Selasa, 25 Februari 2020

Bertemu Eks Wartawan Trompet Masjarakat




Masih dalam suasana Hari Pers 2020, saya sambangi Oei Hiem Hwie. Mantan wartawan Trompet Masjarakat ini kebetulan sedang membaca koran di ruang depan Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. Usia sudah 85 tahun tapi masih lincah.

Suaranya tidak lagi kenceng. Memorinya masih bagus untuk ukuran kakek sepuh di atas 80 tahun. "Mau bahas apa lagi?" tanya Om Hwie yang lulusan Pulau Buru itu.

Sebetulnya tidak ada isu yang mau dibahas. Saya cuma sambang perpustakaan koleksi majalah, koran, dan buku-buku lawas saja. Tidak ada niat wawancara. Saya cuma teringat wartawan-wartawan super senior setiap kali Hari Pers.

"Om Oei apa masih punya koleksi Trompet Masjarakat?" tanya saya.

"Cuma satu. Yang lainnya sudah gak ada lagi," kata pria kelahiran Malang 24 November 1935 itu.

Lalu Oei Hwiem Hwie mengambil Trompet Masjarakat itu. Koran tempat ia bekerja di Gedung Brantas, dekat Tugu Pahlawan, selama tiga tahun (1962-65). Gara-gara jadi wartawan, Oei wawancara khusus dengan Presiden Soekarno. Malah dikasih hadiah arloji bagus. Masih disimpan di perpustakaannya.

Gara-gara dekat Bung Karno, surat kabar Trompet juga selalu memihak kebijakan Bung Karno, Oei akhirnya ditangkap setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Selama 13 tahun dipenjara rezim Orde Baru. Delapan tahun usianya dihabiskan di Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya.

Oei Hiem Hwie sudah menulis panjang lebar kisah perjalanan hidupnya dalam buku Memoar. Koran-koran di Surabaya pun kerap menulis tentang Om Oei.

Kembali ke Trompet Masjarakat. Koran tahun 1960-an itu sangat sederhana. Belum ada komputer. Kualitas cetakannya sangat jauh ketimbang surat kabar atau majalah saat ini. Desain koran asal jadi.

Meski begitu, saya lihat sekilas isinya sangat tajam. Posisi politiknya jelas sehaluan dengan Bung Karno. Isi pidato Bung Karno diolah dan dijadikan berita di halaman depan. Ketika Bung Karno marah-marah sama Tengku di Malaysia, maka Trompet Masjarakat benar-benar menjadi trompet yang melantangkan kecamatan Bung Karno.

Itulah yang mungkin disebut pers perjuangan. Pers idealistik yang sepertinya belum punya pertimbangan pasar. Laku atau tidak asalkan ideologinya diangkat ke permukaan. Nada pemberitaan koran-koran lain pun sama-sama galak.

"Sekarang apa masih ada wartawan Trompet Masjarakat yang masih hidup selain Om Oei?"

"Tidak tahu. Setahu saya ya tinggal saya sendiri," katanya.

Om Oei lalu menyebut beberapa nama wartawan Trompet Masjarakat yang semuanya almarhum. Dia bangga dengan kolega-koleganya yang sangat gigih, militan, dan berani. Termasuk berani menulis opini dan berita sesuai dengan ideologi dan isi hatinya.

Masuk penjara, dibuang ke Pulau Buru... dikejar aparat itu risiko pekerjaan. Karena itu, Om Oei tidak menyesal jadi wartawan Trompet Masjarakat yang dekat Bung Karno. Meskipun dia tahu jadi pedagang kelontong di Malang tentu hasilnya lebih banyak dan tidak akan masuk penjara.

Obrolan harus diakhiri karena Om Oei harus salat Jumat. Kamsia kamsia....

2 komentar:

  1. Ketika Bung Karno marah-marah sama Tengku di Malaysia, waktu itu saya masih duduk dibangku SMA. Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya tekankan, bahwa saya adalah salah seorang pengagum Bung Karno.

    Marah-marah boleh, asalkan sifatnya objektiv dan factual. Silahkan berdebat adu argumen. Bung Karno bukan hanya marah besar kepada Tengku, tetapi memaki, mengejek, menghina Tengku sebagai anjing Nekolim Inggris dan BANCI.
    Kata Bung Karno : Lihat si Tengku, dia pakai celana dan sarung, kita tak tahu dia lelaki atau perempuan, dia banci !
    Saya sendiri pun pernah menjadi banci, ketika disuruh ikut Menari-Payung di KBRI, dalam acara menyambut kedatangan Menteri Luar Negeri.

    Sebenarnya tidak pantaslah seorang kepala negara mengolok-olok kepala negara lain. Hanya ada dua pengecualian sekarang ini, yaitu Trump dan Duterte.
    Setiap 17 Agustusan, selalu saya nongkrong di depan radio mendengarkan pidato Bung Karno yang berapi-api. Terachir 17 Agustus 1965, ketika itu saya sedang mancing di Seaside-Tanjung Perak, mata tak berkedip melihat pelampung-pancingan, tetapi kuping mendengarkan pidato Berdikari dari corong laudspeaker yang disiarkan langsung di Seaside.
    Entah, apakah sekarang masih ada Seaside di Tanjung Perak, tempat orang2 Belanda dansa-dansi jaman kolonial.

    Saya pernah merasakan masa enak jadi murid zaman Bung Karno, pernah juga merasakan masa hyperinflasi zaman Beliau.
    Zaman Hyperinflasi : Kalau saya (anak kost2-an) mendapat uang bulanan, maka uang itu langsung saya habiskan, bayar sewa kost, beli odol. sikat gigi, sabun cuci, sabun mandi, buku tulis, tinta, dll.
    Uang kertas tak berharga. Jika Menteri Keuangan mengeluh: Pak uang kita habis. Bung Karno jawab : Kamu cetak lagi, gitu aja kok repot !
    Kala itu ada lagu Hit yang judulnya Abu Nawas dari Yanti Bersaudara, dan para mahasiswa ngomel, karena harga2 barang melambung tak terkontrol. Bung Karno menantang para mahasiswa; Barang siapa dari kalian yang sanggup menurunkan harga, dalam waktu 3 bulan, akan saya angkat jadi menteri.
    Ada seorang mahasiswa bernama Hasibuan menerima tantangan tersebut. Kita anak2 langsung mengubah lirik lagu Abu Nawas menjadi Hasibuan.

    Dalam cerita lama tersebut kisah,
    Hasibuan jenaka menghadap raja.
    Tiga bulan lamanya turunkan harga,
    Kalau tidak berhasil penggal kepala.
    H..a..s..i..b..u..a..n..... , dst.

    BalasHapus
  2. Suasana perang yang membuat Bung Karno bicara kasar seperti itu. Beliau menganggap negara sebelah itu bonekanya Inggris yg dipimpin Tengku.

    Inggris kita linggis.. Amerika kita setrika!!!

    BalasHapus