Suasana warkop di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, Jalan MERR, pagi ini senyap. Tak ada percakapan. Obrolan diselingi pisuhan khas Arek-Arek Surabaya tak terdengar. Padahal saya perhatikan ada 11 orang di dalam warkop yang punya layanan internet gratis itu.
Yeah... semua orang sibuk dengan ponselnya. Menikmati video, chatting, main media sosial, main gim, dan sebagainya. Privasi memang sangat dijamin di warkop.
Ponsel pintar atau smartphone rupanya sudah mengubah budaya masyarakat kita. Dari masyarakat yang suka ngobrol, berbual, ngomong ngalor ngidul... menjadi masyarakat yang lebih senyap.
Pita suara mulai jarang dipakai di Jawa Timur. Beda dengan orang NTT di desa-desa yang suka bicara keras-keras dengan lawan bicara di dekatnya. Silakan duduk di ruang tunggu Bandara Eltari, Kupang, NTT. Bising suara manusia dengan sekian banyak logat bahasa daerah.
Sayangnya, budaya ngomong itu kini dialihkan ke media sosial. Apa saja dikomentari. Pakar-pakar instan bermunculan. Siapa saja bisa jadi ahli tentang virus corona. Lengkap dengan kiat-kiat mencegah penularan virus yang bikin geger seisi dunia itu.
Seorang tukang bersih-bersih alias office boy sering membagikan informasi kesehatan di grup media sosial di Sidoarjo. Nasihat-nasihatnya kayak dokter beneran. Padahal Bu Farida, anggota grup yang dokter beneran, justru tidak pernah bahas kesehatan, penyakit-penyakit, apalagi virus baru bernama corona itu.
Medsos pun menjadi begitu riuh di Indonesia. Seorang ibu rumah tangga asal Bogor, Zikria Dzatil, ditangkap dan ditahan di Polrestabes Surabaya gara-gara ujaran kebencian. Menghina Wali Kota Surabaya Bu Risma.
Apa urusan tante dari Bogor itu dengan Wali Kota Surabaya?
"Dunia maya membutakan mata saya," kata Zikria yang belakangan minta maaf kepada Bu Risma.
Bu Risma memang sudah memberi maaf untuk Zikria. Apalagi dia punya anak dua tahun yang perlu diberi ASI dsb. Tapi warga Surabaya, sebagian besar, sudah kadung marah.
"Ditahan agak lama biar kapok," begitu salah satu komentar di Facebook asal Sidoarjo penggemar Bu Risma.
Yeah... semua orang sibuk dengan ponselnya. Menikmati video, chatting, main media sosial, main gim, dan sebagainya. Privasi memang sangat dijamin di warkop.
Ponsel pintar atau smartphone rupanya sudah mengubah budaya masyarakat kita. Dari masyarakat yang suka ngobrol, berbual, ngomong ngalor ngidul... menjadi masyarakat yang lebih senyap.
Pita suara mulai jarang dipakai di Jawa Timur. Beda dengan orang NTT di desa-desa yang suka bicara keras-keras dengan lawan bicara di dekatnya. Silakan duduk di ruang tunggu Bandara Eltari, Kupang, NTT. Bising suara manusia dengan sekian banyak logat bahasa daerah.
Sayangnya, budaya ngomong itu kini dialihkan ke media sosial. Apa saja dikomentari. Pakar-pakar instan bermunculan. Siapa saja bisa jadi ahli tentang virus corona. Lengkap dengan kiat-kiat mencegah penularan virus yang bikin geger seisi dunia itu.
Seorang tukang bersih-bersih alias office boy sering membagikan informasi kesehatan di grup media sosial di Sidoarjo. Nasihat-nasihatnya kayak dokter beneran. Padahal Bu Farida, anggota grup yang dokter beneran, justru tidak pernah bahas kesehatan, penyakit-penyakit, apalagi virus baru bernama corona itu.
Medsos pun menjadi begitu riuh di Indonesia. Seorang ibu rumah tangga asal Bogor, Zikria Dzatil, ditangkap dan ditahan di Polrestabes Surabaya gara-gara ujaran kebencian. Menghina Wali Kota Surabaya Bu Risma.
Apa urusan tante dari Bogor itu dengan Wali Kota Surabaya?
"Dunia maya membutakan mata saya," kata Zikria yang belakangan minta maaf kepada Bu Risma.
Bu Risma memang sudah memberi maaf untuk Zikria. Apalagi dia punya anak dua tahun yang perlu diberi ASI dsb. Tapi warga Surabaya, sebagian besar, sudah kadung marah.
"Ditahan agak lama biar kapok," begitu salah satu komentar di Facebook asal Sidoarjo penggemar Bu Risma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar