Kamis, 21 November 2024

Manusia Modern Lebih Suka Baca Ramalan Shio, Zodiak, Weton ketimbang Baca Berita-Berita Serius

Enam  berita terpopuler di PORTAL BERITA terbesar di Indonesia Kamis pagi ini:

1. Melarat Menjadi Ningrat: 8 Weton yang Tidak akan Sengsara Lagi Beralih Menjadi Hidup Makmur dan Sejahtera

2. Enam Tanggal Lahir Diberi Kecerdasan Intelektual Berpikir Logis Mudah Pecahkan Masalah

3. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 19 November 2024 : Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo dan Virgo

4. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 20 November 2024 : Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo dan Virgo

5. Ramalan Zodiak Keuangan dan Asmara 19 November 2024 : Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius dan Pisces

6.  Keberuntungan Tertahan 2024, Kini Bendungan Rezeki 6 Weton Segera Jebol Pada 2025

Sudah lama konten terpopuler, dus disukai pembaca, adalah shio atau fengshui Tionghoa, ramalan bintang (zodiak), dan weton jowo. Saban hari pasti masuk 10 besar.

Bagaimana dengan konten-konten utama jurnalistik seperti berita? Sangat jarang masuk 10 besar. Sekali-sekali masuk top ten kalau ada kejadian yang benar-benar besar dan heboh. 

Shio, zodiak, weton selalu stabil di peringkat teratas konten paling populer. Karena itu, konten-konten ramalan nasib atau horoskop itu selalu dibuat para content creator atawa kreator konten.

Cukup bekerja di dalam ruangan, selancar sana sini di internet, media sosial, minta bantuan AI dsb, maka jadilah konten horoskop. Tidak perlu turun ke lapangan, wawancara, motret, mandi keringat seperti wartawan beneran. 

Kerja cerdas, bukan kerja keras! Kerja keras itu kuli tinta alias wartawan old school. Kerja cerdas gaya wartawan, eh kreator konten "jaman now". Kerja kuli hasilnya sedikit. Tidak pernah masuk 10 besar.

Saya bertanya kepada Tuan AI: mengapa konten terkait shio, zodiak, dan weton Jawa mengalahkan berita jurnalistik di portal berita terbesar di Indonesia?

 Beberapa alasan mengapa ini terjadi adalah:

1. Kebutuhan akan hiburan dan pelarian

 Dalam era informasi yang sangat cepat dan penuh tekanan, banyak orang mencari konten yang menawarkan hiburan, rasa nyaman, atau sekadar pelarian dari berita-berita yang berat atau menegangkan. Ramalan-ramalan tersebut memberikan hiburan ringan, yang jauh dari berita aktual yang sering kali penuh dengan konflik atau kejadian yang menegangkan.

2. Keterbatasan perhatian

Dalam dunia digital yang serba cepat, perhatian pembaca menjadi sangat terbagi. Banyak orang cenderung mencari konten yang bisa diserap dengan cepat dan tanpa banyak usaha. 

Berita jurnalistik, dengan analisis mendalam dan informasi yang membutuhkan perhatian lebih, bisa kalah saing dengan konten yang lebih mudah dikonsumsi, seperti ramalan yang hanya membutuhkan pembaca untuk membaca sekilas.

3. Personalisasi dan keinginan untuk relevansi pribadi

Shio, zodiak, dan weton Jawa sangat relevan dengan pengalaman pribadi pembaca. Orang cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat pribadi dan dapat memberikan informasi yang seakan-akan sesuai dengan mereka secara individu. 

Ini berbeda dengan berita jurnalistik yang lebih bersifat umum dan berfokus pada peristiwa besar yang mungkin tidak langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari.

4. Media sosial dan viralitas

Konten seperti ramalan lebih mudah menjadi viral di media sosial. Mereka sering kali dibagikan karena sifatnya yang menarik, menghibur, atau bahkan mengejutkan. Artikel yang lebih serius atau berat mungkin tidak mendapatkan daya tarik yang sama di platform-platform sosial yang lebih cepat.

5. Kepercayaan dan nilai budaya

Di Indonesia, kepercayaan terhadap hal-hal seperti zodiak dan weton Jawa sangat kuat di sebagian kalangan. Ini membuat jenis konten tersebut memiliki audiens yang setia. Sebaliknya, berita jurnalistik, meskipun penting, mungkin dianggap kurang relevan atau menarik bagi orang-orang yang lebih percaya pada keberuntungan atau ramalan.

"Namun, ini tidak berarti bahwa masyarakat tidak tertarik lagi pada berita jurnalistik. Lebih tepatnya, ada pergeseran dalam cara orang mengonsumsi berita," kata AI.

Nah, sekarang saya makin sadar mengapa tulisan-tulisan di blog ini makin jarang dibaca. Dan, tidak lagi masuk dalam algoritma Google.

Paus Fransiskus Minta Dimakamkan Secara Sederhana Tanpa Upacara Megah - Tidak Perlu Peti Bertingkat

Paus Fransiskus dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana. Bapa Suci asal Argentina itu minta agar dimakamkan secara sederhana. 

Paus Fransiskus memilih peti kayu berlapis seng sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Meninggalkan tradisi panjang Gereja Katolik yang biasanya menggunakan tiga peti bertingkat dari kayu cemara, timah, dan ek.

Permintaan tersebut diumumkan melalui ritus formal baru yang diterbitkan Vatikan pada Rabu (20/11/2024). Selain peti sederhana, Paus juga menolak prosesi megah yang biasanya menampilkan jenazah paus di atas catafalque, sebuah panggung khusus di Basilika Santo Petrus. 

Sebagai gantinya, tubuh Paus Fransiskus nantinya akan tetap berada dalam peti dengan tutup terbuka selama penghormatan terakhir umat.

Paus yang akan berulang tahun ke-88 pada 17 Desember mendatang, masih aktif menjalankan tugasnya meski menggunakan kursi roda akibat masalah pada lutut dan punggung. Dalam beberapa bulan terakhir, ia bahkan melaksanakan dua kunjungan luar negeri yang melelahkan pada September serta memimpin sinode besar di Vatikan selama Oktober 2024.

Langkah ini sejalan dengan komitmen Paus Fransiskus untuk menyederhanakan banyak tradisi Gereja Katolik. Tahun lalu, ia menyatakan keinginannya untuk mempersingkat ritus pemakaman paus yang selama ini dikenal panjang dan penuh simbolisme.

 Selain itu, Paus Fransiskus juga menyampaikan rencana untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, bukan di Basilika Santo Petrus seperti para pendahulunya.

Pilihan ini mencerminkan hubungan spiritual mendalam Paus Fransiskus dengan Santa Maria. Ia kerap mengunjungi basilika tersebut untuk berdoa sebelum dan sesudah kunjungan apostolik ke luar negeri. 

Jika rencana ini terwujud, Paus Fransiskus akan menjadi paus pertama yang dimakamkan di luar Vatikan dalam lebih dari satu abad, sejak Paus Leo XIII yang wafat pada 1903 dan dimakamkan di Basilika Santo Yohanes Lateran, Roma.

Tradisi pemakaman paus dengan tiga peti yang bertumpuk telah berlangsung selama berabad-abad untuk memastikan jenazah tetap terjaga dari kerusakan serta memungkinkan barang-barang simbolis, seperti koin atau dokumen, disertakan bersama jenazah. 

Namun, melalui keputusan ini, Paus Fransiskus sekali lagi menunjukkan komitmennya pada kesederhanaan dan pengabdian spiritual yang mendalam.

Keputusan ini diharapkan akan memberikan inspirasi bagi umat Katolik di seluruh dunia untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai spiritual dibandingkan tradisi megah yang sering kali penuh simbolisme.

Rabu, 20 November 2024

Nelys Manuk, Komposer Lagu "Sedon Lewa Papan", Tak Menyangka Karyanya Viral di Mana-Mana

 Lagu "Sedon Lewa Papan" karya Nelys Manuk, komposer asal Botung, Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT, menjadi viral setelah di-cover oleh L. Wurin, seorang polisi sekaligus penyanyi pop Lamaholot. Popularitas lagu ini melejit, tak hanya di Nusa Tenggara Timur (NTT) tetapi juga hingga ke luar negeri.

Nelys Manuk mengungkapkan bahwa lagu Sedon Lewa Papan diciptakan pada tahun 1990-an saat ia masih duduk di kelas 2 SMA di Larantuka. Lagu itu berkisah tentang Kopong, seorang pemuda Lamaholot, menjalin asmara dengan gadis cantik dari seberang lautan tapi kandas. Sang Sedon (gadis) diam-diam kecantol dengan pemuda dari Tanah Jawa.

"Sedon Lewa Papan itu lagu kedua saya. Tapi hanya disimpan saja karena teknologi belum semaju sekarang," ujar komposer yang tinggal di Podor, Larantuka, NTT.

Pada tahun 1992, saat bekerja di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Flores Timur, Nelys Manuk mencoba menyodorkan lagu itu untuk disiarkan. "Ternyata dapat sambutan yang bagus," kenangnya.

Sambutan tersebut mendorong Rusny Assan, seorang penyanyi lokal, untuk merekam lagu Sedon Lewa Papan di Surabaya. "Waktu itu masih dalam bentuk kaset pita," kata Nelys Manuk.

Bertahun-tahun kemudian, di era digital, Nelys melihat potensi untuk membangkitkan kembali lagu Sedon Lewa Papan. Ia menganalisis suara beberapa penyanyi Lamaholot di YouTube dan media sosial sebelum akhirnya menemukan sosok yang cocok.

 "Saya merasa L. Wurin adalah pilihan yang tepat. Padahal, saya tidak kenal dia sebelumnya, meskipun dia di Lewoleba dan saya di Larantuka yang sebenarnya cukup dekat," ujarnya.

Nelys Manuk kemudian mencari kontak WhatsApp (WA) Laurensius Wurin dan mengajaknya bekerja sama. Hasilnya, lagu Sedon Lewa Papan yang dibawakan Laurensius Wurin mendapat sambutan luas di media sosial, terutama di TikTok.

 "Puji Tuhan, lagu Sedon Lewa Papan bisa diterima banyak orang," kata Nelys Manuk yang murah senyum itu.

"Saya sendiri terkejut karena tidak akrab dengan media sosial, khususnya TikTok. Saya dikasih tahu teman-teman bahwa Sedon Lewa Papan viral di TikTok."

Lagu Sedon Lewa Papan kini tidak hanya menjadi simbol kebanggaan masyarakat Lamaholot, tetapi juga medium untuk memperkenalkan budaya daerah ke tingkat nasional dan internasional.

 "Terima kasih telah menghargai karya kami, anak Lewotana, untuk mengabadikan dan melestarikan budaya Lamaholot melalui koda kirin," tambah Nelys Manuk.

Kisah ini menjadi bukti bahwa musik tradisional dengan sentuhan modern mampu menembus batas geografis dan menarik perhatian lintas budaya.

Nuel Muda, Komposer Liturgi Asal Sumba, Hasilkan Lebih dari 120 Lagu Gerejani

 Emanuel Laurentius Muda, atau yang akrab disapa Nuel Muda, adalah seorang komposer musik liturgi Katolik yang telah menghasilkan lebih dari 120 lagu. 

Karya-karya Nuel yang memuliakan Tuhan dihimpun dalam sebuah buku berjudul "Nyanyikan Lagu Baru bagi Tuhan". Namun, buku ini belum diterbitkan karena kendala biaya.

 Hingga kini, hanya beberapa teman dekat yang memiliki buku tersebut. Buku tersebut telah memuat 88 lagu, sementara lagu lainnya masih berupa fotokopi dan file dalam flashdisk.

"Saya ketik semua lagu ini sendiri menggunakan program Words dengan format yang saya buat sendiri," ujar Nuel,  kelahiran Weetebula, Sumba Barat Daya, NTT, 10 Desember 1955.

Meski belum mendapatkan rekomendasi resmi dari Komisi Liturgi (Komlit), Nuel selalu menggunakan lagu-lagunya setiap kali bertugas memimpin paduan suara. "Saya siapkan fotokopi teks untuk umat, dan mereka dilatih bernyanyi bersama," tambahnya.

Beberapa karya andalannya antara lain:

"Ya Tuhan Kami Percaya", lagu ke-54 yang mengajak umat mempercayakan hidup kepada Allah.

"Mari Kita Wartakan", lagu komuni untuk Masa Paskah yang penuh semangat pewartaan.

"Kami Datang Bapa", lagu persembahan dengan motif gong khas Sumba yang bisa diiringi tarian liturgis.

"Bunda Penuh Rahmat", lagu ke-86 yang menjadi pujian untuk Bunda Maria.

Nuel mengungkapkan bahwa ia banyak belajar dari Romo Karl Edmund Prier, SJ, direktur Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. "Beliau sering memberikan koreksi pada komposisi dan aransemen lagu-lagu saya. Karena itu, karya saya banyak terpengaruh oleh gaya aransemen PML," jelasnya.

Inspirasi menciptakan lagu kerap datang dari pengalaman sehari-hari. Salah satunya adalah lagu "Marilah Kita Merenungkan", yang idenya muncul saat perjalanan dari Yogyakarta ke Purwokerto. 

"Melodi itu tiba-tiba muncul di kepala, lalu saya matangkan saat sudah sampai rumah," kenang pria yang menjadi organis di Gereja Katedral Kristus Raja Purwokerto sejak tahun 1990 hingga sekarang itu.

Selain itu, Nuel juga menciptakan lagu-lagu bertema khusus seperti "Panggilan Tuhan", yang mengajak umat menanggapi panggilan Allah, dan "Jagalah KawananKu", yang diciptakan untuk para imam agar tetap setia pada janji imamat.

"Semua talenta ini adalah pemberian Tuhan, maka saya persembahkan kembali kepada-Nya," tutup Nuel penuh syukur. 

Melalui karya-karyanya, ia berharap dapat terus memuliakan Tuhan dan memperkaya musik liturgi gereja.

Lowongan Kuli Toko di Rungkut, Jadi Ingat Kuli Tinta, Bangsa Kuli

Sudah lama saya tidak dengar dan baca kata "kuli". Padahal, dulu saya selalu ngaku "kuli" kalau ditanya kerja di mana, kerja apa, kok pulang tengah malam terus.

Kuli tinta, kerennya. Tapi "tinta" dibuang tinggal kuli tok.

"Kuli apa?" tanya Mbah Tandur tukang soto di Rungkut.

"Kuli, masak gak ngerti!"

Sejak itu Mbah Tandur menganggap saya kerja sebagai kuli pelabuhan. Di Kalimas, Jamrud, kawasan Tanjung Perak. Kuli angkut, tukang pikul barang-barang berat.

Gara-gara dianggap kuli pelabuhan, bukan kuli tinta, porsi makan saya selalu dilebihkan Bu Tandur. Nasinya banyaaak. Soto ayam juga begitu -- kuahnya. Isinya sih sama saja.

Kuli harus makan banyak supaya kuat mikul barang di Kalimas. Mungkin begitu fikiran Mbah Tandur. Asyik juga dianggap kuli beneran!

Pagi ini saya lihat spanduk di dekat jalan raya kawasan Rungkut Menanggal. Isinya: "Dibuka lowongan pekerjaan kuli toko..."

Hahaha... kata "kuli" yang sudah lama hilang muncul lagi di Surabaya. Mungkin baba Tionghoa itu wong lawas. Biasa pakai kata "kuli" warisan kolonial Belanda. Mungkin baba itu belum biasa basa-basi gaya eufemisme: karyawan, pekerja, staf.. atau kata-kata lain yang dianggap lebih halus.

Kata "kuli" memang ada di dalam kamus bahasa Indonesia. Mulai kamus awal kemerdekaan hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Owe periksa kata "kuli" di kamus.

KBBI: kuli n orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya (seperti membongkar muatan kapal, mengangkut barang dari stasiun satu tempat ke tempat lain) pekerja kasar: aku minta dicarikan -- pengangkut barang"

Kamus St Moh Zain, 1952:
pekerja atau buruh yg bukan tukang. buruh yg tidak ada kepandaian khusus. pemikul barang².
 
Bung Karno mengatakan: 

"Di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan Lautan Indonesia, hidup suatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Tapi akhirnya kembali menjadi kuli diantara bangsa-bangsa, kembali menjadi  een natie van koelies, en een kolie onder de naties. Bangsa koeli dan koeli di antara bangsa-bangsa"

(Soekarno–Tahun Vivere Pericoloso – 1964).

Naga-naganya omongan Bung Karno ada benarnya. Hidup kuli!

Selasa, 19 November 2024

Mahathir Mohamad about big Chinese Characters in Kuala Lumpur 

By MAHATHIR BIN MOHAMAD 

1. Weekends I drive around Kuala Lumpur.

2. Sometime I drop in the shopping complexes.

3. KL's shopping complexes are great.

4. The new ones are fantastic.

5. They are bigger and better than the shopping complexes in London or Tokyo.

6. The other day I dropped in one of the new ones.

7. Wow. It is great.

8. But suddenly I felt I was in China.

9. Then I realised why.

10. All the signboards are in Chinese with English translations.

11. Nothing in Malay. Not at all.

12. So is this Malaysia.

13. Or have we become a part of China.

14. English I can understand why.

15. Even in Japan signboards have English translations.

16. But big Chinese characters.

17. I was told that some Chinese TV refer to Malaysia as Little China.

18. Why?

19. Because among the Southeast Asian countries Malaysia displays the Chinese characters all over; large and prominent.

20. Must be because we have so many Chinese visitors.

21. But translation in small characters yes.

22. But our national language is Malay.

Yuliati Umrah: Dari Aktivis Anak Jalanan hingga Menjadi Perangkai Bunga

Yuliati Umrah, ketua Yayasan Alit Indonesia, dikenal luas atas pengabdiannya dalam pemberdayaan anak jalanan yang sering disebut arek lintang. Dedikasinya dalam membantu anak-anak jalanan di Surabaya telah membuatnya menjadi sosok yang dihormati di kalangan aktivis sosial. 

Namun, di balik perannya sebagai aktivis, Yuliati juga memiliki sisi lain yang jarang diketahui publik: dia adalah seorang floris, perangkai bunga, dan pembudidaya bunga yang berbakat.

Lulusan FISIP Universitas Airlangga (Unair) itu telah lama menekuni dunia bunga. Keahliannya dalam merangkai bunga membawanya ke berbagai kota di Indonesia untuk mengisi pelatihan seni merangkai bunga. Bagi Yuliati, bunga bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga menjadi ladang pengembangan diri, kewirausahaan, dan budaya.

"Saya bersyukur impian saya sejak kelas 4 SD akhirnya terwujud. Kini saya memiliki kebun bunga, menjual bunga di toko, dan mengajarkan seni merangkai bunga. Proses ini sangat menyenangkan dan juga mengasah kemampuan saya dalam bidang pertanian dan kewirausahaan," ujar Yuliati.

Yuliati menceritakan pengalaman menarik saat menyelenggarakan workshop merangkai bunga yang diikuti oleh berbagai peserta. Foto-foto karya mereka yang diunggah di media sosial mendapat respons positif dari publik.

"Beberapa di antaranya langsung mendapatkan pesanan bunga. Bahkan, ada lima peserta yang membuka toko bunga di Surabaya Utara, Sidoarjo, Malang, dan Jakarta," paparnya.

Selain itu, Yuliati dipercaya untuk mendekorasi panggung Upacara Penyucian Candi Prambanan pada 10 November 2024. Upacara ini menjadi salah satu momen sakral dalam pemeliharaan dan pelestarian Candi Prambanan yang telah diakui sebagai candi terindah di dunia.

 Untuk acara tersebut, total biaya dekorasi bunga mencapai  Rp 20 juta. Yuliati menggunakan berbagai jenis bunga. Di antaranya, lily marlon dan bacardi, serta lily yelloween yang memberikan kesan elegan.

 Tak ketinggalan, aster putih dan kuning, serta pikok putih, ruskus dan xanado. Rosida, sedap malam, serta pohon pucuk merah juga dimasukkan dalam rangkaian, menciptakan suasana yang lebih mistis dan sakral.

 Krisan yang ditanam dalam pot menjadi elemen tambahan yang mempercantik tampilan, sementara gabah kering dan gumitir menambah elemen tradisional yang kaya makna.

"Tuhan berkati karya-karya kami, untuk memuji-Mu dan mengirimkan keindahan itu kepada seluruh alam semesta. Semoga karya ini menjadi doa terbaik bagi leluhur kami yang telah membuat negeri ini menjadi indah," kata Yuliati penuh syukur.

Yuliati juga berharap suatu saat bisa mendekorasi Candi Borobudur setelah sukses mendekorasi Candi Prambanan. 

Senin, 18 November 2024

Father Nicholas Strawn, SVD: A Life Devoted to Lembata’s People

Father Nicholas Strawn, SVD, a missionary from the Society of the Divine Word, has spent over six decades serving the people of Lembata, Indonesia.

 Born on September 24, 1934, in Iowa, USA, Father Strawn celebrated his 90th birthday this year. His unwavering dedication and love for the people of Lembata have become his defining legacy, as he chose to remain in the region rather than return to his homeland.

During a recent visit to Bukit Hospital in Lewoleba on September 13, 2024, where Father Strawn is bedridden due to age and illness, locals reflected on his profound impact.

 Laurentius Lewo, a native of Lembata, shared his heartfelt memories of meeting Father Strawn for the first time when he was just five years old.

"When you first arrived at St. Paul's Station in Atawolo, I was a young child," Laurentius said. "We affectionately called you 'Tuan Nico.' Your kindness and warmth made all of us children feel close to you."

Laurentius fondly recalled how Father Strawn regularly visited schools during his pastoral missions, teaching religious lessons and engaging with students. "You were like a shepherd to your flock," he added.

Father Strawn's commitment extended to the Parish of Lerek, where he served with unwavering enthusiasm and humility. Despite the physical challenges of his advanced age, he remains in Lembata, embracing the community that has become his family.

For the people of Lembata, Father Strawn's decision to stay is a testament to his deep love and devotion. Laurentius expressed his gratitude, saying, "Thank you, our shepherd, for choosing to be with us. May you find joy on your 90th birthday, and may God bless you always."

As Father Strawn rests in Lewoleba, his story continues to inspire the island's residents, a living example of faith, service, and love.

Gereja Tua di Lembata Tahun 1950-an

Oleh Peter A. Rohi
Wartawan Sinar Harapan

Pada tahun 1970-an, beberapa kali menyeberangi Pulau Lembata, saya sangat terkesan dengan kerukunan di sana dan keramahan penduduk di kampung-kampung yang saya lalui.

 Dari Loang ke Lewoleba, lalu dari Lewoleba memotong ke tengah pulau menuju Waiteba. Menyusuri arah barat dengan berjalan kaki, menginap di rumah penduduk sepanjang perjalanan.

Saya ingin menyampaikan Salam Natal kepada mereka yang dengan senang hati mengulurkan tangan membantu saya setiap kali saya melanglang ke pulau indah itu. Terutama saat meliput detik-detik terakhir Kampung Waiteba sebelum akhirnya runtuh atau tenggelam ke dasar laut.

Inilah foto tahun 1950 dari sebuah gereja di Lewoleba, Pulau Lembata, yang saat itu masih dikenal sebagai Pulau Lomblen.

Pada tahun 1979, ada sebuah kota kecamatan bernama Waiteba di selatan Pulau Lembata yang runtuh ke dasar laut. Sebelumnya, gempa terus-menerus terjadi akibat aktivitas Gunung Hobalt, sebuah gunung berapi di bawah laut.

 Ketika meletus beberapa bulan kemudian, kota tersebut tenggelam ke dasar laut, menelan ratusan jiwa.

Peristiwa itu sangat dahsyat. Namun, karena pada saat itu media di Indonesia masih terbatas dan televisi hanya satu, kejadian ini tidak banyak terekspos. 

Meski begitu, laporan saya di Harian Sinar Harapan dijadikan bahan penelitian ilmiah oleh Universitas Colorado. Saya adalah satu-satunya wartawan yang melakukan peliputan beberapa saat sebelum kota itu tenggelam.

Minggu, 17 November 2024

Remembering the 1979 Eruption of Mount Hobalt and the Tsunami in Lembata: Nearly a Thousand Lives Lost

Mount Hobalt, an active underwater volcano located in the Atadei District, southern Lembata Island in East Nusa Tenggara, is known for its dangerous eruptions. Its eruption in 1979, accompanied by a tsunami, claimed the lives of nearly a thousand people and submerged coastal villages.

The Volcanology and Geological Disaster Mitigation Center (PVMBG) records that Mount Hobalt erupted in 1976, 1979, 1983, and 2013, with the most devastating eruption occurring on July 21, 1979. 

Before the disaster, Peter Rohi, a reporter for Sinar Harapan, had warned in his article that Waiteba, the capital of Atadei, could be submerged if Mount Hobalt erupted.

Peter had witnessed numerous fish, including sharks, washed up on the shores, likely killed by the heat from the volcano. He warned the authorities about the impending eruption, but his caution was dismissed. 

Local government officials even told the residents to ignore the journalist's concerns. "Don't worry, just continue your work as usual. It's just a journalist's story," Peter recalled them saying.

Tragically, just days later, Mount Hobalt erupted, triggering a tsunami that reached up to 50 meters in height, sweeping along the coastline. Waiteba was swallowed by the sea.

 The East Nusa Tenggara provincial government recorded 539 fatalities, 364 missing persons, and 470 injured. A total of 903 lives were lost.

Peter's warning had come from a source in East Flores who had noticed signs of an eruption, coupled with information from a relative working at PVMBG in Bandung. Without hesitation, Peter chartered a boat from Larantuka to Lembata. 

Upon arrival, he traveled on foot to Lewoleba, the capital of Lembata, where he stayed the night. The next day, accompanied by a local, he continued his journey to Waiteba, traversing difficult terrain, and reached the village at midnight.

 While photographing Waiteba from a hilltop the following day, a sudden earthquake struck, causing the ground to collapse beneath him.

"I was thrown among the rocks but managed to survive. My goal was ahead—there was a major story, lives to be saved," Peter recalled.

Jonathan Lassa, from the Institute of NTT Studies, described how the tsunami inundated nearly the entire bay area, stretching 12 kilometers long and 500-600 meters wide. Debris lodged in lontar palm trees reached a height of about seven meters.

The event involved three tsunami waves, followed by landslides. After the eruption, the tip of Mount Hobalt vanished beneath the sea, and it remains an underwater volcano to this day.

Jumat, 15 November 2024

Javanese Catholic Tradition Lives On in Sweet Friday Prayer Vigil at Puhsarang

Thousands of Catholic faithful from 46 parishes in the Diocese of Surabaya gathered last night for a prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto in Puhsarang, Kediri, honoring the Javanese tradition of "Jumat Legi" or Sweet Friday.

 Many pilgrims from Surabaya joined the monthly pilgrimage, a special time for communal prayer.

The Mass was imbued with rich Javanese cultural elements, harmoniously blending Javanese customs with Catholic rituals, creating a spiritually enriching experience for the pilgrims.

"I always make an effort to come to Puhsarang every Friday Legi night unless there are unavoidable obligations," said Susilo, a Catholic from Sidoarjo.

Maria from Surabaya, also present at the vigil, expressed her gratitude, saying, "Last night's Friday Legi prayer vigil Mass at the Lourdes Grotto, Puhsarang Kediri, was a blessing. May God bless us all."

During the procession to the Lourdes Grotto, participants walked while carrying lit candles and singing the hymn "At Lourdes in the Grotto." 

Each candle was placed before the statue of the Virgin Mary, a symbol of the sincerity of their prayers. Prayer requests, initially hung on tree branches, were burned one by one, symbolizing their submission of hopes and prayers to God through the intercession of Mother Mary.

Keroncong dan Seriosa Kian Redup, Final Bintang Radio 2024 di Surabaya Hanya Lomba Pop

Tren musik keroncong dan seriosa semakin meredup di Indonesia. Hal ini terlihat dari ajang Final Bintang Radio 2024 di Surabaya beberapa hari lalu, yang hanya melombakan kategori musik pop atau hiburan. 

Padahal sejak digelar pertama kali pada 1951, Bintang Radio yang pernah menjadi ajang paling bergengsi di Indonesia ini selalu memasukkan kategori seriosa, keroncong, dan hiburan.

Apakah ini menandakan keroncong dan seriosa sudah tak lagi diminati?

Musafir Isfanhari, dosen musik di Unesa dan mantan juri Bintang Radio, menilai keroncong dan seriosa masih memiliki penggemar, meski segmennya lebih kecil dibanding pop. "Di mana-mana begitu," ujarnya.

Isfanhari melihat keroncong justru sedang bangkit, terutama di kalangan anak muda. "Sekarang banyak grup keroncong muda dengan kualitas permainan bagus," katanya. 

Di Semarang bahkan muncul fenomena "Cong Rock," perpaduan keroncong dan rock yang tetap membawa nuansa khas keroncong. "Banyak grup keroncong sekarang semua anggotanya wanita. Di masa lalu, grup seperti ini hampir tak ada."

Untuk musik seriosa, Isfanhari menyebut bahwa di negara asalnya, Eropa, peminatnya memang terbatas. "Seriosa itu tidak seperti rock atau dangdut yang bisa tampil di lapangan sepak bola dengan ribuan penonton," jelasnya.

Ia menambahkan, seriosa dan keroncong tergolong "chamber music" atau musik kamar, yang idealnya dimainkan di ruangan tertutup. "Penontonnya datang berpakaian rapi dan memberi tepuk tangan secukupnya."

Namun, Isfanhari juga menyoroti tantangan besar bagi kedua genre ini jika dijadikan kategori lomba. "Kalau seriosa dan keroncong masuk ajang lomba, siapa yang mau mensponsori? Pasti sponsornya sedikit, dan ini masalah tersendiri," ujarnya.

Berat Badan Para Romo, Uskup, hingga Paus Cenderung Tidak Terjaga, Rawan Penyakit

Berat badan para uskup dan imam Katolik sering kali terlihat tidak terkontrol, cenderung mengalami kenaikan yang berdampak pada kesehatan. Ini terlihat hampir di seluruh dunia.

 F. Rahardi, wartawan senior sekaligus pemerhati masalah kegerejaan, mengungkapkan kondisi ini mencerminkan pola hidup yang kurang berolahraga di kalangan pemuka agama.

"Berat badan itu salah satu faktor penentu kesehatan seseorang," kata Rahardi. 

Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang tampak lebih langsing saat terpilih pada konklaf 13 Maret 2013, namun berbeda saat berkunjung ke Indonesia pada awal September 2024.

 "Saat berdiri terlihat sekali tubuhnya berat untuk ditopang. Padahal di Vatikan ada dokter, ahli gizi, dan instruktur olahraga ringan," ujarnya.

Rahardi juga menyoroti sejumlah uskup muda di Indonesia yang sudah mengalami masalah kesehatan, termasuk sakit jantung. Menurutnya, ini terkait pola makan, pola hidup yang cenderung kurang gerak, serta pola pikir.

 "Jalan kaki satu jam per hari itu mudah dan murah, tapi niatnya yang mahal. Yang jual niat pun langka," ungkap Rahardi yang juga penulis buku.

Rahardi mengingat Paus Yohanes XXIII yang dikenal berperawakan gemuk dan hanya memimpin Gereja selama lima tahun, dari 1958 hingga 1963, sebelum wafat di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II. 

"Monsinyur Ruby wis penakiten, kurang gerak," tambah Rahardi, mengenang dengan nada reflektif sebagai mantan seminaris yang tak jadi pastor.

Senada, Wied Harry, salah satu jemaat Katolik, juga menyoroti masalah kesehatan yang kerap dialami para imam muda. 

"Banyak romo muda yang sudah kolesterol, tensi, gula darah, atau asam uratnya tinggi. Selain faktor makanan, peran 'caosan dhahar' dari umat yang biasanya berupa makanan kesukaan romo juga mempengaruhi," tulis Wied di media sosialnya.

Ahli gizi itu menyebut hanya sedikit romo yang sadar pentingnya pola makan sehat, seperti Romo Fitri dan Romo Santo, yang ia kenal dengan baik.

Kamis, 14 November 2024

Mount Batutara in Lembata: A Natural Wonder of Explosive Beauty

Mount Batutara, located in the administrative area of Lembata Regency, sits on Komba Island—a remarkable place that is both an island and a volcanic mountain. Situated in the Flores Sea just north of Lembata Island, Batutara is known for its unique and powerful eruptions.

What makes Mount Batutara especially fascinating is its consistent eruption cycle—every 20 minutes, it releases fiery hot lava, forming beautiful sparks that light up the sky.

 The eruptions are often accompanied by small tsunamis, though these are harmless and can be safely viewed from about 20 meters away. This stunning natural display occurs continuously throughout the day, but according to Ocep Karez, a young man from Atadei who recently visited Batutara, it's most enchanting during dusk and dawn.

A 90-minute journey by speedboat from Lewoleba brings you to Batutara, making it relatively accessible for adventurous travelers. Mount Ile Batutara is one of only three volcanoes in the world with such a unique eruption pattern—the others are in Sicily and the Atlantic Ocean.

Recently designated a geological tourist destination by Lembata Regency, Batutara has begun attracting visitors from across the globe, eager to witness this extraordinary natural show. Just recently, about 35 tourists from Latin America visited Batutara to marvel at its fiery landscape.

"Batutara is incredibly beautiful," said Ocep. "More and more visitors are coming, although most stay along the shoreline to dive and enjoy the coral beauty."

With a steep structure, Batutara's peak is bare, unlike other volcanic mountains. The summit features small, sporadic eruptions, releasing ash and smoke every 20-25 seconds, creating a fascinating sight.

Is Batutara Always Open to Visitors?

While it's possible to hike Batutara, visitors must obtain permission from local security officials to ensure they are aware of any climbing activities. 

"There's no phone signal up there, so it's important to inform authorities if you're planning to climb," Ocep added.

With its unique geological features and captivating views, Mount Batutara is fast becoming a must-see destination for those seeking a rare encounter with Earth's raw beauty.

Riwayatnya Hoesinstraat atawa Jalan Husin di Kembang Jepun Surabaya, Mengenang Saudagar Kaya Haji Hoesin bin Haji Tajib Napis


Sudah lama owe penasaran dengen Jalan Husin, Surabaya. Persis di pojokan Shin Hua Barbershop yang terkenal di Kembang Jepun. Agak aneh ada jalan bernama Husin di Handelstraat kawasan pecinan.

Owe dulu sempet nanya kiri kanan tapi tidak dapet jawaban. Memang dari dulu namanya Jalan Husin, kata rekan aktivis tempo doeloe yang seneng blusukan di kota lama.

Eureka! Akhirnya, owe gak sengaja nemu berita kecil di koran tempo doeloe pake bahasa Melayu Tionghoa. Sin Tit Po edisi Selasa, 1 Desember 1931. 

Isi berita kecil itu sebagai berikut:

 Dalam pertemuan Dewan Kota Surabaya tahun 1931, Tuan Hadji Hoesin bin Hadji Tajib Napis, perwakilan dari perusahaan konstruksi Bouw-en Handels Compagnie bin Tajibnapis, mengajukan permintaan agar sebuah jalan baru di Kampung Dukuh diberi nama sesuai jasanya. 

Jalan tersebut diusulkan untuk dinamai Hoesinstraat atau Hoesindwarsstraat.

Oalah... 

Permintaan ini akhirnya disetujui oleh gemeente atau pemerintah kota saat itu, sehingga Jalan Husin menjadi salah satu cabang Jalan Kembang Jepun di sisi utara.

 Jalan ini dikenal sebagai jalan baru sejak tahun 1931, sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi Tuan Hadji Hoesin. Hadji Hoesin, saudagar kaya asal Banjar,  dianggap memiliki jasa besar bagi masyarakat Kota Surabaya, terutama di sektor pembangunan dan perdagangan.

"Bisnisnya tidak kalah dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa di kawasan Pabean, Kembang Jepun, Cantian, Slompretan, Pabean, Sambongan, dan kawasan pecinan lainnya," ujar Liman, seorang anggota komunitas tempo doeloe.

Owe periksa di Google dengen ketik nama "Hoesin" dan "Tajibnapis". Tidak banyak informasi. Tidak ada artikel yang membahas perdagangan tuan itu pada masa kolonial di Surabaya. Tapi ada satu tulisan di blog yang menyebut Hoesin Tajibnapis salah satu orang terkaya di NTB.

Artinya, sejak dulu bisnis Haji Tajibnapis, dilanjutkan Hoesin bin Tajibnapis dan saudara-saudaranya menyebar ke beberapa kota. Di Surabaya sendiri Tajibnapis jadi saudagar kaya dan tuan tanah yang disegani pemerintah kolonial Belanda.

Karena itu, Gemeente Soerabaia alias pemkot pada masa Hindia Belanda, tahun 1931, meluluskan pembukaan jalan baru dengen nama Hoesinstraat atawa Jalan Husin.

Owe sendiri sering lewat Jalan Husin ke arah Kampung Dukuh lalu terus Nyamplungan mampir sejenak di Wisata Religi Ampel, Masjid Raden Rahmat, Surabaya. Dulu owe fikir Hadji Hoesin ini orang Hadramaut atau Arab dari Kampung Ampel. Ternyata orang Banjar, Kalimantan Selatan. 

Sekian.

Orang Jawa terkesan keramahan orang Lembata saat mendaki Gunung Ile Werung

Oleh Sarah dan Cio

Tahun 2022 kemarin, saya dan teman saya mau mendaki ke gunung di NTT. Kami dari Bogor menuju Kupang, ke Larantuka, terus ke Ende, Bajawa, Manggarai, dan Labuan Bajo. Rencana awal untuk mendaki Inerie tertunda karena teman saya sakit.

 Akhirnya, kami kembali ke Larantuka dan melanjutkan perjalanan ke Adonara dan Lembata. Banyak cerita di sana, orang-orang NTT sangat ramah. 

Mungkin kalau di Pulau Jawa, beberapa orang bilang galak dan kasar, tetapi saya bisa buktikan bahwa mereka tidak seperti itu. Mereka sangat ramah, sopan, dan peduli dengan orang-orang luar seperti saya.

Ada satu momen ketika kami pergi ke Lemabata, di mana kami ingin mengunjungi dapur alam dan mendaki Gunung Ile Werung di Kecamatan Atadei. Kami melewati sebuah desa dan kebetulan kehabisan air minum. Nama desa itu Bauraja. 

Di ujung desa itu, kami ingin beli minum di warung. Saat sedang belanja, ada anak remaja sekitar 15 tahun yang membawa kelapa muda. 

Teman saya bertanya, "Kelapanya dijual, nggak dek? Biar kami beli, karena sangat haus." Namun, si adek bilang tidak dijual, tapi jika kakak mau, bisa diambilkan.

Dia mengambil sekitar 5 buah dan sudah dikupas pula. Setelah semuanya beres, aku kasih uang 100 ribu, tetapi ditolak sama adeknya. 

Aku pikir kurang, tetapi dia bilang kelapanya gratis, tidak usah bayar. Temanku juga sempat mengeluarkan 100 ribu lagi untuk ditambahkan, tetapi tetap tidak mau.

 Setelah kami paksa, baru dia mau menerima. Yang bikin aku kaget lagi, dia bilang, "Kakak, kapan pulang? Biar nanti kalau lewat, saya tunggu buat kasih buah sama kelapa lagi." 

Sumpah, di situ aku nangis, tidak tahu mau bilang apa.

Aku sama temanku dari Bogor dan cuma modal nekat pergi ke tempat yang sama sekali tidak kami ketahui. Pengalaman selama petualangan atau backpackeran di NTT merupakan pengalaman yang tak terlupakan. 

Daerah atau desa di NTT yang aku datangi selalu punya cerita yang akan selalu aku ingat. Senyum dan tawa mereka begitu ikhlas. Semoga suatu hari nanti bisa kembali ke sana untuk sesuatu yang lebih besar.

Oh ya, untuk si adik, kami akhirnya bertemu lagi keesokan harinya. Saya minta alamat rumah dan nomor HP orang tuanya, dan saya kirimkan beberapa baju serta sepatu untuk sekolah. Tidak banyak, tetapi semoga bisa jadi kenang-kenangan untuk dia.

Sedikit cerita indah di ujung Timur Indonesia. (*)

Catatanku membandingkan kunjunganku ke Tiongkok tahun 1987 vs tahun 2012 dan 2019


Oleh Wens Gerdyman
Arek Surabaya di Amerika Serikat

Pada waktu itu (1987), infrastruktur di Tiongkok masih jauh tertinggal dari kota-kota besar di Indonesia. Di mana-mana orang naik sepeda. Mobil sedikit. Jalan-jalan raya sedang dibangun. 

Hotel berbintang di Beijing bisa dihitung dengan jari. Kereta api cepat tidak ada. WC umum bau. Orang-orang di mana-mana meludah ke jalan. Pakaiannya semua putih, abu-abu, atau biru.

 Orang-orang masih menyapa sesamanya dengan "komrad" atau tongzhi (同志). Keluarga saya masih miskin baik yang di desa maupun di kota. Uang renminbi tidak berharga. Untuk membeli barang asing harus menukar uang RMB menjadi wai hui quan (forex) dulu. 

Dalam waktu satu generasi (25 tahun) saja, RRT melompati RI dalam pembangunan. Tahun 2012, saya dan istri ke sana menjemput anak yang pergi pertukaran pelajar di Shenzhen.

Kereta api cepat ada. Bahkan sekarang sudah ada yang ke Xiamen-Quanzhou-Fuqing/Hokchia, ke kota-kota nenek moyang kita. Indonesia baru ada Jakarta-Bandung.

Di Beijing, kita ke mana-mana naik kereta bawah tanah dan bus. Jakarta baru ada satu segmen, itupun buatan RRT.

Hotel-hotel berbintang di mana-mana. Stafnya pintar berbahasa Inggris.

Jalan-jalan lebar. Jalan tol di mana-mana.

Mobil mengalahkan sepeda banyaknya, dan buatan RRT.

Motor listrik di mana-mana juga buatan sendiri.

Orang-orang kota berpakaian sangat modis, bahkan di desa-desa pun rapi.

Tahun 2019 saya ke China dari HK, kunjungi customer, mau pesan apa pun dengan aplikasi buatan China, mudah sekali. Didi kuaidi untuk pesan taksi seperti Gojek, dll.

Bayar semua tidak pakai uang tunai.

Bedanya juga, sekarang 同志 (tongzhi) dalam bahasa gaul artinya gay/hombreng. Panggilan cewek tidak boleh 小姐 (xiaojie) karena sudah menjadi kata slang untuk WTS. (Kalau di Taiwan masih boleh).

Sekarang China sudah menyaingi USA (negara angkatku sekarang) dalam segala hal:

Mengirim pesawat ke bulan

Membuat film-film berkualitas Hollywood

Menang Nobel Prize di bidang sains dan sastra

Mengembangkan teknologi internet dan perangkat keras sendiri

Membuat mobil listrik dan sepeda listrik sendiri

Olimpiade menang emas di segala cabang

Universitas-universitasnya top di ranking internasional


Indonesia masih ribut:

Jualan sertifikat halal

Penistaan agama

Membangun ibukota di luar pulau yang proyek-proyeknya mangkrak

Dan sebagainya yang bikin pusing.

Jumat, 08 November 2024

Bruder John Asa dari NTT Jadi Tukang Cukur Sri Paus di Vatikan

Bruder John Asa, SVD, seorang religius asal Timor, Nusa Tenggara Timur, bertugas  selama 33 tahun di Generalat SVD Roma, Italia. Bruder John  diutus dari Provinsi SVD Timor pada tahun 1991.

Dia elah menjalankan tugas-tugas penting, mulai dari menjadi penghubung antara Generalat SVD dengan Vatikan hingga memangkas rambut para pemimpin Gereja Katolik.

Pater Fritz Edomeko, SVD, membagikan pengalamannya bertemu Bruder John saat yang bersangkutan baru tiba dari Roma.

 "Bruder John dikenal sebagai sosok yang ramah, rajin, tekun, cekatan, dan setia dalam menjalankan tugas-tugasnya," ujar Pater Fritz. 

Selama masa tugasnya, Bruder John berhubungan erat dengan tiga Paus, yaitu Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus, serta para kardinal dan staf di Vatikan, termasuk pengawal Swiss yang terkenal itu.

Salah satu momen paling mengesankan dalam perjalanan hidup Bruder John adalah ketika ia dipercaya untuk memangkas rambut Paus Yohanes Paulus II selama 11 bulan. 

Mengenang saat-saat tersebut, Bruder John berkata bahwa pertemuan itu diwarnai obrolan penuh kehangatan dan nasihat. Seringkali diselingi humor segar dari sang Paus.

 "Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan, 'John musti bersyukur berasal dari sebuah negara yang indah, rukun, dan damai,'" cerita Bruder John dengan senyum.

Kini, setelah puluhan tahun mengabdi di Roma, Bruder John kembali ke Provinsi SVD Timor untuk menjalankan tugas baru. "Di mana saja saya ditempatkan, saya bersedia," ujarnya penuh kerendahan hati.

Kisah Bruder John Asa menjadi bukti nyata bahwa pengabdian yang tulus, bahkan dalam tugas yang mungkin tampak sederhana, seperti memangkas rambut, bisa menjadi bagian penting dalam pelayanan Gereja yang lebih luas.

Rabu, 06 November 2024

Dr. Tjio Hock Tong Kenang Perjalanan Leluhurnya dari Tiongkok hingga Menjadi Pengusaha Sukses di Surabaya

Dr. Tjio Hock Tong, seorang dokter yang kini menetap di Guangzhou, belum lama ini berkunjung ke Surabaya. Selain untuk berlibur, ia juga mengadakan reuni bersama teman-temannya dari SMA Lian Huo, Undaan Wetan, Surabaya. 

Dalam kesempatan tersebut, Tjio mengenang masa kecilnya di kawasan Pabean, dekat Sungai Kalimas, serta perjuangan panjang leluhurnya dari Tiongkok hingga meraih kesuksesan di tanah Surabaya.

"Saya ini generasi keenam dari eyang buyut, seorang tukang potong rambut jalanan bernama Tjio Tjie-Siok, yang juga dikenal sebagai pendekar dari Shaolin Temple Selatan di Cuanciu, Hokkian," kenangnya.

Menurut Tjio, leluhurnya datang ke Nusantara sekitar tahun 1850-an, agak belakangan dibandingkan beberapa perantau lain. Mereka menetap di sekitar Sungai Kalimas, di kawasan Pabean dan Jalan Panggung, Surabaya. Kala itu, kehidupan tidaklah mudah, dan leluhurnya harus berjuang keras untuk bertahan hidup.

"Enam generasi sebelum saya, leluhur kami bekerja sebagai tukang potong rambut jalanan, berteduh di bawah pohon rindang," ujar dokter yang akrab disapa Dr Anthony Tjio itu.

Penghasilan dari jasa potong rambut yang kecil itu perlahan diinvestasikan untuk memulai usaha dagang. Mereka menjual korek kuping, kacang goreng yang dibungkus seperti lontong kecil, dan berkeliling kampung.

Dari pengalaman berdagang kecil-kecilan itu, Tjio dan keluarga leluhurnya mulai mengembangkan usaha palawija, berkeliling hingga ke pedesaan untuk kulakan. Usaha mereka perlahan berkembang dan cukup berhasil hingga mampu membeli tiket kapal untuk mudik ke Hokkian.

"Dari perjalanan mudik itu, leluhur saya membawa dua keponakan untuk kembali ke Surabaya dan mendirikan kongsi dagang Hap Thai di Jalan Panggung, Pabean," ujarnya.

 Hap Thai Kongsie yang bergerak di bidang perdagangan palawija terus berkembang pesat. Persaingan bisnis saat itu belum begitu ketat, sehingga keluarga Tjio bisa meraih kesuksesan dan dikenal sebagai orang kaya pada masa kolonial Belanda.

"Salah satu keponakan yang dia bawa, Tjio Pie-Boen, menjadi pendiri Boen Bio di Kapasan, sedangkan keponakan lainnya mendirikan Kelenteng Hong Tek Hian di Kampung Dukuh," tambahnya.

Di masa kecil, Dr. Tjio sendiri tinggal di sebuah gedung megah yang dikenal sebagai Bioskop Nanking di dekat Pasar Pabean. Kini, gedung tersebut telah beralih fungsi sebagai kantor Bank BCA.

"Dulu, di kanan depan Pasar Pabean ada Bioskop Nanking, sekarang jadi Bank BCA di Jalan Kalimati Kulon. Di sanalah saya tumbuh besar," kenang Tjio sambil menutup perbincangan.

23 Gunung Berapi Aktif di NTT, Flores dan Sekitarnya Rawan, Sumba dan Timor Aman

Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang rawan bencana alam, khususnya erupsi gunung berapi.

 Berdasarkan data dari Bulletin of The Volcanological Survey tahun 1982, terdapat setidaknya 23 gunung berapi aktif di NTT. Gunung-gunung ini tersebar di beberapa pulau di NTT, terutama di Pulau Flores, Palue, Adonara, Lembata, Alor, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.


KLASIFIKASI GUNUNG BERAPI DI NTT

Tipe A: Gunung dengan riwayat letusan yang cukup sering:

1. Inie Lika
2. Inie Rie
3. Ebulobo
4. Iya
5. Kelimutu
6. Rokatenda
7. Egon
8. Lewotobi Laki-Laki
9. Lewotobi Perempuan
10. Ile Boleng
11. Lere Boleng
12. Lewotolok (Ile Ape)
13. Ile Werung
14. Batutara (bawah laut)
15. Hobal (bawah laut)

Tipe B: Gunung yang masih aktif namun tidak seaktif Tipe A:

1. Labalekan
2. Ili Muda
3. Jersey.

Tipe C: Gunung berapi yang aktivitasnya lebih rendah atau jarang meletus:

1. Wai Sano
2. Riang Kotang
3. Pocolek
4. Sokoria
5. Ndetusoko

Sebanyak 23 gunung berapi aktif tersebut berada di NTT bagian utara. Mulai dari Pulau Flores, Palue, Adonara, Lembata, hingga Alor. Pulau-pulau di bagian selatan seperti Sumba, Timor, Sabu, Rote, Raijua tidak punya gunung berapi aktif.

Keberadaan gunung-gunung ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat karena potensi erupsi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Letusan gunung berapi dapat menyebabkan berbagai dampak. Mulai dari aliran lava, awan panas, hingga abu vulkanik yang membahayakan kesehatan dan mata pencaharian penduduk.

Erupsi gunung berapi memiliki potensi besar untuk mengganggu kehidupan masyarakat, terutama di wilayah yang berdekatan dengan gunung tersebut. Letusan gunung dapat menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian, merusak infrastruktur, hingga memaksa penduduk untuk mengungsi. 

Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan berbagai upaya mitigasi bencana, termasuk memantau aktivitas vulkanik, memberikan peringatan dini, dan melakukan simulasi evakuasi di wilayah rawan.

Namun, tidak semua upaya mitigasi mudah diterapkan di NTT mengingat keterbatasan infrastruktur dan tantangan geografis. Prof. Dr. J.A. Katili, ahli vulkanologi, menekankan bahwa meramalkan aktivitas gunung api relatif lebih mudah dibandingkan gempa bumi karena lokasi gunung api yang jelas dan dapat dipantau secara intensif.

Sebagai salah satu provinsi yang memiliki potensi bencana vulkanik cukup tinggi, Nusa Tenggara Timur perlu terus meningkatkan kesiapsiagaan terhadap letusan gunung berapi. Sinergi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan lembaga vulkanologi diharapkan dapat meminimalkan dampak erupsi dan melindungi kehidupan serta mata pencaharian penduduk setempat.

Selasa, 05 November 2024

Rahasia Ini Besar! Kawan Lama Terpilih Jadi Uskup Surabaya

Modik akhirnya terpilih sebagai Uskup Surabaya. RD Agustinus Tri Budi Utomo, imam asal Ngawi, mengisi takhta lowong di Keuskupan Surabaya sejak Uskup Sutikno meninggal pada 10 Agustus 2023.

Sede Vacante di Keuskupan Surabaya memang sangat lama. Bisa jadi karena Paus Fransiskus tidak segera yakin dengan nama-nama calon uskup yang disodorkan. 

Dulu Uskup Sutikno terpilih setelah takhta kosong lama. Surabaya memang khas. Beda dengan keuskupan di Pulau Flores (ada 5 uskup) yang biasanya cepat suksesi uskupnya. 

Selama takhta lowong itu muncul banyak spekulasi di kalangan umat Katolik di Surabaya dan sekitarnya. Ada beberapa nama romo yang disebut sebagai calon. Kawanku eks pimpinan PMKRI menyodorkan 5 nama. 

Modik alias Romo Didik malah tidak termasuk bakal calon unggulannya. 

"Kalau melihat syarat jadi uskup kayaknya tidak banyak calon di Keuskupan Surabaya. Tapi beberapa nama itu potensial," katanya.

Dulu dia mengunggulkan RD Vincentius Sutikno Wisaksono sebagai calon uskup sepeninggal Monsinyur Hadiwikarta. Romo Tikno saat itu masih menyelesaikan studi doktoralnya di Manila. Ternyata benar prediksi kawan itu.

Saya pun terkesan dengan ramalannya. Tapi saya tambahkan bisa jadi imam kongregasi yang dipilih. Bisa juga didrop dari keuskupan lain. Seperti Mgr Hadiwikarta dulu yang berasal dari Keuskupan Agung Semarang.

"Feeling saya Romo Didik," kata aktivis paroki di kawasan pinggiran Surabaya. 

Kok bisa? Potensinya besar dan saya rasa memenuhi semua persyaratan, katanya diplomatis.

Saya hanya tersenyum dengan prediksi kawan itu. Modik tidak masuk daftar nominasi kawan yang menebak tepat Uskup Sutikno itu.

Saya kenal Modik sebagai rekan diskusi yang hebat. Luwes, ramah, aktivitasnya lintas budaya, lintas iman, berada di mana-mana. Masuk ke semua komunitas baik Katolik maupun bukan. 

Modik juga seniman. Jago melukis, bikin drawing, karikatur dsb. Dulu saat awal bertugas di Paroki Sidoarjo Modik sering bergaul dengan seniman-seniman. Saat kosong dia biasa mampir ke rumah sekaligus studio pelukis senior Bambang Thelo (alm) di Sidokare.

"Romo Didik itu pastor yang langka. Seniman yang kesasar jadi romo," kata Bambang Thelo yang dulu dikenal dengan gerakan Green Art di Surabaya.

Saya juga terkesan dengan kualitas vokal Modik saat membawakan prefasi dalam misa kudus. Enak banget. Tidak ada falsnya. Apalagi membawakan madah pujian Excultet atau Bersoraklah pada Sabtu Malam Paskah. 

Kalau ada perlombaan antarpastor di Surabaya, saya jamin Modik masuk 5 besar romo yang suaranya paling bagus, lancar, saat menyanyikan Prefasi. "Sungguh layak dan pantas..."

Modik juga dikenal sebagai peminat bangunan cagar budaya di Surabaya. Dia sering posting gambar gereja tua bersejarah. Di antaranya, Gereja Katedral HKY, Gereja Kepanjen (lama dan baru). Sumbernya lebih valid karena dari buku-buku di Keuskupan Surabaya.

Terakhir Modik menelepon saya. Saya kira bahas masalah gereja, ormas Katolik dan sejenisnya. Ternyata Modik bertanya tentang Pabrik Gula Karah pada zaman Belanda. 

Modik ingin membuat catatan bahwa Gereja Paroki Sakramen Maha Kudus di Pagesangan, dulunya merupakan lahan pertanian. Kemungkinan lahan tebu untuk kebutuhan PG Karah yang berada di sekitar gereja sekarang.

Selasa sore, 29 Oktober 2024, Modik diumumkan sebagai Uskup Surabaya. Umat bertepuk tangan meriah setelah penantian panjang selama satu tahun dua bulan.

"Rahasia ini besar!" begitu kata-kata pertama Monsinyur Didik di Gereja Katedral HKY seusai namanya diumumkan oleh RD Yosef Eko Budi Susilo sebagai Uskup Surabaya.

Rahasia ini besar! 

Gak nyangka kawan lama terpilih jadi Uskup Surabaya. Selamat!

Minggu, 03 November 2024

Mengapa pengunjung blog ini makin sedikit? Begini jawaban Mister AI



Apakah blog berbasis artikel masih relevan di era media sosial yang gila-gilaan ini?

Ya, blog tulisan masih relevan hingga saat ini. Meski media sosial dan video kini mendominasi internet, blog tetap punya tempat penting, terutama karena beberapa alasan utama:


1. SEO dan Informasi Mendalam

Mesin pencari seperti Google masih mengutamakan konten tertulis untuk memberikan jawaban atas pertanyaan pengguna. Artikel blog yang kaya informasi dan dioptimalkan dengan baik tetap mendatangkan traffic organik.

2. Membangun Kredibilitas dan Otoritas

Blog membantu penulis atau bisnis menunjukkan keahlian di bidang tertentu. Konten yang mendalam dan berbobot di blog membangun kepercayaan dan otoritas di mata pembaca.

3. Ruang Ekspresi Lebih Luas

Blog memberi kebebasan untuk mengeksplorasi topik secara rinci tanpa batasan panjang atau durasi seperti di platform media sosial atau video, sehingga cocok untuk pembaca yang mencari informasi komprehensif.

4. Engagement Jangka Panjang

Artikel blog cenderung lebih awet atau “evergreen” dibandingkan posting di media sosial yang cepat tenggelam. Konten di blog bisa tetap relevan dan mendatangkan pembaca dalam jangka waktu yang lama.

5. Diversifikasi Konten untuk Audiens yang Berbeda

Tidak semua orang nyaman atau punya waktu untuk menonton video atau mendengar podcast. Blog memberi pilihan lain bagi audiens yang lebih suka membaca dalam format tertulis.

Jadi, meski format konten digital terus berkembang, blog tulisan tetap punya peran strategis, terutama dalam hal SEO, membangun brand, dan memberikan informasi yang komprehensif.


Dulu pengunjung blog saya di atas 200. Sekarang di bawah 100 meski pernah di atas 200. Apakah ini pertanda blog saya makin tidak diminati?


Penurunan jumlah pengunjung di blog belum tentu berarti blog Anda tidak diminati, melainkan bisa terjadi karena beberapa faktor lain, seperti:

1. Algoritma Mesin Pencari Berubah

Google dan mesin pencari lainnya sering memperbarui algoritma mereka, yang bisa memengaruhi peringkat artikel Anda di hasil pencarian. Mungkin perlu perbaikan SEO atau pembaruan konten lama agar kembali relevan dan naik di pencarian.

2. Perubahan Minat atau Tren Pembaca

Topik atau gaya tulisan yang dulu populer bisa jadi tidak terlalu menarik bagi pembaca sekarang. Memperbarui blog sesuai tren atau fokus pada topik yang sedang banyak dicari bisa membantu meningkatkan minat pembaca.

3. Persaingan Konten yang Meningkat

Jumlah konten online terus bertambah, sehingga persaingan menjadi semakin ketat. Mengoptimalkan konten blog Anda agar tetap unik, menarik, dan memberikan nilai tambah bisa membantu menarik kembali audiens.

4. Kurangnya Promosi atau Keterlibatan Media Sosial

Hanya mengandalkan mesin pencari mungkin tidak cukup. Membagikan artikel di media sosial atau berkolaborasi dengan blogger lain dapat mendatangkan lebih banyak pengunjung.

5. Kecepatan Muat dan Pengalaman Pengguna (UX)

Kecepatan akses dan tampilan blog juga bisa memengaruhi jumlah pengunjung. Blog yang lambat atau kurang mobile-friendly bisa mengurangi kunjungan.

Jadi, penurunan ini tidak selalu berarti blog Anda tidak diminati. Anda bisa mengevaluasi beberapa aspek di atas untuk memahami alasan spesifiknya dan mencari solusi, seperti memperbarui SEO, meningkatkan promosi, atau memperbarui konten sesuai tren terbaru.

Sabtu, 02 November 2024

Pak Tubi Pulang, Gubuk Mbok Tani di Jolotundo pun Tiada Lagi

Sudah hampir setahun saya tidak ngadem di kawasan Jolotundo, Trawas, Mojokerto. Ternyata banyak perubahan. Warung Bu Ponami di dekat sumber tutup. Muncul warung baru yang lebih modern di sebelahnya.

Pak Tubi sudah berpulang. Mbok Tani, istri Pak Tubi, pun naik ikut keponakannya di atas. Dekat pintu masuk Petirtaan Jolotundo peninggalan Prabu Airlangga yang terkenal itu.

Bagaimana dengan gubuk sekaligus warung di bawah? Ternyata sudah beralih tangan. Sudah dijual Mbok Tani ke Bu Polo, keponakan sendiri.

Warung legendaris itu, salah satu warung tertua di Jolotundo, dibongkar. Dijadikan warung atau kafe modern. Ada perangkat karaoke, WiFi, makanan minuman kelas kafe. Bukan lagi warung ndeso ala Mbok Tani.

Saya pun pangling saat mampir ke Warung Bu Polo (Ibu Kepala Desa). Benar-benar beda dengan yang pernah saya kenal selama 20-an tahun. Kecuali kamar mandinya yang masih sama.

Mbah Bambang Thelo (almarhum), pelukis senior Sidoarjo, yang membawa saya ke Mbok Tani dan Pak Tubi. Pasutri ini hidup seperti orang-orang kampung di pelosok NTT tahun 80-an dan 90-an. 

Listrik belum masuk rumah. Mbok Tani pakai lampu minyak tanah atau pelita pada malam hari. Sudah pasti tidak ada televisi. Tapi pasutri old school itu punya radio kecil untuk hiburan. Pakai baterai.

Pasutri ini juga punya pola tidur macam orang kampung tempo doeloe. Saat magrib tiba, pintu rumah sudah ditutup. Hening. Mbok Tani sembahyang layaknya muslimah tapi ada unsur kejawennya. Kadang obong dupa atau kemenyan.

Pukul 19.00 Mbok Tani dan Pak Tubi sudah tidur. Sudah pasti sebelum azan subuh sudah bangun. Pak Tubi langsung berangkat ke ladang, hutan, di kawasan pegunungan kawasan Jolotundo. Panen kemiri, nangka, mangga hutan, kadang duren.

Hasilnya dijual Mbok Tani di pasar. Biasanya Mbok Tani nunut saya saat turun. "Ketimbang bayar ojek," katanya. Ojek di sini walaupun masih keluarga tetap mahal. Gak ada yang gratis."

Semua itu tinggal kenangan. Mbok Tani makin tua dan lemah. Tidak bisa lagi ngamuk dan memarahi Pak Tubi. Tidak bisa lagi membuat sego sambel untuk saya seperti dulu.

Melisa Abang Tukang Bakso Kangen Lagu Anak ala Era 90-an

Lagu Abang Tukang Bakso dan Semut-Semut Kecil masih populer di pelosok NTT. Itu yang saya amati saat mudik ke Lembata Island beberapa waktu lalu.

Di Jawa Timur lagu anak lawas itu sudah lama hilang. Cuma sesekali saja disenandungkan ART atau babysitter untuk menghibur anak majikan.

Saya jadi ingat Melisa Trisnadi. Dialah yang populerkan dua lagu tersebut. Melisa putri bos Gajah Mada Record. Kebetulan lagu anak-anak lagi disukai pada era 90-an. Melisa diminta nyanyi apa adanya. Polos-polos saja khas anak. Tidak perlu teknik vokal yang ribet.

Lagu itu meledak. Kaset Melisa laku keras. "Gak nyangka kalau booming. Seneng banget denger lagu Semut-Semut Kecil dan Abang Tukang Bakso dinyanyikan di mana-mana," katanya.

Setelah remaja, kemudian dewasa, Melisa tidak melanjutkan karir sebagai penyanyi meski punya label rekaman ayahnya. Dia memilih usaha dagang alias bisnis. Menyanyi hanya hobi di kala senggang.

"Boleh dibilang sudah 30 tahunan saya tidak menyanyi (di depan khalayak)," katanya belum lama ini.

Melisa juga tidak aktif di media sosial. Tidak muncul di YouTube atau podcast. Malah ada gosip bahwa Melisa sudah meninggal karena kesetrum. "Aku sih biasa aja," katanya.

Di era digital industri musik sudah berubah total. Label-label macam Gajah Mada tidak bisa lagi mencetak kaset jutaan kopi seperti dulu. Lagu anak macam Semut-Semut Kecil atau Abang Tukang Bakso pun tak ada lagi.

Anak-anak sekarang malah lebih senang menyanyi lagu-lagu dewasa. Pejabat-pejabat malah senang dan menikmati. Farel dari Banyuwangi bahkan diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara untuk membawakan lagu dangdut koplo berbahasa Jawa: Ojo Dibanding-bandingke.

Melisa prihatin dengan hilangnya lagu anak-anak di tanah air. Dia lagi cari konsep untuk mempopulerkan lagu anak yang syair dan musiknya benar-benar sesuai dengan usia anak. 

"Tidak mudah karena eranya sudah berbeda," kata Melisa.

Ojo dibanding-bandingke karo jaman biyen Melisa sek cilik!

Jumat, 01 November 2024

Satu Abad Gedung Soverdi di Surabaya, Tinggalan Bruder CSA, Sekarang Milik Pater SVD

Gedung Soverdi di Jalan Polisi Istimewa 9, Surabaya, akan menjalani proses renovasi untuk menyambut usianya yang ke-100 pada 2025. Bangunan bersejarah ini, yang berdiri sejak 1925 dan dirancang oleh arsitek terkenal Hulswit, Fermont & Ad. Cuypers, telah menjadi jujukan mahasiswa dan komunitas pencinta sejarah di Surabaya yang mengagumi arsitekturnya yang klasik dan kokoh.

Gedung Soverdi awalnya milik Bruder CSA (Congregatio Sancti Aloysii), kongregasi yang mengelola SMAK St. Louis, sekolah menengah yang cukup terkenal di Surabaya.

Pada 1975, gedung ini diserahkan Bruder CSA kepada imam-imam SVD, yang sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak itu, gedung ini menjadi tempat tinggal bagi para pastor kongregasi SVD hingga kini.

Pater-pater Soverdi yang kini menempati gedung ini, di bawah koordinasi Pater Fritz Edomeko SVD sebagai ketua panitia, tengah berupaya mengumpulkan dana renovasi, yang diperkirakan memerlukan biaya besar. 

"Karena gedung Soverdi telah masuk dalam kategori cagar budaya, kami hanya bisa melakukan perbaikan di bagian dalam bangunan tanpa mengubah bentuk asli, terutama di sisi luar," ujar Pater Fritz.

Renovasi ini ditujukan untuk memperbaiki bagian dalam gedung yang kondisinya sudah banyak yang rusak. Panitia mengajak masyarakat luas untuk ikut serta memberikan donasi guna mendukung proses renovasi ini. 

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 258-5080975 atas nama Kongregasi Serikat Sabda Allah.

Salah satu pengunjung, Ratri Saraswati, mengungkapkan kesan saat mengunjungi Soverdi. Anggota komunitas tempo doeloe itu menulis:

"Bangunannya kokoh dan memiliki suasana tenang. Saya merasa betah, cocok untuk healing. Kami disambut ramah oleh Romo Soni Keraf yang mengantar kami berkeliling melihat sudut-sudut gedung, hingga ke dapur tempat para suster sedang memasak," ujarnya.

Rencananya, renovasi gedung Soverdi ini akan diselesaikan dalam beberapa tahun mendatang, seiring dengan upaya penghimpunan dana yang tengah berlangsung.