Sabtu, 08 Februari 2020

Kalender Jawa dan Tionghoa Sangat Perlu

Meskipun ada kalender digital di ponsel, kalender kertas masih perlu. Setidaknya bagi saya. Karena itu, saya senang dapat kiriman tiga kalender bagus jelang tutup tahun 2019 lalu.

Kalender dari salah satu perusahaan rokok punya gambar-gambar menarik. Ada juga kalender dari Konsulat Jepang dan Konsulat Tiongkok.

Satu lagi kalender tanpa gambar yang saya beli di pinggir jalan. Angka-angkanya sangat besar. Mudah dilihat dari jarak jauh.

Sayang, dua kalender oleh-oleh itu dari konjen asing itu tidak bisa dipakai karena tidak ada tanggal merahnya. Semuanya tanggal hitam. Padahal bulan Januari ada tanggal merah tahun baru Imlek 25 Januari 2020.

Apa boleh buat, dua kalender itu saya berikan ke warkop. Ibu pemilik warkop pun tidak puas karena tidak ada tanggal merahnya. Bisa jadi tanggalan itu bakal dibuang atau dirobek.

Tanggalan murah Rp 5000-an itu sengaja saya beli karena ada hari pasaran Jawa: Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Jadi, bisa dipakai untuk mengecek hari-hari tertentu untuk perayaan atau acara tertentu di Jawa Timur. Bisa juga untuk mengetahui kapan bulan purnama dan bulan mati.

Bulan purnama dan bulan mati ini bisa terbaca di kalender bulan alias Imlek (bahasa Tionghoa). Penjaga tambak di Sidoarjo macam Pak Sukari di Jabon sangat mengandalkan tanggalan Jawa. "Tanggal 13, 14, 15 Jawa akan ada rob," katanya.

Selain tanggalan Jawa yang paralel dengan kalender Hijriah, tanggalan Tionghoa sangat saya butuhkan. Kita bisa melihat kapan tanggal 1 dan 15 Imlek. Kelenteng-kelenteng pasti ramai pada dua tanggal itu.

Sayang, tanggalan lima ribuan yang saya beli di Pasar Kembang itu ternyata tidak punya versi Imlek atau Tionghoa. Adanya cuma Masehi, Hijriah, dan Jawa.

Maka, kemarin saya salah tanggal saat berkunjung ke Kelenteng Hong San Ko Tee, Jalan Cokroaminoto 12 Surabaya. Saya pikir ada acara Cap Go Meh. Sembahyang bersama disusul makan lontong capgomeh ramai-ramai.

"Cap Go Meh tanggal 8 Februari, Hari Sabtu," kata pengurus Kelenteng Cokro. "Ada acara khusus di sini," tambahnya.

Waduh...

Perlu cari kalender baru yang lebih lengkap dan akurat. Berdasar pengalamanku, tanggalan Tionghoa yang paling akurat menentukan kapan bulan purnama dan bulan mati. Tanggalan Jawa biasanya terlambat atau lebih satu hari.

Salam Cap Go Meh!

8 komentar:

  1. Mamaku yang sekarang sudah menderita dementia pun masih ingat dengan kalender bulan. Terutama kalau bulan 1 (Cia Gwee), karena banyak sembahyang besar yang harus dilakukan. Tanggal 1 itu Tahun Baru, jadi pasti pergi klenteng. Tanggal 9 bulan 1, itu sembahyang besar, yang kita orang keturunan Tionghoa di Jawa menyebutnya dengan Sembahyang Tuhan Allah.

    Di rumah disiapkan altar tinggi, dengan cara meja kecil ditumpuk di atas meja yang lebih besar. Segala macam persembahan untuk Tuhan Allah disiapkan (ketika mendengar cerita Alkitab di SD Katolik, saya jadi merasa lucu ketika mengetahui bahwa Kain dan Abil juga memberikan persembahan serupa kepada Tuhan Allah).

    Ketika kecil aku bingung, karena ketika SD, guru2ku jika marah kepada kami anak2 Tionghoa, mereka sering menggertak "Agama kamu apa? Konghucu itu bukan agama. Apa tuhanmu?" Bapak guru itu tidak tahu bahwa kami pun sembahyang Tuhan Allah, bahkan dengan altar, seperti Orang Yahudi sembahyang kepada YHWH di Kitab Kejadian!

    Oh mamaku tercinta, semoga tidak menderita sisa hidupmu dan Tuhan Allah yang selalu kau sembah selama hidupmu meringankan bebanmu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Khonghucu bukan agama? Itu memang salah satu propaganda sangat masif yang dilakukan orde baru.

      Dan... yang gencar kampanye anti adat budaya Tionghoa justru sebagian besar orang Tionghoa sendiri. Khususnya tionghoa2 yg dekat orde baru yg masuk kelompok Bakom PKB. Mereka gencar mengganyang kelompok Baperki sesama tionghoa yg dekat Bung Karno.

      Bahkan boleh dikata pemikir2 atau think tank-nya adalah orang Tionghoa Katolik.

      Hapus
    2. Lambertus juga tahu polemik antara kubu Sindhunata vs Siauw Giok Tjhan, yg sering dipanggil Bung Karno dgn Cak Siauw.

      Saya kira dua2nya benar. Mau membaur dgn cara mengganti nama, pindah agama, dan kawin campur, baik. Mau mempertahankan tradisi nenek moyang dan minta diakui keberadaannya sebagai etnis tersendiri, juga baik. Yg penting ialah tidak ada paksaan atau intimidasi. Masalahnya ialah, ketika pembauran menjadi paksaan, itu yg tidak boleh krn melanggar hak asasi. pemerintah boleh membuat program, kampanye, tetapi jangan memaksakan.

      Hapus
  2. Kamsia cak amrik.
    Pengalaman yang bagus dan berkesan. Setahu saya biasanya orang Tionghoa punya kalender khusus di rumahnya.
    Baba2 Tionghoa di NTT khususnya Flores lebih suka pakai kalender harian. Tiap hari disobek kalau harinya sudah lewat. Warnanya ada beberapa macam untuk menunjukkan hari besar dsb.

    Kalau soal persembahan Kain dan Habel di perjanjian lama itu juga dilakukan di hampir semua etnis di Flores. Khususnya etnis Lamaholot. Biasanya saya sebut Tula Gudung. Ada semacam sesajen dan ritual2 adat.

    Meskipun sudah Katolik, upacara adat itu tidak hilang. Sampai sekarang. Kalau mudik ke NTT, saya tidak pernah pesiar di kota atau tempat2 wisata yg dimodernkan. Saya lebih suka ke kampung2 adat lama itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya iya lah. Kan kepercayaan Orang Yahudi itu pada awalnya ya sama saja dengan kepercayaan bangsa2 lain. Masing2 punya tuhan sendiri. Tuhan bangsa Yahudi disebut YHWH. Tuhan orang Hokkian disebut Thi Kong atau Mandarin Tian Gong.

      Umat manusia selalu merindukan sumber ruh abadi darimana ia berasal dan akan kembali.

      Hapus
    2. Orang yang berjasa dalam Gereja Katolik utk melestarikan tradisi nenek moyang ialah Matteo Ricci. Dia seorang Jesuit yg ditugaskan menjadi misionaris di Tiongkok. Sebagai misionaris yg cerdas, dia tidak serta merta mengatakan caramu berdoa itu salah, kamu itu sesat dan masuk neraka. Malah dia menggunakan istilah Konghucu untuk Tuhan (Thian atau Tian dalam pinyin) untuk menyebut Allah Bapa. Krn itu dalam Bhs Mandarin agama Katolik dikenal dengan Tianzhu Jiao (Agamany Tuhan Allah). Sedangkan agama Kristen secara umum dikenal sbg Jidu jiao (jidu = transliterasi Kristus).

      Hapus
  3. Saya sudah lama tahu Thianzhu Jiao untuk Katolik dan Jidu Jiao untuk Kristen. Tapi saya baru tahu kalau istilah itu yg pertama kali bikin adalah Pater Mateo Ricci SJ.

    Pola seperti ini juga dilakukan pater2 Dominikan di tanah Lamaholot yg ibukotanya Larantuka, wilayah Flores pertama yg jadi Katolik, kemudian digantikan pater2 Jesuit, lantas digantikan SVD.

    Makanya adat Flores atau NTT yang sangat kental itu tidak hilang meskipun orang2nya rajin sembahyang dan pigi misa.

    BalasHapus
  4. Tepatnya, bukan Matteo Ricci bikin istilah Tianzhu (Lord of Heaven alias Tuhan Surgawi), tetapi Tianzhu itu istilah Konghucu yang dikooptasi oleh Pater Matteo untuk menjelaskan konsep2 Agama Kristen dan Yahudi kepada kaum terpelajar di Tiongkok jaman dinasti Ming. Sebagai pater Jesuit yg fasih bahasa Mandarin dan bahasa Mandarin klasik, dia menulis buku dalam bahasa Mandarin “Arti Sebenarnya dari Tianzhu”. Seharusnya dakwah itu harus begitu, dengan pendekatan kebudayaan. Bukan dengan menyesat-sesatkan orang lain atau mengharamjadahkan orang lain.

    BalasHapus