVD. 

Di kalangan Gereja Katolik internasional, namanya tidak asing. Ia adalah imam misionaris yang sudah lama jadi bagian dari jantung Takhta Suci.

Dan pagi itu, tepat pukul 07.00 waktu Roma, Pater Markus datang untuk yang ketiga kalinya melihat jenazah pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu. Tapi kali ini beda.

"Rasanya tidak ingin pergi dari tempat itu," katanya.

Peti tempat Paus terbujur itu, katanya, sangat sederhana. Tanpa ukiran berlebih. Tubuh Paus sudah jauh berubah. Wajahnya putih pucat. Tak segemuk dulu. 

"Semuanya menyusut," ujar Pater Markus.

Yang mencolok hanya jubah merah yang dikenakan. Bukan merah biasa. Itu merah liturgi—warna cinta yang paling besar kepada Tuhan. Juga simbol kematian dalam tugas suci.

Selama tiga puluh menit ia duduk di situ. Kadang berlutut. Kadang duduk diam. Seperti sedang mengulang film panjang yang pernah mereka jalani bersama: saat Paus datang ke Jakarta, lalu Port Moresby, Timor Leste, hingga ke Singapura. Termasuk di dalam pesawat yang sempit tapi penuh cerita.

Dan ketika waktunya berpamitan datang, Pater Markus berdiri. Ia mendekat. Lalu dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata: "Selamat jalan, Bapa Suci. RIP."

Tak ada air mata. Tapi ada hening yang lebih dalam dari tangisan.

Begitulah pagi itu di Vatikan. Bukan pagi yang biasa bagi Pater Markus dari Flores Timur.

1 komentar:

  1. Hening yang lebih dalam daripada tangisan. A silence that cries louder than the weeping.

    BalasHapus