Senin, 30 Oktober 2023

Kuliah jaman now lebih praktis, padat, singkat, tidak perlu skripsi

(Jihan Navira mahasiswa FBS Unesa sedang meliput pusat barang antik di Surabaya untuk tugas magang.)

Kuliah jaman now di Indonesia rasanya lebih mudah ketimbang jaman old. Apalagi setelah Mas Menteri menelurkan kebijakan merdeka belajar, kampus merdeka, dan sebagainya. 

Gaya dan kebijakan Mendikbud Mas Nadhiem jauh berbeda dengan menteri-menteri sebelumnya. Apalagi mendikbud era Orde Baru. Mas Menteri orangnya praktis, efisien, kerja cepat, pragmatis.

Itulah yang saya tangkap ketika menjadi pengampu beberapa mahasiswa magang di Kota Surabaya. Saat ini saya masih mengampu dua mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Jihan Navira arek Manukan dan Wafi Syihab arek Karang Pilang. Mereka magang hingga akhir Desember 2023.

Program magang di perusahaan ternyata dikonversi menjadi banyak SKS (satuan kredit semester). Jihan bilang magang selama empat bulan di media massa bakal dikonversi jadi 20 SKS.

 Luar biasa!

 Saya tidak pernah bayangkan magang atau praktik kerja lapangan (PKL) dihargai dengan SKS sebanyak itu. Mahasiswa juga bisa bikin project apa saja dan dikonversi dengan SKS.

Belakangan ada kebijakan baru lagi. Mahasiswa tingkat akhir tidak perlu capek-capek bikin skripsi. Ada jalur nonskripsi. "Tapi saya masih pakai skripsi. Mungkin tahun depan sudah berlaku kebijakan itu," kata Jihan.

 Mahasiswi ini sudah bikin projek film bersama beberapa temannya di FBS Unesa. Semangat anak-anak milenial untuk bikin projek memang sangat tinggi karena, itu tadi, dapat benefit bisa dapat tambahan SKS.

Saya masih ingat zaman kuliah dulu kami harus menyelesaikan 150 SKS sebagai syarat lulus strata satu (S-1). Wajib skripsi. Wajib penelitian di lapangan. Wajib seminar awal riset, kajian rancangan percobaan, lalu seminar lagi tentang hasil penelitian. 

Lalu menulis skripsi. Betapa sulitnya mencari buku-buku referensi saat itu. Internet belum ada. Buku-buku elektronik alias e-book masih mimpi.

Karena itu, skripsi jadi masalah besar. Banyak mahasiswa yang stres gara-gara skripsi. Betapa sulitnya menemui dosen pembimbing. Kalaupun ketemu ya revisi berkali-kali. Komputer old school masih kelas jangkrik yang mengandalkan WS: word star.

Betapa banyak mahasiswa yang terpaksa DO gara-gara skripsi. Padahal SKS-nya sudah mendekati 150. Bahkan ada yang sudah lebih. 

Berbahagialah mahasiswa-mahasiswi jaman now! Semuanya serba dimudahkan. Apalagi kalau menterinya masih Nadiem Makarim atau tokoh yang sealiran dengannya.

Dengan magang yang dikonversi 20 SKS, projek-projek pribadi, simulasi program, aplikasi dsb maka masa kuliah bisa dipangkas. Tidak perlu lama sampai empat tahun atau lima tahun. Tiga tahun bisa kelar karena tidak perlu skripsi yang makan waktu dan biaya itu.

"Minta izin tidak masuk hari ini, Pak. Saya ada program pembuatan film pendek. Tapi saya akan tetap kirim hasil liputan," kata Jihan, anak magang yang jadi muridku.

Betapa bedanya Jihan dkk dengan mahasiswa jaman old. Ada saja garapan dan mainan mereka berbasis digital. Kelihatan main-main tapi  serius dan jadi tambahan SKS. Jadi modal untuk mempercepat kuliah. Dan bisa langsung diterapkan setelah lulus nanti.

Saya jadi ingat syair lagu jazz dari Louis Armstrong yang terkenal itu:

I hear babies cry
I watch them grow
They'll learn much more
Than I'll ever know

And I think to myself
What a wonderful world

10 komentar:

  1. Setuju dengan kebijaksanaan mempermudah jenjang S1. Tidak perlu skripsi, dll. Apalagi kalau dosennya sulit dicari.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biyen akeh dosen pelit & killer. Makanya tahun 90an tidak banyak yg dapat IP 3,5. IP kumulatif 3,0 juga susah.
      Sekarang semuanya dipermudah. Hampir semua alumni IP-nya di atas 3,4 malah mendekati 4. Tapi sering sulit diajak kerja di perusahaan karena IP tidak lagi mencerminkan kualitas lulusan.

      Hapus
  2. Dosen2 jaman old memang bermental priyayi feodalisme. Sulit ditemui mahasiswa. Ada saja alasan, sibuk ini sibuk itu. Ngobrol, diskusi santai hampir gak ada. Makanya saya gak punya ikatan emosional dengan dosen2ku dulu.

    Beda dengan guru2 di SMA plus kawan2 SMA yang hubungan emosionalnya besar. Cerita2 masa sekopah di SMA seperti gak ada habisnya meski cuma 3 tahun atau 2 tahun anak pindahan macam aku.

    Sebab itu, reuni SMA selalu lebih seru. Reuni kampus atau fakultas atau universitas boleh dikata hambar.

    BalasHapus
  3. Saya kebalikan. Guru2 SMAku dulu yang di Dr Sutomo (skrg Jalan Polisi Istimewa) itu gak niat ngajar. Niatnya cari saweran dari les2an terutama yang di jurusan A1. Karena otak saya mampu, saya merasa gak perlu les, sehingga oleh satu orang guru berkopiah saya di-cing (suka diolok2 di dalam kelas). Mungkin juga krn guru2 itu kurang Vitamin D(uit) dari sekolah.

    Dengan profesor2 di universitas yang di Amerika, justru aku lebih dekat. Karena mereka memperlakukan murid bukan seperti bawahan tetapi kolega yang perlu dibimbing. Maka saya bisa melakukan studi independen, ambil 1 kredit melakukan eksperimen2 berkaitan dengan pemancar gelombang untuk satu profesor. Pengalaman saya itu berguna untuk mendapatkan pekerjaan magang di satu perusahaan besar pd musim panas berikutnya. Saya juga belajar oh kalau kerja di perusahaan Amerika itu seperti ini.

    Ketika lulus S1 dengan 134 SKS seharusnya sudah lulus, dan saya krn saking senangnya belajar lulus dengan 148 SKS ... seharusnya 3.5 tahun selesai, jadi 4 tahun. Bodoh juga saya bayar uang sekolah kelebihan satu semester. Itu tidak pakai skripsi, yang ada hanya harus bikin proyek akhir tahun, tetapi bebarengan dengan teman2 kelas. Kami mendesain transistor yang bisa mendeteksi perubahan tekanan, pesanan dari perusahaan supplier otomotif. Yang melakukan pekerjaan sebenarnya Asisten Dosen (teaching assistant) dan kami hanya ikut2an saja, masuk lab, kutak katik excel spreadsheet yang sudah dibikinkan mereka dari hasil lab yang kami lakukan.

    30 tahun kemudian, eks profesorku yang menjadi pembimbingku melakukan studi independen itu menjadi ketua jurusan Teknik Elektro dan Komputer. Kami bertemu di suatu event di Silicon Valley, dan dia mengundang saya menjadi penasehat dari industri. Barusan profesorku tersebut pensiun menjadi emeritus. Usianya masih 60an.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah bedanya pendidikan di USA dan RI. Dosen2 itu tidak bisa total dan fokus mendampingi mahasiswanya. Mahasiswa2 sering dibiarkan saja tanpa arahan.
      Guru2 SMA masih lumayan bagus karena siswa sedang masa peralihan dari usia anak ke dewasa. Kalau dosen ya cuma kuliah satu semester ganti lagi mata kuliah baru, dosen baru dst.
      Hubungan lebih akrab kalau kebetulan dosen itu juga pembina paduan suara kalau kita ikut paduan suara. Pembina sepak bola bagi mahasiswa yang ikut sepak bola. Atau dosen itu alumni organisasi ekstra tertentu macam HMI, PMII, GMNI. Kalau gak ikut organisasi dan kegiataan seni budaya kampus ya lewat begitu saja. Itulah Indonesia.

      Hapus
  4. Salah satu orang asing yang cinta Indonesia dan mengkritik dengan keras adanya skripsi ialah Dr Elizabeth Pisani. Dia menulis beberapa blog posts tentang rusaknya pendidikan di Indonesia dengan judul2 menantang seperti "Indonesia, a Nation of Dunces" (Indonesia, Bangsa Orang2 Dungu); "Indonesian Kids Don't Know How Stupid They Are" (Anak2 Indonesia Tak Sadar Betapa Bodohnya Mereka). Isinya sangat menohok, tetapi betul.

    Di blog yang satu, beliau mengkritik betapa guru2 di daerah banyak yang membolos, karena mereka sebenarnya bukan guru, tetapi ditempatkan oleh karena nepotisme dengan kepala daerah yang baru terpilih. Di blog yang lain, beliau menceritakan betapa anak2 Indonesia tidak mampu berpikir kritis sama sekali. Karena di sekolah hanya diajari hafalan, rumus.

    Beliau juga mengkritik skripsi di tingkat S1 yang merupakan pemborosan waktu dan uang dan energi, di mana ratusan ribu makalah tidak bermutu tiap tahun diproduksi hanya sebagai pelengkap kelulusan.

    BalasHapus
  5. Anyar iki. Guru2 sekolah favorit gak niat ngajar tapi sibuk golek saweran. Berarti arek2 iku aslinya jenius. Tanpa guru pun mereka sudah hebat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu jaman Orba. Guru2 dicekoki harus mengabdi, tapi gizinya kurang. Setelah Kepsek diganti, dibikin sistem oleh Kepsek baru. Bimbingan belajar boleh tapi di sekolah. Jalur resmi.

      Hapus
  6. Di-cing istilah sekarang mungkin bully. Dibuli. Dulu ada satu dosenku yang sering men-cing kawan yang pakai nama Tionghoa. Marga Go. "Kapan ganti nama?" tanya si dosen. Sering sekali dia bully itu Miss Go meski pelajarannya tentang kimia organik kalau gak salah.

    Apa hubungannya nama Tionghoa dengan kimia? Sekian tahun kemudian saya merenung. Parah banget wawasan dosen itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya itu terjadi juga di SMA favorit. Teman2 yang belum sempat ganti nama sering dicing oleh guru2 PMP yang dicuci otak oleh Orba. Bahwa Cina yang tidak ganti nama itu tidak patriotik. Padahal masalahnya sederhana, mereka belum sempat ganti nama karena orangtuanya ga mampu bayar pungli, jadi antrean berkas di pengadilan masih lama.

      Salah satunya yg dicing itu bermarga Lay, kemudian ganti nama menjadi Budi. Dia jadi Dekan jurusan Informatika di Ubaya setelah disekolahkan doktor di Ostrali. Sayang ketika masa awal pandemi Covid-19 thn 2020 beliau meninggal. Usia 51.

      Hapus