Sabtu, 05 April 2025

Ziarah Pengharapan ke Gua Maria Purworejo di Malang Selatan, Dapat Pelajaran Ilmu Porta Sancta

Hari kedua Lebaran. Saya kabur ke selatan. Agak jauh. Malang Selatan. Donomulyo. Masuk ke wilayah Desa Purworejo. Sudah mepet perbatasan Blitar.

Saya memang sudah lama ingin ke sana. Gua Maria Purworejo. Tempat ziarah yang tidak mainstream. Favorit, tapi sepi. Sunyi, tapi ramai oleh doa.

Jalan ke sana? Masih sama seperti sebelum Covid. Kecil, sempit, rusak di sana-sini. Seolah-olah pandemi tidak pernah terjadi di situ. Atau sudah lupa dibenahi sejak pandemi.

Saya kenal baik juru kuncinya. Pak Joseph Sumarlan. Orang baik. Ramah. Suka menyuguhkan singkong rebus dan legen. Singkong rebusnya empuk. Legennya manis. Perpaduan sempurna. Dunia modern tak sanggup menandinginya.

Tahun ini—2025—Tahun Jubileum. Gereja Katolik memberi banyak kemudahan. Banyak indulgensi. Banyak rahmat. Asal... Anda mau ziarah. Mau berdoa. Mau mengaku dosa. Sakramen rekonsiliasi.

Bapa Uskup Malang mengeluarkan daftar tempat ziarah yang direkomendasikan. Gua Maria Purworejo termasuk. Juga Gua Maria Curahjati di Banyuwangi. Juga Gereja Katedral Malang. Dan beberapa lagi yang saya lupa.

Itulah sebabnya, kali ini Gua Maria ramai. Jauh lebih ramai daripada kunjungan saya dulu-dulu.

Ada rombongan dari Jakarta. Dari Bandung. Dari Surabaya. Dari Malang. Baik kota maupun kabupaten. Luar biasa.

Salah satu yang mencolok: seorang ibu dari Jakarta. Tionghoa. Kayaknya guru agama. Atau katekis.

Ia berdiri di depan Porta Sancta. Pintu Suci. Menyampaikan katekese. Dengan suara tinggi. Tegas. Sedikit galak. Tapi sangat meyakinkan.

"Siapa yang dimaksud dengan Pintu Suci?" tanyanya keras.

Saya ikut tersindir. Soalnya tadi saya juga nyelonong masuk gua. Tanpa berdoa dulu. Tanpa kulo nuwun. Seperti masuk warung.

Padahal, kata ibu itu, Porta Sancta itu bukan pintu biasa. Ada aturan masuknya. Ada maknanya. Ada harapannya.

Dia memimpin doa di luar pintu. Rombongan satu per satu masuk. Pelan. Hening. Khusyuk. Serius.

Ziarahnya benar-benar ziarah. Bukan liburan. Bukan pelarian dari riuh kota.

"Bagus ibu itu. Disiplin," kata Pak Marlan sambil mengunyah singkong.

Saya mengangguk. Setuju. Tapi juga minder. Tertib saya kalah jauh.

Jam sudah pukul 24.00. Peziarah masih datang. Ada yang sendiri. Ada yang berdua. Tidak ramai-ramai. Tapi terus mengalir.

Saya tidur di paseban. Capek.

"Nggak takut tidur di situ?" tanya Pak Marlan.

Saya menjawab: "Kalau ada Bunda dan Porta Sancta, siapa yang perlu ditakuti?"

Padahal... aslinya saya takut ular. Takut lipan. Takut kalajengking. Hantu? Tidak. Tapi makhluk berbisa itu? Iya.

Setiap malam Jumat Legi ada misa. Di gua. Terbuka. Dingin. Sakral. Bahkan rombongan dari Bandung sudah daftar jadi petugas liturgi. Termasuk paduan suara.

Saya ingin ikut lagi. Mungkin Jumat Legi nanti. Atau Legi setelahnya.

Asal masih ada singkong dan legen. Dan Porta Sancta masih terbuka. Haleluya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar