Kamis, 27 Juli 2023

Genit Inggris-Inggrisan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan

Oleh L. Murbandono Hs
Mantan Wartawan Radio Nederland di Hilversum

Di Indonesia genit inggris-inggrisan untuk urusan berkata-kata dan menulis itu agaknya sudah diterima sebagian masyarakat dengan riang gembira. Mungkin karena bangsa Indonesia termasuk bangsa yang suka berkelakar. "I don't care with my popularity!" ujar bekas Presiden SBY.

Anak-anak muda kita sudah barang tentu lebih ahli dalam hal tersebut. Genit inggris-inggrisan mereka habis-habisan.

 Disebut genit, pertama, sebab perilaku dalam berbahasa yang merusak bahasa Indonesia itu diucapkan atau ditulis di Indonesia, dalam rangka Indonesia, ditujukan kepada orang-orang Indonesia pula. 

Kedua, penggunaan kosakata-kosakata Inggris atau berbau Inggris itu mubazir, sebab selalu tersedia kosakata Indonesianya. Ketiga, tidak jarang penggunaan kosakata asing tersebut dengan pemaknaan yang keliru pula.

Di hampir semua koran dan majalah Indonesia selalu kita jumpai tulisan-tulisan yang genit inggris-inggrisan. Hampir di semua rubriknya. Apalagi di ruang opini (pendapat) nya. Rata-rata penulisnya – tidak semua tentunya, perlu penelitian sekolahan – menggunakan keprigelan menulis gaya kegemaran anak-anak ingusan tersebut. 

Hampir tiap hari selalu bisa ditemukan hal ihwal dan perkara tersebut. Contohnya terlalu banyak untuk disebutkan. Tak ada hari pers media Indonesia – cetak, elektronik dan sibernetika – yang terbit, berbunyi, dan tertayang tanpa dikotori tulisan atau bunyi yang genit inggris-inggrisan.

BERBAGAI KELAS

Segala sesuatu ada kelasnya. Begitu pula kegenitan inggris-inggrisan. Ada kelas ringan, kelas bulu, kelas berat, dan kelas mahaberat.

Termasuk kegenitan kelas ringan adalah penggunaan si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, dan sejenisnya. Mereka termasuk kelas "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela". 

Semua kosakata jenis ini hampir selalu ada kosakata Indonesianya, dalam arti enak dan pas.

Sungguh menakjubkan! Sebab budidaya merusak bahasa Indonesia lewat tulisan dan bunyi tersebut pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang terpelajar.

Mereka dimuat, dibunyikan dan dipertontonkan oleh pers media Indonesia dan disebarluaskan ke masyarakat sebagai bacaan, bahan dengar atau bahan tontonan orang-orang yang berbahasa Indonesia.

 Pers media di Indonesia sendiri merupakan perusahaan pers yang dimiliki dan diurus oleh orang-orang Indonesia. Para pengguna pers Indonesia bukan hanya orang-orang Indonesia. Pers di Indonesia juga dibaca oleh orang-orang asing yang sudah mahir atau masih belajar bahasa Indonesia.

Jadi, semua tulisan dan risalah yang dimuat di dan disebarluaskan oleh pers Indonesia tersebut mempunyai tanggung jawab keIndonesiaan yang serius. Tanggung jawab bagi peradaban Indonesia dan bahasa Indonesia. Dan terutama tanggung jawab di depan kesopansantunan berbahasa yang agung dan patut.

MERISAUKAN

Lepas dari isi dan pesan dari sekian banyak risalah di pers Indonesia yang perlu setulus hati dihargai sebab harus diakui rata-rata bermutu dan berguna bagi bangsa Indonesia, tetapi mereka menjadi merisaukan, sebab dengan kegenitan inggris-inggrisan itu langsung bisa dirasakan kerendahdirian Nusantara di hadapan Barat. Lewat bahasa!

Dari berjubelnya penggunaan kosakata Inggris yang jelas-jelas ada kosakata Indonesianya, kita mungkin menjadi sedih dan bertanya, apa sejatinya yang nista dalam kosakata Indonesia? 

Apakah bahasa Indonesia amat melarat sehingga tidak punya kosakata-kosakata sendiri yang mampu menyampaikan isi dan pesan suatu risalah, sehingga harus merelakan diri dikotori oleh kata-kata Inggris? Atau, apakah harga satu kata Indonesia satu rupiah dan harga satu kata Inggris satu dolar AS?

Itu semua memaksa kelahiran catatan-catatan kecil ini. Apakah akan ada gunanya. Sebab suasana "merusak bahasa Indonesia" itu sudah amat meluas dan berlarut-larut di Indonesia.

 Apa pun, catatan ini bermaksud menunjukkan dan membuktikan kepada semua orang dewasa bahwa seluruh kosakata Inggris yang digunakan dan membanjiri pers media Indonesia itu tidak ada nilai lebihnya bagi bahasa dan kebudayaan serta peradaban Indonesia.

 Dengan mudah sekali semua kosakata asing itu bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan.

KOSAKATA SENDIRI

Sebelum contoh-contoh nyata itu disajikan, perlu disampaikan, penelusuran genit Inggris-Inggrisan ini mungkin mengesankan "sok suci bersih murni mau bebas dari unsur asing secara mutlak", yang tidak terhindarkan. Tapi itu samasekali bukan maksudnya.

Itu soal terpisah lebih luas, yang tidak dikupas dalam kolom terbatas ini.

Jadi, penelusuran ini sekedar cara untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa bahasa Indonesia mempunyai kosakata sendiri yang sanggup mengalihkan kosakata asing secara tepat, benar, baik, dan indah. 

Dengan mudah banyak sekali kosakata asing bisa dialihkan ke dalam kosakata Indonesia tanpa mengurangi pesan yang akan disampaikan. Juga, akan ditunjukkan, dalam penggunaan kata asing atau berbau asing itupun, di samping hanya mempersulit hal yang sejatinya gampang, juga bisa ditemukan kekeliruan pula.

CONTOH NYATA

Dalam kerangka contoh nyata itu, kita tengok sebuah tulisan di ruang pendapat – biasa disebut opini – di sebuah surat kabar terkemuka di ibukota.

Di situ antara lain kita temukan bahasa tulisan dalam bahasa Indonesia yang berbunyi : "poverty targeting policy". Mengapa tidak ditulis, "kebijakan mengurus kemiskinan"? Apakah "kebijakan mengurus kemiskinan" lebih jelek katimbang "poverty targeting policy"?

Masih dalam tulisan tersebut, juga kita jumpai bukan kata asing asli, tetapi kata bentukan dari kata asing yang tidak terlalu berguna, sebab justru bisa menjadi alat pembenaran untuk kemalasan membuka kamus. Yaitu, asal ada kata Inggris berakhiran "tion" tinggal ganti saja dengan "si" atau "asi", maka lahirlah kata-kata blasteran yang "megah". 

Eksekusi! Dalam bahasa Indonesia, tersedia kosakatanya yang lebih bermartabat. Yaitu, pelaksanaan.

Juga kita temukan penyakit sekelas yang tadi. Yaitu, kata: limitasi. Mengapa tidak keterbatasan atau batas? Apalagi, penggunaan kata "limitasi" dalam bagian kalimat "Betapa pun kedua data ini punya limitasi tinggi, kita…" adalah keliru. 

Limitasi bukanlah keterbatasan atau hal yang terbatas, melainkan pembatasan, yakni tindakan melakukan sesuatu agar pihak lain menjadi terbatas. Jadi, kalau tidak berkenan menggunakan "keterbatasan" atau "batas" ya kalau masih mau inggris-inggrisan juga, minimal "limit" – ini masih bisa dipertanggungjawabkan. Inilah contoh genit inggris-inggrisan, dan, keliru pula.

Kosa-kosakata "enggan Nusantara" lain yang kita temukan dalam tulisan tersebut adalah kompensasi (pengganti kerugian), anonim (tidak dikenal), targeting (mengarah, mengarahkan, menuju, menujukan, mengurus, mengelola, dll ), disagregasi (kerincian), indikator (penanda), debatable (bisa dipertengkarkan), dan dispute (pertengkaran, perselisihan, percekcokan, keributan, kehebohan, kegemparan, dll).

Mungkin Anda akan menanggapi. Semisal begini:  kata 'dapat diperdebatkan' akan lebih tepat sebagai terjemahan dari debatable. Kata 'debat' itu sudah meng-Indonesia kok, seperti misalnya dalam ungkapan 'debat kusir'. Terlebih lagi, kata 'bertengkar' tidak sama dengan 'berdebat', bukan?

Tanggapan itu benar dan baik. 

Ya, debat memang tidak sama dengan tengkar. Lalu, apa padanan Nusantaranya yang paling tepat untuk kata "debat"? Rembug? Adu-kata? Gumul-pendapat? Memang, tidak mudah.

 Justru kosakata sejenis "debat" dan semacam itulah yang akan menjadi PR jangka panjang bahasa Indonesia urusan kosakata Nusantara. 

Dalam rangka (istilah gagahnya adalah "konteks") ini, mungkin masih sulit untuk "menusantarakan" kosakata-kosakata semisal: diskusi, politik, demokrasi, pers, media, jurnalisme, radio, televisi, film, ekonomi, nasional, frustrasi, bank, teknik, mekanisme, stasiun, bus, taksi, faktor, dan kata-kata lain sejenis yang bisa banyak sekali.

Nah, kembali ke uraian awal. Maka kita akan menemukan sebuah kalimat yang sejatinya mengandung pesan yang amat bermutu. Kalimat tersebut berbunyi: "Sejarah menunjukkan tidak ada proses instant dalam penanggulangan kemiskinan." 

Kosakata yang kita persoalkan adalah "instant". Mengapa tidak "seketika"? Bahkan kalau mau lebih berani, kata "proses" itupun sejatinya masih bisa diganti dengan berbagai kosakata lain Indonesia semisal perjalanan, penggarapan, penanganan, pengolahan, dll.

ASLI DAN BENTUKAN

Selanjutnya kita temukan berbagai ungkapan Inggris asli maupun bentukan, yaitu (1) program-program targeting (rencana-rencana pengurusan), 

(2) necessary condition (persyaratan penting)

 (3) sufficient condition (persyaratan secukupnya), dan

 (4) indikator lokal (penanda setempat).

Dan tentu saja, juga kita temukan kosakata berbau Inggris dan gado-gado, ialah analisis (penguraian), mainstreaming (pengarus-utamaan), karakter (sifat, watak), mendistribusikan (membagi-bagikan, menyebarkan), "random" ("acak"), probabilitas (kemungkinan), dan masih banyak lagi.

ABJAD KOSAKATA

Menelusuri  genit Inggris-inggrisan ini, kita semua bisa menyusun secara lebih teratur menurut abjad kosakata-kosakata genit Inggris-inggrisan tersebut. Tentu saja hanya bagian kecil dari contoh-contoh yang bisa seabrek-abrek, sejauh yang nyata muncul dalam persuratkabaran dan penerangan di Indonesia sendiri.

Namun, sekali lagi, wacana perkara genit Inggris-Ingrisan ini tidak bermaksud berurusan dengan "pemurnian" bahasa. Sebab, apakah mungkin? 

Tidak ada bahasa di dunia ini yang seratus persen suci murni. Apalagi bahasa Indonesia kita yang tercinta. "Ketidakmurnian"-nya habis-habisan dalam hal menelan dan memamahbiak unsur-unsur asing.

SUDAH RUSAK

Jadi, soalnya lebih berurusan dengan ketidakwajaran dalam berbahasa Indonesia. Genit Inggris-Inggrisan di bidang perkabaran dan penerangan di Indonesia sudah mencapai taraf gila-gilaan. Sudah bukan taraf perbuatan anak manja atau remaja ingusan lagi. 

Genit Inggris-Inggrisan dan kebanggaan berasing-asing ria secara berlebihan dalam berbahasa Indonesia yang tanpa guna itu, sudah amat mengerikan. Ibarat bahasa Indonesia itu kulit peragawati nan cantik, maka kulit tersebut sudah penuh dengan panu dan kudis. Jadi, sungguh-sungguh menimbulkan rasa iba. Kasihan sekali.

Hal yang menimbulkan rasa iba nan kasihan sekali itu, contohnya bisa kita saksikan dalam tulisan seorang terpelajar di sebuah koran ibukota. Hampir di setiap paragrafnya bisa kita temukan panu dan kudis tersebut, misalnya: negosiasi, money politic, kondisi, sentralistik, direct democracy, kolusi, money politic, konsesi-konsesi, konsolidasi, momentum, strategis, eksistensi , agenda, kongres, fenomena, elitis, sentralistis, kolektif, intensif, konteks, relasi, personifikasi, krusial, eksekutif, legitimator, kontrol, aspirasi, kader, berpotensi, aktif, eksekutif, produktif, relasi, kategori, antagonis, posisi, kontrol, hegemonik, stempel, akomodasionis, kondisi, "karismanya", oligarki, demokrasi, politik, konkret, proses, demokrasi lokal, barometer, elitisme, sentralisme, proses, civil society, potensi, partisipasi, dimobilisasi, emosi, psikologis, prosesi, demokrasi, elektoral, sosial, strategis, desentralisasi, aspirasi, kaderisasi, simpatisan, sosialisasi, aksi-aksi, dan eksistensi.

APA ALASANNYA?

Mengapa kosakata-kosakata di atas ibarat panu dan kudis yang menimbulkan rasa iba? Sebab semua kata tersebut, bisa dengan mudah ditemukan kosakata Nusantaranya dengan cukup mudah, tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan.

Soalnya, mengapa? Buat apa mengembangbiakkan kegemaran memalukan yang menyebarkan panu-panu dan kudis-kudis itu? 

Mungkin bukan sekedar karena bahasa Inggris dianggap lebih hebat katimbang bahasa Indonesia, melainkan karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang sopan dan irit. Maka, tidak tega membuang kosakata-kosakata asing. Ini kemungkinan pertama.

Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa merdeka. Karena itu, kita merdeka memperlakukan bahasa kita dan bahasa asing sesuka hati. Mengapa tidak boleh mencampuraduk mereka menjadi bahasa gado-gado?

Ketiga, dugaan bahwa dengan bahasa gado-gado itu bahasa Indonesia akan tampil lebih indah, lebih meyakinkan, dan lebih beradab.

Namun, untunglah, genit Inggris-Inggrisan itu – sudah sedikit disinggung di atas tetapi belum lengkap  – ternyata berkelas-kelas. Paling sedikit tiga kelas. Ada kelas ringan, kelas berat, dan kelas algojo alias kelas dasamuka. Tapi mohon jangan lupa, apapun kelasnya, semua kosakata Inggris dan berbau Inggris itu rata-rata ada kosakata Nusantaranya.

TIGA KELAS

Kelas ringan adalah gemar menggunakan kata berakhiran si-si-si, is-is-is, if-if-if, tor-tor-tor, al-al-al, il-il-il, tas-tas-tas, dan sejenisnya. Yang masuk kelas ini adalah kaum yang takluk kepada falsafah gombal yang berbunyi "apa boleh buat sebab sudah telanjur meluas dan merajalela".

 Rumitnya, ini sejatinya kebingungan kelas gajah. Politik bahasa! Bahkan "kitab suci" bahasa Indonesia – Kamus Besar Bahasa Indonesia – itupun, memasukkan kosakata-kosakata sejenis itu sebagai lema.

Tergolong kelas berat adalah kosakata berbau Inggris atau Barat yang dahulu tidak ada atau belum terkenal. Lalu sekarang tiba-tiba ada. Ini bisa berupa kata utuh semisal "bias" dan "dispute" atau akhiran baru semisal "bel-bel" itu.

Kelas algojo dasamuka adalah kosakata Inggris yang digelundungkan begitu saja ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Bukan cuma satu atau dua kosakata, bahkan satu kalimat atau satu paragraf sekalian. Seolah-olah mereka itu sudah menjadi kosakata, kalimat, dan paragraf bahasa Indonesia. Genit macam inilah sejatinya yang membuat bahasa Indonesia kian lama kian amburadul, kian terbunuh, kian terbantai-bantai!

HARUS MENDERITA

Agaknya, bahasa Indonesia memang harus menderita sebab wajib belajar terus, atau binasa! Jalan salib penderitaan harus ia tempuh. Khususnya saat bergaul dengan aneka rupa kosakata asing. Agar sampai pada kebangkitan kebahasaan yang indah mulia.

Suatu masa ia pernah kikuk di hadapan kosakata Belanda, di kota-kota. Kosakata Arab sejak dahulu jaya di desa-desa dan kini makin meriah, percaya diri melewati jalan-jalan bebas hambatan dan memasuki gedung-gedung bertingkat. 

Kosakata India, saya kurang paham, di Bali mungkin bisa dirasakan. Kosakata Latin, ini suasana khusus di salah satu sudut di Ledalero, Kentungan, Pineleng, Abepura, Pematang Siantar dan sebangsanya – di seminari-seminari. Semuanya ini masih perlu uraian lebih luas, yang di luar kemampuan catatan kecil ini. Ia hanya mengupas kosakata Inggris atau berbau Inggris, dan terbatas mempersoalkan kegenitan Inggris-Inggrisan.

EMPAT KEINGINAN

Meski mungkin membuat uring-uringan kaum "genit Inggris-Inggrisan", catatan kecil ini sejatinya bernyali amat kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, pengikut kaum tersebut sudah telanjur amat kuat perkasa dan meluas di seluruh Indonesia. 

Kaum itu telah memenuhi desa-desa, kota-kota, toko-toko kelontong, kantor resmi, pemukiman kumuh dan apalagi pemukiman mewah, meja-meja persuratkabaran, sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan tentu saja di semua gedung lembaga tinggi negara.

Karena itu, catatan kecil ini cuma mampu mengusung empat keinginan.

Pertama, ingin berterus terang.
Kedua, ingin melontarkan tanggapan yang membangun.

Ketiga, ingin mengimbau, agar tiap manusia Indonesia yang dewasa tanpa pandang bulu lebih bersikap wajar dalam berbahasa Indonesia dan menghormati bahasa Indonesia.

Keempat, ingin memperkenalkan "iman" yang mengakui bahwa gemar menggunakan kosakata-kosakata asing secara tidak perlu di dalam berbahasa Indonesia adalah perbuatan tercela yang merusak bahasa Indonesia.

Hilversum, Juli 2005
Tulis Ulang, Kopeng, Juli 2023

Selasa, 25 Juli 2023

Menemani turis Singapura yang faham bahasa Melayu sikit-sikit lah


Dulu aku pikir semua orang Singapura yang Tionghoa bisa berbicara dalam bahasa Melayu dan Inggris. Ternyata aku keliru. Ternyata banyak juga warga negara Singapura yang Tionghoa hanya bisa ,,sikit-sikit cakap Melayu".

,,Melayu sikit-sikit lah," kata pasangan suami istri saat jelajah kota lama di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya kemarin.

,,Boleh cakap bahasa Indonesia?"

Pasutri 60-an tahun itu geleng kepala. Lalu dia beralih ke Singlish. Bahasa Inggris ala Singapura yang khas itu. Tapi itu pun tidak jelas juga omongannya. Sulit ditangkap kata-katanya.

Kita orang omong dalam bahasa Inggris yang jelas dan pelan pun pasutri itu agak sulit mengerti. Tapi lebih nyambung ketimbang kita bicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu ala Ipin dan Upin di Malaysia.

Aku sebagai pemandu wisata dadakan pun tak kehilangan akal. Pelancong Singapura itu aku ajak lihat-lihat beberapa objek di bangunan tua kawasan pecinan. Melihat lukisan, foto bareng dsb. Bahasa Tarzan kadang masih perlu di era digital ini.

Tidak hanya turis Singapura, menghadapi wisatawan dari non English speaking countries memang tidak mudah. Misalnya turis asal Taiwan, Tiongkok, Thailand. Ucapan kata-kata bahasa Inggris mereka tidak jelas. Logatnya pun sesuai dengan logat bahasa daerah atau bahasa nasionalnya.

Bicara dengan orang Amerika atau British jauh lebih enak. Meskipun kemampuan berbahasa Inggris kita orang masih jauh di bawah standar TOEFL, orang USA dengan mudah menebak maksud kalimat-kalimat atau pertanyaan orang Indonesia dalam broken English.

 Itu yang sering aku lihat dalam konferensi pers di Indonesia. Wartawan-wartawan Indonesia umumnya sangat mampu dalam written English tapi lemah dalam spoken English. Itu juga hasil pelajaran bahasa Inggris kita (dulu) yang sangat menekankan tata bahasa atau grammar rules. 

Syukurlah, di era digital sudah banyak aplikasi untuk menerjemahkan bahasa apa saja lewat telepon genggam. Hanya dalam hitungan detik kalimat-kalimat dalam aksara Tionghoa atau Arab atau Thai atau India bisa dibaca dalam bahasa yang kita kuasai. 

Kembali ke turis Singapura tadi. Kalau dipikir-pikir wajar sekali kalau suami istri itu tidak bisa berbahasa Melayu karena jarang bergaul atau bertemu dengan orang Melayu di negaranya. Apalagi etnis Melayu di Singapura pun minoritas. Karena itu, lagu kebangsaan Singapura yang berbahasa Melayu itu mungkin hanya dimengerti dan dihayati orang Singapura yang Melayu. 

Warga Singapura yang Tionghoa dan India mungkin ,,cuma faham sikit-sikit lah." 

Jumat, 21 Juli 2023

MA tutup satu celah nikah beda agama


"Saya masuk Islam supaya bisa kawin dengan Leila," kata Soe Hok Djin, akademisi, aktivis, profesor terkenal era 90-an.

Ahok dan Puput beda agama. Menjalin asmara saat Ahok dibui. Istri lama diputus. Ahok ngebet kawin lagi setelah bebas.

Warganet harap-harap cemas. Siapa yang ngalah? Ahok jadi mualaf atau Puput yang ikut Haleluya? Anda sudah tahu.

"Saya pindah agama supaya bisa nikah dengan ibunya Jarot," kata pelukis senior Bambang yang lahirnya Katolik.

Setelah dimualafkan, seniman itu kelihatan jarang sembahyang. Lebih sibuk ikut acara-acara Kejawen macam Anggoro Kasih, Suroan di Gunung Kawi, nyekar ke petilasan dsb.

Sekali-sekali Bambang datang ke gereja di Sidoarjo. Bukan untuk sembahyang atau misa. "Saya senang ngobrol dengan Romo Didik dan romo-romo lain. Apresiasi seninya bagus. Enak diajak diskusi," kata seniman yang sudah Rahayu Ing Paleraman (RIP) itu.

Begitulah salah satu penyelesaian masalah nikah beda agama di Indonesia. Salah satunya harus ngalah. Siapa yang ngalah ya silakan rembug deso. Kalau tidak ada yang mau ngalah ya... angeeeel dan almost impossible.

Tapi selalu ada pasangan beda agama yang menyiasati UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu. Mereka yang punya duit pigi ke Singapura. Menikah di catatan sipil sana. Lalu pulang catatkan pernikahan di Catatan Sipil atau Dispendukcapil.

Faktanya, cukup banyak pasangan beda agama yang diberkati di gereja. Banyak sekali di Katolik. Ada yang disparitas cultus. Ada mixta religio. Syarat perkawinan campur tidak ringan. Tapi pasangan yang bukan Katolik tidak perlu murtad atau meninggalkan agamanya.

Sejumlah pasangan kawin campur ini kemudian mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil. Pasti masalah kalau beda agama. BS (nama lama catatan sipil sejak era Belanda) minta penetapan pengadilan dulu. Kalau ada penetapan PN baru dicatat.

Maka cukup banyak pasangan suami-istri beda agama lolos di Catatan Sipil. Mulai ada keresahan dan gugatan. Dianggap melanggar UU 1/1974 yang mengharamkan pernikahan beda agama.

Lama tak ada kabar, kini muncul surat edaran Mahkamah Agung bertanggal 17 Juli 2023. Isinya, "Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama atau keyakinan."

Putusan MA ini menutup salah satu celah yang nikah beda agama di Indonesia. Tapi biasanya manusia selalu menemukan jalan keluar dari situasi yang sulit.
Jalan termudah ya ngalah seperti Soe Hok Djin, Puput, Bambang. Kalau gak ada yang mau ngalah ya wis. 

Rabu, 19 Juli 2023

Tumpengan Tahun Baru Jawa 1 Suro di Kelenteng Hong San Ko Tee Surabaya


Tahun Baru Jawa, 1 Suro, selalu dirayakan di Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto, Surabaya. Jemaat memesan atau mengirim tumpeng ke kelenteng. Tumpengnya pun khas tradisi Jawa.

Selama dua tahun acara Suroan di TITD Hong San Ko Tee sempat ditiadakan karena pandemi Covid-19. Pemerintah menerapkan PPKM untuk mencegah penularan virus corona.

 "Tahun lalu kita adakan Suroan tapi terbatas," kata Erdina Tedjaseputra pengurus Kelenteng Hong San Ko Tee.

Tahun 2023 ini status pandemi covid sudah dicabut. Kegiatan sembahyang mulai normal lagi di TITD yang populer dengan sebutan Kelenteng Cokro itu. Kiriman tumpeng kembali ramai. Suroan tahun ini ada 41 tumpeng. Tidak sebanyak jumlah tumpeng sebelum ada pandemi.

"Tumpeng-tumpeng itu dibawa pulang setelah sembahyang bersama. Ada modin yang mendoakan tumpeng-tumpeng itu. Seluruh umat dan keluarganya juga didoakan agar dapat perlindungan dan rezeki selama satu tahun ke depan," kata Erdina, putrinya mendiang Ibu Juliani Pudjiastuti, ketua kelenteng yang lama.

Kelenteng Hong San Ko Tee berdiri sejak tahun 1919. Awalnya kelenteng kecil di kompleks makam tak jauh dari Jalan Raya Darmo. Tuan rumah atau dewa utamanya Kong Tik Tjoeng On. Saat ini Kelenteng Cokro dikelola generasi kelimapendirinya, yakni Jap Liang Sing.

Berbeda dengan kelenteng-kelenteng lain, TITD Hong San Ko Tee punya altar khusus untuk Dewi Sri. Sang dewi padi ini ditempatkan di dekat pintu masuk. Nuansa Jawa memang sangat kental.

 "Kita hormati Ibu Dewi Sri karena kita orang lahir, tinggal, cari rezeki di Jawa. Meninggal pun di tanah Jawa," kata Juliani suatu ketika.

Karena ada altar dan rupang (patung) Dewi Sri itulah, pengurus Kelenteng Cokro selalu mengadakan ritual-ritual Kejawen. Setiap bulan ada sembahyang dan tumpengan pada malam Jumat Legi. Acara tumpengan paling meriah ya tanggal 1 Suro alias Tahun Baru Jawa. Bersamaan dengan Tahun Baru Islam.

Selamat Tahun Baru Jawa!

Rahayu! Berkah Dalem! 

Selasa, 18 Juli 2023

Barbershop Tertua di Kembang Jepun 58 - Selesai di Generasi Kedua

Tempat pangkas rambut di Jalan Kembang Jepun 58 Surabaya lagi ramai di media sosial. Video tentang ,,barbershop tertua di Indonesia" itu dapat tanggapan luar biasa. Begitu banyak orang kagum dengan usaha pangkas rambut di kawasan bisnis utama di Pecinan Surabaya itu.

Owe hampir saban hari lewat di depan barbershop Shin Hua itu. Gedung tua di pojokan Jalan Husin. Di depannya ada gedung bekas restoran terkenal yang sudah lama mangkrak. Tidak ada plang atau tulisan bahwa itu gedung adalah barbershop tertua di Surabaya. Belakangan disebut-sebut tertua di Indonesia.

Owe dulu sempat kaget karena ada stiker dari Pemkot Surabaya di pintu masuk Shin Hua. Stiker keluarga miskin. Tandanya penghuni rumah itu berhak dapat ,,permakanan" dari pemkot. Saban hari petugas pemkot kirim bingkisan makanan untuk penghuni rumah yang namanya tertulis di stiker itu.


Gedung megah di Kembang Jepun kok masuk keluarga miskin? Orang Tionghoa pula? Bukankah selama ini ada citra bahwa orang Tionghoa itu sukses dagang, pinter bisnis, jago cari cuan dsb?

"Yang kaya itu bapaku. Aku gak kaya. Aku  cuma melanjutken saja Shin Hua ini," kata Tan Ting Kok, 74 tahun. 

"Tapi saya sudah tua. Gak kuat lagi. Kalau motong rambut, saya punya tangan gemetar. Saya kena diabet. Makanya saya berhenti. Langganan juga sudah banyak yang mati," kata Tan.

 Shin Hua berdiri sejak 1911. Tan Shin Tjo dateng dari Hokkian, Tiongkok, untuk mengadu nasib di Soerabaia pada masa Hindia Belanda. Awalnya jadi kuli, tukang bersih-bersih. Lalu mencoba jadi tukang potong rambut serabutan di dekat Pasar Pabean.

Tuan Tan ternyata punya hoki bagus. Usaha potong rambutnya terus berkembang, berkembang... jadi besar. Sampai dia bisa membeli gedung besar di Kembang Jepun atawa Handelstraat. Kalau tidak kaya betul mustahil punya properti di pinggir Jalan Kembang Jepun.

Tempo doeloe Tuan Tan Shin Tjo punya banyak pelanggan. Sehari bisa 200 sampai 300 kepala yang ditangani. Ting Kok, anak kedelapan dari 17 bersaudara, juga belajar ilmu potong rambut dari papanya yang totok Hokkian itu.

"Saya sempat buka barbershop di Kapasan, Gembong Tebasan. Dulu ramai sekali," kenangnya.

Ting Kok sempat menikah tiga kali. Bisa beli rumah besar dan mewah. Tapi dibawa lari istri pertama. Kawin lagi dengan wanita Arab. Juga tidak langgeng. Tapi mualafnya masih langgeng. Kawin kali ketiga dengan wanita Belanda. Ditinggal lagi.

Usaha Ting Kok alias Pak Eddy gulung tikar. Ayahnya di Kembang Jepun akhirnya pulang ke alam baka. Maka Eddy juga pulang ke rumah masa kecilnya di Kembang Jepun. Meneruskan Shin Hua sejak 1965. 

 "Langganan dulu wuakeeeh (banyaaak)," kenang Pak Eddy Tan, tamatan Sekolah Tionghoa di Jalan Kapasan dan Ngaglik.

Dunia terus berputar. Bisnis potong rambut di Kembang Jepun terus melesu. Sebulan cuma dapat 50-an pelanggan. Menjelang pandemi covid tinggal 20 pelanggan. Semuanya lao ren alias para lansia. "Langganan habis karena mati. Waktu covid tambah banyak lagi yang mati," kata Eddy.

Karena itu, sejak awal pandemi itulah Shin Hua resmi ditutup. Eddy tak punya karyawan. Anak-anak Eddy yang 9 orang (dari tiga istri) punya usaha sendiri-sendiri. Tak ada satu pun yang tertarik dengan bisnis potong rambut.

Sambil omong-omong dengan Eddy Tan, datang satu rombongan anak muda. Mereka penasaran setelah melihat video Shin Hua viral di media sosial. Eddy alias Ting Kok sempat mengutip peribahasa Tionghoa yang selalu diingatnya.

"Harta kekayaan itu tidak akan bertahan sampai tiga generasi," begitu kira-kira arti peribahasa Tionghoa tersebut.

Shin Hua Barbershop di Kembang Jepun malah selesai di generasi kedua. Gedung yang megah eks Shin Hua malah ditempeli stiker ,,keluarga miskin" oleh Pemkot Surabaya.

Apakah ada rencana menjual tanah dan bangunan Shin Hua ini?

"Tidak akan dijual. Ini untuk cucu-cucu kelak. Kalau ada cucu yang kurang beruntung, tidak mampu beli rumah sendiri, ya, bisa dateng menempati rumah warisan ini," kata Eddy Tan.

Dulu katanya ada salah satu bank yang hendak membeli gedung Shin Hua Barbershop. Nilainya sekian miliar rupiah. Tapi Eddy bergeming. "Saya tidak akan jual," katanya tegas.

Senin, 17 Juli 2023

Uklam Tahes Ikamisa - Reuni Kecil di SMAN 1 Malang


Sejak ada media sosial reuni makin marak. Khususnya reuni SMA/SMK. Reuni universitas juga sering tapi tidak sehebat reuni SMA. Mungkin ikatan emosional semasa di SMA lebih kuat ketimbang di perguruan tinggi.

Padahal, masa sekolah di SMA hanya 3 tahun. Anak-anak pindahan cuma 2 tahun. Jarang ada murid pindah saat kelas 3 di zaman Ebtanas. Pasti sulit adaptasi. Apalagi jelang lomba mengejar NEM: nilai Ebtanas murni.

Ayas kurang tertarik dengan reuni-reunian. Baik reuni tipis maupun reuni tebal. Reuni tipis itu misalnya reuni satu angkatan. Lebih tipis lagi satu kelas. Karena itu, Ayas tidak pernah ikut reuni mulai tingkat SD dan seterusnya.

Diam-diam, di tengah pandemi covid, ada nawak (kawan) lama yang memasukkan Ayas di grup alumni satu kelas. Grup itu rupanya dibuat awal 2015. Ayas baru dimasukkan tahun 2021. Grup Grafity Smansa Malang. 

Rupanya selama enam tahun nawak-nawak bikin reuni tipis. Khususnya saat hari raya Lebaran. Teman-teman yang rumahnya di Malang dan sekitarnya selalu reuni tipis satu kelas. 

Pesertanya tidak sampai 50 persen dari total 42 siswa kelas Grafity. Oh ya, tiga kawan sekelas sudah berpulang ke hadirat-Nya. Astuti, Yoyok, Rahima. Grup alumni sekelas inilah yang akhirnya mengetuk Ayas punya hati ikut reuni tipis. Toh, selama ini Ayas masih sering berakhir pekan di Ngalam.


Tiga pekan lalu, giliran nawak-nawak (kawan-kawan) jadi panitia Uklam Tahes! Sebutan reuni tipis Ikatan Alumni Mitreka Satata - SMAN 1 Malang alias Ikamisa. Dua kawan dekat jadi ketua panitia. Rizki pernah jadi teman kerja di Surabaya. Ipong kawan lama di Jember.

Kadit Kolem Kadit Mbois! Begitu wanti-wanti panitia. 

Akhirnya Ayas pun datang ke sekolah. Back to Mitreka Satata! Kolem (melok) Uklam Tahes Ke-106 Ikamisa.

Uklam-uklam tidak jauh. Cuma di depan Alun-Alun Bunder, depan Balai Kota Malang, muter di belakang sekolah Jln Sultan Agung, Jalan Suropati, kembali lagi ke lapangan basket di tengah-tengah sekolah.

Total ada 322 peserta Uklam Tahes edisi 106. Alumni tertua angkatan 54 dan termuda 2023. Lulusan paling senior itu tak lain Ibu Roosmani, pensiunan guru bahasa Inggris. Sudah sepuh tapi kelihatan masih kuat dan enak diajak ngobrol.

Gak nyangka nawak-nawak yang kian menua ternyata pinter joget dan nyanyi. Ada juga kawan yang dulu pendiam sekarang jadi cerewet. Ayas pangling melihat mantan teman-teman sekelas yang tidak lagi langsing seperti saat SMA dulu. Nawak-nawak yang dulu gondrong pun banyak yang rambutnya makin tipis dan memutih ditelan sang kala.


Sabtu, 15 Juli 2023

Pers Melayu Tionghoa dan Penyebaran Bahasa Melayu Rendah di Seluruh Nusantara


Oleh Basuki Soejatmiko
Wartawan Djawa Post dan Liberty

Secara awam Pers Melayu-Tionghoa dapat didefinisikan sebagai berikut :

Sebuah usaha penerbitan pers yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) yang mempergunakan bahasa Melayu "rendah" yang diwarnai lokal bercampur kata-kata Belanda, Tionghoa atau Inggris sepatah-dua-patah.

Dikatakan Melayu "rendah" karena dibandingkan dengan bahasa Melayu tinggi tatabahasa Melayu rendah terlalu sederhana dan sering dikatakan menyalahi tatabahasa Melayu tinggi. Namun, kelokalan dan kesederhanaan tatabahasa tidak membuat bahasa Melayu tersebut mempunyai derajat lebih rendah. 

Sebagai bahasa perhubungan, dialek Melayu ini digunakan di seluruh Nusantara. Kedudukannya paralel dengan bahasa Indonesia (Takdir, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia: 59). Lagi pula pers Melayu-Tionghoa sudah muncul jauh sebelum konsep kesatuan bahasa Bahasa Indonesia diucapkan pada Sumpah Pemuda 1928. 

Justru karena adanya pers Melayu-Tionghoa yang sangat berperan terhadap persebaran pemakaian bahasa Melayu rendah bahasa Indonesia lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan. Bukankah bahasa Indonesia yang bersumber pada bahasa Melayu tinggi juga memasukkan banyak elemen bahasa Melayu rendah?

Meskipun dikelola oleh orang Tionghoa yang pada saat itu sudah dikenal sebagai kaum Baba atau peranakan banyak juga penulis Indonesia yang terlibat di dalamnya. Wage Rudolf Soepratman adalah salah seorang redaksi mingguan Sin Po, Jakarta. Karena kedudukannya sebagai redaksi itulah maka lagu kebangsaan Indonesia Raya dimuat pertama kalinya di Sin Po seminggu setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Penulis lain yang berkecimpung di pers Melayu-Tionghoa adalah penyair terkemuka Indonesia, Armijn Pane. Dalam Sin Po (30 November 1935) ia menulis, 

"Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan pers Melayu-Tionghoa sangat penting. Verslag-verslag voetbal dalam pers Melayu-Tionghoa enak dibaca sebab hidup bahasanya."

Komentar Armijn Pane sungguh mengena. Pers Melayu-Tionghoa pada umumnya memang menggunakan bahasa gado-gado. Bukannya tatabahasa yang digunakannya sama sekali tidak beraturan.

 Penulis yang mempunyai dasar pendidikan Belanda akan menggunakan pola tatabahasa Belanda dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Sedangkan mereka yang mempunyai dasar pendidikan Inggris akan menggunakan pola kalimat Inggris untuk diterapkan pada bahasa Melayu-Tionghoanya.

 Namun, lebih dari itu, bahasa yang digunakan para penulis pers Melayu-Tionghoa pada saat itu sangat polos sehingga apa yang hendak mereka utarakan dapat amat komunikatif. Tidak jarang di tengah-tengah kalimat bahasa Melayu secara tiba-tiba menyelip sepatah-dua-kata bahasa Belanda atau Inggris.

Komentar lain datang dari Kepala Volkslektuur dan guru besar bahasa Melayu di Fakultas Hukum di Batavia, Dr. G.W.J. Drewes, yang dengan tandas mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa sangat nyata dalam memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia.

 Dalam tulisannya berjudul The Influence of Western Civilization on the Languages of the East Indian Archipelago ia mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa antara lain adalah dalam membantu pengadopsian kosa kata Portugis ke dalam bahasa Indonesia.

 Menurut sarjana tersebut bangsa Tionghoa bukan hanya saudagar barang yang lihai tetapi juga merupakan "pedagang bahasa" yang hebat. (Sin Po, Jubileum Nummer).

Yang perlu dipelajari sekarang justru apa sebenarnya tujuan penerbitan pers Melayu Tionghoa tersebut. Mengapa orang Tionghoa yang hingga saat ini dikenal sebagai pedagang dapat mengalihkan minatnya ke dunia tulis-menulis yang asing itu.

 Tentang hal tersebut penulis menyimpulkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, seperti pendapat hingga sekarang, adalah karena pers adalah bisnis yang menguntungkan. Kemungkinan kedua, pers Melayu-Tionghoa terbit untuk membela kepentingan mereka sendiri yang sekalipun mendapat perhatian besar namun juga diperlakukan secara tidak adil oleh pihak Hindia Belanda.

Kalau diperhatikan kata pengantar dari setiap penerbitan pers Melayu-Tionghoa, condong disimpulkan bahwa kemungkinan kedualah yang lebih tepat. Dalam Mingguan Sin Po edisi pertama yang terbit tanggal 1 Oktober 1910 tertulis :

"Kita harep, orang-orang boediman segala bangsa jang dengen ini lagi sekali ada dioendang dengen hormat nanti soeka berieken di ini soerat kabar minggoean segala pikirannja jang ada bergoena boeat gerakan di ini djeman soepaja bisa terdjadi perobahan-perobahan dari perkara-perkara jang sesat, jang sampe di ini masa masi ada banjak di dalem ingetannja sebagian besar dari pendoedoek di ini Hindia". 

Mempersoalkan nasionalistis tidaknya pers Melayu-Tionghoa pada masa itu adalah tidak realistis. Pada tahun-tahun itu semangat nasionalisme baru mulai dibangkitkan yaitu dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908. 

Kita catat pers Melayu-Tionghoa yang besar saja, yaitu Mingguan Sin Po. Sin Po terbit pertama kali di tahun 1910. Situasi dunia pada saat itu juga harus diperhatikan. Dr. Sun Yat Sen berhasil memproklamirkan Republik Tiongkok pada tahun 1911.

 Perubahan besar ini sudah barang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir orang orang Tionghoa di perantauan, juga di Hindia Belanda. Meskipun belum pernah melihat negeri Tiongkok, sebagai masyarakat yang hidup dalam penjajahan dan dihitung sebagai masyarakat kelas dua kemerdekaan tersebut berarti mengangkat harkat mereka sebagai manusia. Karena nya, tidaklah mengherankan apabila kemudian pers Melayu-Tionghoa kemudian menjadi corong bagi masyarakat yang ingin memprotes meskipun dalam bentuk terselubung terhadap segala yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda termasuk pers: harian dan mingguannya. 

Pers Melayu-Tionghoa pada saat itu dapat dikatakan sebagai cermin dari etnis Tionghoa yang ingin duduk sama tinggi dengan pihak Belanda.

Bahwa kemudian pers Melayu-Tionghoa dapat berkembang dengan persebaran yang: luar biasa tidaklah diperhitungkan Belanda. Sebenarnya luasnya persebaran ini juga disebabkan karena bahasa yang digunakannya dapat dimengerti oleh masyarakat. Tionghoa dan Pribumi yang tidak terlalu tinggi pendidikannya.

 Bukankah pada masa itu etnis Jawa yang berpendidikan tinggi juga hanya mau menulis di pers Belanda agar dapat dibaca oleh kaum intelektual? Sedangkan bahasa Belanda bukanlah bahasa kebanyakan dan apabila mereka memerlukan informasi pers Melayu-Tionghoalah tempat mereka mencarinya.

Pers Melayu-Tionghoa juga berkembang karena memberikan informasi bagi para pedagang di seluruh Tanah Air dengan berita maupun iklan-iklannya. Sebaliknya iklan juga menopang hidupnya pers Melayu-Tionghoa. Tapi lebih dari semua itu, pers Melayu-Tionghoa dengan bahasa Melayunya berhasil menembus pembaca di kepulauan-kepulauan yang terpencil sekalipun. 

Mingguan Sin Po, misalnya, pada waktu berusia 25 tahun sudah tersebar di 322 kota di Jawa, 77 kota di Sumatera, 25 kota di Sulawesi, 17 kota di Kalimantan, 8 kota di Irian Jaya di samping langganan di Ambon, Aru, Bali, Banda, Bangka, Sumba, Sumbawa, Batu, Bili ton, Seram, Ewab, Kei, Flores, Halmahera, Lombok, Nias, Sangi, Riau, Talaud, Ternate, Timor. Dan semua ini karena mingguan tersebut menggunakan bahasa yang digunakan rakyat terbanyak sederhana dan komunikatif. (Langganan Sin Po bahkan tersebar di jajahan Inggris, beberapa kota di Tiongkok, Eropah, Jepang). 

Bagaimana menejemen dan transportasi pengiriman langganan belum pernah diselidiki. Sesuatu yang sebetulnya sangat menarik untuk diriset.

Pers Melayu-Tionghoa mengalami kemundurannya di jaman pendudukan Jepang. Sebabnya mungkin karena Jepang hanya menghendaki pers sebagai corong mereka melulu. Sebagai bukti semua radio pada masa itu disegel. 

Kemungkinan lainnya adalah kebencian Jepang pada pers Melayu-Tionghoa yang pada masa lampau diketahui mengumpulkan dana untuk membantu Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Alasan kedua ini diperkuat dengan banyaknya pimpinan atau orang pers Melayu-Tionghoa yang ditangkap Kenpetei dan dipenjarakan bertahun-tahun.

Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat data-data pada ceramah-ceramah Basuki Soejatmiko di Dewan Kesenian Surabaya dan PPIA [Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika] 1980-1981 mengenai masalah bahasa dan dialek Melayu - Tionghoa.

Sumber: Buku ,,Etnis Tionghoa" karangan Basuki Soejatmiko, 1982