Rabu, 03 Juli 2024

Nyambangi Perpustakaan C20 Surabaya Perpanjang Kartu Anggota


Aku mampir lagi ke C20 Library di Jalan Cipto 22 Surabaya. Gowes sore akhir pekan. Perpustakaan itu salah satu jujukanku ketika masih senang ikut bedah buku, diskusi, hingga workshop musik bersama Slamet Abdul Sjukur (alm).

Almarhum SAS, pianis, guru musik, maestro musik kontemporer, memang sering bikin pelatihan untuk masyarakat awam. Misalnya, Kukiko: kursus kilat komposisi. Nonton bareng film dokumenter komponis-komponis musik kontemporer atau jazz.

Perpustakaan C20 punya ruangan yang luas untuk pelatihan, workshop, diskusi dsb. Lian Gouw pun datang dari USA untuk meluncurkan novelnya di C20 itu. Begitu juga Soe Tjen Marching dan penulis-penulis buku lainnya.

Nah, sejak Mas SAS meninggal dunia aku sangat jarang mampir ke C20. Apalagi ada pandemi dan menurunnya minat baca anak milenial pada buku cetak. Aku pikir perpusatakaan-perpustakaan gulung tikar.

C20 ternyata masih stabil. Malah aku lihat lebih ramai ketimbang sebelum covid. Anak-anak muda sibuk membaca dalam diam. Banyak juga yang asyik bekerja di laptop sambil ngopi. C20 memang punya kafe dan kopi spesial.

Teman-teman lama masih jadi pengurus C20. Lusi, Anitha, telaten melayani pengunjung perpustakaan. Anitha masih tetap kritis. Wanita ini mengecam pemerintah yang menggusur pedagang kaki lima, warung-warung di pimggir jalan, khususnya di kota lama.

"Apa pendapat Anda tentang penggusuran pedagang? Bagaimana sikap kawan-kawan media di Surabaya?"

Bingung aku menjawab pertanyaan Anitha yang juga peneliti sosial budaya itu. Kudu hati-hati menjawab. Kudu diplomatis.

 Pemerintah daerah itu mitra media. Kalau sampai tersinggung bisa gawat. Di sisi lain, kita juga tidak bisa mengabaikan wong cilik. Tapi Anitha maunya jawaban tegas. Dia berdiri di pihak pedagang yang tergusur itu.

"Pemkot sudah bikin SWK di Pegirian. Pedagang-pedagang sudah disediakan tempat di Kalimas Timur. Toh, mereka selama ini jualan di bahu jalan. Lalu lintas jadi macet. Semrawut juga."

"Coba Anda sebut satu aja SWK (sentra wisata kuliner) di Surabaya yang berhasil. Apa ada jaminan jualan mereka laku di tempat yang baru?"

Bingung aku menghadapi orang-orang kritis macam Anitha Silvia ini. Aku mulai mengalihkan pembicaraan. Bahas PKL di Surabaya tak akan ada habisnya.

Lusi mengecek masa berlaku kartu anggotaku. Ternyata sudah mati sejak awal pandemi. Kudu diperpanjang agar bisa pinjam buku lagi. Bayar 50K.

Aku pinjam dua buku tentang Tionghoa. Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono dan Revolusi, Diplomasi, Diaspora (Taomo Zhou). Masa peminjaman 3 minggu seperti biasanya.

Aku gowes pulang ke kawasan tenggara. Mampir sejenak di warkop untuk istirahat. Aku buka buku super tebal Tionghoa Dalam Pusaran Politik.

 Luar biasa! 

Ada orang Tionghoa yang telaten menulis buku setebal 1.137 halaman. Penuh data dan informasi yang sangat detail. Rasanya tiga minggu tidak cukup untuk membaca buku setebal ini. Beda dengan novel Lian Gouw yang selesai dalam dua hari saja.

Senin, 01 Juli 2024

Jawa Pos 75 Tahun, Nasionalisme The Chung Shen di Kembang Jepun

Jawa Pos genap 75 tahun. Hari jadinya dirayakan sangat meriah pada 1 Juli 2024 lalu. Dress code nuansa tempo doeloe atawa retro.

Band yang diundang pun bawakan lagu-lagu Koes Plus. Ada juga lagu Chrisye. Sangat meriah. 

Bukan itu saja. Para pembaca setia Jawa Pos dan semua koran Radar ikut undian berhadiah sepeda motor dan mobil. 

Luar biasa! Di era media sosial, digital, ternyata surat kabar cetak masih ada. Setidaknya Jawa Pos masih perkasa. 

Di hari jadi ke-75 Jawa Pos bahkan terbit 76 halaman. Gak kaleng-kaleng. Ini fenomenal karena koran nasional terbesar (doeloe) di Jakarta sekarang hanya bisa terbit 16 halaman. Edisi ulang tahunnya pun hanya 16 halaman.

Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe, secara khusus memuji Jawa Pos sebagai koran yang sangat tangguh. JP sudah jadi legenda Surabaya. Legenda Jawa Timur. Bahkan legenda Indonesia.

Jawa Pos terbit perdana pada 1 Juli 1949 di Kembang Jepun. Pusat Pecinan Surabaya. Yang sekarang ada gapura Kya-Kya itu. 

The Chung Sen pengusaha Tionghoa punya visi besar menerbitkan surat kabar di masa revolusi fisik. Indonesia memang sudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tapi Belanda masih ada tahun 1949. Belanda baru menyerahkan kedaulan pada akhir Desember 1949.

Dalam suasana yang tidak menentu itu The Chung Sen berani menerbitkan koran Java Post (nama asli Jawa Pos) dalam bahasa Indonesia. "Itu karena rasa nasionalisme Pak The yang tinggi," kata Dukut.

Mana ada pengusaha Tionghoa yang cari duit dengan bikin koran tahun 1949 kalau tidak ada idealisme dan rasa kebangsaan? The jelas memilih berada di kubu merah putih. Beda dengan penguasaha-pengusaha kelas kakap lain di kawasan pecinan yang memilih kabur ke Belanda atau Tiongkok saat genting itu.

Dukut Imam Widodo menulis:

"The Chung Shen mendirikan koran Java Post bukan lantaran bisnis surat kabar kalau itu menjanjikan kenikmatan. Sama sekali tidak! Rasa kebangsaan The Chung Shen sebagai orang Indonesia jauh lebih berbicara daripada urusan cuan!"

Satu per satu koran tua di Surabaya, Indonesia umumnya, mati karena rugi, bangkrut, dibredel dsb. Banyak juga yang dibredel internet dan media sosial. 

Jawa Pos jadi satu-satunya koran tempo doeloe yang masih bertahan. Bukan sekadar bertahan tapi berkembang biak ke seluruh Nusantara.  Terus beradaptasi dengan era digital.

Dirgahayu Jawa Pos!

Sabtu, 29 Juni 2024

Mampir baca buku di markas PMKRI Surabaya

Sabtu pagi, 29 Juni 2024. 

Libur akhir pekan. Tidak ke mana-mana. Maka saya gowes ke dalam kota. Biasanya cuma gowes di pinggir kota kawasan Tambak Oso, Cemandi, Banjar Kemuning, Gunung Anyar, hutan bakau.

Saat melintas di Gubeng tiba-tiba ada bisikan untuk mampir ke Taman Simpang Pahlawan. Margasiswa PMKRI Sanctus Lukas Surabaya. Gedung tua persis di samping Hotel Garden Palace.

Adik-adik aktivis PMKRI Surabaya rupanya masih tidur pukul 07.00. Ada lagu rohani karismatik haleluya terdengar lamat-lamat dari dalam.

Saya tak ingin mengganggu tidur adik-adik yang hampir semuanya asal Flores NTT. Toh, ada perpustakaan di bagian depan. Saya dulu menyumbang cukup banyak buku ke PMKRI. 

Saya pun tertarik membaca buku Tionghoa Indonesia dalam Krisis karya Charles A. Coppel. Sedikit banyak saya ingat bahasan di buku tersebut.

Oh.. ternyata buku itu sumbangan saya melalui Bung  Stenly Jemparut Ketua PMKRI Surabaya saat itu. Rupanya masih tersimpan rapi di dalam rak. Bisa jadi kurang diminati adik-adik mahasiswa di era digital sekarang.

Saya pun membaca kembali beberapa halaman buku itu. Khususnya bab tentang gerakan anti Tionghoa. Meski sudah pernah baca, dulu, buku lama itu masih punya pesona.

Semoga adik-adik anggota PMKRI masih mau membaca buku. Sayang kalau buku-buku bagus itu hanya jadi pajangan di lemari.

Pro ecclesia et patria!

Novel Only a Girl karya Lian Gouw, potret Tionghoa antek-antek Belanda yang sangat benci Hwana (pribumi) di masa transisi

Sudah lima atau tujuh tahun saya tidak membaca buku cetak sampai selesai. Biasanya cuma baca sedikit, jenuh, terganggu notifikasi wasap lalu berhenti. Apalagi kalau bukunya memang kurang menarik.

Tapi kali ini beda. Saya akhirnya bisa membaca tuntas novel Only a Girl karya Lian Gouw. Versi terjemahan bahasa Indonesia tentu saja. Versi asli dalam bahasa Inggris terlalu berat untuk orang Indonesia, khususnya saya, karena bahasa Inggris yang dipakai Lian Gouw sama dengan penutur asli di US atau UK.

Lian Gouw sudah puluhan tahun tinggal di US. Bahasa sehari-harinya English. Dia boleh dikata tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian di masa tuanya belajar bahasa Indonesia.

 Lian Gouw bahkan jadi penutur dan penerbit buku-buku cerita berbahasa Indonesia yang sangat keras melarang kata-kata serapan. Harus pakai kata-kata bahasa Indonesia asli. Pakailah "rekaan", bukan fiksi.

Saya hanya perlu waktu dua hari untuk menyelesaikan novel yang diterbitkan Gramedia tahun 2009. Ceritanya memang sangat menarik. Tentang pergulatan orang Tionghoa elite antek-antek Belanda pada 1930-an hingga 50-an. Tionghoa yang sangat berpihak pada Belanda.

Lian Gouw menggambarkan gaya hidup, alam pikiran, hingga keseharian Tionghoa elite di Bandung yang jadi kaki tangan Belanda. Betapa mereka sangat merendahkan warga bumiputra atau pribumi yang diejek sebagai hwana. 

Ejekan dan hinaan untuk hwana ini sering terlontar dari mulut tokoh-tokoh utama dalam novel ini seperti Carolien dan Jenny putrinya. Jenny bentrok dengan Pak Sarjono karena tidak mau berbahasa Indonesia.

"Saya hanya mau berbahasa Belanda," kata Jenny murid cerdas, berani, antek Belanda.

Ibunya, tante-tantenya juga sama-sama gila Belanda. Mereka sepertinya ingin Belanda terus berkuasa di Hindia Belanda. Hwana-hwana tidak akan bisa mengurus negara sendiri, pikir mereka.

Saya pun mengapresiasi Lian Gouw yang menghadirkan cerita fiksi, eh rekaan, tapi berdasar pengamatan dan pengalaman Lian sendiri. 

Lian Gouw: "Terima kasih banyak Hurek atas pemberian waktu dan perhatiannya. Sebenarnya ada terjemahan yang lebih bagus: Mengadang Pusaran, penerjemah Widjati Hartiningtyas (Kanisius 2020).

Memang karya itu sering sekali digunakan untuk menulis skripsi."

Kesan saya di novel itu orang Tionghoa yang Ibu ceritakan sangat memihak Belanda dan benci pribumi?

Lian Gouw: Benar.. ditampilkan di novel itu bahwa Carolien sangat amat berpihak Belanda ... entah apakah SELURUH  MASYARAKAT  TIONGHOA begitu juga .... karena merekalah yang cukup "dicekok" oleh si Belanda itu.

Dan, itu sebabnya, setelah Indonesia merdeka, elite-elite Tionghoa kabur meninggalkan Indonesia karena takut dengan para pribumi yang dihina pada masa kolonial Belanda?

Lian Gouw: "Entah orang lain Hurek … Ibu sendiri pergi TIDAK  KARENA  TAKUT,  tetapi karena BENCI. Tapi sekarang kebencian itu sudah sama sekali hilang dan terganti dengan perasaan cinta dan kesedihan yang dalam."

Obrolan terjeda karena Ibu Lian harus menyiapkan makan siang di rumahnya di Amerika. Dia masih sering menikmati lagu-lagu keroncong tempo doeloe macam Aryati, dikau mawar asuhan rembulan.

Lian Gouw: "Ibu suka dengan lagu-lagu keroncong .... juga suka lagu-lagu Maluku."

Koreografer Sri Mulyani membuka kelas tari gratis bagi anak disabilitas di Surabaya

Sri Mulyani adalah Ketua Yayasan Kiprah Kreatif Indonesia, Pimpinan dan pemilik Pusat Olah Seni Budaya Mulyo Joyo Enterprise di Kota Surabaya. Lahir  di Surabaya pada 24 November 1975, Sri dikenal sebagai seniman tari sekaligus koreografer berpengalaman. 

Sejak tahun 2020 sampai sekarang Sri Mulyani membuka kelas tari khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus (disabilitas). Gratis! Anak-anak binaan Sri sering tampil di sejumlah festival di Kota Surabaya.

Berikut petikan percakapan Sri Mulyani dengan Amahurek di Pusat Olah 
Seni Budaya Mulyo Joyo Enterprise, Jalan Tambak Medokan Ayu II/15 Surabaya.

Berapa anak difabel yang Anda latih di Sanggar Mulyo Joyo Surabaya? 

Sekitar 18 orang. Umur mereka mulai 8 tahun.

Bagaimana Anda memberi suntikan motivasi kepada anak-anak disabikitas agar rajin berlatih? 

Saya selalu memberikan keyakinan dan kepercayaan diri kepada mereka bahwa mereka mampu menari dengan baik. Alhamdulillah, para orang tua anak-anak ini sangat men-support aktivitas anak-anaknya. Mereka mengantar anaknya ke tempat latihan, bahkan menunggui hingga selesai.

Sangat luar biasa memang dukungan para orang tua. Saya salut atas kegigihan dan kesabaran bapak ibu yang ingin putra-putrinya semakin maju berkembang dan menjadi setara dengan yang lainnya. 

Tarian apa yang cocok untuk anak-anak disabilitas mengingat mereka punya keterbatasan fisik? 

Saya yakin semua tarian bisa dipelajari anak-anak, apa pun kondisi fisiknya. Saya sebagai pelatih dan sudah pengalaman melatih anak-anak disabilitas dari nol hingga meraih prestasi juara satu tari remo yang tekniknya sulit.

Apakah sama dengan anak normal? 

Ya, bisa sama.

Kendala fisik bagaimana? Apakah tidak sulit membuat gerakan-gerakan tari tertentu?

Gerak tari itu dapat berfungsi untuk membantu terapi pada tubuh mereka. Saya ajarkan olah tubuh dan yoga. Jadi, anak-anak disabilitas ini tidak hanya belajar menari tapi juga secara tidak langsung menjalani terapi olah tubuh.

Apakah ada event di Surabaya sebagai wadah ekspresi anak disabilitas?

Ya, ada. Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan event Hari Anak Disabilitas dan Konser Anak Istimewa. Itu event yang sangat bagus sebagai ajang berekspresi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak istimewa.

Apa perubahan anak disabilitas setelah ikut latihan dan perform? 

Lebih PD (percaya diri), bangga. Para orang tua sangat merasa bangga putra-putrinya mampu menari dengan baik dan tampil dengan percaya diri.

Apa saja kendala yang dihadapi selama membina anak disabilitas dari nol?

Butuh ketelatenan, sabar, dan membuat suasana selalu menyenangkan bagi mereka agar belajar menari membuat hati mereka bahagia sehingga suka belajar menari. Ini dibuktikan jika saya meliburkan latihan, mereka banyak yang tanya kepada mamanya: kenapa latihannya libur? Mau telpon Bu Sri.

Ada yang nangis karena sudah siap-siap ingin berlatih bersama Bu Sri. Mereka merasa kangeeeen latihan menari.

Oh ya, mengapa tidak ditarik biaya untuk anak disabilitas? Apakah ada donatur atau subsidi silang atau bantuan dari pemerintah?

 Tidak ada bantuan atau subsidi dari mana pun untuk sanggar saya. Semua ini murni dari keinginan saya sendiri.
Saya ingin berbagi ilmu dan mengajari mereka dengan tulus ikhlas. Dan, saya ingin punya karya-karya indah yang saya buat yang ditarikan/disajikan oleh anak-anak disabilitas.

Apa motivasi yang membuat anak-anak disabilitas itu semangat berlatih? 

Spirit yang selalu membangun. Semangat  dan kasih sayang Bu Sri membuat mereka ingin latihan terus. Buktinya, murid sanggar ada yang dari Gresik dan Sidoarjo selalu rajin datang latihan.

Ada usul untuk Pemkot Surabaya terkait pembinaan anak berkebutuhan khusus?

 Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya sudah memberi ruang untuk anak-anak  disabilitas mengembangkan bakat kemampuan mereka dengan mendirikan Rumah Anak Prestasi (RAP). Harapan saya, walau ada RAP, sanggar seperti tempat saya melatih anak-anak disabilitas masih diberi kesempatan tampil juga di event-event yangpemkot selenggarakan.

 Intinya, harus sebanyak mungkin memberi kesempatan untuk anak-anak disabilitas tampil. Kemudian perlu ada support pihak swasta dan dunia usaha agar memberikan peluang tenaga kerja agar mereka juga mendapat penghasilan seperti manusia normal lainnya.

Rabu, 26 Juni 2024

Foto tua nawak-nawak lawas di sekolah tua Ngalam


Berbahagialah anak zaman now. Semua orang punya HP yang bisa dipakai motret, bikin video dsb. Mau motret ratusan kali saban hari pun bisa... kalau mau.

Dulu tidak banyak orang yang punya kamera analog. Digital belum ada. Kalaupun punya kamera belum tentu dipakai karena film sangat mahal. Belum biaya cuci cetak.

Karena itu, ayas boleh dikata tidak punya foto kenangan zaman persekolahan. Foto-foto masa SD dan SMP tidak ada. Foto masa SMA mungkin cuma 2 biji saja. Itu pun kurang jelas.

 Syukurlah, Susana ternyata masih simpan film lawas lalu cuci cetak dan sempat bagi ke media sosial nawak-nawak sesama alumni Mitreka Satata, SMAN 1 Malang. 

Pagi ini ayas tidak sengaja ketemu foto lawas di Facebook. Teman sekelas di A1 yang masih polos tanpa polesan makeup dsb. Cewek kota tapi lugu kayak orang desa aja. Rupanya Wiwik yang unggah foto lawas ini.

Kiri ke kanan: Riris, Susana, Rahima, Wiwik. Di belakang tengah kelihatan si Mama alias Yulia. Si Atika gadis kacamata kayak ngintip. 

Agus kacamata kelihatan berdiri di belakang. Ayas kadit masuk di dalam gambar itu. Ayas memang sering kelewatan kalau ada acara rujakan, makan-makan santai macam itu.

Gambar sederhana itu penuh nostalgia. Jadi ingat Rahima yang berpulang beberapa bulan lalu. Astuti juga sudah menghadap ilahi. Ratno juga sudah selesai tugasnya di dunia ini.

Satu kelas Grafiti Smansa Malang itu ada 42 murid. Tiga kawan sudah tak ada lagi. Nawak-nawak semua makin tua dan sibuk sendiri-sendiri dengan urusan masing-masing.

Wiwik pegawai PDAM Malang kelihatan paling rajin ikut reuni. Riris dan Susana sesekali aja. Yulia sibuk ngurus rumah tangga. 

Semoga nawak-nawak semua tetap tahes dan komes!

Rabu, 19 Juni 2024

Usai, seusai, setelah, sesudah, selepas

Usai Dicopot, Afriansyah Kaji Opsi Hukum

 Begitu judul berita di koran Jawa Pos (JP) hari ini, Rabu 19 Juni 2024.

Saya tertarik membaca judul besar itu gara-gara kata "usai" di depan. Saya jadi ingat pelajaran dasar oleh penyelaras bahasa JP sekian tahun lalu.

Kata usai, seusai, setelah, selepas... dibahas secara khusus karena sering dianggap tidak tepat. 

Ada contoh kalimat di buku panduan redaktur:

Usai diberhentikan dari jabatannya sebagai pelatih Arema FC, Joko Susilo ingin berfokus ke keluarga.

Contoh itu dikatakan salah. Penempatan usai di awal klausa tersebut tidak tepat. Kata usai itu verba = kata kerja.

Kata yang tepat adalah setelah, sesudah. Verba tidak bisa jadi kata hubung. Maka, yang benar, kata usai diubah menjadi seusai.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis: 

u.sai
v bubar; berakhir; selesai; habis; sudah lampau: karena kedua pihak sudah letih, perkelahian -- dengan sendirinya; sebelum pertunjukan --, dia sudah keluar

Bisa jadi redaktur JP lupa dengan pelajaran lama yang disampaikan Andri Teguh, editor bahasa JP.

 Bisa juga Mas Andri sudah tidak seketat dulu karena sudah pindah ke bagian lain. 

Bisa juga para editor baru menganggap kata usai sama dengan seusai, setelah, atau sesudah. 

Di era digital ini kelihatannya ketelitian bahasa Indonesia yang baik dan benar rupanya tidak lagi dianggap sangat penting. Gaya bahasa cakapan, informal, bukan masalah asal bisa mendatangkan banyak klik atau PV.