Kamis, 30 Januari 2020

Terkenang Suhu Bingo dan Baba Lee



Suasana Sincia atau tahun baru Tionghoa tahun ini tidak secerah tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya bagi saya pribadi. Betapa tidak. Cukup banyak tokoh Tionghoa yang jadi narasumber saya, kemudian jadi akrab layaknya keluarga sendiri sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta.

Suhu Bingo Tanuwijaya meninggal pertengahan tahun 2019. Suhu atau paranormal ini paling rajin menerbitkan buku-buku tentang astrologi Tionghoa. Salah satunya buku tentang peruntungan 12 shio selama tahun tertentu.

Misalnya, selama Tahun Tikus Logam, shio mana saja yang hoki dan mana yang ciong. Penjelasannya sangat rinci. Buku fengshui itu biasanya sudah muncul di toko buku dua bulan sebelum Sincia.

"Anda baca saja buku saya lalu disimpulkan sendiri," begitu pernyataan khas Suhu Bingo yang beragama Kristen Protestan itu.

Nama Suhu Bingo sempat melejit gara-gara ramalannya tentang krisis ekonomi plus gejolak politik pada 1997 dan 1998 ternyata cocok. Ia kemudian jadi rujukan wartawan-wartawan yang ingin bertanya soal ramalan shio-shio jelang Imlek.

Narasumber lain yang berpulang tahun lalu adalah Lee Tjin Sam. Tionghoa campuran Bali yang tinggal di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Dekat kantor Kecamatan Taman. Di masa tuanya Om Lee duduk santai menjaga toko pracangan dan main musik harmonika.

Saya diajari beberapa lagu Mandarin yang dipopulerkan Teresa Teng. Baba Lee sering cerita pengalaman masa kecilnya yang sangat susah pada zaman Jepang. Mengungsi ke kawasan Prigen dan sebagainya. "Jepang itu brengsek," katanya.

Di usia produktifnya, Lee Tjin Sam bekerja sebagai fotografer kepolisian. Tugasnya memotret pelaku, korban, barang bukti untuk keperluan proses verbaal.

Zaman dulu belum banyak orang yang punya kamera. Apalagi ke mana-mana bawa kamera. Setiap hari. Beda dengan sekarang. Semua orang punya ponsel yang bisa dipakai memotret atau membuat video.

Maka, Lee Tjin Sam ini punya dokumentasi foto-foto Sidoarjo masa lalu yang paling lengkap. Khususnya di kawasan utara yang bertetangga dengan Surabaya. Termasuk sekolah Tionghoa, kelenteng yang sudah dibongkar, toko-toko di pecinan lawas.

Baba Lee sering saya jadikan narasumber kalau ingin membahas Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. "Dulu di Sepanjang ini ada perumahan khusus untuk tunawisma," tuturnya.

Sayang, proyek yang dibuat pada masa Gubernur Soenandar itu ambyar di tengah jalan. Rumah-rumah itu dijual dan para gelandangan kembali minta-minta di jalan raya. "Pancen angel ngurusin wong mbambung," kata baba yang pernah jadi komunitas motor Vespa Sidoarjo itu.

Dua minggu sebelum Sincia saya mampir ke rumah Lee Tjin Sam di Sepanjang, Taman, Sidoarjo. Suasananya tidak lazim. Rumah tua itu tertutup rapat. Di sebelahnya ada pedagang kaki lima yang jualan es. Ada juga tukang jahit permak pakaian.

Ke mana Baba Lee?

"Maaf, beliau sudah enggak ada," kata pemilik depot di sebelah rumah baba Tionghoa itu.

Oh, Tuhan...

Saya hanya bisa terdiam. Mengenang percakapan hangat sambil ngeteh (Baba Lee tidak minum kopi) dan menikmati melodi lagu-lagu Mandarin. Salah satunya Tian Mimi.

Kamsia untuk Suhu Bingo dan Baba Lee!

2 komentar:

  1. Begitulah, orang2 generasi Baba Lee (lahir 1920-1955), yang mengerti sejarah Orang Tionghoa, yang masih bisa berbahasa Mandarin atau Hokkian atau bahasa daerah Tiongkok lainnya, satu persatu sudah mrotoli menghadap Sang Khalik. Generasi berikutnya (lahir 1955-1980) "hilang" karena ketidakbijakan Orde Baru melarang bahasa2 Tionghoa diajarkan. Terutama di Jawa dan Indonesia Timur, Generasi Tionghoa milennial yang sekarang, walaupun dibebaskan berbahasa Tionghoa, tidak tertarik lagi. Bahasa ibu mereka sudah bahasa Melayu, bahasa internasional mereka ialah bahasa Inggris. Bahasa Tionghoa ialah bahasa ke-3 atau ke-4. Hanya kulit kuning dan mata sipit mereka sajalah yang membedakan.

    BalasHapus
  2. Betul banget. Baba2 ini punya pengetahuan dan pengalaman melakoni tradisi budaya leluhurnya meskipun tidak sekomplet orang tua atau kakek nenek mereka. Jadi, mereka bisa cerita dengan enak.

    Generasi kedua alias anak2 para baba ini lahir pada masa orde baru. Tradisi budaya tionghoa diharamkan. Bahasa tionghoa no way! Dianggap bahasa setan atau komunis.

    Orang Tionghoa di bawah 40 tahun juga asing dengan budaya leluhurnya. Mayoritas pigi misa ketimbang pigi bio. Mayoritas jago ingwen ketimbang zhongwen.

    Maka makin sulit mencari narasumber2 baru setelah generasi baba2 ini pigi ke surga. Anak2 mereka malah sering menertawakan atau mengejek tradisi fengshui dan kepercayaan2 lama khususnya penganut ajaran sola scriptura.

    Sekarang ini justru mulai banyak pengamat budaya Tionghoa yang bukan Tionghoa. Ada dosen Unair asli jawa muslim yang sangat getol meneliti Tionghoa. Tentu saja dia sangat layak jadi narasumber yg bagus.

    Tapi saya sejak dulu sangat tidak puas dengan narasumber2 yang outsider. Ngomong banyak tentang budaya Tionghoa tapi tidak melakoni sehari-hari.

    Saya lebih suka baba2 sederhana itu yang penjelasan2nya tidak secanggih dosen2 tapi sangat otentik ketionghoaannya. Gak ngomong thok. Pinter ngomong budaya kue keranjang tapi tidak pernah bikin dan makan nian gao.

    Itulah sebabnya saya sangat apresiasi Tante Tok pembuat kue keranjang di Sidoarjo. Tidak pakai teori yang muluk2, tidak kutip mbah Google etc etc.

    BalasHapus