Oleh Basuki Soejatmiko
Wartawan Djawa Post dan Liberty
Secara awam Pers Melayu-Tionghoa dapat didefinisikan sebagai berikut :
Sebuah usaha penerbitan pers yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia (Hindia Belanda) yang mempergunakan bahasa Melayu "rendah" yang diwarnai lokal bercampur kata-kata Belanda, Tionghoa atau Inggris sepatah-dua-patah.
Dikatakan Melayu "rendah" karena dibandingkan dengan bahasa Melayu tinggi tatabahasa Melayu rendah terlalu sederhana dan sering dikatakan menyalahi tatabahasa Melayu tinggi. Namun, kelokalan dan kesederhanaan tatabahasa tidak membuat bahasa Melayu tersebut mempunyai derajat lebih rendah.
Sebagai bahasa perhubungan, dialek Melayu ini digunakan di seluruh Nusantara. Kedudukannya paralel dengan bahasa Indonesia (Takdir, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia: 59). Lagi pula pers Melayu-Tionghoa sudah muncul jauh sebelum konsep kesatuan bahasa Bahasa Indonesia diucapkan pada Sumpah Pemuda 1928.
Justru karena adanya pers Melayu-Tionghoa yang sangat berperan terhadap persebaran pemakaian bahasa Melayu rendah bahasa Indonesia lebih mudah diterima sebagai bahasa persatuan. Bukankah bahasa Indonesia yang bersumber pada bahasa Melayu tinggi juga memasukkan banyak elemen bahasa Melayu rendah?
Meskipun dikelola oleh orang Tionghoa yang pada saat itu sudah dikenal sebagai kaum Baba atau peranakan banyak juga penulis Indonesia yang terlibat di dalamnya. Wage Rudolf Soepratman adalah salah seorang redaksi mingguan Sin Po, Jakarta. Karena kedudukannya sebagai redaksi itulah maka lagu kebangsaan Indonesia Raya dimuat pertama kalinya di Sin Po seminggu setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Penulis lain yang berkecimpung di pers Melayu-Tionghoa adalah penyair terkemuka Indonesia, Armijn Pane. Dalam Sin Po (30 November 1935) ia menulis,
"Bahasa Melayu-Tionghoa yang digunakan pers Melayu-Tionghoa sangat penting. Verslag-verslag voetbal dalam pers Melayu-Tionghoa enak dibaca sebab hidup bahasanya."
Komentar Armijn Pane sungguh mengena. Pers Melayu-Tionghoa pada umumnya memang menggunakan bahasa gado-gado. Bukannya tatabahasa yang digunakannya sama sekali tidak beraturan.
Penulis yang mempunyai dasar pendidikan Belanda akan menggunakan pola tatabahasa Belanda dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Sedangkan mereka yang mempunyai dasar pendidikan Inggris akan menggunakan pola kalimat Inggris untuk diterapkan pada bahasa Melayu-Tionghoanya.
Namun, lebih dari itu, bahasa yang digunakan para penulis pers Melayu-Tionghoa pada saat itu sangat polos sehingga apa yang hendak mereka utarakan dapat amat komunikatif. Tidak jarang di tengah-tengah kalimat bahasa Melayu secara tiba-tiba menyelip sepatah-dua-kata bahasa Belanda atau Inggris.
Komentar lain datang dari Kepala Volkslektuur dan guru besar bahasa Melayu di Fakultas Hukum di Batavia, Dr. G.W.J. Drewes, yang dengan tandas mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa sangat nyata dalam memperkaya perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Dalam tulisannya berjudul The Influence of Western Civilization on the Languages of the East Indian Archipelago ia mengatakan bahwa pengaruh pers Melayu-Tionghoa antara lain adalah dalam membantu pengadopsian kosa kata Portugis ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut sarjana tersebut bangsa Tionghoa bukan hanya saudagar barang yang lihai tetapi juga merupakan "pedagang bahasa" yang hebat. (Sin Po, Jubileum Nummer).
Yang perlu dipelajari sekarang justru apa sebenarnya tujuan penerbitan pers Melayu Tionghoa tersebut. Mengapa orang Tionghoa yang hingga saat ini dikenal sebagai pedagang dapat mengalihkan minatnya ke dunia tulis-menulis yang asing itu.
Tentang hal tersebut penulis menyimpulkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, seperti pendapat hingga sekarang, adalah karena pers adalah bisnis yang menguntungkan. Kemungkinan kedua, pers Melayu-Tionghoa terbit untuk membela kepentingan mereka sendiri yang sekalipun mendapat perhatian besar namun juga diperlakukan secara tidak adil oleh pihak Hindia Belanda.
Kalau diperhatikan kata pengantar dari setiap penerbitan pers Melayu-Tionghoa, condong disimpulkan bahwa kemungkinan kedualah yang lebih tepat. Dalam Mingguan Sin Po edisi pertama yang terbit tanggal 1 Oktober 1910 tertulis :
"Kita harep, orang-orang boediman segala bangsa jang dengen ini lagi sekali ada dioendang dengen hormat nanti soeka berieken di ini soerat kabar minggoean segala pikirannja jang ada bergoena boeat gerakan di ini djeman soepaja bisa terdjadi perobahan-perobahan dari perkara-perkara jang sesat, jang sampe di ini masa masi ada banjak di dalem ingetannja sebagian besar dari pendoedoek di ini Hindia".
Mempersoalkan nasionalistis tidaknya pers Melayu-Tionghoa pada masa itu adalah tidak realistis. Pada tahun-tahun itu semangat nasionalisme baru mulai dibangkitkan yaitu dengan berdirinya Budi Utomo tahun 1908.
Kita catat pers Melayu-Tionghoa yang besar saja, yaitu Mingguan Sin Po. Sin Po terbit pertama kali di tahun 1910. Situasi dunia pada saat itu juga harus diperhatikan. Dr. Sun Yat Sen berhasil memproklamirkan Republik Tiongkok pada tahun 1911.
Perubahan besar ini sudah barang tentu sangat mempengaruhi cara berpikir orang orang Tionghoa di perantauan, juga di Hindia Belanda. Meskipun belum pernah melihat negeri Tiongkok, sebagai masyarakat yang hidup dalam penjajahan dan dihitung sebagai masyarakat kelas dua kemerdekaan tersebut berarti mengangkat harkat mereka sebagai manusia. Karena nya, tidaklah mengherankan apabila kemudian pers Melayu-Tionghoa kemudian menjadi corong bagi masyarakat yang ingin memprotes meskipun dalam bentuk terselubung terhadap segala yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda termasuk pers: harian dan mingguannya.
Pers Melayu-Tionghoa pada saat itu dapat dikatakan sebagai cermin dari etnis Tionghoa yang ingin duduk sama tinggi dengan pihak Belanda.
Bahwa kemudian pers Melayu-Tionghoa dapat berkembang dengan persebaran yang: luar biasa tidaklah diperhitungkan Belanda. Sebenarnya luasnya persebaran ini juga disebabkan karena bahasa yang digunakannya dapat dimengerti oleh masyarakat. Tionghoa dan Pribumi yang tidak terlalu tinggi pendidikannya.
Bukankah pada masa itu etnis Jawa yang berpendidikan tinggi juga hanya mau menulis di pers Belanda agar dapat dibaca oleh kaum intelektual? Sedangkan bahasa Belanda bukanlah bahasa kebanyakan dan apabila mereka memerlukan informasi pers Melayu-Tionghoalah tempat mereka mencarinya.
Pers Melayu-Tionghoa juga berkembang karena memberikan informasi bagi para pedagang di seluruh Tanah Air dengan berita maupun iklan-iklannya. Sebaliknya iklan juga menopang hidupnya pers Melayu-Tionghoa. Tapi lebih dari semua itu, pers Melayu-Tionghoa dengan bahasa Melayunya berhasil menembus pembaca di kepulauan-kepulauan yang terpencil sekalipun.
Mingguan Sin Po, misalnya, pada waktu berusia 25 tahun sudah tersebar di 322 kota di Jawa, 77 kota di Sumatera, 25 kota di Sulawesi, 17 kota di Kalimantan, 8 kota di Irian Jaya di samping langganan di Ambon, Aru, Bali, Banda, Bangka, Sumba, Sumbawa, Batu, Bili ton, Seram, Ewab, Kei, Flores, Halmahera, Lombok, Nias, Sangi, Riau, Talaud, Ternate, Timor. Dan semua ini karena mingguan tersebut menggunakan bahasa yang digunakan rakyat terbanyak sederhana dan komunikatif. (Langganan Sin Po bahkan tersebar di jajahan Inggris, beberapa kota di Tiongkok, Eropah, Jepang).
Bagaimana menejemen dan transportasi pengiriman langganan belum pernah diselidiki. Sesuatu yang sebetulnya sangat menarik untuk diriset.
Pers Melayu-Tionghoa mengalami kemundurannya di jaman pendudukan Jepang. Sebabnya mungkin karena Jepang hanya menghendaki pers sebagai corong mereka melulu. Sebagai bukti semua radio pada masa itu disegel.
Kemungkinan lainnya adalah kebencian Jepang pada pers Melayu-Tionghoa yang pada masa lampau diketahui mengumpulkan dana untuk membantu Tiongkok dalam peperangan melawan Jepang. Alasan kedua ini diperkuat dengan banyaknya pimpinan atau orang pers Melayu-Tionghoa yang ditangkap Kenpetei dan dipenjarakan bertahun-tahun.
Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat data-data pada ceramah-ceramah Basuki Soejatmiko di Dewan Kesenian Surabaya dan PPIA [Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika] 1980-1981 mengenai masalah bahasa dan dialek Melayu - Tionghoa.
Sumber: Buku ,,Etnis Tionghoa" karangan Basuki Soejatmiko, 1982