Aku mampir lagi ke C20 Library di Jalan Cipto 22 Surabaya. Gowes sore akhir pekan. Perpustakaan itu salah satu jujukanku ketika masih senang ikut bedah buku, diskusi, hingga workshop musik bersama Slamet Abdul Sjukur (alm).
Almarhum SAS, pianis, guru musik, maestro musik kontemporer, memang sering bikin pelatihan untuk masyarakat awam. Misalnya, Kukiko: kursus kilat komposisi. Nonton bareng film dokumenter komponis-komponis musik kontemporer atau jazz.
Perpustakaan C20 punya ruangan yang luas untuk pelatihan, workshop, diskusi dsb. Lian Gouw pun datang dari USA untuk meluncurkan novelnya di C20 itu. Begitu juga Soe Tjen Marching dan penulis-penulis buku lainnya.
Nah, sejak Mas SAS meninggal dunia aku sangat jarang mampir ke C20. Apalagi ada pandemi dan menurunnya minat baca anak milenial pada buku cetak. Aku pikir perpusatakaan-perpustakaan gulung tikar.
C20 ternyata masih stabil. Malah aku lihat lebih ramai ketimbang sebelum covid. Anak-anak muda sibuk membaca dalam diam. Banyak juga yang asyik bekerja di laptop sambil ngopi. C20 memang punya kafe dan kopi spesial.
Teman-teman lama masih jadi pengurus C20. Lusi, Anitha, telaten melayani pengunjung perpustakaan. Anitha masih tetap kritis. Wanita ini mengecam pemerintah yang menggusur pedagang kaki lima, warung-warung di pimggir jalan, khususnya di kota lama.
"Apa pendapat Anda tentang penggusuran pedagang? Bagaimana sikap kawan-kawan media di Surabaya?"
Bingung aku menjawab pertanyaan Anitha yang juga peneliti sosial budaya itu. Kudu hati-hati menjawab. Kudu diplomatis.
Pemerintah daerah itu mitra media. Kalau sampai tersinggung bisa gawat. Di sisi lain, kita juga tidak bisa mengabaikan wong cilik. Tapi Anitha maunya jawaban tegas. Dia berdiri di pihak pedagang yang tergusur itu.
"Pemkot sudah bikin SWK di Pegirian. Pedagang-pedagang sudah disediakan tempat di Kalimas Timur. Toh, mereka selama ini jualan di bahu jalan. Lalu lintas jadi macet. Semrawut juga."
"Coba Anda sebut satu aja SWK (sentra wisata kuliner) di Surabaya yang berhasil. Apa ada jaminan jualan mereka laku di tempat yang baru?"
Bingung aku menghadapi orang-orang kritis macam Anitha Silvia ini. Aku mulai mengalihkan pembicaraan. Bahas PKL di Surabaya tak akan ada habisnya.
Lusi mengecek masa berlaku kartu anggotaku. Ternyata sudah mati sejak awal pandemi. Kudu diperpanjang agar bisa pinjam buku lagi. Bayar 50K.
Aku pinjam dua buku tentang Tionghoa. Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono dan Revolusi, Diplomasi, Diaspora (Taomo Zhou). Masa peminjaman 3 minggu seperti biasanya.
Aku gowes pulang ke kawasan tenggara. Mampir sejenak di warkop untuk istirahat. Aku buka buku super tebal Tionghoa Dalam Pusaran Politik.
Luar biasa!
Ada orang Tionghoa yang telaten menulis buku setebal 1.137 halaman. Penuh data dan informasi yang sangat detail. Rasanya tiga minggu tidak cukup untuk membaca buku setebal ini. Beda dengan novel Lian Gouw yang selesai dalam dua hari saja.