Jumat, 25 Maret 2022

Tahi ayam gowes sepeda angin

Hangat-hangat tahi ayam. Hangatnya cuma sebentar. Itulah yang terjadi dengan nggowes sepeda pancal dan caring pagi hari. 

Sudah lama sekali saya tak melihat orang-orang berjemur pagi hari. Melahap vitamin D dari sinar matahari pagi. Malah orang makin menghindari matahari karena bikin kulit gelap. Tidak glowing.

Sudah lama pula saya jarang jumpai orang naik sepeda pancal ramai-ramai. Pun tak lagi terlihat di Tunjungan, Surabaya. Orang-orang masih ramai jalan-jalan menikmati Romansa, wisata heritage yang digaungkan Pemkot Surabaya.

Tapi tidak ada lagi rombongan sepeda pancal yang menguasai jalan raya. Yang ramai malah sepeda motor. Ada sepeda pancal tapi tidak banyak. Bisa dihitung dengan jari.

Membudayakan sepeda angin memang tidak gampang. Di negara jajahan Honda, Yamaha, Toyota, Suzuki, Daihatsu ini. Terlalu nyaman memang naik motor atau mobil pribadi. Bisa ke mana-mana kapan saja. Apalagi sepeda motor bisa blusukan ke gang-gang sempit.

Dulu, sekitar 15 tahun lalu, juga ada gerakan BTW. Bike to work. Sempat heboh di kota-kota besar di Jawa. Beberapa karyawan yang biasa ke kantor pakai motor atau mobil pun ikut BTW. Nggowes ke kantor.

Bahkan ada kawan lama yang bersepeda dari Sidoarjo ke Surabaya. Mandi keringat pasti. Tapi ada kamar mandi di kantor. Ganti pakaian kerja. "Capek tapi asyik," kata kawan itu.

Sayang, kebiasaan BTW itu tidak bertahan lama. Tidak sampai tiga bulan menyerah. Back to motor. "Selain capek, penggowes itu tidak aman di jalan. Bisa diserempet sewaktu-waktu," katanya.

Komunitas BTW pun sepertinya mati suri. Masih ada akunnya di media sosial tapi tidak aktif. Cerita-cerita tentang asyiknya gowes bareng ke situs-situs sejarah, tempat wisata, tak ada lagi.

Syukurlah, tadi pagi saya masih bertemu Djagat pelukis yang asyik bersepeda di kawasan tambak dekat Bandara Juanda. Mas Djagat ini memang onthelis sejati. Sebelum bersepeda jadi trending topic di masa pandemi, Djagat selalu nggowes sepeda tua atau sepeda muda ke mana-mana.

"Cari inspirasi sekaligus menurunkan berat badan," katanya. 

Kamis, 24 Maret 2022

Semana Santa di Larantuka, Festival, Putusan Uskup

Sekarang bulan puasa. Masa Prapaskah di kalangan umat  Katolik. Tidak lama lagi Minggu Palem masuk Pekan Suci. Orang Larantuka, Flores Timur, menyebut Semana Santa. Dari bahasa Portugis yang artinya pekan suci.

Berbeda dengan pekan suci di tempat lain, Semana Santa di Larantuka punya tradisi panjaaang. Sudah 500 tahun lebih. Warisan Portugal yang kemudian dilestarikan Kerajaan Larantuka. Raja Larantuka masih ada sampai sekarang. Bapa Raja ini berkepentingan agar tradisi lama tersebut dipertahankan dari generasi.

Sayang, gara-gara covid berkepanjangan, tradisi arak-arakan atau prosesi ribuan jemaat pada Jumat Agung ditiadakan. Prokes jaga jarak, hindari kerumunan, pakai masker dsb. Sudah dua tahun ini Larantuka, dan Flores umumnya, kehilangan tradisi dan kebanggaan itu.

Bagaimana dengan tahun ini? 
Pekan Suci bulan April 2022?
 Jumat Agung pada 15 April? 
Apakah akan diadakan lagi?
Bukankah pandemi sudah melandai?
Vaksinasi sudah massal? Bahkan tiga dosis?

Debat panjang di media-media Flores Timur dan Lembata selalu riuh selama satu bulan terakhir. Intinya bukan Semana Santa jadi atau tidak tapi polemik seputar kata "festival". Rupanya orang-orang di sana ingin mengemas Semana Santa sebagai festival untuk menarik turis sebanyak-banyaknya. Semacam festival pariwisata.

Pro dan kontra sangat keras. Jauh lebih banyak yang kontra. Mereka menegaskan bahwa Semana Santa itu bagian dari liturgi Pekan Suci Paskah yang sakral. Tak baiklah kalau dipoles dengan festival dan nuansa-nuansa profan.

Saya sampai bosan membaca perdebatan khas orang NTT yang kadang terlalu semangat. Dan aku unfollow semua grup yang berbau Flobamora. Bikin pusing kepala saja.

Tiba-tiba Bapa Uskup Larantuka Msgr Frans Kopong Kung mengeluarkan semacam surat gembala. Intinya, Semana Santa tahun 2022 ini kembali ditiadakan. Alasannya kesehatan, pandemi covid belum lewat, capaian vaksinasi di NTT, Flores Timur, Lembata masih rendah dan sebagainya.

Ribut-ribut soal festival pun melandai meski belum hilang sama sekali. Teman-teman di Flores membandingkan dengan di Jawa yang bisa unjuk rasa atau demo ribuan orang. Atau balapan di NTB, Mandalika, yang juga dihadiri ribuan orang. 

Kemudian ibadah-ibadah bulan Ramadan nanti pun bakal dinormalkan lagi. Tanpa jaga jarak dsb. Penumpang pesawat pun bebas, tak perlu jarak satu atau dua meter.

Mengapa arak-arakan Semana Santa yang cuma setahun sekali tidak boleh?

Hem... Saya perhatikan kepatuhan para klerus atau pemimpin-pemimpin Gereja Katolik terhadap protokol kesehatan memang sangat tinggi. Bahkan kelewat tinggi ketimbang asesmen satgas covid.

Ketika misa Natal lalu diperbolehkan jemaat hadir kapasitas 50 persen, imam-imam malah menerapkan aturan cuma 25 persen. Ketika tempat-tempat ibadah agama lain sudah lama beribadah langsung, gereja-gereja masih banyak misa daring.

 Misa tatap muka sangat dibatasi. Harus daftar di aplikasi, sepengetahuan ketua lingkungan dsb. Cukup ribet. Karena itu, kita orang masih setia sembahyang misa daring yang tidak pakai syarat apa-apa.

Akar segala kekisruhan ini ada virus corona. Selama masih ada covid, PPKM, swab test dan tetek bengek lain maka kerumunan manusia dianggap memicu persebaran virus.. dan bikin orang sakit dan mati. Sementara di Ukraina sana ratusan atau ribuan mati tiap hari meski bukan karena covid.

"Ada atau tidak ada covid toh semua orang akan mati kalau sudah waktunya," kata teman di Sidoarjo. Dulu ia tidak percaya covid. Belakangan percaya setelah beberapa temannya jadi ahli kubur gegara covid.

Paus Frans ajak sembahyang untuk Ukraina

Invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022. Saya pasti ingat karena bertepatan dengan open house acara ulang tahun di kantor. Kamis 24 Maret ini pertempuran antara pasukan Rusia dan Ukraina genap satu bulan.

Entah kapan perang yang tak jelas juntrungannya ini berakhir. Gempuran sanksi-sanksi dari USA, NATO, dan sebagainya tidak mempan. PBB juga mandul. Sebab Rusia punya hak veto. Begitu juga Tiongkok yang condong ke Rusia sebagai sesama komunis.

Rusia negara kaya raya. Ia bisa swasembada pangan, energi, dsb. Tidak perlu pasokan atawa uluran tangan Amerika dan sekutunya. 

Rusia juga mandiri untuk urusan agama. Ia punya semacam Paus sendiri. Patriark Kirill namanya. Gereja-gereja ortodoks sejak dulu menganggap Katolik Roma dengan Paus di Vatikan sebagai gereja yang perlu diluruskan.

"Hanya ada satu gereja yang benar. Gereja kita," kata Patriark Kirill alias Sirilus di YouTube.

Bapa Kirill jenggotnya sangat lebat, anda sudah tahu, ada kewajiban untuk memelihara janggut di kalangan pimpinan gereja ortodoks. Bapa ini keras betul kalau menyerang Barat, khususnya Katolik, Protestan, dan gereja-gereja aliran  Barat. 

Pekan ini Vatikan membagikan seruan Paus Fransiskus kepada umat Katolik di seluruh dunia. Seruan untuk sembahyang bersama untuk Ukraina dan Rusia. Berserah diri kepada Bunda Maria.

Ave Maria, ora pronobis. Bantulah anak-anakmu yang tengah menderita di Ukraina. Bunda Maria dimintai tolong agar perang di Ukraina segera berakhir.

Saya belum sempat googling apakah pimpinan tertinggi Gereja Ortodoks di Rusia juga mendukung seruan Paus Fransiskus itu. Yang pasti, dia anggap seruan Uskup Roma, sebutan orang ortodoks untuk Sri Paus, tidak berlaku untuk gereja-gereja timur.

Yang pasti, Patriark Kirill dan jemaatnya juga sembahyang tiap hari. Berdoa agar perang segera berakhir. Terlalu lama perang selama dua bulan, tiga bulan, satu tahun, dua tahun.. tentu membawa korban nyawa dan harta lebih banyak lagi. Lama-lama semua laki-laki di Ukraina gugur demi membela negaranya.

Kaget melihat motor plat EB di MERR Surabaya

Sudah lama sekali saya tidak melihat mobil, truk, apalagi motor dengan plat nomor EB melintas di jalan raya Surabaya. Ada satu dua truk di kawasan Kenjeran, Kalimas, hingga Tanjung Perak. Tapi sangat sedikit. Setahun tidak sampai 10.

Sepeda motor plat EB yang sangat langka. Bisa jadi 10 tahun baru kepergok satu motor. Bisa jadi 15 tahun atau 20 tahun. Itu pun nasib atau kebetulan saja.

Orang NTT di perantauan di Jawa, Kalimantan dsb memang jarang bawa sepeda motor dari kampung. Sebab ongkos kapal cukup mahal. Kadang malah lebih mahal ketimbang harga motor lawas itu. Lebih baik uangnya dipakai untuk panjar motor baru.

Bagaimana dengan KTP lokal untuk syarat beli motor baru? 

Bisa diatur. Yang paling aman ya pinjam KTP kerabat atau kenalan yang punya KTP Surabaya, Sidoarjo, atau Gresik. Urusan balik nama belakangan saja. Yang penting motor bisa dipakai secepatnya. Sebab sepeda motor adalah kendaraan terbaik dan efisien untuk mobilitas.. meskipun risiko kecelakaan juga tinggi.

Dulu, anda sudah tahu, sebelum ada NIK nasional dan KTP elektronik, ada istilah tembak KTP di Jawa. Semua bisa diatur asal tahu jalannya dan orangnya. Asal punya sedikit modal. Ono rego ono rupo. Ada uang ada barang.

Karena itu, sekali lagi dulu, anda sudah tahu, satu orang bisa pegang beberapa KTP. Ada KTP Flores Timur misalnya, KTP Jember, KTP Malang Kota, KTP Malang Kabupaten, KTP Sidoarjo. KTP Surabaya lebih sulit ditembak sejak dulu. 

Surabaya yang memang sudah sesak memang cenderung mempersulit pendatang baru jadi penduduk alias pegang KTP resmi. Surabaya hanya kasih Kipem: kartu induk penduduk musiman. Kita orang bertahun-tahun pegang Kipem. Tapi tetap berhak dapat pelayanan di puskesmas dsb.

Nah, karena KTP elektronik sangat tertib, canggih, terhubung nasional, tentu saja mafia KTP tembakan tidak lagi leluasa. Sudah dikunci. Karena itu, kemungkinan orang-orang luar pulau terpaksa membawa motornya ke Surabaya atau Jawa umumnya.

 Mungkin sungkan atau takut pinjam KTP rekan atau kerabat. Apalagi pendatang baru. "Saya bawa motor dari Manggarai," kata Kraeng asal Manggarai yang saya pergoki di Jalan Soekarno-Hatta, MERR, Surabaya.

Nama asli pria 30-an tahun itu tidak sempat nanya karena jalanan macet. Tapi semua laki-laki asal Manggarai biasa kami sapa Kraeng. Semua lelaki Ende dipanggil Eja. Semua lelaki Flores Timur dan Lembata dipanggil Ama. Semua lelaki Larantuka dipanggil No.

Kraeng itu bilang dia sudah lima tahun kerja di Surabaya. Ke mana-mana ya naik motor berplat nomor EB... itu. "Lebih enak bawa motor sendiri daripada beli seken," katanya.

Inilah pertama kali saya melihat motor plat EB lalu lalang di Surabaya. Kali terakhir sekitar 15 atau 20 tahun lalu. Begitu lihat tulisan EB, wuih.. terkejut sekali karena sangat langka. Binatang komodo yang juga asal Manggarai mudah dilihat kapan saja di kebun binatang Wonokromo. Tapi motor plat EB? 

Oh ya, di NTT ada tiga plat nomor kendaraan. EB untuk semua kabupaten di Pulau Flores dan Pulau Lembata. ED untuk Pulau Sumba. DH untuk Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Sabu dan sekitarnya. 

Sama dengan EB, motor-motor plat DH dan ED pun hampir tidak pernah terlihat di jalan-jalan Surabaya dan sekitarnya.

Selasa, 22 Maret 2022

Pisang goreng diganti pisang rebus

Minyak goreng langka dan mahal. Sejak akhir tahun 2021. Katanya bahan baku sawit. Katanya ulah mafia. Katanya katanya katanya...

Yang pasti, Cak Mat belakangan ini lebih sering menyediakan pisang rebus di warkopnya. Pisang goreng, telo goreng, singkong rebus dikurangi. Pisang goreng malah tak ada lagi. Sebab harga pisang kepok yang bagus memang mahal. Jauh sebelum harga migor naik.

Aku malah senang dengan kehadiran pisang rebus. Ini yang saya cari sejak lama. Lebih sehat kata dokter. Tidak bagus makan gorengan. Sebaiknya makan makanan yang tidak digoreng. Macam mendiang bapaku sejak divonis sakit gula atawa diabetes.

Nasihat dokter memang penting. Tapi aku sendiri suka pisang rebus, telo rebus, singkong rebus.. polo pendhem karena kebiasaan di kampung dulu. Di pelosok yang tidak ada listriknya.

Minyak kelapa -- istilah minyak goreng di desa -- memang mahal. Lebih tepatnya: ribet memanaskan santan hingga jadi minyak kelapa. Bisa sehari penuh duduk di tungku hingga panen minyak yang volumenya tidak seberapa. 

Masa itu orang kampung belum biasa beli minyak goreng buatan pabrik di toko. Kalau bisa buat sendiri, mengapa harus beli? Apalagi uang di tangan pun pas-pasan.

Karena itu, memasak makanan pakai rebus memang jadi kebiasaan. Bahkan semacam budaya. Tidak ada yang namanya nasi goreng di pelosok itu. Nasi sudah matang kok digoreng lagi? Begitu pertanyaanku saat sekolah dasar.

Karena itu, meski sudah lebih lama di Jawa ketimbang NTT, saya masih heran dengan kebiasaan orang di sini. Singkong sudah direbus atau dikukus, matang, lalu digoreng lagi. Pakai minyak curah atau kemasan pabrik migor di Rungkut Industri, Tambak Sawah, dsb.

"Kalau digodhok thok gak payu," kata Anang, temanku yang punya warung gorengan di Prambon, Sidoarjo.

Yo wis... selera dan kebiasaan orang memang beda-beda. Tapi ada  baiknya di era mafia minyak goreng ini kita kembali ke kebiasaan nenek moyang. Memasak makanan tanpa minyak goreng.

Sabtu, 19 Maret 2022

Menikmati Kapal Rindu di Suramadu Bangkalan

Sudah setahun lebih saya tidak menyeberang ke Madura. Pulau yang hanya terpisah 5,4 kilometer dari Surabaya. Protokol kesehatan 5M, salah satunya mengurangi bepergian, membuat kita orang tidak bisa piknik di masa pandemi.

Syukurlah, kasus aktif makin melandai. Prokes masih ada tapi makin longgar. Tidak perlu lagi tes covid yang ribet, dan mahal, kalau mau naik pesawat atau kereta api. Juga tak ada larangan ke Pulau Madura.

Maka saya blusukan ke kawasan Jembatan Suramadu sisi Labang, Bangkalan. Ngopi dan ngobrol sama pemilik warung asli desa itu. Ibu itu curhat soal warung-warung yang sepi sejak pandemi. Pengunjung atawa wisatawan hampir tidak ada.

"Apalagi sekarang dibuka tempat isolasi OTG di sebelah itu. Tambah takut orang datang ke sini," kata ibu yang ramah itu.

Pemprov Jawa Timur memang membuka tempat isolasi di gedung BPWS sejak awal tahun. Antisipasi Omicron yang disebut-sebut ganas dan lebih mudah menular. Lokasinya di dekat warung-warung dan lapak pedagang di pinggir jalan itu.

Setelah ngopi saya geser ke pantai wisata dekat Jembatan Suramadu. Pantai Rindu kata warga setempat. Ada resto di atas laut yang bangunannya mirip kapal. Kapal Rindu. Kata "rindu" memang sedang inflasi di pantai dekat basis TNI AL di Batuporon itu.

Kapal Rindu rupanya lagi sepi. Tak ada penjaga satu pun. Turisnya ya cuma saya sendiri. "Sudah lama tidak buka. Gak ada pengunjungnya," kata ibu pemilik warkop persis di samping Kapal Rindu.

Warkop itu justru ramai. Ada lima atau tujuh bapak-bapak ngobrol ngalor ngidul. Topiknya soal minyak goreng. Kemudian perubahan karakter anak muda asli Bangkalan yang merantau di Surabaya.

"Mereka jadi berubah banyak. Sudah tidak seperti orang sini," kata seorang bapak yang mengaku pernah merantau empat tahun di Sumba Barat, NTT.

Suasana Pantai Rindu dengan resto kapal dan restoran lain di sebelahnya sebenarnya sangat menarik. Lebih bagus ketimbang di Suramadu sisi Surabaya yang masih polos.

Sayang, kawasan wisata itu belum banyak dikenal masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Belum lagi kondisi jalan dari Suramadu ke pantai itu yang sangat jelek. Belum lagi faktor X dan sebagainya. 

Memeng-memeng telanjang dada di Lembata

Iseng-iseng saya coba ketik kata "Lembata" di arsip foto-foto tempo doeloe Universitas Leiden, Belanda. Wow, langsung muncul foto-foto eksotis sekitar tahun 1928 atau 1929.

Sangat menarik, unik, dan khas. Tapi bisa dianggap primitif atau melanggar norma susila dan agama, kata orang sekarang.

Perempuan-perempuan muda, tua, anak hampir semuanya telanjang dada. Tidak pakai kutang, bra, BH, atau apa pun namanya. Pun tidak tutup payudara dengan sarung.

Mereka pun tampak bersikap wajar saat difoto oleh orang bule Belanda. Tidak malu atau sungkan karena susunya terbuka. Padahal foto dari jarak dekat, closed up.

Ada keterangan di teks foto Belanda itu. Mulai dari Lamalera, Lerek, Atawatung, dan beberapa tempat lain. Itulah wajah polos apa adanya orang-orang kampung di Pulau Lembata tahun 1920-an.

Orang-orang Lembata, NTT umumnya, sudah pandai membuat tenun ikat. Kainnya dijadikan sarung. Tapi atasannya belum ada. Makanya wanita-wanita telanjang dada. Bapak-bapak juga tidak pakai baju.

Tahun 80-an saya masih lihat beberapa "memeng" (bahasa Lamaholot: nenek-nenek) di kampung di Pulau Lembata yang gayanya persis di foto Belanda itu. Telanjang dada. Tidak ada yang merasa ganjil karena memang sudah biasa. Tapi jumlahnya tidak banyak. Satu desa mungkin tak sampai lima memeng.

Wanita-wanita muda sudah lama meninggalkan kebiasaan memeng-memeng itu. Tapi kebiasaan pakai sarung sangat umum. 

Bahkan sampai sekarang pun sebagian besar wanita di kampung-kampung Lembata pakai sarung ke gereja. Dianggap lebih sopan dan anggun ketimbang pakai kaos oblong atawa t-shirt.

Ukuran kesopanan di tanah air memang terus berubah dari masa ke masa. Kalau dulu wanita telanjang dada dianggap biasa, sekarang diminta tutup seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Cuma kelihatan matanya doang!

Kalau kelihatan rambutnya malah dianggap berdosa. Melanggar perintah Tuhan.

Mea culpa, mea maxima culpa!