Suasana Sincia atau tahun baru Tionghoa tahun ini tidak secerah tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya bagi saya pribadi. Betapa tidak. Cukup banyak tokoh Tionghoa yang jadi narasumber saya, kemudian jadi akrab layaknya keluarga sendiri sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.
Suhu Bingo Tanuwijaya meninggal pertengahan tahun 2019. Suhu atau paranormal ini paling rajin menerbitkan buku-buku tentang astrologi Tionghoa. Salah satunya buku tentang peruntungan 12 shio selama tahun tertentu.
Misalnya, selama Tahun Tikus Logam, shio mana saja yang hoki dan mana yang ciong. Penjelasannya sangat rinci. Buku fengshui itu biasanya sudah muncul di toko buku dua bulan sebelum Sincia.
"Anda baca saja buku saya lalu disimpulkan sendiri," begitu pernyataan khas Suhu Bingo yang beragama Kristen Protestan itu.
Nama Suhu Bingo sempat melejit gara-gara ramalannya tentang krisis ekonomi plus gejolak politik pada 1997 dan 1998 ternyata cocok. Ia kemudian jadi rujukan wartawan-wartawan yang ingin bertanya soal ramalan shio-shio jelang Imlek.
Narasumber lain yang berpulang tahun lalu adalah Lee Tjin Sam. Tionghoa campuran Bali yang tinggal di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Dekat kantor Kecamatan Taman. Di masa tuanya Om Lee duduk santai menjaga toko pracangan dan main musik harmonika.
Saya diajari beberapa lagu Mandarin yang dipopulerkan Teresa Teng. Baba Lee sering cerita pengalaman masa kecilnya yang sangat susah pada zaman Jepang. Mengungsi ke kawasan Prigen dan sebagainya. "Jepang itu brengsek," katanya.
Di usia produktifnya, Lee Tjin Sam bekerja sebagai fotografer kepolisian. Tugasnya memotret pelaku, korban, barang bukti untuk keperluan proses verbaal.
Zaman dulu belum banyak orang yang punya kamera. Apalagi ke mana-mana bawa kamera. Setiap hari. Beda dengan sekarang. Semua orang punya ponsel yang bisa dipakai memotret atau membuat video.
Maka, Lee Tjin Sam ini punya dokumentasi foto-foto Sidoarjo masa lalu yang paling lengkap. Khususnya di kawasan utara yang bertetangga dengan Surabaya. Termasuk sekolah Tionghoa, kelenteng yang sudah dibongkar, toko-toko di pecinan lawas.
Baba Lee sering saya jadikan narasumber kalau ingin membahas Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. "Dulu di Sepanjang ini ada perumahan khusus untuk tunawisma," tuturnya.
Sayang, proyek yang dibuat pada masa Gubernur Soenandar itu ambyar di tengah jalan. Rumah-rumah itu dijual dan para gelandangan kembali minta-minta di jalan raya. "Pancen angel ngurusin wong mbambung," kata baba yang pernah jadi komunitas motor Vespa Sidoarjo itu.
Dua minggu sebelum Sincia saya mampir ke rumah Lee Tjin Sam di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Suasananya tidak lazim. Rumah tua itu tertutup rapat. Di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang jualan es. Ada juga tukang jahit permak pakaian.
Ke mana Baba Lee?
"Maaf, beliau sudah enggak ada," kata pemilik depot di sebelah rumah baba Tionghoa itu.
Oh, Tuhan...
Saya hanya bisa terdiam. Mengenang percakapan hangat sambil ngeteh (Baba Lee tidak minum kopi) dan menikmati melodi lagu-lagu Mandarin. Salah satunya Tian Mimi.
Kamsia untuk Suhu Bingo dan Baba Lee!